***
Dalam kehidupan masyarakat, yang diakibatkan dari nilai-nilai yang dikonstruksi dan
disosialkan pada masyarakat, perempuan sering mendapatkan persepsi yang keliru. Nah, persepsi
publik inilah yang sangat merugikan perempuan. Di antara persepsi tersebut, misalnya
perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah (inferior). Dan di beberapa negara, kaum
perempuannya tidak boleh menerjuni dunia olahraga, karena berkelahi dan memanjat itu
dilarang, tubuh mereka bersifat pasif dalam melakukan segala hal. Apakah kalian juga bisa
mendapati fenomena seperti itu hingga sekarang? Tidak bisa dipungkiri bahwasanya kritik klasik
di atas masih relevan hingga sekarang. Adalah kefrustasian yang luar biasa, seandainya tidak
mampu menunjukkan perasaan seseorang terhadap wajah dunia.
Persepsi tersebut benar-benar mengganggu eksistensi perempuan dalam ruang publik. Hal
ini juga berakibat pada cara perlakuan sosial kepada perempuan yang berbeda dengan laki-laki,
termasuk ke dalam pemberian peran kepada perempuan. Perempuan identik ditempatkan dalam
posisi subordinat. Misalnya, kebanyakan SMK di Indonesia masih ditemukan sudut pandang
dominasi atas laki-laki, sebagian besar muridnya adalah laki-laki. Di mana seolah-olah yang
berhak mendekam di jurusan mesin adalah laki-laki seorang. Perempuan juga berhak
melampiaskan potensianya, mereka juga berhak menuntaskan ambisinya. Mereka—perempuan
—pun ingin menjadi seperti Moorissa Tjokro. Ini masih dalam bidang pendidikan, belum lagi
mereka dihadapkan pada pembedaan pekerjaan feminin dan maskulin yang melimitasi ruang
gerak mereka.
Variabel-variabel tentang gender yang dianut oleh masyarakat yang sudah tersistematis
dan hegemonik itu tentu saja berdampak besar terhadap konsep diri (self concept) yang terbentuk
pada diri perempuan. Pelbagai peristiwa kerap memperlihatkan bahwasanya perempuan
cenderung mengakami rendahnya rasa percaya diri (self esteem), kurang cakap mandiri, honnor
effect berupa sindrom untuk takut sukses (fear of success syndrom), jika perempuan dihadapkan
pada kondisi kompetitif dengan laki-laki, juga munculnya sifat ketergantungan dan minta
perlindungan (cinderella complex). Perempuan bahkan seolah-olah kurang cakap untuk bisa
mengenali siapa dirinya, dan apa yang mereka harus lakukan serta ke mana arah yang harus
mereka tuju.
Beberapa penjelasan di atas adalah hambatan bagi perempuan dalam pengaplikasian
potensi kemampuannya. Padahal, sudah banyak fakta dan sejarah yang membuktikan kiprah dan
keunggulan perempuan di pelbagai bidang dalam sektor publik, bahkan mereka—perempuan—
yang mampu mengubah dunia. Sebagian besar dari kita tahu sosok Fatima al Fihri, yang
merupakan tokoh perempuan muslim yang berada di garis terdepan membangun universitas
pertama di dunia. Kita sebagai masyarakat Indonesia, tidak kurang figur perempuan yang
inspiratif. Kita punya Raden Ajeng Kartini yang kita kenal sebagai pelopor kebangkitan
perempuan nusantara. Kita punya Martha Tiahahu, sebagai figur perempuan desa pemberani
yang mengangkat penjajah Belanda di usia 17 tahun. Tidak lupa, Dewi Sartika, tokoh perintis
pendidikan perempuan. Mereka adalah tokoh-tokoh revolusioner yang mampu mengubah secara
radikal persepsi masyarakat yang menempel pada tubuh perempuan.
Dalam era modernitas seperti sekarang, kiranya membentuk konsep diri (self concept)
merupakan urusan primer di samping berjalannya aktivitas sehari-hari. Pentingnya pemaknaan
terhadap pendidikan, pekerjaan, dan aktivitas publik lain, sehingga setiap perempuan mempunyai
ketajaman idealisme terhadap dirinya. Persepsi kultural yang ditempelkan pada tubuh perempuan
akan selalu melekat dan selalu kolot di ruang publik, untuk mengubah itu, bisa dibilang akan
sangat sulit, atau bahkan mustahil. Oleh karena itu, diperlukan konseptualisasi diri, sehingga
lahirlah idealisme yang akan mampu membentuk orientasi pribadi.
Remaja (Perempuan) tidak berhak untuk didogmatisasi, perempuan seperti halnya
entitasnya sebagai manusia merupakan subjek yang utuh. Perempuan berhak menentukan
peradaban yang jauh lebih modern di alam pikirannya. Tidak sekadar alat yang selalu
terkungkung oleh dominasi pikiran budaya yang kental. Bila hal-hal dogmatis itu dikembangkan,
maka hal itu justru akan memperlambat kinerja perempuan untuk memerangi gemuruh ruang
publik. Karena tidak mungkin, sebagai perempuan akan selalu takluk dan tunduk terhadap
prospeknya sebagai pencuci baju dan pencuci piring di rumah.
Pembentukan konsep diri (self concept), akan melahirkan idealisme. Dan idealisme itu
sendiri yang akan mampu melawan segala persepsi buruk oleh publik.