ANTROPOLOGI BUDAYA 1
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 2
`
Kata Pengantar
ANTROPOLOGI BUDAYA 3
`
Achmad Hidir
ANTROPOLOGI BUDAYA 4
`
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan ............................................................................... 1
B. Pergulatan Manusia dan Alam .................................................... 3
C. Evolusi Organik Sebagai Sarana Melestarikan Hidup ................ 8
D. Evolusi Organik Pada Manusia................................................. 12
E. Evolusi Organik Manusia Ke Arah Kemampuan Berperila-
ku Budaya ................................................................................ 17
F. Rekonstruksi Paleoantropologi Mengenai Evolusi Orga –
nik Manusia Ke Arah Struktur Yang Berpotensi Kultural......... 22
G. Rangkuman ............................................................................... 27
H. Latihan ....................................................................................... 28
I. Tugas........................................................................................... 28
ANTROPOLOGI BUDAYA 5
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 6
`
G. Latihan..................................................................................... 102
H. Tugas ...................................................................................... 102
ANTROPOLOGI BUDAYA 7
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 8
`
DAFTAR TABEL
ANTROPOLOGI BUDAYA 9
`
DAFTAR GAMBAR
BAB I
ANTROPOLOGI BUDAYA 10
`
A. Pendahuluan.
1. Kompetensi Dasar
2. Kompetensi Khusus
ANTROPOLOGI BUDAYA 11
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 12
`
masing bahasan tidak mungkin lepas dan steril dari sub bahasan
lainnya. Sebagai contoh misalnya; bila kita membicarakan
lingkungan selalu terkait di dalamnya konteks adaptasi,
sebaliknya bila membicarakan adaptasi selalu terkait di dalamnya
dengan budaya dan demikian seterusnya. Oleh karena kesulitan
itu, maka mungkin satu kelemahan dari kajian ini adalah akan
sering terjadinya overlapping antar sub bahasan dan itu memang
sulit dihindari.
Kendatipun demikian, penulis mencoba semaksimal
mungkin untuk memilah-milah dan memilih-milih sub-sub
bahasan secara terpisah-pisah untuk menghindari keterjebakan
sebagaimana dikuatirkan sejak awal. Dengan demikian
diharapkan kekurangan ini dapatlah sedikit tertutupi.
ANTROPOLOGI BUDAYA 13
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 14
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 15
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 16
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 17
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 18
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 19
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 20
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 21
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 22
`
peristiwa seleksi alam. Ini berarti pula bahwa jenis manusia kini
(yang di dalam bahasa ilmiahnya disebut Homo sapiens) itu
memiliki bentuk dan kelengkapan jasmaniah yang sedikit
banyak berbeda dari bentuk dan kelengkapan jasmaniah
moyangnya yang hidup di zaman purba ratusan juta tahun
yang lalu.
Penelitian-penelitian yang dilakukan lewat penggalian-
penggalian fosil (tulang-tulang purba yang telah membantu)
memang menunjukkan dan memperkuat dugaan bahwa jasmani
jenis-jenis manusia purba itu dalam berbagai kelengkapannya
memang berbeda bentuk dari apa yang dipunyai oleh Homo
sapiens. Itulah sebabnya mengapa di dalam dunia ilmu
pengetahuan jenis-jenis manusia purba (yang berkemungkinan
besar memang berkedudukan sebagai moyang langsung Homo
sapiens) itu disebut dengan nama jenis lain. Ada yang disebut
Homo neanderthalensis, ada yang dinamakan Homo ereclis, dan
adapula yang dikenali dengan nama Homo habilis.
Sementara itu, dengan mendasarkan juga kepada teori
evolusi, para sarjana memandang bahwa jenis-jenis Homo ini
diturunkan dari jenis-jenis mahluk manusiawi purba yang lain
yang -- karena jarak serta garis evolusinya lebih panjang dan
lebih jauh lagi memasuki masa yang lebih purba -- bentuk
jasmaninya tentunya lebih berbeda lagi dari bentuk-bentuk
kelengkapan jasmaniah Homo sapiens atau jenis-jenis Homo
yang lain. Demikian berbeda dari bentuk lahiriah jenis-jenis
Homo ini, sehingga mahluk purba yang fosilnya juga
diketemukan dan diteliti ini oleh dunia ilmu pengetahuan
secara pasti telah digolongkan ke dalam bilangan mahluk
manusiawi yang bernama genus lain, ialah genus
Australopithecus, (Pithecus artinya kera).
Kemiripan berbagai aspek, kelengkapan, dan bentuk
jasmani antara manusia dan kera telah mengundang berbagai
dugaan spekulatif bahwa garis evolusi manusia dan garis
evolusi kera itu mungkin sekali bisa dipulangkan kembali ke
satu titik asal moyang yang sama di zaman yang sangat purba,
jauh lebih purba dari zaman kehidupan genus-genus
Australopithecus. Penggalian-penggalian ilmiah memang telah
menemukan fosil-fosil kera purba dari lapisan tanah yang diduga
mengandung sisa-sisa kehidupan dari zaman 10 -20 juta tahun
ANTROPOLOGI BUDAYA 23
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 24
`
mampu memuat otak sebesar 1.400 cc, adalah juga suatu bagian
studi yang menarik.
Seperti halnya dengan apa yang dapat disimpulkan dari
studi-studi evolusi yang lain, studi evolusi manusiapun
menyimpulkan bagaimana besarnya kemungkinan evolusi
organik manusia meningkatkan kemampuan manusia untuk
beradaptasi dengan lingkungan sekitar, yang serba berubah.
Evolusi tulang kaki dan tulang pinggul manusia, misalnya
telah memungkinkan manusia purba beradaptasi ke lingkungan
hidup yang telah berubah dari hutan-hutan ke daratan-daratan
savana yang luas. Evolusi otak (ke arah struktur yang
memungkinkan berbagai variasi perilaku yang bersifat selektif
dan bersengaja) dan evolusi struktur tangan (khususnya ibu jari,
yang memungkinkan berbagai variasi bentuk pegangan dan
genggaman) adalah misal lain yang menarik untuk disebutkan.
Evolusi ke dua bagian tubuh ini telah memungkinkan
manusia membuat dan menggunakan senjata, hingga dengan
demikian telah memungkinkan manusia beradaptasi ke
lingkungan kehidupan yang telah berubah dari kehidupan
negatif (memakan tanaman) di daerah berhutanan ke kehidupan
predator (berburu memakan daging) di daerah savana. Peralihan
ini telah menyebabkan manusia menjadi tergolong pada omnivora
(pemakan segalanya).
Evolusi otak, tangan, pinggul, dan kaki yang disebutkan
di atas itu konon berlangsung pada zaman pra-Australopithecus.
Evolusi-evolusi itulah justru yang menghasilkan jenis-jenis yang
bercorak manusiawi dari corak-corak yang semula sangat
berkemiripan kera (purba). Namun ini tidaklah berarti bahwa
evolusi yang terjadi sepanjang kehidupan manusia-manusia
yang bergenus Homo itu tidak ada. Sebagai contoh, dapat
disebutkan bagaimana manusia berevolusi dari mahluk purba
yang berbulu ke mahluk modern dari yang sangat hitam ke yang
sangat putih. Diakibatkan oleh mutasi-mutasi, anak keturunan
manusia purba telah menjurus ke arah penjadian golongan-
golongan ras yang berbeda-beda dalam hal warna kulitnya.
Warna kulit itu sesungguhnya ditentukan oleh jumlah dan
rapatnya letak butir-butir sel berwarna (pigment) di dalam kulit.
Butir-butir sel berwarna ini disebut melanin. Makin besar
jumlah melanin, dan makin rapat letaknya di bawah jaringan
ANTROPOLOGI BUDAYA 25
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 26
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 27
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 28
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 29
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 30
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 31
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 32
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 33
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 34
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 35
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 36
`
G. Rangkuman
ANTROPOLOGI BUDAYA 37
`
H. Latihan
I. Tugas.
BAB II
DINAMIKA KEBUDAYAAN
ANTROPOLOGI BUDAYA 38
`
1. Kompetensi Dasar
2. Kompetensi Khusus
ANTROPOLOGI BUDAYA 39
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 40
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 41
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 42
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 43
`
BUDAYA
NORMA
ETIKA
NILAI
ADAT ISTIADAT
TRADISI
KEBIASAAN
ANTROPOLOGI BUDAYA 44
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 45
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 46
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 47
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 48
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 49
`
C. Wujud Kebudayaan.
ANTROPOLOGI BUDAYA 50
`
Budaya Materi
Overt Culture
2 Sistem Sosial
System
Keterangan:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas dari;
ide-ide gagasan, nilai, norma, peraturan dan
sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleksitas
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.
Ad.1. Wujud pertama adalah ideal dan sifatnya abstrak, tidak
dapat diraba. Wujud pertama ini tersimpan di dalam
kepala manusia pendukung suatu budaya tertentu dan
dapat diwujudkan dalam perkataan, tindakan dan
perilaku manusia dalam berinteraksi. Oleh sebab itu
kebudayaan ini ideal dan disebut adat-istiadat.
Kebudayaan dalam wujud yang pertama ini juga
dapat berfungsi sebagai tata kelakuan yang
mengatur, mengendali dan memberikan petunjuk
arah dalam suatu sistem sosial.
ANTROPOLOGI BUDAYA 51
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 52
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 53
`
lain itu tidak lebih dari sikap etnosentrisme yang berlebihan dari
pendukung suatu budaya tertentu terhadap budaya lain di luar
kebudayaan miliknya.
Kebudayaan dalam kajian tingkah lakupun, memiliki sisi
relatifitasnya. Ini artinya, tidak ada masyarakat pendukung satu
kebudayaan yang benar-benar sempurna atau sebaliknya. Karena
setiap nilai, kebiasaan, norma, dan perilaku budaya untuk masing-
masing budaya --- apapun budayanya --- memiliki sisi positif (+)
dan juga negaitf (-). Contoh misalnya : A dan B adalah sama-sama
orang Jawa, tetapi A dinilai sebagai orang yang baik, dan B sebagai
orang yang jahat dan mereka sebenarnya sama-sama orang Jawa.
Demikian pula stereotype sifat cerdik dan pelit misalnya, bukanlah
hanya milik komunitas Minangkabau saja atau sifat keras dan kasar
juga bukanlah milik komunitas Batak saja. Atau sifat rajin dan
jorok misalnya, bukanlah milik komunitas jawa saja, demikian juga
sifat materialistis bukanlah sifat komunitas Sunda saja. Tetapi sifat-
sifat (yang positif dan negatif) itu akan ada dalam setiap komunitas
budaya. Munculnya penilaian tentang hal-hal yang negatif itu selalu
muncul dari sikap stereotype oleh mereka yang berasal dari luar
budayanya.
Tetapi sebenarnya dalam setiap budaya pastilah ada yang memiliki
sifat-sifat seperti itu, dan juga setiap budaya pastilah juga memiliki
sifat-sifat yang positif dari komunitasnya. Perbedaan itu semua
menurut Wallace disebabkan adanya diversity (keragaman) yang
dipengaruhi oleh minat, kepentingan, dan proses sosialisasi yang
berbeda-beda. Dan kebudayaan hanyalah berfungsi mengatur
keanekaragaman tersebut untuk menyatupadukan. Dengan adanya
keragaman itu maka diperlukan kategorisasi berdasarkan
pengalaman dan obyek yang dilihat, misal ada kakak, adik,
tetangga, musuh dan sebagainya, sehingga memudahkan
pengaturan tingkah laku individu berperilaku.
Secara keseluruhan hal-hal itu merupakan proses berkebudayaan,
yang dalam perkembangan selanjutnya dikenali sebagai peradaban
masyarakat, seperti diringkaskan di bawah ini.
ANTROPOLOGI BUDAYA 54
`
Tabel 2.1
Kandungan Kebudayaan Secara Rinci
Substansi Fisik, Simbul,
Produk, Material,
Artefak
Etika Nilai, Baik, Benar,
Moral, Norma
Estetika Seni, Elok, Indah, Budaya Peradaban
Bagus, Molek, (Culture Civilization)
Cantik
Fungsi Guna, Manfaat,
Pengaruh, Dampak,
Akibat
ANTROPOLOGI BUDAYA 55
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 56
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 57
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 58
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 59
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 60
`
1. Faktor Intern.
2. Faktor Ekstern.
ANTROPOLOGI BUDAYA 61
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 62
`
E. Rangkuman
ANTROPOLOGI BUDAYA 63
`
F. Latihan
G. Tugas.
BAB III
ANTROPOLOGI BUDAYA 64
`
1. Kompetensi Dasar
2. Kompetensi Khusus
ANTROPOLOGI BUDAYA 65
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 66
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 67
`
iklim, sinar matahari dan lain sebagainya. Ada bagian juga yang
disebut lingkungan hidup atau biome yang terdiri dari mahluk-
mahluk hidup dan seluruh interaksinya. Semua mahluk hidup itu
secara kolektif disebut komunitas, atau kemasyarakatan. Setiap
komunitas terdiri dari macam-macam jenis mahluk hidup. Jumlah
keseluruhan suatu jenis mahluk hidup yang tertentu itu disebut
dengan populasi.
Bertolak dari pandangan Tucker dan Moran di atas, maka
jelaslah bahwa ekosistem berkenaan dengan fungsi struktur dan
fungsi interrelasi kehidupan organisme dengan lingkungan fisik,
termasuk di dalamnya manusia sebagai mahluk biologis yang
beradaptasi dalam berevolusi. Tentu saja bahwa proses adaptasi
dalam melakukan evolusi dengan sendirinya membutuhkan ruang
dan waktu. Dengan demikian nyatalah bahwa interaksi manusia
dengan lingkungan-nya adalah pemahaman yang integral dari
konsep ekosistem. Sebagaimana dinyatakan oleh Hardesty, the
study of the relationship between humans and their environments
has been of interest to scholars for along time in anthropology
environment has been used to explain cultural origin and
diversity 37. Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia
dan lingkungan hidup begitu penting untuk dipelajari karena
masing-masingnya bersifat kontinum saling berinteraksi dan
saling mempengaruhi satu sama lain.
Selanjutnya suatu ekosistem sebenarnya dapat dibagi lagi
dalam beberapa sub ekosistem lainnya, misalnya; ekosistem bumi
yang kita huni ini terbagi ke dalam, sub ekosistem sungai,
ekosistem laut, ekosistem danau, ekosistem daratan dan lain
sebagainya. Bahkan untuk sub ekosistem daratan dapat
diperkecil lagi menjadi sub ekosistem hutan, sub ekosistem
belukar, sub ekosistem padang pasir dan seterusnya.
Dengan konsep ekosistem, manusia kemudian dapat
memandang unsur-unsur dalam lingkungan hidupnya tidak secara
sendiri-sendiri melainkan secara integral dengan komponen yang
berkaitan dengan sistem. Pendekatan ini disebut dengan
pendekatan sistem atau holistik38. Pendekatan sistem atau holistik
ini sebenarnya untuk menyerang kaum antroposentris, bagi kaum
antroposentris manusia dianggap sebagai mahluk penguasa di
muka bumi, ia seolah-olah berdiri di luar alam yang merupakan
ANTROPOLOGI BUDAYA 68
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 69
`
Ekosistem Sosio-Biogeofisik
Gambar 3.2. Model B
ANTROPOLOGI BUDAYA 70
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 71
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 72
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 73
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 74
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 75
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 76
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 77
`
Periode
Akhir 1990-an- Ekonomi
2000-an Ekologi
Tengah 1800-an
Akhir 1900-an Distribusi Alokasi
Skala, Enerji
Akhir 1990-an Neomarxis Neoklasik
NeoMalthusian
Gambar 3.3
Evolusi Paradigma Ekonomi
ANTROPOLOGI BUDAYA 78
`
D. Rangkuman.
Secara etimologis ekologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu Oikus dan logos. Oikus berarti rumah dan logos berarti
ilmu. Secara singkat ekologi diartikan; studi tentang hubungan
antara berbagai mahluk hidup serta lingkungan biotik dan fisik
yang melingkupi mereka melalui pertukaran kalori, materi dan
informasi.
Konsep antroposentris berarti pengelolaan lingkungan
hidup lebih menitik-beratkan pada ekologi manusia (human
ecology). Itu berarti bahwa tumbuhan, hewan dan unsur tak
bernyawa lainnya secara eksplisit selalu dihubungkan dengan
eksistensi manusia.
Konsep Ekosistem diartikan sebagai suatu sistem ekologi
yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup
dengan lingkungannya. Dalam perkembangan masalah
lingkungan muncul aliran enviromentalisme dan ekonomi
lingkungan. Pendekatan ekonomi lingkungan dilakukan dengan
mengoreksi unsur-unsur ekonomi yang menjadi penyebab
kerusakan ekosistem dan kemiskinan. Pendekatan ini
menselaraskan pembangunan ekonomi yang arif terhadap
lingkungan.
ANTROPOLOGI BUDAYA 79
`
E. Latihan
F. Tugas.
ANTROPOLOGI BUDAYA 80
`
BAB VI
PENDEKATAN TERHADAP
PERUBAHAN SOSIAL
1. Kompetensi Dasar
2. Kompetensi Khusus
ANTROPOLOGI BUDAYA 81
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 82
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 83
`
Gambar 6.1
Model Masyarakat Prismatik Fred Riggs
ANTROPOLOGI BUDAYA 84
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 85
`
satu bagian badan kita mendapat luka, seluruh bagian atau organ
lain atau bahkan seluruh tubuh kita akan merasakan pengaruhnya.
Tetapi tubuh kita, sebagaimana juga masyarakat, memiliki
mekanisme yang segera secara otomatis (lambat atau cepat sesuai
kadar luka itu) akan bekerja menutup atau memperbaiki bagian
yang terluka tersebut.
Para sosiologi dari kelompok ini melihat bahwa masing-
masing bagian yang mempunyai fungsi itu merupakan struktur
dari organisme atau badan kita itu. Jadi, untuk memahami suatu
struktur, kita perlu mencari atau menemukan dan mendefinisikan
fungsi dari bagian-bagian itu di dalam suatu masyarakat. Sebagai
contoh; upacara peusijuk di dalam masyarakat Aceh, atau upacara
penguburan orang mati di berbagai masyarakat seperti di Bali
(lihat Dananjaya, 1980) merupakan struktur yang memiliki fungsi
tertentu di dalam satu masyarakat.
Keterkaitan antara struktur dan fungsi inilah yang menjadi
model (pandangan) resmi dalam dunia sosiologi, terutama aliran
fungsionalisme. Aliran ini, melihat bahwa upaya yang terpenting
untuk memahami fungsi itu harus melihat suatu sel, organ, atau
bagian yang menjadi struktur di dalam suatu masyarakat tertentu.
Contoh di bawah ini mungkin dapat memperjelas pernyataan ini;
Memotong atau mengikir gigi (agar permukaan gigi
tersebut rata) bagi wanita dewasa di Bali dan di kalangan
masyarakat Batak (sampai beberapa waktu yang lalu) merupakan
sesuatu yang harus dilaksanakan dengan mengikuti prosesnya
secara tertib. Peristiwa ini pada umumnya, bahkan diiringi
upacara dengan pakem (skenario) tertentu. Betapapun, pengikiran
gigi itu amat sakit dan menyiksa. Tetapi, upacara itu sendiri besar
sekali artinya di dalam sistem kemasyarakatan mereka.
Pengikiran gigi merupakan suatu ritus kehidupan pertanda
kedewasaan bagi seorang wanita. Lewat upacara ini seorang
wanita diterima memasuki suatu kehidupan baru dengan suatu
tatanan hidup tertentu. Tanpa pengikiran gigi, seorang wanita
dewasa mungkin tidak diterima secara wajar di dalam lingkungan
sosialnya yang baru. Bagi yang bersangkutan disamping
memperindah pandangan atas giginya, upacara dapat memberikan
rasa kepuasan kepadanya, kerena ini dapat mereka rasakan untuk
meningkatkan rasa percaya diri, dan menghilangkan rasa was-was
ANTROPOLOGI BUDAYA 86
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 87
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 88
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 89
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 90
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 91
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 92
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 93
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 94
`
D. Rangkuman.
Untuk menganalisis perubahan sosial para penganut
fungsionalisme menganggap bahwa masyarakat itu laksana
organisme biologis. Artinya, setiap bagian (sel) dari organisme
itu mempunyai peran atau fungsinya sendiri-sendiri untuk
memelihara keutuhan dan kehidupannya. Bahkan, mereka sering
mengumpamakan masyarakat dengan semua kelengkapan organ
tubuh manusia. Masing-masing organ (bagian) saling berperan
dan saling menunjang fungsi setiap organ (bagian) itu. Jadi
perubahan yang satu akan berdampak pada perubahan yang lain
untuk mencapai titik keseimbangan (equilibrium).
Sementara para penganut model konflik dalam
memandang perubahan sosial, mereka tidak selalu yakin bahwa
masyarakat itu selalu harmonis dan seimbang. Sebaliknya mereka
melihat bahwa masyarakat itu mempunyai berbagai unsur yang
saling bertentangan yang dalam berbagai hal dapat menimbulkan
letupan-letupan yang mengganggu kestabilan masyarakat yang
bersangkutan. Akibatnya masyarakat senantiasa berubah dan
memiliki dinamikanya sendiri. Menurut model ini perubahan
adalah sesuatu yang imanen dalam masyarakat.
Penganut model interaksi simbolik dalam memandang
perubahan sosial berbeda pendapatnya dengan para pengikut
ANTROPOLOGI BUDAYA 95
`
E. Latihan
H. Tugas.
ANTROPOLOGI BUDAYA 96
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 97
`
BAB V
PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN
1. Kompetensi Dasar
2. Kompetensi Khusus
ANTROPOLOGI BUDAYA 98
`
ANTROPOLOGI BUDAYA 99
`
trend tidak linier serta dua arah, waktu yang akan ditempuh Peru
dan Pakistan mungkin lebih lama, mungkin lebih pendek atau
mungkin sama sekali tidak akan mencapai keadaan tersebut.
Karena itu, dalam kaitan dengan perubahan, arah dan penentunya,
paling tidak ada tiga pertanyaan yang relevan.
1. Apakah perubahan yang mengarah pada standarisasi
nilai dapat diterapkan secara internasional? Misalnya,
bila kemajuan dilihat dari kualitas pemilikan barang,
rasio mobil terhadap penduduk di Eropah Barat
dewasa ini mencapai 1:4. Apakah itu berarti harus
disediakan 250 juta mobil di Cina untuk menyamai
standar tersebut? Hal sama, apakah harus disediakan
160 juta TV di Indonesia untuk menyamai rasio 1,2
penduduk per TV di Amerika Serikat? Dalam banyak
hal, standarisasi nilai perubahan secara internasional
justru akan membawa arah yang tidak jelas terhadap
perubahan yang dijalankan setiap negara.
2. Apakah perubahan sebetulnya dimulai dari dua titik
yang berbeda serta menuju dua titik yang berbeda pula.
Jika pada tahun 1960 rasio pendapatan 20 persen
penduduk terkaya terhadap 20 persen penduduk
termiskin sekitar 30:1, maka pada tahun 1989 rasio
tersebut melonjak dua kali lipat menjadi 59:1.
Artinya, perubahan tampaknya cenderung mengarah
pada dua kutub, serta memperlebar jarak kedua kutub
tersebut. Dengan kata lain, terjadi divergensi, bukan
konvergensi dalam perubahan global yang terjadi.
3. Pada hakikatnya setiap perubahan akan membawa
pengaruh kepada setiap orang, baik itu negatif maupun
positif. Karena itu, apakah setiap orang sesungguhnya
berhak menentukan perubahan bagi dirinya sendiri?
Atau sejauh mana independensi suatu individu atau
negara berhak menentukan perubahan bagi dirinya
sendiri 75?
Tabel 5.1
Perbedaan Teori Modernisasi dan Dependensi
Elemen Teori Modernisasi Teori Dependensi
Perbandingan
Warisan Teori Teori Evolusi dan Program KEPBBAL dan
Fungsionalisme Marxis Ortodok
Sebab Internal Eksternal
Ketergantungan
Persepsi Saling Menguntungkan Merugikan Negara
Hubungan Berkembang
Masa Depan Optimis Pesimis
dunia ketiga
Pemecahan Perlu Mendekatkan Perlu mengurangi
Masalah Keterkaitan dengan keterkaitan dengan negara
negara maju maju dan revolusi sosialis
Sumber : Suwarsono dan Alvin Y So, 199476
Gambar 5.1
Perbedaan Kelahiran Paradigma Modernisasi dan Dependensi
1940-1950 an
Negara dunia
ketiga mulai
merdeka Teori Dependensi
Teori Modernisasi
oleh para teoretisi aliran Kritik. Menurut aliran Kritik, dalam suatu
pembangunan, pemahaman dan pelaksanaan kegiatan, manusia itu
hendaklah harus berjalan sesuai nurani, holistik dan mampu
mematahkan belenggu untuk membebaskan manusia pada
kemanusiaan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, seharusnya dalam pembangunan industri di
Indonesia, peningkatan keterkaitan antara sektor industri dengan
sektor pertanian justru akan mengurangi ketergantungan terhadap
luar negeri bagi kedua sektor itu, dan ini sekaligus dapat
meningkatkan nilai tambah sektor pertanian. Sebenarnya
pengembangan sektor yang mengolah produk pertanian merupakan
salah satu pemecahan dalam hal ini. Namun dalam prakteknya
pemikiran seperti ini seolah-olah tidak terfikirkan oleh para
teknorat di Indonesia.
Karena seharusnya industri besar itu harus merupakan
integrasi dari industri menengah dan kecil. Sebab bila tidak, seperti
menurut Yukio Kaneko83 cukup membahayakan bagi
perekonomian nasional, maupun bagi proses industrialisasi di
Indonesia. Kalau tidak segera diperbaiki maka pembangunan
industrialisasi di Indonesia di masa datang akan mengalami jalan
buntu.
Selanjutnya orientasi pembangunan yang lebih banyak
mengutamakan pertumbuhan sektor industri perlu segera dilengkapi
dengan pengembangan sektor pertanian yang memadai, sehingga
selalu terjalin kaitan antar sektor baik ke depan maupun ke
belakang yang saling menguntungkan.
Karena Indonesia adalah negara yang mayoritasnya
bermukim di pedesaan dan bergelut di sektor pertanian, bila
mengabaikan sektor ini hanya akan menimbulkan pengangguran
dan kemiskinan yang semakin merajalela saja. Pembangunan
pertanian dan industri sudah selayaknya harus dapat dinikmati oleh
sebagian besar pelaku ekonomi baik pada lingkup nasional (makro)
maupun pada tingkat petani penghasil (mikro).
Salah satu ciri strategi pembangunan yang harus dimiliki
oleh negara yang mempunyai potensi sebagian besar dari sektor
pertanian adalah kebijaksanaan pembangunan yang menjaga
keterkaitan antara sektor pertanian dan industri. Namun
kenyataannya, kepedulian dan orientasi dari pengambil kebijakan
pembangunan di Indonesia memiliki penyakit myopi.
F. Rangkuman.
G. Latihan.
16
Talal Asad, Anthropological Conceptions of Religion: Reflections
on Geertz, dalam jurnal antropologi Inggris, Man No 2, Tahun 1983.
17
Menurut Garna, bahwa setiap budaya memiliki gaya dan etos
tersendiri yang berbeda dari budaya lainnya. Budaya digambarkan sebagai
suatu organisme seperti halnya individu yang berkembang melalui tahapan,
yaitu dari masa anak-remaja-dewasa dan tua.
18
Koentjaraningrat, Beberapa PokokAntropologi Sosial, PT. Dian
Rakyat Jakarta, 1981, hal. 193
19
Periksa Alfred L Kroeber dan Clyde Kluckhohn, Culture: A
Critical Review of Concepts and Definitions, Published by The Museum
Massachusetts, USA
20
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT.
Gramedia Jakarta, 1997, hal.5
21
Konsep, ialah kata atau istilah ilmiah yang menyatakan suatu ide
atau fikiran umum tentang sifat- sifat suatu benda, peristiwa, gejala atau istilah
yang mengemukakan tentang hubungan antara satu gejala dengan gejala
lainnya. Dengan demikian konsep terletak pada tahap abstraksi yang lebih
rendah tahapannya dibandingkan dengan teori. Walaupun tahapan konsep itu
lebih rendah daripada teori, tetapi konsep adalah unsur penting dalam teori
yang dipandang sebagai building block suatu teori.
Lebih jelas tentang hal ini dapat dilihat dari tulisan Yudistira K
Garna, Ilmu-Ilmu Sosial; Dasar, Konsep dan Posisi, Primaco Akademica,
Bandung, 2001, hal 138
22
Donald l Hardesty, Ecological Anthropology, Santa Barbara, Jhon
Wiley and Sons, New York, 1997, hal 1
23
Adaptasi adalah salah satu konsep dasar dalam studi ekologi
manusia. Adaptasi semula digunakan dalam studi biologi untuk menjelaskan;
(1) proses evolusi genetik dan (2) berkenaan dengan pola tingkah laku
kehidupan suatu organisme dalam mengatasi lingkungannya. Namun dalam
perkembangannya, adaptasi tidak hanya dilakukan secara alami genetik saja,
tetapi adaptasi mulai berubah pada tataran adaptasi somatis.
24
Achmad Hidir, Kehidupan Pascaindustri, Bahan Diskusi Mingguan
FISIP Jurusan Sosiologi Universitas Riau, Pekanbaru 1999 (tidak diterbitkan)
25
R.Dodi Iskandar, dan Dedi Persada, Sejarah Nasional
Indonesia dan Dunia CV. Armico, Bandung , 1987.
26
Alvin, dalam Nomensen ST Mambraku, Evolusi, Pemukiman,
Adaptasi dan Manusia, FKIP Universitas Cendrawasih, Jayapura, 2003 hal. 23
27
Robert H Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka
Cipta, Jakarta, 1993, hal 389.
28
Koentjaraningrat, Metode Antropologi: Ikhtisar Dari Metode-
Metode Antropologi Dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan
Indonesia, Penerbitan Universitas, Jakarta, 1958, hal 59.
29
Dalam Nomensen ST Mambraku, Opcit, 2003, hal.28.
30
Arensberg dan Niehoff, dalam L. Dyson, Perubahan Budaya di
Daerah Tujuan Wisata Tanjung Isuy Kabupaten Kutai Kalimantan Timur,
Ringkasan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya,
1995, hal 5,
31
Louis Luzbetak, dalam L. Dyson, Ibid, 1995 hal 5
45
Nommensen ST Mambraku, Evolusi, Pemukiman, Adaptasi dan
Manusia, FKIP Universitas Cendrawasih, Jayapura, 2003 hal. 65
46
Nommensen ST Mambraku, Ibid, 2003 hal 66
47
T. O’Riordan, Environmentalism, London, 1981
48
Adam Kuper dan Jessica Kuper, Eksiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal. 300-301.
49
M.E. Colby, Environmental Management in Development; The
Evolution of Paradigms, The Wolrd Bank Discussion Papers, The World
Bank, Washington DC, 1990, hal 33.
Catatan dan Kutipan Bab VI
50
Nommensen Mambraku, Evolusi, Pemukiman, Adaptasi dan
Manusia, FKIP Universitas Cendrawasih Jayapura, 2003, hal 91
51
Usman Tampubolon, Teori Pembangunan, Kelompok
Penelitian Sosial dan Politik, tanpa penerbit, 1977. hal 7
52
Ankie M.M. Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat Sedang
Berkembang, saduran Alimandan, PT Rajawali Jakarta, 1989, hal 6-7
53
Ankie WW Hoogvelt, Ibid, 1989 hal 220
54
Bahasan sub bab ini diambil dari beberapa literatur ; Teori
Sosial Ramlan Surbakti, FISIP Universitas Airlangga, 1986. Teori
Sosiologi Klasik dan Modern, Robert MZ Lawang, PT Gramedia, Jakarta,
1985 dan beberapa bahan kuliah lepas Prof.Dr. Yunus Rasyid, MA, PPS
S3 Universitas Brawijaya, 2002-2003
55
Bahasan tentang teori konflik ini diambil dari buku
Dahrendorf, Konflik Kelas Dalam Masyarakat Industri, PT Rajawali,
Jakarta, 1987
Catatan dan Kutipan Bab V
56
Norma sosial (Social norms) merupakan patokan tingkah laku yang
memberikan pedoman agar manusia memiliki nilai-nilai masyarakat tertentu,
sedangkan nilai-nilai sosial (social value) adalah ide-ide masyarakat tentang
sesuatu yang dianggap baik.
57
Robert H Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, terjemahan
Alimandan, PT Bina Aksara Jakarta, 1993 hal 3
58
Robert H Lauer, Ibid, 1993 hal 4
59
Nommensen ST Mambraku, Evolusi, Pemukiman, Adaptasi dan
Manusia, Universitas Cendrawasih Jayapura, 2003 hal 88
60
Bahrein T Sugihen, Sosiologi Pedesaan, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996 hal 54.
61
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, PT
Ghalia Indonesia Jakarta, 1983, hal 12
62
Soerjono Soekanto, Ibid, 1983 hal 12
63
Bahrein T Sugihen, Opcit, 1996, hal 54
64
Usman Tampubolon, Teori Pembangunan, Kelompok Penelitian
Sosial dan Politik, tanpa penerbit, 1977, hal 1.
65
Usman Tampubolon ,Ibid, 1977 hal 6
66
J.W. Schoorl, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan, PT
Gramedia Jakarta, 1989, hal 4
67
Robert H Lauer, Opcit, 1993, hal 410
68
Robert H Lauer, Ibid, 1993 hal. 410
69
Tentang hal ini dapat dilihat dari buku J.W Schoorl, Opcit, 1989
hal 6-10
70
Robert H Lauer, Opcit, 1883 hal 430
71
Alimandan, Dampak Pembangunan Perikanan Terhadap Sosial
Ekonomi Nelayan Riau, Pusat Penelitian Universitas Riau, 1991, hal 14
72
Alimandan, Ibid, 1991 hal 13
73
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Mizan
Bandung, 1991 hal. 248
74
Kuntowijoyo, Ibid, 1991, hal 248.
75
Elwin Tobing, Perubahan Sosial, Suara Pembaruan 21 Juni 1995
76
Suwarsono dan Alvin Y So, Perubahan Sosial dan Pembangunan,
LP3ES Jakarta, 1994
77
Vijay P Singh, Pendekatan Metodologis Komparatif dalam Studi
Modernisasi, dalam Mustafa O Attir, Burkart Holzner dan Zdeneck Suda,
Sosiologi Modernisasi, alih bahasa Hartono Hadikusumo, PT. Tiara Wacana
Yogyakarta, 1999, 47.
78
Arief Budiman, dalam Kata Pengantar Andre Gunder Frank,
Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi, Pustaka Pulsar,
Jakarta, 1984; vii
79
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad 21,
Penerbit Erlangga, Jakarta 1997, hal 57.
80
Faisal Basri, Ibid, 1997; 43
81
Dos Santos (dalam Arief Budiman, 1995) mengatakan bahwa
ketergantungan adalah keadaan di mana kehidupan ekonomi negara-negara
tertentu di pengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan
ekonomi negara-negara lain, dimana negara-negara tertentu ini hanya berperan
sebagai penerima akibat saja. Namun ketika negara-negara pinggiran
mengalami kesulitan ekonomi, maka negara-negara pusat (maju) tidak terkena
DAFTAR PUSTAKA