Anda di halaman 1dari 19

EVOLUSI DAN HUBUNGANNYA TERHADAP

DIVERSITAS PADA TANAMAN ANGGREK

PAPER
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu pada Mata Kuliah
Evolusi Semester Tujuh
yang diampu oleh Dra. Murningsih, M.Si., Dr. Dra. Nurhayati,
M.Si., dan Dra. Riche Hariyati, M.Si.

DISUSUN OLEH:
AISYAH ZAKIYAH
24020118140096

PROGRAM STUDI STRATA I


DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
OKTOBER, 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan baik. Paper
dengan judul “Evolusi dan Hubungannya terhadap Diversitas pada Tanaman
Anggrek” ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Evolusi.
Melalui paper ini, penulis berharap pembaca juga dapat mengetahui evolusi dan
hubungannya terhadap diversitas pada tanaman anggrek.

Dalam pembuatan paper ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu


Dra. Murningsih, M.Si., Dr. Dra. Nurhayati, M.Si., dan Dra. Riche Hariyati, M.Si.
selaku dosen pengampu mata kuliah Evolusi yang terlah berkenan mengizinkan
pembuatan paper ini. Selain itu, ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada
semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses
penyusunan paper ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan paper ini dapat memberikan manfaat


maupun inspirasi kepada pembaca. Penulis yakin masih banyak kekurangan dalam
pembuatan paper ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan paper ini.

Semarang, 23 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3. Tujuan...........................................................................................................2
1.4. Manfaat.........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
2.1. Asal-usul Keberagaman Tanaman Anggrek................................................4
2.2. Pengaruh Agen Penyerbuk terhadap Keberagaman Tanaman Anggrek......7
BAB III PENUTUP...............................................................................................13
3.1. Kesimpulan.................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Flora diartikan sebagai semua jenis tumbuhan yang tumbuh pada suatu
daerah tertentu. Flora di suatu tempat dapat terdiri dari beragam jenis yang
kemudian masing-masingnya dapat terdiri dari berbagai variasi gen yang
hidup di beberapa tipe habitat (Kusmana & Hikmat, 2015). Di antara flora
tersebut telah diketahui bahwa terdapat sekitar 308.312 tumbuhan
berpembuluh (Christenhusz & Byng, 2016) dimana Orchidaceae merupakan
salah satu dari dua famili terbesar dalam tumbuhan berpembuluh (Chase et
al., 2015) yang terdiri atas 880 genus dan 27.800 spesies dengan habitatnya
hampir pada seluruh daerah terestrial kecuali gurun yang sangat kering dan
pada Benua Antartika (Givnish et al., 2016). Tumbuhan-tumbuhan yang
termasuk ke dalam Famili Orchidaceae yang paling dikenal oleh masyarakat
dunia adalah dari jenis anggrek. Menurut Rupawan et al. (2014), anggrek
sendiri merupakan tanaman hias dengan nilai ekonomi yang terbilang lebih
tinggi dibandingkan tanaman hias lainnya. Hal ini disebabkan oleh bunganya
yang indah dan variasinya yang sangat banyak (Djufri et al., 2015).
Keanekaragaman bunga anggrek tersebut disebabkan oleh adanya
proses evolusi. Menurut Sidiq (2016), evolusi diartikan sebagai perubahan
yang terjadi dari waktu ke waktu pada satu atau lebih sifat yang diwariskan di
dalam suatu populasi organisme. Selain itu, evolusi merupakan proses
perubahan spesies dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan agar dapat
beradaptasi terhadap lingkungannya dan meneruskan perubahan tersebut pada
generasi selanjutnya. Evolusi juga menjelaskan banyak aspek dalam biologi
utamanya bagaimana organisme yang hidup sekarang ini adalah hasil evolusi
dari satu nenek moyang (ancestor) dan diversitas kehidupan yang besar di
bumi ini (Taufik, 2019). Anggrek yang ada sekarang ini telah berevolusi dari
bentuk nenek moyang sebelumnya sebagai hasil dari tekanan seleksi dan
adaptasi. Faktor-faktor yang mendorong kekayaan spesies anggrek, antara
lain interaksi

1
2

spesifik antara bunga anggrek dengan agen penyerbukan, interaksi antara


anggrek dengan mikoriza, serta epifitisme (Hsu et al., 2011).
Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui asal-usul dari beragamnya warna dan jenis anggrek yang ada
merupakan hasil dari proses evolusi. Hal tersebut salah satunya dipengaruhi
oleh jenis agen penyerbukan pada anggrek. Penyebabnya adalah kurangnya
minat pada masyarakat untuk memelajari lebih lanjut terkait proses terjadinya
evolusi pada anggrek dan faktor apa saja yang ikut berpengaruh dalam proses
terjadinya evolusi pada anggrek tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan
edukasi kepada masyarakat terkait proses terjadinya evolusi pada anggrek
beserta faktor-faktor yang berpengaruh.
Dari latar belakang di atas, penulis membuat paper yang berjudul
“Evolusi dan Hubungannya terhadap Diversitas pada Tanaman Anggrek”
dengan harapan pembaca dapat mengetahui hubungan evolusi terhadap
diversitas yang terjadi pada tanaman anggrek.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka didapatkan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana asal usul keberagaman tanaman anggrek?
1.2.2. Bagaimana pengaruh agen penyerbuk terhadap keberagaman tanaman
anggrek?

1.3. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan paper ini adalah
sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui asal usul keberagaman tanaman anggrek
1.3.2. Untuk mengetahui pengaruh agen penyerbuk terhadap keberagaman
tanaman anggrek
1.4. Manfaat
Dari rumusan masalah di atas maka manfaat yang didapat dari penulisan
paper ini adalah sebagai berikut:
1.4.1. Memberikan pengetahuan lebih luas kepada masyarakat mengenai
asal usul keberagaman tanaman anggrek dan pengaruh dari agen
penyerbuk terhadap keberagaman tanaman anggrek
1.4.2. Menambah ilmu pengetahuan dan membuktikan studi pustaka
1.4.3. Menambah referensi guna mengembangkan ilmu pengetahuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Asal-usul Keberagaman Tanaman Anggrek


Keanekaragaman yang terjadi pada famili anggrek lebih cepat
dibandingkan dengan kebanyakan famili tumbuhan berbunga lainnya dimana
mulai berdiversifikasi saat pertengahan cretaceous. Waktu kemunculan
anggrek diperkirakan antara 80 sampai 40 juta tahun yang lalu atau sekitar
akhir zaman cretaceous hingga akhir zaman eosen. Baru-baru ini,
Orchidaceae dapat ditentukan umurnya berdasarkan fosil amber dari
gumpalan serbuk sari yang terdapat pada bagian belakang agen penyerbuk,
yaitu lebah tanpa sengat. Nenek moyang terkini dari anggrek yang masih ada
sampai sekarang dipercaya sudah hidup pada akhir zaman cretaceous atau 84
sampai 76 juta tahun yang lalu (Hsu et al., 2011).
Anggrek dikenal sebagai tanaman yang memiliki keragaman pada cara
reproduksinya yang khusus dan juga ekologinya. Pembentukan labellum dan
ginostemium (struktur yang terbentuk karena terjadi fusi antara androecium
dan gynoecium) yang berfungsi dalam proses penyerbukan. Kemajuan
evolusioner dari anggrek dapat dijelaskan berdasarkan pembentukan butir-
butir serbuk sari sebagai gumpalan serbuk sari, terjadinya penyerbukan
karena adanya perkembangan pada bakal buah atau bakal biji, penyesuaian
waktu dari mikrogametogenesis dan megagametogenesis agar pembuahan
terjadi secara efektif, dan pelepasan ribuan bahkan jutaan embrio yang belum
matang (biji tanpa endosperma) (Hsu et al., 2011).
Setelah akhir zaman cretaceous dua klad yang diwakili oleh Subfamili
Orchidoideae dan Epidendroideae mengalami diversifikasi evolusioner
sehingga keduanya berperan dalam memberikan sebagian besar
keanekaragaman spesies dari Famili Orchidaceae yang dikenal hingga saat
ini. Banyak klad dari subfamili tersebut yang terpisah pada awal zaman
miosen. Walaupun demikian, tidak semua spesies yang berevolusi selama
terjadinya

4
5

diversifikasi ini dapat bertahan hidup. Kepunahan merupakan hal alamiah


yang terjadi pada suatu organisme (Ackerman, 2014).
Bukti terbaru ditemukan di daerah Amerika Tengah bagian bawah dan
Cordillera Andes Utara yakni sekitar 10 hingga 0,5 juta tahun yang lalu.
Hasilnya menunjukkan bahwa terjadinya diversifikasi yang cepat dan
fragmentasi habitat yang menjadi terisolasi tidak hanya oleh lembah dan
deretan pegunungan tetapi juga dikarenakan oleh dataran rendah yang lebih
panas dan lebih kering. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
keberagaman topografi sangat berhubungan dengan keberagaman tanaman
anggrek (Ackerman, 2014). Berdasarkan penelitian Kirby (2011), penyebaran
spesies pada tingkat subsuku (subtribe) cenderung menempati daerah dataran
rendah sedangkan spesies endemik dan turunannya lebih banyak menempati
lereng pegunungan dan lembah yang cenderung lebih dingin dan lebih basah.
Apostasia shenzhenica menunjukkan bukti yang jelas mengenai
duplikasi seluruh genom yang dimiliki oleh keseluruhan anggrek, yang terjadi
saat sebelum mengalami divergensi (pemisahan). Apostasioideae merupakan
subfamili kecil dari anggrek yang hanya mencakup dua genus, yaitu
Apostasia dan Neuwiedia. Spesies pada subfamili ini adalah spesies yang
hidup di lingkungan terestrial, yang terbatas pada daerah lembap di Asia
Tenggara, Jepang, dan Australia Utara. Apostasioideae ini bersifat
sinapomorfis (karakter turunan yang dimiliki bersama) terhadap anggrek
lainnya, misalnya biji berukuran kecil dengan embrio yang tereduksi dan
tahapan mikoheterotropik protokorm dimana ciri paling mencolok dari
anggrek adalah morfologi bunganya (Zhang et al., 2017).
Gambar 2.1. Bunga Apostasia shenzhenica
(Zhang et al., 2017)

Bunga dari Apostasia bertipe solanum dan non resupinasi degan


kepala sari yang melingkari kepala putik, ovariumnya panjang, perhiasan
bunga yang bersifat aktinomorf dengan labellum yang tidak terdiferensiasi.
Dua benangsari yang dimilikinya menyatu dengan tangkai putik dan bersifat
fertil, membentuk ginostemium yang sederhana, dan kepala sari mengandung
serbuk sari yang berupa tepung (butiran tidak menyatu menjadi polinia).
Karakteristik- karakteristik tersebut berbeda dari subfamili Orchidaceae yang
lain yang memiliki tiga sepal, tiga petal yang salah satunya terspesialisasi
menjadi labellum, benangsari dan putik menyatu menjadi ginostemium.
Namun, memiliki kemiripan dengan beberapa spesies dari Hypoxidaceae
(saudara dari Famili Orchidaceae, dalam Ordo Asparagales). Whole Genome
Duplication (WGD) terdapat pada semua anggrek yang masih ada dan
dimungkinkan berhubungan dengan diversifikasi anggrek. Selain itu, seperti
yang teramati pada banyak garis keturunan dari tanaman lainnya, WGD
khusus pada anggrek mungkin berkaitan dengan akhir zaman cretaceous
(Zhang et al., 2017).
Gen MADS-box merupakan salah satu regulator yang penting dalam
perkembangan bunga pada suatu tanaman. Jumlah dari gen MADS-box antar
spesies anggrek memiliki kemiripan namun lebih sedikit dibandingkan
dengan kebanyakan pada tanaman Angiospermae lainnya. Selain itu, juga
diketahui bahwa senyawa terpen memainkan peran penting pada aroma yang
dihasilkan tanaman anggrek. Enzim terpen sintase (TPS) merupakan enzim
yang berperan dalam proses biosintesis terpen. Perbedaan TPS pada tiap
spesies tanaman ini dikarenakan telah mengalami evolusi untuk mensintesis
senyawa terpen yang spesifik. Enzim TPS terbagi menjadi 7 macam, yaitu
TPS-a, TPS-b, TPS-c, TPS-d, TPS-e/f, TPS-g, dan TPS-h dimana diketahui
bahwa TPS-a mengkodekan sesquiterpen sintase yang ditemukan pada
tumbuhan dikotil maupun monokotil (Zhang et al., 2021).

2.2. Pengaruh Agen Penyerbuk terhadap Keberagaman Tanaman Anggrek


Evolusi pada tanaman berbunga ditandai dengan transfer serbuk sari
yang dilakukan oleh agen penyerbukan. Adaptasi ini memungkinkan tanaman
untuk melakukan reproduksi secara efisien dan berperan dalam diversifikasi
tanaman berbunga. Pada garis keturunan asli dari tanaman berbunga seperti
Magnoliales, agen penyerbukan membawa serbuk sari pada seluruh tubuhnya,
dan keberhasilan dari peristiwa penyerbukannya bernilai rendah. Garis
keturunan pada tanaman seperti anggrek, serbuk sari ditempatkan pada organ
tubuh yang spesifik yang telah mengalami evolusi pada agen penyerbuk
sehingga dari situlah terjadi isolasi reproduksi dan diversifikasi spesies
(Pramanik et al., 2020).
Pada tanaman anggrek juga mengalami evolusi terkait penyerbukan
‘tipuan’ dimana penyerbuk datang menghampiri bunga karena aroma yang
dihasilkan untuk membantu penyerbukan namun penyerbuk tersebut tidak
mendapatkan makanan (nektar) dari bunga yang dihampirinya. Penyerbukan
seperti ini memicu terjadinya fertilisasi silang dengan mengurangi waktu
penyerbuk untuk menghampiri suatu bunga dan mencegah penyerbuk untuk
kembali pada bunga yang sama sehingga penyerbukan sendiri pun tidak
terjadi. Ada 7 mekanisme dari penyerbukan ‘tipuan’ yang dapat dilakukan
anggrek
dimana yang paling umum atau sekitar sepertiga dari semua penyerbukan
yang terjadi pada anggrek adalah general food deceptive. General food
deceptive diartikan sebagai suatu bunga tidak memberikan makanan sebagai
imbalan kepada penyerbuk yang akan membantu penyerbukannya dengan
cara meniru sinyal yang dimiliki oleh bunga umum yang melakukan
penyerbukan (penyerbuk mendapatkan makanan) berupa tipe perbungaan
yang serupa, warna bunga, aroma, dan sebagainya. Pada awalnya penyerbuk
tidak dapat membedakannya, namun seiring berjalannya waktu ia pun dapat
membedakan dan hal ini membuat serbuk sari dari satu anggrek dapat
ditransferkan ke anggrek lainnya serta akan diturunkan pada generasi
selanjutnya (Pramanik et al., 2020).
Bunga anggrek memiliki 3 struktur yang terspesialisasi, yaitu callus,
stelidia, dan mentum. Petal bagian tengah dari anggrek atau yang disebut
dengan labellum sering mengalami modifikasi pada permukaan atasnya
sehingga terdapat suatu tonjolan berdaging, yang dinamakan callus. Fungsi
dari callus ini adalah sebagai tempat perlekatan bagi serangga yang datang.
Serangga yang datang akan dicegah untuk keluar dari labellum dengan
struktur berupa saya pada kedua sisi ginostemium, yang disebut dengan
stelidia. Hal ini dikarenakan sangat penting untuk dapat memerangkap
serangga dan memosisikan kepala atau bagian tubuh lainnya dengan benar di
depan organ reproduksi anggrek. Struktur terakhir dinamakan mentum, yaitu
adanya pertumbuhan ke arah luar dari dasar ginostemium dan labellum serta
bagian lateral dari sepal lateral yang berfungsi sebagai pijakan,
mengembalikan serangga yang berjalan ke atas labellum (berlawanan dengan
bagian atas ginostemium dimana anther dan stigma berada, serta untuk
memastikan bahwa pemindahan atau peletakan gumpalan serbuk sari berada
pada posisi yang tepat baik untuk penyerbuk maupun untuk anggrek itu
sendiri. Ketiga struktur yang sudah dijelaskan di atas mengalami evolusi,
dimana ukuran dan bentuknya disesuaikan dengan tubuh penyerbuk anggrek.
Hal itu yang menyebabkan terjadinya diversifikasi bentuk dan ukuran pada
ketiga struktur khusus tersebut. Misalnya saja yang ditemukan pada spesies
yang berbeda dalam Genus Phalaenopsis. Phalaenopsis amabilis, P.
celebensis, dan P. equestris memiliki
callus yang berukuran besar; stelidia yang terlihat jelas ditemukan pada P.
bellina, P. celebensis, dan P. pulcherrima; sedangkan mentum yang besar
terdapat pada P. pulcherrima (Pramanik et al., 2020).

Gambar 2.2. Tahap Perkembangan Bunga P. equestris (a) dan P. pulcherrima


(b); Ca: Callus, L: Labellum, St: Stelidia, Me: Mentum
(Pramanik et al., 2020)

Gen MADS-box yang berperan dalam perkembangan bunga dijelaskan


dengan model yang berbeda. Model pertama adalah ABCDE dimana gen
MADS box A-class berupa APETALA1 (AP1), gen B-class berupa APETALA3
(AP3) dan PISTILLATA (PI), gen C-class berupa AGAMOUS (AG), gen D-
class berupa SEEDSTICK (STK), dan gen E-class berupa SEPALLATA (SEP).
Gabungan dari beberapa gen MADS-box dibutuhkan dalam pembentukan
organ-organ anggrek, yang meliputi gen A+B+C class (menentukan sepal dan
petal), B+C+E (menentukan benangsari), C+E (menentukan karpel), dan
D+E (perkembangan ovul). Perkembangan labellum anggrek dijelaskan
dengan model Homeotic Orchid Tepal (HTO) yang terdiri atas empat salinan
gen AP3 (AP3-1, AP3-2, AP3-3, AP3-4) dan PI yang bergabung dengan gen-
gen lain dari MADS-box akan mengatur karakteristik bunga yang
menghasilkan sepal, petal, dan labellum yang berbeda pada anggrek. Model
kode perianth (perhiasan bunga) dijelaskan dengan perbandingan dari dua
kompleks protein MADS-box AP3/AGL6/PI yang disebut SP dan L yang
berperan dalam proses
perkembangan sepal-petal serta menentukan karakteristik labellum (Pramanik
et al., 2020).
Faktor transkripsi lain yang berperan penting dalam pembentukan
zigomorfi pada bunga, yaitu RADIALIS (RAD), DIVARICATA (DIV), dan
DRIF (Divaricata Radialis Interacting Factor) yang ketiganya termasuk ke
dalam famili gen MYB. Pada bunga Antirrhinum majus, DIV menentukan
karakteristik bagian ventral dari petal, RAD menentukan karakteristik bagian
dorsal dengan cara mengikat DRIF dan mencegah pembentukan kompleks
DIV/DRIF. Apabila pada bagian ventral tidak terdapat RAD maka
memungkinkan DIV melakukan interaksi dengan DRIF dan nantinya akan
memungkinkan pembentukan kompleks DIV/DRIF yang akan memicu
ekspresi gen spesifik pada bagian ventral bunga. Baru-baru ini, ditemukan
bahwa faktor transkripsi MYB juga berperan dalam membentuk zigomorfi
pada bunga anggrek. Ekspresi gen terkait perkembangan struktur callus
anggrek hanya diketahui pada Erycina pusilla (Pramanik et al., 2020).
Menurut Dirks- Mulder et al. (2017), untuk 3 struktur khusus pada anggrek
tersebut berasal dari campuran petaloid-staminodial berdasarkan ekspresi gen
MADS-box A (FUL-like), B (AP3, PI), E (SEP), dan AGL6-2. Hasil ini sesuai
dengan model ABCDE yang menduga bahwa gen MADS-box B-class terdapat
pada modifikasi organ petal dan model kode perianth diduga yang
mengekspresikan gen AGL6-2 pada modifikasi organ labellum. Ekspresi gen
struktur stelidia hingga saat ini hanya dipelajari pada E. pusilla. Penelitian
yang dilakukan Pramanik et al. (2020) menunjukkan bahwa staminodial
berasal dari ekspresi gen MADS-box A (FUL-like), B (AP3, PI), C (AG), D
(STK), dan AGL6-3. Hail
ini sesuai dengan mode ABCDE yang menduga adanya ekspresi gen MADS-
box B-class dan C-class pada modifikasi organ stamen. Analisis terhadap
ekspresi gen untuk struktur mentum pada anggrek belum diketahui.
Evolusi dan perkembangan dari struktur callus, stelidia, dan mentum
pada anggrek, serta faktor transkripsi MADS-box dan MYB yang
diekspresikan pada ketiga struktur tersebut dapat dipelajari dari 2 spesies
berbeda yang berasal dari Genus Phalaenopsis, yaitu P. equestris dan P.
pulcherrima. Phalaenopsis equestris termasuk dalam section Stauroglottis
sedangkan P.
pulcherrima bagian dari section Esmeralda. Perbedaan dari kedua spesies
tersebut terletak pada morfologi bunganya dimana P. equestris memiliki
callus yang besar, stelidia yang pendek, dan tidak ada mentum yang biasanya
dibantu oleh lebah berukuran besar seperti Xylocopa untuk penyerbukan
sedangkan untuk P. pulcherrima memiliki callus yang kecil, stelidia yang
panjang, dan mentum yang jelas dan penyerbukannya dibantu oleh lebah
Amegilla yang ukurannya lebih kecil (Pramanik et al., 2020).
Perkembangan callus pada E. pusilla dan P. equestris diketahui sangat
mirip sedangkan pada P. pulcherrima memiliki perbedaan. Pada tahap awal
perkembangan perbandingan ukuran antara labellum dan callus adalah 2:1
namun untuk tahap selanjutnya menjadi 3:1 (terjadi perluasan pada struktur
labellum). Ekspresi salinan gen MADS-box AE-class AGL6-clade2 dan B-
class PI-like serta AP3-like clade 4 ditemukan pada callus dewasa dari kedua
spesies Phalaenopsis tersebut. Selain itu, juga ditemukan ekspresi salinan gen
yang berbeda di antara keduanya dimana gen MADS-box SEPALLATA E-
class (PeSEP2) terekspresikan pada callus dari P. equestris namun gen
ortolognya (PpSEP1) tidak terekspresikan pada callus dari P. pulcherrima.
Selanjutnya, ekspresi salinan gen AE-class berupa AGL6-clade 1 dan AGL6
clade 3, B-class berupa AP3 clade 1 dan AP3 clade 2, serta E-class berupa
SEP clade 2, 3, 4 hanya ditemukan pada callus P. pulcherrima. Ekspresi lebih
tinggi dari salinan DIV 2 dan ekspresi yang lebih rendah untuk DIV 1 terdapat
pada callus dari P. equestris (Pramanik et al., 2020).
Stelidia berasal dari staminodial sehingga diduga terdapat ekspresi gen
MADS-box C, D, dan E-class pada struktur ini seperti yang ditemukan di
stelidia E. pusilla (Dirks-Mulder et al., 2017). Hasil menunjukkan bahwa
ekspresi gen MADS-box A E-class (AGL6 clade 2 dan 3) ditemukan pada
stelidia dari dua spesies Phalaenopsis tersebut bersamaan dengan gen E-class
(SEP clade 2, 3, 4). Struktur mentum berasal dari gabungan antara petaloid,
sepaloid, dan staminodial sehingga diduga terdapat ekspresi gen dari kelima
class gen MADS-box. Gen B-class (AP3 clade 3 dan 4) serta PI-like
terekspresi pada ginostemium dari kedua spesies Phalaenopsis sedangkan
ekspresi gen MADS-box B-class (AP3 clade 1) dan A E-class (AGL6 clade 1)
hanya
terdeteksi pada ginostemium dengan stelidia dan mentum yang jelas dari P.
pulcherrima. Pada kedua spesies ditemukan bahwa salinan SEP clade 1
diekspresikan bersama dengan 2 salinan berbeda dari gen AGL6-like
sedangkan 3 SEP lainnya diekspresikan bersama 3 salinan AGL6. Hal ini
sesuai dengan beberapa hipotesis dari penelitian lain yang mengatakan bahwa
gen SEP clade 1 dan AGL6-like memiliki fungsi yang sama dan bertahan
selama proses evolusi anggrek (Pramanik et al., 2020).
Sifat zigomorfi pada bunga diketahui meningkatkan efisiensi dari
proses penyerbukan karena penyerbuk hanya dapat bersentuhan dengan
benangsari dan putik dari satu arah tertentu. Faktor transkripsi MYB dan TCP
merupakan kode untuk zigomorfi pada bunga. Perkembangan dari kedua gen
tersebut pada simetri bunga anggrek sebelumnya sudah diteliti pada Orchis
italica, Dendrobium catenatum, Cattleya triana, dan Phalaenopsis equestris.
Namun, tidak ada hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan ekspresi gen
pada struktur callus, mentum, dan stelidia. Ekspresi dari gen PCF clade 1
terlihat pada kuncup bunga awal dan callus dewasa serta ginostemium dari
kedua spesies Phalaenopsis yang diamati. Tidak hanya itu, terlihat adanya
pertukaran ekspresi gen antara DIV clade 1 dengan SEP clade 1 pada callus
Phalaenopsis. Pertukaran ekspresi gen juga terjadi antara DIV clade 2 dengan
AP3 clade 1 dan clade 6 pada stelidia dan mentum (Pramanik et al., 2020).
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.1.1. Nenek moyang dari tanaman anggrek saat ini diketahui hidup pada
zaman cretaceous akhir (84-76 tahun yang lalu). Keanekaragaman
tanaman anggrek disebabkan oleh terjadinya diversifikasi evolsioner
pada dua Subfamili, yaitu Orchidoideae dan Epidendroideae. Selain
itu, juga diketahui bahwa duplikasi genom dari spesies Apostasia
shenzhenica dimiliki oleh keseluruhan tanaman anggrek
3.1.2. Tiga struktur khusus pada anggrek, yaitu callus, stelidia, dan mentum
mengalami evolusi terkait ukuran dan bentuknya yang disesuaikan
dengan tubuh dari agen penyerbuknya. Misalnya, pada Phalaenopsis
equestris yang diserbuki oleh lebah berukuran besar (Xylocopa)
memiliki callus yang besar, stelidia yang pendek, dan tidak terdapat
mentum sedangkan pada Phalaenopsis pulcherrima yang diserbuki
oleh lebah berukuran kecil (Amegilla) memiliki callus yang kecil,
stelidia yang panjang, dan mentum yang jelas. Hal tersebut juga
disebabkan oleh adanya ekspresi gen MADS-box dan MYB pada
tanaman anggrek

13
DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, J. D. 2014. Rapid Transformation of Orchid Floras.


LANKESTERIANA Journal on Orchidology, 13(3): 157-164.

Chase, M. W., K. M. Cameron, J. V. Freudenstein, A. M. Pridgeon, G. Salazar, C.


Van Den Berg, and A. Schuiteman. 2015. Invited Review: An
Updated Classification of Orchidaceae. Botanical Journal of the
Linnean Society, 177: 151-174.

Christenhusz, M. J. M. and J. W. Byng. 2016. The Number of Known Species in


the World and its Annual Increase. Phytotaxa, 261(3): 201-217.

Dirks-Mulder, A., R. Butôt, P. van Schaik, J. W. P. M. Wijnands, R. van den Berg,


L. Krol, S. Doebar, K. van Kooperen, H. de Boer, E. M. Kramer, E. F.
Smets, R. A. Vos, A. Vrijdaghs, and B. Gravendeel. 2017. Exploring
the Evolutionary Origin of Floral Organs of Erycina pusilla, an
Emerging Orchid Model System. BMC Evolutionary Biology, 17: 1-
18.

Djufri, Hasanuddin, dan Fauzi. 2015. Orchidaceae Pulau Rubiah Kota Madya
Sabang Provinsi Aceh. Jurnal Biotik, 3(1): 1-8.

Givnish, T. J., D. Spalink, M. Ames, S. P. Lyon, S. J. Hunter, A. Zuluaga, A.


Doucette, G. G. Caro, J. McDaniel, M. A. Clements, M. T. K. Arroyo,
L. Endara, R. Kriebel, N. H. Williams, and K. M. Cameron. 2016.
Orchid Historical Biogeography, Diversification, Antarctica and the
Paradox of Orchid Dispersal. Journal of Biogeography, 43: 1905-
1916.

Hsu, C. C., Y. L. Chung, T. C. Chen, Y. L. Lee, Y. T. Kuo, W. C. Tsai, Y. Y.


Hsiao,
Y. W. Chen, W. L. Wu, and H. H. Chen. 2011. An Overview of the
Phalaenopsis Orchid Genome through BAC End Sequence Analysis.
BMC Plant Biology, 11(3): 1-11.

Kirby, S. H. 2011. Active Mountain Building and the Distribution of “Core”


Maxillariinae Species in Tropical Mexico and Central America.
LANKESTERIANA International Journal on Orchidology, 11(3): 275-
291.

Kusmana, C. dan A. Hikmat. 2015. Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia.


Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 5(2): 187-198.

Pramanik, D., N. Dorst, N. Meesters, M. Spaans, E. Smets, M. Welten, and B.


Gravendeel. 2020. Evolution and Development of Three Highly
Specialized Floral Structures of Bee-Pollinated Phalaenopsis Species.
EvoDevo, 11: 1-20.
14
15

Rupawan, I. M., Z. Basri, dan M. Bustami. 2014. Pertumbuhan Anggrek Vanda


(Vanda sp) pada Berbagai Komposisi Media secara in vitro. e-J.
Agrotekbis, 2(5): 488-494.

Sidiq, Y. 2016. Evolusi dalam Kehidupan Sehari-hari: Sudut Pandang Mahasiswa


terhadap Evolusi. Proceeding Biology Education Conference, 13(1):
583-586.

Taufik, L. M. 2019. Teori Evolusi Darwin: Dulu, Kini dan Nanti. Jurnal Filsafat
Indonesia, 2(3): 98-102.

Zhang, G. Q., K. W. Liu, Z. Li, R. Lohaus, Y. Y. Hsiao, S. C. Niu, J. Y. Wang, Y.


C. Lin, Q. Xu, L. J. Chen, K. Yoshida, S. Fujiwara, Z. W. Wang, Y.
Q. Zhang, N. Mitsuda, M. Wang, G. H. Liu, L. Pecoraro, H. X.
Huang, X.
J. Xiao, M. Lin, X. Y. Wu, W. L. Wu, Y. Y. Chen, S. B. Chang, S.
Sakamoto, M. O. Takagi, M. Yagi, S. J. Zeng, C. Y. Shen, C. M. Yeh,
Y. B. Luo, W. C. Tsai, Y. Van de Peer and Z. J. Liu. 2017. The
Apostasia Genome and the Evolution of Orchids. Nature, 549: 379-397.

Zhang, Y., G. Q. Zhang, D. Zhang, X. D. Liu, X. Y. Xu, W. H. Sun, X. Yu, X. Zhu,


Z. W. Wang, X. Zhao, W. Y. Zhong, H. Chen, W. L. Yin, T. Huang, S.
C. Niu, and Z. J. Liu, 2021. Chromosome-scale Assembly of the
Dendrobium chrysotoxum Genome Enhances the Understanding of
Orchid Evolution. Horticulture Research, 8: 1-14.

Anda mungkin juga menyukai