Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SYARAT-SYARAT PERAWI HADIS DAN PROSES TRANSFORMASINYA

Disusun oleh: Kelompok 3

1. Nedia faniasty august


2. Nazirothul Fazria
3. Nirmala
4. Mukmin

TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI PALU 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas limpah Rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dalam bentuk yang sangat sederhana.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Pancasila juga karena ingin
berbagi kepada pembaca tentang ‘’SYARAT-SYARAT PERAWI HADIS DAN PROSES
TRANSFORMASINYA’’.

Kami mohon maaf apabila ketika dibaca pekerjaan kami ini banyak kesalahan baik
pemakaian kata, penyusunan kalimat, menjelaskan, menguraikan isi atau data yang kurang
lengkap karena kami baru belajar, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan
pekerjaan kami dimasa yang akan datang.

Semoga tugas sederhana ini bisa bermanfaat khususnya bagi kami, umumnya bagi pembaca
dan khalayak semoga Allah memberkahi pekerjaan kami.
BAB I

PEMBAHASAN

A. Pengertian Rawi

Rawi menurut bahasa berasal dari kata riwayah yang merupakan bentuk mashdar dari kata
kerja rawa-yarwi, yang berarti “memindahkan atau meriwayatkan”. Jadi rawi adalah orang yang
meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengarnya dan
diterimanya dari seseorang.

Secara definisi, kata riwayah adalah kegiatan penerimaan atau penyampaian hadits, serta
penyandaran hadits itu kepada rangakaian periwayatnya dalam bentuk-bentuk tertentu. Orang
yang telah menerima hadits dari seorang periwayat (rawi), tetapi dia tidak menyampaikan hadits
itu kepada orang lain, maka ia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan
periwayatan hadits. Demikian pula halnya dengan orang yang menyampaikan hadits
yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika ia menyampaikan hadits itu, ia tidak
menyebutkan rangkaian para perawinya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan
sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadits.

Jadi, ada 3 unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadits. Yakni (1) kegiatan menerima
hadits dari periwayat hadits; (2) kegiatan menyampaikan hadits itu kepada orang lain; (3) ketika
hadits itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.

Orang yang melakukan periwayatan hadits dinamai al-rawiy (periwayat), apa yang
diriwayatkan dinamai al-marwiy, susunan rangkaian para periwayatnya dinamai sanad atau biasa
juga disebut isnad dan kalimat yang disebutkan sesudah sanad dinamai matan. Kegiatan yang
berkenaan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits disebut dengan tahammul wa
ada’ al-hadits. Dengan demikian, sesorang barulah dapat dinyatakan sebagai periwayat hadits,
apabila orang itu telah melakukan tahammul wal ada’ al-hadits dan hadits yang disampaikannya
lengkap berisi sanad dan matan.

B. Syarat – syarat seorang perawi

Salah satu factor yang dapat mempengaruhi dapat atau tidak diterimanya suatu hadist ialah
kualitas rawi. Tinggi rendahnya sifat adil dan dhabith para perawi menyebabkan kuat lemahnya
martabat suatu hadits. Perbedaan cara para perawi menerima hadits dari guru mereka masing-
masing mengakibatkan munculnya perbedaan lafaz-lafaz yabg dipakai dalam periwayatan hadits.
Karena perbedaan lafaz yang dipakai dalam penyampaian hadits menyebabkan perbedaab nilai
(kualitas) suatu hadits.

Sehubungan dengan itu, penelitian dibidang rawi sangat penting dalam upaya menentukan
kualitas suatu hadits. Suatu berita dianggap kuat keasliannya kalau pembawa berita (rawi)
memiliki persyratan kejujuran dan kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ada beberapa persyaratan tertentu bagi seorang perawi dalam upaya meriwayatkan hadits,
semua ulama hadits, Ushul, Fiqh mmensyaratka untuk orang yang dapat kita berhujjah dengan
riwayatnya, baik dia laki-laki ataupun perempuan, syarat-syaratnya tersebut, yaitu :

1. Baligh, artinya sudah cukup umur ketika meriwayatkan hadits, meskipun ia masih kecil waktu
menerima hadits itu. Karenanya tidak diterima riwayat anak-anak yang belum sampai umur,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim dari Umar dan Ali
yaitu: “ diangkat kalam dari tiga orang: dari orang yang gila, yang digagahi akalnya hingga dia
sembuh, dari orang tidur sehimgga dia bangun, dari anak sehingga dia dewasa”.

Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai paham dan pengertian.
Dikehendaki dengan sampai umur, ialah sampai umur dengan berakal. Para mutaakhirien
mensyarathkan baligh (sampai umur) dan umur. Para mutaqaddimien mensyarahkan akal saja.
Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadari akibat
berdusta dan syara’ tidak membenarkan anaka kecil menjadi wali terhadap dirinya dalam urusan
keduniaan, maka dalam masalah urusan eakhiratan tentulah lebih utama.

1. Muslim, yaitu beragama Islam waktu menyampaikan hadits. Karenanya tidak dapat diterima
riwayat oranbg kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati-hati
menerima riwayat orang asik sebagai yang diterangkan dalam surat Al-Hujurat ayat 6.

2. Adil, dalam kamus bahasa indonesia kata adil diartikan sebagai “ tidak berat sebelah, tidak
memihak, tidak sewenang_wenang, dalam bahasa Arab adil berasal dari kata al-adl masdar dari
kata kerja ‘adala yaitu orang muslim baligh dan berakal yang tidak mengerjakan dosa besar dan
kecil.

3. Dhabith, artinya tepat menangkap apa yang didengarnya, dan dihapalnya dengan baik.
Sehingga ketika dibutuhkan, ia dapat mengeluarkan atau menyebutkan kembali.

Dhabith pada lughat, ialah:

“ orang yang mengetahui dengan baik apa yang diriwayatkan, selalu berhati-hati, di lafadh
riwayatnya, jika ia diriwayatkan ari hafalannya dan ia jaga benar-benar kitabnya, jika ia
riwayatkan dari kitabnya, lagi mengetahui mana yang bisa memelaingkan makna dari maksud,
jika ia meriwayatkan dengan ma’na.

Dhabit pada istilah, ialah penuh perhatian perawi kepada yang didengar diketika dia
menerimanya serta memahami apa yang didengar itu hingga ia menyampaikannya kepada orang
lain. Dhabith itu ada dua, 1) dhabith Shadar, yakni menghafal dengan baik, 2) dhabth kitab,
yakni memelihara kitabnya dengan dari kemasukan sisipan ataupun sebagainya.

Jalan mengetahui kedhabitan seseorang ialah mengecek riwayatnya dengan riwayat orang lain.
Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain maka diterimalah riwayatnya. Dalam pada itu
perbedaan yang sesekali terjadinya, tidaklah menghalangi kita menerima riwayatnya, jika banyak
terjadi perbedaan dengan riwayat orang lain, tentulah riwayatnya tidak diterima.

4. Tidak syadz, artinya hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih kuat
atau dengan Al-qur’an.

Ulama hadits dari kalangan mutaqadimin (ulama hadits sampai abad ke-3 H) mengemukakan
persyaratan yang tertuju kepada kualitas dan kapasitas perawi sebagai berikut :

1. Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali yang berasal dari orang-orang yang
tsiqah.

2. Orang yang akan meriwayatkan hadits itu sangat memperhatikan ibadah shalatnya, perilaku
dan keadaan dirinya. Apabla shalat, prilaku dan keadaan orang itu tidak baik, riwayat haditsnya
tidak diterima.

3. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya
dan tidak mengerti hadits yang diriwayatkannya.

4. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.

Sedangkan kualitas rawi terbagi ke dalalm Sembilan tingkatan yaitu:

1. Perawi yang mencapai derajat yang paling tinggi baik mengenai keadilan maupun mengenai
Ske-dhabith-nya.

2. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajat ke-dhabith-an yang
menengah

3. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling tinggi dan derajajt ke-dhabith-an yang
paling rendah

4. Perawi yang derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabithan ynag paling tinggi

5. Perawi yang mencapai derajat menengah dalam keduanya.

6. Perawi ynag mencapai derajat keadilan yang menengah dan derajat ke-dhabith-an yang paling
rendah

7. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling renda dan derajat ke0dhabith-an yang
paling tinggi

8. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dan derajajt ke-dhabith-an yan
menengah

9. Perawi yang mencapai derajat keadilan yang paling rendah dalam hal keduanya.
Klaifikasi tersebut menunjukkan bahwa kualitas perawi merupakan factor yang sangat
berpengaruh dalam menetapkan kualitas suatu hadits.

C. Penerimaan dan Penyampaian Hadits (Al-Tahammul wa al-Ada’)

Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengarkan suatu periwayattan
hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits” dengan
istilah al-tahammul. Sedang “menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain”
mereka istilahkan dengan al-ada’.

1. Penerimaan hadits

Periwayatan anak-anak, orang kafir dan orang fasiq

Para muhaditsin memeprselisihkan tentang sah atau tidaknya anak yang belum dewasa, orang
yang masih dalam keadaan kekafiran dan rawy yang masih dalam keadan asiq ketikan menerima
hadits.Jumhur muhaditsin berpendapat bahwa seorang yang enerima hadits sewaktu masih
kanak-kanak atau masih dalam keadaan kafir atau dalam keadaan fasiq dapat diterima
periwayatannya, bila disampaikan setelah masing-masing dewasa, memeluk Islam, dan
bertaubat.

Alasan jumhur tentang anak yang belum dewasa, dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma’,
yakni seluruh umat Islam tidak ada yang membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan
riwayat-riwayat para sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa.banyahk para sahabat
yang menerima hadits sewaktu beliau masih kecil dan belum dewasa, seperti Al-Hasan, Al-
Husein, Ibnu ‘Abbas, Nu’man bin Basyir dan lain sebaginya.

Tetapi mereka memperselishkan batas minimal umur anak sebelum dewasa, yang dapt
dibenarkan dalam penerimaan riwayat. Menurut pendapat jumhur, batas umur minimal ialah 5
tahun. Sebab dari umur inilah anak mulai menginjak tamyiz, pada usia ini juga anak sudah
mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat apa yang dihafal.pendapat ini
didasarkan pada riwayat bukhari dari sahabat Mahmud bin Al-rubai:

“ saya ingat Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat
itu saya berusia lima tahun”.

Al-Hafizh Musa ibn Harun al-Hammal berpendapat bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan
oleh anak kecil dinilai sah bila ia sudah sanggup membedakan antara sapi dengan keledai.
Keabsahan anak ecil dalam mendengarkan hadits didasarkan pada adanya tamyiz, apabila
seorang anak telah memahami pembicaraan dan dapat memberikan jawaban, maka ia sudah
mumayyiz. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak mampu memberikan jawaban,
maka kegiatan mendengar hadits tidak sah, sekalipun usianya di atas lima tahun.
Abu Abdullah Al-Zuba’I mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadits pada
saat usia mereka telah mencapai 10 tahun. Sebab pada saat itu akal mereka sudah dianggap
sempurna, dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan
mengingat hafalannya, dan mulai menginjak dewasa .

Yahya bin Ma’in menetapkan usia 15 tahun, berdasarkan hadits Ibn Umar ujrnya:

“saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu perang Uhud, di saat itu say berumur 14
tahun, beliau tidak memperkenankan aku. Kemudian akau dihadapkan kepada Nabi SAW pada
waktu perang Khandaq. Di saat itu saya berumur 15 tahun, dan beliau memperkenankan aku.
(riwayat jama’ah Ahli Hadits).

Dalil yang dikemukakan oleh jumhur dalam menerima riwayat orang yang masih dalam keadaan
kafir, ialah hadits jubair bin Muth’im:

“bahwa ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada sembahyang magrib”

Jubair mendengar sabda Rasul SAW tersebut, ketika ia tiba di madinah untuk penyelesaian
urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan masih kafir, yang akhirnya ia memeluk Islam.

Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang fasiq dengan dalil qiyas “babul-aula”. Artinya, kalau
penerimaan riwayat orang kafir yang kemudian disampaikannya setelah memeluk agama Islam
dapat diterima, apalagi penerimaan orang fasiq yang disampaikan setelah taubat dan diakui
sebagai orang yang ‘adil, tentu lebih dapat diterima. Penerimaan riwayat orang gila yang
diriwayatkan setelah sehat, tidak dapat di terima, lantarandi waktu ia gila, hilanglah
kesadadrnnya, hingga tidak lagi dikatakan sebagai orang yang dhabith.

2. Metode-metode dalam Menerima Riwayat

Para ulama ahli hadits menggolongkan metode menerima (mentahammulkan) suatu riwayat
hadits menjadi delapan, yakni sebagai berikut:

a. Al-Sima’ (mendengar)

Yakni suatu cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya
dengan cara didektekan maupun bukan baik dari hafalannya maupun tulisannya.menurut jumhur
ulama hadits cara yang demikian ini merupakan cara penerimaan hadits yang paling tinggi
tingkatannya. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa al-sama’ yang dibarengi
dengan al-kitanah memepunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat, karena terjamin kebenarannya
dan terhindar dari kesalahan dan kelalaian disbanding dengan cara-cara yang lainnya, disamping
itu para sahabat juga menerima hadits dari nabi SAW dengan cara seperti ini.

Mengapa cara al-sama’ diberi status yang paling tinggi dalam periwayatan hadits oleh mayoritas
ulama hadits? Dalam hal ini, sedikitnya ada dua alasan pokok, yaitu:
1. Masyarakat pada masa itu masih menempatkan cara hafalan sebagai cara ynag terbaik dalam
menimba ilmu pengetahuan. Kemampuan seseorang di bidang hafalan menjadi orang itu
memiliki kedudukan yang tinggi dalam masnyarakat. Metode hafalan yang bersifat spontan
dihargai lebih tinggi dari pada hafalan melalui catatan. Dalam pada itu metode herbal lebih tinggi
dari pada nalar.

2. Ada hadits Nabi yng menyatakan:

“kalian mendengar (hadits dari saya), kemudian dari kalian hadits itu didengar oleh orang lain,
dari orang lain tersebut hadits yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi (hadits
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Abbas dan diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatimal-Raziy dari
Sabit bin ‘Abbas).

Hadits tersebut memeberikan isyarat bahwa periwayatan hadits yang secara diakui keabsahannya
oleh Nabi adalah cara al-sama’. Sabda Nabi tersebut memang relevan dengan kondisi umat Islam
pada zaman itu, yakni umat yang mengandalkan hafalan dalam menuntut ilmu.

Dalam hal al-sama’ baik kita melihat guru yang menyebutkan lafadh hadits ataupun dia duduk di
belakang tabir, asal saja kita kenal suaranya, atau diterangkan oleh kepercayaan bahwa yang
mendektekan itu benar guru yang di maksud.

Oleh karena mengingat bahwa konon para sahabat mendengar hadits dari ‘Aisyah r.a dan istri
Rasulullah SAW dari belakang tabir, dan kemudian meriwayatkannya berpedoman kepada suara
yang mereka dengar.

Abdu’l Ghany memperkuat alasan jumhur dengan mengemukakan Hadits Rasulullah SAW

“Bilal beradzan di malam hari; karenya kamu hendaklah makan dan minum sampai Ibnu Ummi-
Maktum membaca adzan”.(Bukhary-Muslim)

Jelaslah dari hadits ini, bahwa Rasul memerintahkan supaya berpedoman kepada suara orang
yang tidak Nampak dari penglihatan.

Hanya Syu’bah bin Al-hajjaj yang tidak menerima riwayat orang ynag hanya mendengar dari
suara, lantaran barang kali suara itu adalah suara setan. Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata:

“apabila seorang muhaddits menerangkan sesuatu Hadits kepada engkau sedangengkau tidak
melihat mukanya, maka janganlah engkau meriwayatkan hadits itu, arena boleh jadi dia adalah
setan yang merupakan dari dalam rupaahli hadits. Dai berkata “ diceritakan kepada kami dan
dikhabarkan kepada kami”

Pendapat ini dibantah oleh pendapat jumhur ulama diatas.

Lafadh-lafadh yang dipergunakan oleh rawy dalam meriwayatkan hadist dengan jalan al-sama’,
ialah:
(seseorang telah mengabarkan kepadaku/kami)

(seseorang telah bercerita kepadaku/kami)

(saya telah mendengar, kami elah mendengar).

(seseorang telah memberitakan kepada kami)

(seseorang telah berkata kepada kami)

(seseorang telah menuturkan kepada kami)

b. Qira’ah ‘ala-Syaikhi atau ‘Aradh Al-Qira’ah

Yaitu suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan gadis dihadapan
gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan
atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau
mengetahui tulisannya.

Riwayat melalui jalan ini dibolehkan (dibenarkan) dengan syarat guru itu seorang yang benar
menghafadh apa yang di baca di hadapannya atau memegang kitab yang menjadi asal bagi kitab
yang di baca oleh seseorang muridnya itu, atau kitab tersebut di pegang oleh seseorang lain yang
di beri kepercayaan. Misalnya, beberapa orang yang asing-masing memiliki satu naskah yang
telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca dihadapan guru. Imam
Ahmad mensyaratkan pembaca harus mengerti dan memahami bacaan itu. Imam al-Haramain
mensyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau
kesalahan, jika tidak, maka tahammulnya tidak sah.

Mayoritas ulama memperbolehkan metode ini, namun sebagian lainnya tidak. Sebagian ulama
menilai membaca dan mendengar dihadapan guru berada pada tingkat yang sama. Ada pula yang
menilai membaca lebih tinggi dari mendengar. Alasan mereka adalah bahwakadang-kadang
melakukan kesalahan dalam membacanya sendiri, dan tidak diliruskan. Mungkin karena
pendengar kurang mengerti atau karena kesalahan itu bertepatan dengan masalah yang
diperselisihkan diakalangan ulama. Namun mayoritas ulama mndahulukan metode sima’ dari
pada qira’ah. Seperti Al-Lais bin Sa’ad,Syu’ban, Ibnu Juraih, Sufyan Al-Tsauri, Abi Hanifah,
menganggap bahwa al-qira’ah lebih baik disbanding al-sama’ bila bacaan guru itu salah, murid
tidak leluasa menolak kesalahan, tetapi dalam al-qira’ah, bila bacaan murid salah guru akan
segera membenarkannya.

Apabila dilihat dari proses pemeriksaannya terhadap riwayat hadits yang diriwayatkan, maka
cara al-qira’ah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara al-
sama’. Karena dalam cara al-qira’ah, pemeriksaan riwayat hadits dilakukan oleh guru hadits
selaku penyampai riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Adapun untuk periwayatan hadits
dengan al-sama’, guru hadis menyampaikan riwayat hadis, sedang murid mendengarkan. Guru
tidak memriksa lebih lanjut hasil tangkapan murid. Jadi, pemeriksa terakhirdari guru terhadap
hafalan atau catatan murid tidak ada.

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampiakan hadits berdasarkan qira’ah ini, ialah:

(aku telah membaca dihadapannya)

(dibacakan oleh seseorang di hadapannya (guru) sedang aku mendengarkannya)

(telah mengabarkan/menceritakan padaku secara pembacaan dihadapannya)

c. Al-Ijazah

Yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadits dari padanya,
atau kitab-kitabnya. Pemberian izin ini dinyatakan dalan bentuk lisan dan tertulis.

Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan
hadits. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadits dengan menggunakan ijazah ini
dianggap bid’ah dan tidak perbolehkan dan bahkan ada sebagian ulama yang menambah bahwa
ijazah ini benar-benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini
menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang aa yang diijazahkakan
dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah
aslinya serta hendakna guru yang memberi ijazah itu benar-benar ahli ilmu, cerdas dan
mengetahui dengan baik bagaimana mendapatkannya serta berkenaan dengan hadits-hadits
tertentu yang tidak mengandung problemdalam sanadnya.

Imam Malik memakruhkan ijazah bagi yang tidak memiliki ketekunan dalam bidang itu. Tabi’in
dan generasi sesudahnya tidak memberikan ijazah kecuali kepada ahli ilmu yang berstatus tsiqah
dan memang ahli dalam bidang itu, dan pada mereka yang mengetahui ketinggian status
menerimanya. Namun ulama muta’akhirin menempuh cara yang longgar, bahkan gegabah dalam
masalah ijazah, sehingga membuat para siswa justru tidak terlalau bersemangat untuk mendengar
secara utuh kitab-kitab dari pada haizh dan penulisnya.

Menurut Drs Fathur Rahman dalam bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadits Ijazah itu mempunyai
3 type, yakni:

1. Ijazah fi mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatuyang tertentu kepada orang yang
tertentu), misalnya:

“aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab fulan dari saya” ijazah semacam ini
paling tinggi nilainya.
2. Ijazah fighairi ma’ayyanin li mu’ayyanin (ijin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu
kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:

“kuijazahkan kepada mu seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”

3. Ijazah ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:

“kuijazahkan kepada kamu seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”

Sebagian ulama, termasul Al-Khatib dan Abut-Thayyib membolehkan ijazah type ini.

Prof. Dr.Hasbi Ash Shiddiqy menambahkan macam-macam ijazah, yakni :

4. Ijazah Mu’aiyan bi Manjul, atau ijazah Manjul Mu’aiyan, yakni mengijazahkan kepada orang
yang tertentu kitab-kitab yang ditentukan, missal:

“aku ijazahkan kepada engkau sebagian hadits-hadits yang aku riwayatkan”

Adapun ijazah ini ialah mengijazahkan kepada orang yang tidak tertentu, kitab yang tertentu,
seperti ia katakkan” aku telah ijazahkan kepada Muhamma, shahih Muslim”, dia tidak
menerangkan Muhammad mana yang dikehendakinya. Maka ijazah ynag semacam ini, bathal,
tidak dapat diterima.

5. Izajah kepada orang yang belum ada, seperti ia katakana:

“aku ijazahkan kepada anak yang akan dilahirkan bagi sifulan”

Para ulama berselisih tentang ijazah semacam ini.

Al-Khatibmembolehkan, beliau mengatakan, bahwa As-hab Malik dan Abu Hanifah


membolehkan kita memberi waqaf kepada orang yang belum ada. Al-Qadli Abuth Thaiyib dan
Ibnush Shabbagh tidak membolehkan. An Nawawy dan kebanyakan muhaditsin membolehkan
ijazah bagi orang yang belum ada,jka ijazah itu telah mnegikuti orang yang telah ada, seperti
dikatakan: “Aku ijazahkan kepada engkaku dan kepada anak engkau yang akan dilahirkan”

6. Mengijazahkan apa yang dia sendiri tidak menerimanya dari seorang pun, baik secara sama’,
ataupun secara ijazah, seperti ia katakan; “ sayaijazahkan kepada si fulan Shahih Bukhari”.
Padahal ia tidak pernah mempelajari shahih Bukhari. Macam ini tidak dibenarkan oleh
muhaqqiqien. Hal ini sama dengan kita memberi izin kepada orang untuk menjual apa yang tidak
kita miliki.

7. Ijazatul Mujaaz, yakni mengijazahkan apa yang kita terima secaraijazah, seperti kita berkata “
aku ijazahkan kepada engkau segala apa yang telah diijazahkan kepadakumeriwayatkannya”.

Para ulama berselisih paham tentang macam ini.


Al Hafidh Abul Bakarat ‘Abdul Wahab Ibnul Mubarak Al Amidi tidak membenarkan. Jumhur
memperbolehkan hal yang tersebut.

Lafadh yang dipakai dalam ijazah, ialah: “aku ijazahkan dia, atau aku ijazahkan kepadanya”

d. Al-Munawalah

Yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah
dikoreksi untuk diriwayatkan. Munawalah dalam istilah, ialah:

“seorang guru memberi kepada seorang murid, kita asli yang didengar dari gurunya, atau suatu
tulisan yang sudah dicontohkan seraya ia berkata: “inilah hadits-haditsyang aku telah dengar dari
sifulan, maka riwaytkanlah dia dari pada ku dan aku telah ijazahkan kepada engkau
meriwayatkannya” .

Munawalah mempunyai 2 type, yakni:

1.Al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah misalnya eorang guru menyerahkan kitab-kitab
asli atau salinannya, lalu mengatakan: “riwayatkanlah dari saya ini. Atau naskah yang dibacakan
murid dihadapan sang guru,lalu dikatakan: “itu adalah periwayatan saya karenanya
riwayatkanlah”.

Periwayatan berdasarkan ini diperbolehkan dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya
adalah ijma’, statusnya paling tinggi,karenanya tidak diragukakn untuk mengamalkan. Hadits
yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi: (seseorang telah
memberitahukan kepadaku/kami). Lafadh yang digunakan untuk memberikan munawalah
berbareng dengan ijazah:

“ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah”.

2. Tidak dibarengi oleh ijazah. Yakni ketika naskah asli atau turunannya diberikan kepada
muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar dari siulan, tanpa diikuti dengan
suatu perintah untuk meriwayatkannya.

Menurut Ibnu Shalah dan An-Nawawy, meriwayatkan dengan cara ini tidak dianggap sah oleh
para ahli ushul dan ahli fiqh, menurutnya munawalah lebih rendah derajatnya dari pada sama’
dan qira’at. Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah biasanya menggunakan redaksi:
(seseorang telah memberikan kepadaku/kami). Lafadh yang digunakan untuk memberikkan
munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah, ialah:

“ini adalah hasil pemdengaranku atau berasal dari periwayatanku”.

Diucapan bersama-sama dengan memberikan naskah atau salinan kepada muridnya.

e. Al-Mukatabah
Yakni seorang guru yang menulis dengan tangannya sendiri atau meyuruh orang lain menulis
beberapa hadits yang ada dihadapannya atau di tempat lian dengan jalan dikirimi surat melalui
orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.

mukatabah terbagi atas 2 bagian:

1.Al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah. Yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa
hadits untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ ini adalah hasil
periwayatankku, maka riwayatikanlah”. Conto dari mukatabah yang dibarengi dengan ijazah,
seperti:

“kuizinkan apa-apa yang telah kutulis kepadamu”.

Hukum mukatabah bersana ijazah ini sah, dan mempunyai martabat yang kuat seperti
munawalah yang bersama dengan ijazah.

2. Almukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan hadits untuk
diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkannya atau
mengijazahkan.

Aal-mukaktabah bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama. Tidak sedikit ulama syafi’iyah an
ulama usul mnganggap sah periwayatan dengan cara ini. Karena Nabi sendiri pernah mengirim
surat kepada egawainya, menerangkan hukum-hukum yang diperlakukan. Sedangkan Al-
Mawardi menganggap tidak sah.

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk meriwayatkan hadits berdasar mukatabah, ialah:

(seseoang telah bercerita padaku dengan surat menyurat)

(seseorang telah mengabarkan kepadaku dengan melalui Surat)

(seseorang telah menulis padaku).

f. Al-Wijadah

Yakni memperoleh hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadh sama’,
qira’ah maupun selainnya. Menurut istilah al-wijadah:

“ seseorang perawi memperoleh beberapa hadits yang telah ditulis oleh perawinya. Tetapi, ia
tidak meriwayatkan hadits itu dari pada si penulisnya, baik dengan jalan sama’, ataupun ijazah,
baik yang mendapat itu semasa dengan penulisnya atau tidak, baik ada dijumpai atau tidak, dan
baik ada diriwayatkan hadits-haditsyang lain dari padanya, atau tidak.”

Para ulama memperselisihkan faham tentang mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan
wijadah ini. Para muhaditsien besar dan ulama-ulama Malikiyah tidak memperkenankannya. Asy
Syafi’I memperbolrhkan. Sedang sebagian uhaqqiqin mewjibkan mengamalkannya bila
berkeyakinan sungguh-sungguh atas kebenarannya. Ibnu katsier burhujjah untuk beramal dengan
wijadah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Al Hakim,dll, bahwa Nabi bersabda:

“suatu kaum akan datang sesudahmu, mereka mendapatkan lembaran-lembaran kitab, maka
mereka mengimaninya da mengamalkan isinya, mereka lebih besar pahalanya dari pada kamu”.
(H.R Al Hasan ibn ‘Arafah)

Dalam shahih Muslim terdapat tiga hadits yang diriwayatka dengan jalan wijadah.

Pertama, hadits ‘Aisyah r.a

“Rasulullah mengawini aku diwaktu aku berumur enam tahun.

Kedua, hadits ‘Aisyah r.a

“Rasulullah berkata kepadaku:’ sesungguhnya akau mengetahui apabila engkau dalam bersenang
hati terhadap diriku”.

Ketiga, hadits ‘Asyah pula

“sesengguhnya Rasulullah benar-benar ingin tahu dalalm masa sakitnya, karena beliau harus
kembali seraya berkata: “dimana aku hari ini, dan dimana aku esok hari”

Lafadh-lafadh yang digunakan dalam menyampaikan hadits yang berdasar pada wijadah,ialah :

(saya telah membaca khoth (tulisan) si fulan)

(kudapati khath seseorang, bercerita padaku si-Fulan…)

Setelah itu barulah ia menyebut sanad, jika ia telah yakin tulisan gurunya.

Jika masih meragukannya, hendaklah ia katakan:

“saya sangka bahwasannya kitab itu ditulis dengan khath si fulan”. Atau

(telah sampai kepadaku dari si fulan).

Jika kita dapati sesuatu hadits dalam karangan seseorang perawi,akan tetapi kitab tersebut bukan
ditulis oleh perawi sendiri, maka ketika kita riwayatkan haditsnya kita katakana : (telah berkata
si fulan). Kalau kita ragu, hendaklah kita katakan perkataan yang memberi peringatan tentang
keraguan itu, seprti kita katakana:

“say abaca di kitab yang menurut khabar si fulan bahwasannya kitab itu susunan si anu”.
g. Al-Washiyah

Yakni seorang guru berwasiat sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya
diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan darinya. Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadits
yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini. Tetapi ulama jumhur tidak membolehkannya, bila yang menerima
wasiat tidak mempunyai ijazah dari pewashiatnya, dan menganggapnya lemah.

Menurut uruf ahli hadits wahiyah ialah:

“seorang syaikh diketika mau bersafar, atau diketika ia hampir wafat berwasiat kepada seseorang tentang
sesuatu kitab yang diriwayaytkan oleh Syaikh ini”.

Lafadh yang di pakai untuk menyampaikan hadits berdasar whasiyat:

“seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu: “telah bercerita
padamu si-fulan….

h. I’lam

Yakni seorang guru meberitahukan kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah
riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seeorang, dengan tidak mengatakan menyuruh agar si murid
meriwayatkannya.

Hadits yang berdasarkan I’lam ini, tidak boleh, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru telah
mengetahui bahwa dalam hadits tersebut terdapat kecacatan. sedangkan kebanyakakn ulama ahli hadits
memperbolehkannya.

Lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang diterima berdasar I’lam ini seperti:

“seseorang telah memberitahukan kepadaku, ujrnya, telah berkata padaku…”

Metode ini adalah metode tahammul yang paling lemah.

3. Penyampaian hadits (al-ada’ hadits)

Karena perbedaan cara-cara rawy menerima hadits dari guru yang memberikan, maka berbeda pulalah
laadh-lafadh yang dipakai untuk menympaikan hadits. Perbedaan lafadh ini mengakibatkan perbadaan
nilai suatu hadits.

Lafadh-lafadh untuk menyampaikan hadits itu ada dua kelompok, yakni:

Pertama, lafadh meriwayatkan hadits bagi para rawy yang mendengar langsung dari gurunya. Lafadhnya:

Saya telah mendengar…………, kami telah mendengar………

Lafadh ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkannya tinggi martabatnya, lantaran rawy-rawynya pada
mendengar sendiri, bak berhadapan muka enga guru yang memberikannya atau dibelakang tabir.
Kemudian

Seseorang telah bercerita kepadaku……seseorang telah bercerita pada kami…….


Lafadh-lafadh tahdits ini, oleh jumhur ulama kadang-kadang dirumuskan dengan:

Dibawah tahdits:

Seseorang telah mengabarkan kepadaku/kepada kami……………..

Lafadh-lafadh ikhbar ini oleh para muhadditsin dirumuskan dengan

Asy Syafi’I dan ulama timur, mebedakan lafadh haddatsana dengan akhbarana, ialah kalau lafadh
haddasana itu untuk rawy yang mendengar langsung dari sang guru, sedang lafadh akhbarana untuk rawy
yang membaca atau menghafal hadits di hadapan guru, kemudian sang guru meng-ia-kan.

Lalu

Seseorang memberitahukan kepadaku/kami…..

Kedua lafadh ini sdikit sekali pemekaiannya.

Terakir

Seseorang telah berkata kepadaku/kami…

Seseoang telah menuturkan kepadaku/kami..

Disamping lafadh diatas kadang kita jumpai rumus-rumus sebagai berikut

: menurut muhadditsin,juga imam Nawawy, bahwa rumus itu untuk satu sanad atau lebih.rumus ha adalah
singkatan dari tahawwul (beralih). Golongan yang lain berpendapat, bahwa rumus itu adalah ringkasan
dari lafadh shahha (shahih), dan ada pula yang berpendapat bahwa lafadh itu adalah ringkasan dari lafal
Al-hadits yang berarti seterusnya, seperti lafal al-ayah jika menulis Al-qur’an yang tidak diselesaikan
ayaytnya.

Kedua lafadh riwayat bagi rawy yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mmendengar sendiri yaitu:

Diriwayatkkan oleh…., dihikayatkan….. dari………..bahwasannya…..

Hidits yang diriwayatkan dengan shighat tamridl ini tidak dapat untuk menetapkan bahwa Nabi benar-
benar menyabdakan, kecuali dengan adanya qarinah yang lain.

Ruzi Rahmawati di 03.14

Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka
mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula,
para ulama hadits amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang
rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama
hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki.
Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu
hadits atau berita tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa
kini.

Syarat-Syarat Diterimanya Rawi

Jumhur dari imam hadits maupun fiqh sepakat bahwa terdapat dua syarat pokok perawi hadits:

Pertama, keadilan. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu harus seorang muslim, baligh, berakal,
selamat dari sebab-sebab kefasikan, selamat dari cemarnya muru’ah (sopan santun).

Kedua, dlabith. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu tidak menyelisihi dengan rawi tsiqah,
hafalannya tidak buruk, tidak parah kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaannya.

Dengan Apa Keadilan Dipastikan?

Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal:

Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari
mereka menetapkan keadilannya.

Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu
dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh
imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i.

Pendapat Ibnu Abdil Barr dalam Menetapkan Keadilan

Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal perhatiannya terhadap
ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil hingga jelas (dijumpai adanya) jarh (cacat). Beliau
beragumen dengan dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar
dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang
yang bodoh.” (HR. Ibnu ‘Adi dalam kitab Al-Kamil)

Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak
bisa men-shahih-kannya sebab makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru
ada juga orang-orang yang tidak adil mengembannya.

Bagaimana mengetahui rawi yang dlabith?

Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika
riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak
rusak meskipun ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari riwayatnya itu
menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Apakah Jarh dan Ta’dil itu Dapat Diterima Tanpa Penjelasan?


Pertama, mengenai ta’dil, dapat diterima walaupun tidak disebutkan sebab-sebabnya. Ini menurut
pendapat yang shahih dan popular. Karena penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya.
Jika itu diperlukan, maka seorang mu’adil (yang menetapkan keadilan seseorang) akan mengatakan, “lam
yaf al kadza (dia tidak melakukan hal itu), lam yartakibu kadza (dia tidak terjerumus dalam perbuatan
itu). Atau mengatakan, huwa yaf’alu kadza (dia melakukan hal itu), wa yaf’alu kadza wa kadza (dia
melakukan hal itu dan hal itu).”

Kedua, mengenai jarh, tidak diterima kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya karena tidak sulit
untuk dijelaskan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab-sebab jarh. Kadangkala seseorang men-
jarh dengan sesuatu yang tidak masuk kategori jarh. Ibnu Shalah berkata, “Hal ini sudah jelas menjadi
keputusan dalam ilmu fiqh dan ushul. Imam Al-Hafidz Al-Khatib menyebutkan bahwa itu merupakan
pendapat para imam huffadz hadits. Tetapi, Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya mengkritik hal itu. Oleh
karena itu, Bukhari tetap beargumen dengan sekelompok orang (generasi terdahulu yang terkena
jarh─tetapi bukan ditetapkan oleh dirinya), seperti Ikrimah dan Amru bin Marzuq. Begitu pula yang
dilakukan Muslim terhadap Suwaid bin Sa’id dan sekelompok orang yang dikenal cacat. Hal yang sama
dilakukan oleh Abu Daud. Ini menunjukkan bahwa jarh tidak bisa ditetapkan kecuali jika disertai
penjelasan mengenai penyebab (jarh)-nya.”

Apakah Jarh dan Ta’dil Bisa Dengan Ketetapan Seorang Saja?

Pendapatnyang benar adalah bahwa jarh dan ta’dil bisa diterapkan oleh satu orang. Ada pula yang
berpendapat bahwa hal itu harus dua orang.

Terhimpunnya Jarh dan Ta’dil Pada Seorang Rawi

Apabila dalam diri seorang rawi terhimpun jarh dan ta’dil, maka:

Pertama, yang dijadikan sandaran adalah jarh-nya, jika jarh-nya disebutkan.

Kedua, ada juga yang berpendapat jika lebih banyak jumlah orang yang men-ta’dil-nya dibandingkan
dengan yang men-jarh-nya, maka didahulukan ta’dil-nya. Ini pendapat yang lemah, tidak bisa dijadikan
sebagai sandaran.

Hukum Riwayat Orang yang Adil Dari Seseorang

Riwayat orang (rawi) yang adil dari seseorang, tidak dianggap sebagai pen-ta’dil-annya terhadap orang
itu. Ini pendapat mayoritas, dan ini pendapat yang benar. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang
itu di-ta’dil-kan.

Perbuatan orang-orang alim dan fatwa-fatwanya yang sesuai dengan hadits tidak bisa dihukumi sebagai
shahih. Dan pertentangannya tidak bisa dijadikan sebagai cela atas ke-shahih-annya maupun riwayatnya.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hal itu justru menunjukkan ke-shahih-annya. Ini merupakan
pendapat Al-Amidi dan yang lainnya dari kalangan ahli ushul.

Hukum Riwayat Orang yang Telah Bertaubat dari Sifat-Sifat Fasik


Riwayat dari orang fasik yang sudah bertaubat dapat diterima.

Riwayat orang yang bertaubat dari perbuatan dusta terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak dapat diterima.

Hukum Riwayat Orang yang Mengambil Upah

Sebagian berpendapat tidak bisa diterima. Ini pendapat Ahmad, Ishak, dan Abi Hatim.

Sebagian lain berpendapat bisa diterima. Ini pendapat Abu Nu’aim Al-Fadl bin Dzukain.

Abu Ishak as-Syaizari berpendapat, bagi orang yang kesulitan memperoleh penghidupan untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya karena kesibukannya dalam mencari hadits, dibolehkan mengambil
upah.

Hukum Riwayat Orang yang Dikenal Menggampangkan atau Menerima Talqin, atau Banyak Lupa

Pertama, riwayat orang yang menggampangkan dalam mendengar maupun mendengarkan tidak bisa
diterima seperti tidak memperhatikan tatkala mendengar hadits karena tertidur, atau menceritakan hadits
dari sumbernya tanpa melakukan pengecekan.

Kedua, riwayat orang yang dikenal menerima talqin dalam hadits tidak bisa diterima, yaitu orang yang
mengajarkan hadits dari orang yang tidak tahu bahwa itu merupakan haditsnya.

Ketiga, tidak menerima riwayat dari orang yang dikenal banyak lupa dalam periwayatan.

Hukum Riwayat Orang yang Menyampaikan Hadits lalu Lupa

Definisi orang yang menyampaikan hadits lalu lupa, yaitu jika seseorang syaikh tidak ingat terhadap
riwayat yang diceritakan muridnya, dan riwayat itu ternyata darinya.

Hukum riwayatnya:

Ditolak, jika peniadaannya bersifat pasti, karena adanya perkataannya, “ma rawituhu (aku tidak
meriwayatkannya),” atau “huwa yakdzibu ‘alayya (dia berdusta terhadapku),” dan sejenisnya.

Diterima, jika peniadaannya bersifat tidak pasti, seperti perkataan, “la a’rifu (aku tidak tahu),” atau “la
adzkuruhu (aku tidak ingat),” dan sejenisnya.

Apakah penolakan suatu hadits dapat dianggap cacat terhadap salah satu dari keduanya? Penolakan dari
suatu hadits tidak dianggap sebagai cacat terhadap salah satu dari keduanya, sebab salah satu dari
keduanya lebih parah cacatnya dibandingkan yang lainnya.

Contoh: Hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang merupakan riwayat dari Rabi’ah bin
Abi Abdurrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan (dengan hanya berlandaskan pada) sumpah dan seorang
saksi. Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi berkata, “Telah bercerita kepadu Rabi’ah bin Abi
Abdurrahman dari Suhail. Lalu aku berjumpa dengan Suhail. Aku bertanya kepadanya mengenai (rantai
hadits tersebut) yang berasal darinya, namun dia tidak mengetahuinya. Maka aku berkata, “Telah
bercerita kepadaku dari Rabi’ah, dari engkau, begini….dan begini….” Setelah itu, Suhail berkata, “Telah
bercerita kepadaku Abdul Aziz dari Rabi’ah dari aku bahwasanya aku menceritakan hadits dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ begini….begini…”

Kitab popular yaitu Akhbar man Haddatsa wa Nasiya, karya Al-Khathib.

Daftar Pustaka

Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah

Anda mungkin juga menyukai