Anda di halaman 1dari 8

Muhammad Ilham Perdana

120410190038

SPI Kelas B

Sejarah Peradaban Islam

1. Proses Pengangkatan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Sebagai Khalifah

Dalam sebuah riwayat yang valid, bahwa sebelum terbunuhnya Umar bin al-Khattab
saat melaksanakan salat Subuh, ia menunjuk enam orang untuk menentukan pengganti
(khalifah) berikutnya. Setelah tiga hari Umar bin Khattab Ra. wafat, maka tim 6 bertugas untuk
menunjuk pemimpin berikutnya. Al-Suyuthi menyebut mereka dengan ahlu syura (mereka yang
bermusyawarah) untuk memilih khalifah. Al-Suyuthi menceritakan dalam tarikh al-Khulafa’
bahwa pengangkatan Utsman bin Affan terdiri dari 6 orang sahabat Nabi. Mereka adalah Ali bin
Abi Thalib, Utsman bin Affan, Talhah, Said, dan Zubair. Mereka telah ditunjuk oleh Umar bin
Khattab sebagai tim penentuan khalifah setelah dirinya wafat. Al-Suyuthi dalam Tarikh al-
Khulafa’ menerangkan bahwa masyarakat kala itu telah berkumpul di rumah Abdurrahman bin
Auf dan dukungan kepadanya untuk menjadi suksesi Umar bin Khattab Ra. Akan tetapi,
mengikuti aturan yang berlaku, Abdurahman bin Auf mendatangi keempat orang sahabat yang
lain untuk memilih siapa yang cocok. Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai khalifah saat itu
berimbas pada penggantian beberapa pejabat daerah seperti Kufah dan berbagai daerah
Negara muslim lainnya. Penggantian kepala daerah, atau yang disebut amir merupakan
kebijakan Usman bin Affan yang cukup kontroversial. Pasalnya, beberapa pejabat daerah
diangkat dari sanak famili keluarganya. Tidak disangkal bahwa hal inilah yang nantinya
membuat banyak kebijakan politik pada masa Utsman bin Affan. Dari pertentangan para
sahabat Nabi dalam masalah politik, sikap para ulama biasanya tawakkuf (bahwa perbedaan
pandangan politik merupakan masalah ijtihad).
Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu per
satu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Saad bin Abi
Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka
menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih
menginginkan Ali menjadi khalifah. la didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok
tersebut agar bersedia dibai'at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia menghendaki
agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-
sahabat senior terkemuka Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam
perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali
bersedia dibai'at menjadi khalifah. Ia dibai'at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan An har
serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat
senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhamnmd bm Maslamah, Saad bin Abi
Waqqas, Hasan bin Tsabit. dan Abdullah bm Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau
ikut membai'at Ali. Dengan demikian, Ali tidak dibai'at oleh kaum muslimin secara aklamasi
karena banyak sahabat senior ketika itu tidak berada di kota Madinah, mereka tersebar di
wilayah-wilayah taklukanbaru; dan wilayah Islam sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga
umat Islam tidak hanya berada di tanah Hijaz (Mekah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah
tersebar di Jazirah Arab dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai'at Ali
dan menunjukkan sikap konfrontatif adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, keluarga Utsman dan
Gubernur Syam. Alasan yang dikemukakan karena menurutnya Ali bertanggung jawab atas
terbunuhnya Utsman.

2. Fitnah Fitnah terhadap Utsman bin Affan


Di antara fitnahnya yang lain adalah propaganda bahwa sebenarnya Rasulullah telah berwasiat
kepada Ali bin Abi Thalib. Ia berkata, “Ada seribu Nabi, masing-masing Nabi memiliki pewaris
dan Ali adalah pewaris Muhammad. Muhammad adalah penutup para Nabi dan Ali adalah
penutup para pewaris. Orang-orang jahil dan berpenyakit dalam hatinya tentu tidak akan
berfikir panjang, mereka selalu mengedepankan hawa nafsunya guna mencapai apa yang
diinginkannya. Mereka pun langsung melontarkan ide-ide untuk memberontak kepada khalifah
Utsman. Abdullah bin Saba “bukan orang bodoh” akan pengetahuan Islam. Ia menampakkan
seakan dirinyalah yang benar, membuat banyak orang jahil mengikutinya. Seakan pula, dialah
yang beramar ma’ruf dan nahi munkar. Ia terus gencar tak henti-hentinya membuat
propaganda, di antaranya, “Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang meninggalkan
wasiat Rasulullah lalu merampas hak ahli waris beliau lalu memimpin urusan umat?”. Lalu ia
menambahkan, “Utsman telah merampasnya dengan zhalim. Bangkitlah untuk melengserkan
Utsman, lalu mulailah dengan merendahkan pemimpin-pemimpin di daerah kalian. Abdullah bin
Saba menyebarkan pemikiran-pemikiran sesatnya lewat para pendukungnya, yang mayoritas
dari mereka adalah orang Arab Badui. Ia tak henti membuat propaganda untuk menggulingkan
khalifah sah Utsman bin Affan.
3. Mushaf Ustmani
Tibalah pemeliharan Al-Qur’an di masa Khalifah ketiga Utsman bin Affan, Sang Khalifah
yang bakal menjadi rujukan nama mushaf Al-Qur’an. Berawal di medan peperangan tentang
perselisahan bacaan Al-Qur’an, Khudzaifah bin al-Yaman kemudian datang mengadu kepada
Sang Khalifah Utsman bin Affan. Narasi tentang pengaduan tersebut dapat dilihat dalam riwayat
Imam Bukhari bab Jam’il Quran.

Tak lama dari pengaduan, Sang Khalifah kemudian mengirimkan surat kepada Hafshah. “Kami
minta Anda mengirimkan lembaran-lembaran Al-Qur’an kepada kami untuk disalin dalam
beberapa buku. Nanti kami akan kembalikan lagi lembaran-lembaran Al-Qur’an kepada Anda”,
begitu kira-kira isi surat Utsman bin Affan. Hafshah pun kemudian mengirimkan lembaran-
lembaran Al-Qur’an. Adalah Zaid bin Tsabit yang lagi-lagi ditunjuk oleh Sang Khalifaj Utsman
untuk kembali menyalin Al-Qur’an, bersama Abdullah bin Al-Zubair, Sa’id bin Al-Ash, dan Abd
Rahman bin Al-Haris bin Hisyam. Utsman konon berpesan kepada tiga sahabat dari golongan
suku Quraisy (Abdullah, Said, dan Abd Al-Rahman), “Jika kalian bertiga berbeda bacaan Al-
Qur’an dengan Zaid bin Tsabit, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena pada dasarnya Al-
Qur’an telah diturunkan dengan logat suku Quraisy. Setelah semua pekerjaan selesai
dikerjakan, Sang Khalifah pun kemudian mengirimkan setiap mushaf hasil salinan empat orang
sahabat ke setiap penjuru daerah. Selain itu, Sang Khalifah juga memerintahkan untuk
membakar setiap lembar maupun mushaf Al-Qur’an yang berbeda dengan mushaf yang
ditetapkan. Mushaf Al-Qur’an yang telah ditetapkan itulah yang kemudian dikenal dalam
sejarah pembukan Al-Qur’an dengan Mushaf Utsmani, mushaf yang biasa kita jumpai hari ini.

4. Terbunuhnya Utsman bin Affan


Pengepungan berlanjut hingga pagi hari Jumat, yang bertepatan dengan 12 Dzulhijjah 35
H. Pada waktu itu Utsman sedang duduk di rumahnya bersama para sahabat yang berjumlah
banyak sekali. Mereka yang ingin membela dan melindungi beliau dari kebengisan para
pendemo tersebut. Utsman telah memeritahkan mereka untuk keluar dari rumah dan
melarang mereka untuk membelanya, namun mereka tetap berkeinginan membela beliau,
seperti yang telah disebutkan. Terakhir kali, beliau dapat menjadikan mereka menerima
perintah beliau, hingga mereka semua keluar dari rumah dan membiarkan beliau sendiri
dengan para pendemo itu. Tidak ada yang tersisa dirumah melainkan Utsman dan keluarganya
saja. Tidak ada lagi seorang pun yang menjaga Utsman. Lalu beliau membuka pintu rumah. (HR
Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqaat 3/70-75)

Pada saat itu beliau sedang berpuasa, lalu tiba-tiba masuk seseorang yang tidak disebutkan
namanya. Ketika dia melihat beliau berkata:

"Antara aku dan engkau adalah kitabullah," kemudian dia keluar dan meninggalkan Utsman.
Tidak berselang lama, masuk seseorang dari Bani Sadus yang dijuluki sebagai al-Maut al-Aswad
(Kematian hitam), lalu dia mencekik beliau dan cekikannya seperti tebasan pedang. Dia berkata,
"Demi Allah, aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih lembut dari lehernya. Aku telah
mencekiknya, hingga aku melihat nafasnya seperti jin yang mengalir di tubuhnya." (HR Kholifah
dalam at-Tarikh 174-175 dari riwayat Abu Sa'id dengan sanad yang sahih atau hasan)
Kemudian dia menebaskan pedangnya kepada beliau, dan Utsman pun menangkisnya
dengan tangan beliau hingga terputus . Lalu Utsman berkata,"Demi Allah, ini adalah tangan
yang pertama kali menuliskan ayat-ayat Alquran." Yang demikian itu, karena beliau termasuk
para penulis wahyu (Al-Qur'an) dan beliau termasuk orang pertama yang menulis mushaf
dengan didekte langsung oleh Rasulullah SAW. Beliau terbunuh dan mushaf berada di depan
beliau. Darah mengalir dari potongan tangan beliau hingga mengenai mushaf yang berada di
depan beliau yang sedang beliau baca. Ruh beliau yang suci itu pun naik kepada Rabnya dengan
penuh keridhaan dan mengadukan kedzaliman para pelakunya. Semoga keridhaan Allah bagi
Utsman dan semoga Allah memasukkannya kedalam surga-Nya yang luas bersama Nabi
Muhammad SAW serta para sahabat-sahabat beliau. Dan beliau wafat pada jumat pagi 12
Dzulhijjah.

5. Perang Jamal

Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, terjadi suatu peristiwa yang


menghebohkan kaum muslimin, yaitu terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Beliau terbunuh
dalam keadaan membaca Al-Quran, hingga darah bercucuran dalam mushaf yang beliau baca.
Umat muslim dibuat heboh dengan kabar ini. Khalifah Ali bin Abi Tholib, sebagai penganti
kekhalifahan berikutnya, dituntut untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Khalifah Ustman
bin Affan. Proses pengusutan kasus ini tidaklah mudah sehingga membutuhkan waktu yang
begitu lama. Para sahabat yang resah kemudian mengadu kepada Aisyah RA. Aisyah kemudian
mengirim pasukan agar datang ke Sayyidina Ali. Tujuannya adalah mengajak kerjasama
penyelesaian kasus terbunuhnya Sayyidina Ustman RA. Ketika pasukan tersebut sampai ke
kediaman Sayyidina Ali RA. Beliau mengira akan ada penyerangan dikarenakan jumlah pasukan
yang begitu banyak. Kesalahfahaman tersebut membuat beliau menyiapkan pasukan dan
mengirim utusan untuk menanyakan tujuan pasukan yang datang tersebut. Pasukan Sayyidatina
Aisyah menjelaskan bahwa kedatangan mereka untuk mengajak kerjasama pengusutan kasus
pembunuhan Khalifah Ustman RA. Setelah mendengar penjelasan tersebut, Sayyidina Ali dan
pasukannya merasa senang dan menyambutnya dengan baik. Pada malam harinya, mereka
tidur dengan tenang dan damai, di bawah tenda-tenda di padang pasir kota madinah. Dalam
kegelapan malam itu, ada sekelompok orang yang menyelendup, baik pasukan Ali maupun
Aisyah RA. Kelompok ini adalah pengikut dari pembunuh Khalifah Ustman RA. Mereka ingin
mengadu domba kedua belah pihak dengan menyusup pada masing-masing kelompok agar
keberadaan mereka tidak dapat diketahui. Pasukan penyusup ini dibagi menjadi dua kelompok,
satu menyerang pasukan Ali, satu lagi menyerang pasukan Aisyah. Dalam kegelapan malam
yang gelap gulita, yang terdengar hanyalah suara pertempuran dan hantaman pedang. Pasukan
Sayyidina Ali mengira bahwa terjadi penyerangan oleh pasukan Sayyidatina Aisyah, begitu pula
sebaliknya. Oleh karena itu, pasukan Sayyidina Ali dan Sayyidatina Aisyah saling menyerang dan
terjadi pertempuran dahsyat di kegelapan malam itu. Pertempuran ini disebut sebagai perang
Jamal. Ribuan korban syahid berjatuhan. Termasuk di antaranya adalah sahabat dekat nabi,
yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awaam.

6. Perang Shiffin
Kedua kubu saling berhadapan pada Juli 657 di tempat bernama Shiffin, di hulu sungai
Eufrat. Sesampainya di Shiffin kedua pasukan sempat saling berebut sumber air, hingga
menimbulkan konfrontasi kecil. Kemudian kedua pihak sepakat berdamai dalam urusan air ini.
Sehingga mereka saling berdesak-desakan di sumber air itu, mereka tidak saling berbicara dan
mengganggu. Ali berdiam selama dua hari tanpa mengirim sepucuk surat pun kepada
Muawiyah dan Muawiyah pun juga melakukan hal yang sama. Kemudian Ali mengirim seorang
utusan kepada Muawiyah, namun kesepakatan belum juga tercapai. Muawiyah tetap bersikeras
menuntut darah pembunuh Utsman. Setelah terjadi kebuntuan dalam negosiasi maka
pertempuran antara keduanya pun tidak dapat dihindarkan. Pada awalnya Ali mengajak
Muawiyah untuk bertempur satu lawan satu, supaya konflik di antara mereka segera usai.
Sehingga siapa yang hidup ia adalah yang menang dan menjadi khalifah. Namun, Muawiyah
menolak ajakan itu, hanya Amr yang mau. Ketika Ali dan Amr berhadap-hadapan dan
menyentak lembing serta pedang masing-masing, hampir saja Amr tewas oleh pedang Ali.
Pedang Alli telah mengenai pinggangnya, hampir menembus perutnya mengenai tali celananya
dan putus, hingga auratnya terlihat. Ali tidak mau melanjutkan pertempuran itu dan berbalik
menuju tempat lain dan membiarkan Amr menutupi auratnya. Setelah itu, perempuran besar
baru dimulai. Pada awalnya, Muawiyah mendominasi pertempuran , tetapi akhirnya pasukan
Muawiyah dipaksa mundur karena mendapat serangan keras dari pasukan Ali. Bahkan,
beberapa orang serdadu Ali telah sampai di depan kemah Muawiyah. Dalam pertempuran
terakhir pada 28 Juli 657 M, pasukan Ali di bawah pimpinan Malik al-Asytar hampir menang
ketika Amr ibn al Ash dengan licik melancarkan siasatnya. Ia memerintahkan pasukan
Muawiyah untuk melekatkan salinan al-Quran di ujung tombak dan mengangkatnya, sebuah
tanda yang diartikan pasukan Ali sebagai seruan untuk mengakhiri perang dan mengikuti
keputusan al-Quran. Ketika tombak-tombak pasukan Muawiyah diangkat, tentara Ali tidak
menyerang lagi, padahal mereka hampir menang. Ali sendiri menganggap itu hanya tipu daya
musuh saja. Ia berseru, “Wahai hamba Allah, teruskan merebut hakmu, teruskan memerangi
musuhmu, Muawiyah. Amr bin Ash, Ibnu bin Muith, Habib bin Muslimah, Ibnu Abi Sarah, dan
Dhihak ibnu Qais. Mereka itu bukanlah ahli agama, bukanlah ahli al-Quran. Aku lebih
mengetahui keadaan mereka. Aku berteman dengan mereka sejak kecil dan sampai dewasa.
Pada waktu kecil mereka hanyalah anak-anak nakal dan pada waktu besarnya mreka laki-laki
yang jahat semata. Mereka mengangkat al-Quran hanyalah rencana mereka. Mereka
mengangkat al-Quran tidak lain hanyalah tipuan.pecayalah pada apa yang kukatakan.” Orang
banyak itu menjawab, “tidak sampai hati kami akan meneruskan peperangan kalau kami telah
diseru kepada kitab Allah.” Pada awalnya Ali hendak meneruskan peperangan, tetapi suara
pengikutnya pecah. Sebagian dari mereka sudah tidak mau berperang lagi, sehingga Ali terpaksa
menghentikan perang dengan hati yang amat kesal. Perang pun akhirnya berakhir, dan konflik
antar keduanya dilanjutkan ke jalur perundingan.

7. Tahkim
Dalam kejadian ini Abu Musa al-Asy'ari merupakan perwakilan dan juri bagi pasukan Kufah
(pasukan Imam Ali as) dan Amru bin 'Ash merupakan perwakilan dari pihak pasukan Syam
(pasukan Muawiyah). Kedua perwakilan ini melakukan perundingan untuk menyelesaikan
perbedaan antara kaum muslimin satu dengan lainnya dan kedua pihak sepakat untuk
memberikan pendapat sesuai dengan Alquran dan hadis. Abu Musa Al-Asy’ari mengumumkan,
“Kami berdua telah mencapai kesepakatan, yang kami nilai sebagai kesepakatan yang terbaik
untuk umat, yaitu masing-masing dari kami berdua lebih dulu akan mencopot Ali bin Abu Thalib
dan Muawiyah dari jabatan khalifah. Setelah itu, menyerahkan kepada umat Islam untuk
memilih khalifah yang mereka sukai. Dengan ini, saya nyatakan telah mencopot Ali bin Abu
Thalib sebagai khalifah”. Dan seperti yang diduga Ibnu Abbas, begitu tiba giliran Amru Ash
berbicara, di depan semua hadirin, dia berkata, “Kalian telah mendengarkan sendiri, Abu Musa
Al-Asy’ari telah mencopot Ali bin Abu Thalib, dan saya sendiri juga ikut mencopotnya seperti
yang dilakukan Abu Musa Al-Asy’ari. Dengan demikian, dan mulai saat ini juga, saya nyatakan
bahwa Muawiyah adalah khalifah, pemimpin umat. Muawiyah adalah pelanjut kekuasaan
Usman bin Affan dan lebih berhak menggantikannya”. Mendengar pernyataan Amru bin Ash
tersebut, Ibnu Abbas langsung membentak Abu Musa Al-Asy’ari, yang menjawab “Saya mau
bilang apa lagi, tidak ada yang bisa saya lakukan, Amru bin Ash telah menipuku", dan kemudian
mulai mencaci dengan mengatakan, “Wahai Amru bin Ash, celaka kamu, kamu telah menipu
dan berbuat jahat”. Dua orang dari kubu Ali bin Thalib, yaitu Syarih dan Ibnu Umar sempat
memukul Amru bin Ash dengan pedang, tapi kemudian dilerai oleh para hadirin. Dan bisa
dibayangkan bagaimana kacaunya dan gaduhnya pertemuan Tahkim tersebut. Seluruh jajaran
kubu Ali bin Abu Thalib tentu akan kecewa. Sebaliknya, kubu Muawiyah akan senang bersuka
ria.

8. Perang Melawan Khawarij


Setelah Khalifah Usman terbunuh oleh golongan Khawarij, kaum Muslimin membaiat Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Sejak itu Ali dianggap sebagai al-khulafâ’ ar-râsyidîn
terakhir yang secara de jure merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi seluruh umat Islam.
Namun demikian, secara de facto, kekuasaan Ali tak pernah mencakup wilayah Syam, daerah
yang sudah lama dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ini disebabkan tindakan Muawiyah yang
menuntut Khalifah Ali agar menghukum para Khawarij yang terlibat dalam pembunuhan
Usman. Kegagalan kubu Ali dan Muawiyah mencapai kesepakatan akhirnya menimbulkan
perang saudara yang dikenal sebagai perang Shiffin. Perang besar antar-sesama kaum Muslimin
ini bisa dibilang imbang, sehingga menyebabkan korban besar-besaran di kedua kubu.
Kemudian diadakanlah arbitrase (tahkim) lewat proses yang rumit. Arbitrase terakhir
menghasilkan keputusan untuk mengangkat Muawiyah sebagai khalifah. Kaum khawarij lalu
menolak hasil arbitrase dan memerangi semua pihak yang menerimanya. Puncak aksi kaum
Khawarij adalah majunya seseorang bernama Abdullah bin Muljam untuk membunuh Khalifah
Ali. Ia menyerang Ali yang hendak salat subuh dan berhasil melukai dahinya hingga parah. Tak
berapa lama kemudian, Ali meninggal.

9. Terbunuhnya Ali bin Abi Thalib


Sehari sebelum operasi militer terhadap kaum Khawarij dimulai, Ali bin Abu Thalib
memasuki masjid di Kufa untuk sembahyang Subuh hari Jumat. Di sana, seseorang bernama
Abd al-Rahman ibn ‘Amr ibn Muljam, seorang pengikut Khawarij, menerobos kerumunan
jamaah salat sambil berteriak, “Penghakiman milik Allah, bukan milik engkau, wahai Ali.” Ibn
Muljam menyabet pedang beracunnya dan tepat mengenai kepala Ali. Meskipun hanya
tergores kecil, tapi cukup membuat racunnya bekerja dengan cepat. Dua hari kemudian, Ali
wafat pada malam 21 Ramadan 40 Hijriah, dengan membawa impian Bani Hasyim menyatukan
komunitas Umat Beriman di bawah satu panji keluarga Nabi Muhammad. Dia kemudian
dimakamkan di Najaf, Irak.

Anda mungkin juga menyukai