Anda di halaman 1dari 8

Perbankan dan Asuransi Syariah

Ekonomi Syariah modern mulai ada sejak pertengahan tahun 1940-an yang berlangsung
di Melayu, di Pakistan pada akhir 1950-an, dan di Mesir melalui Mit Ghamr Savings Banks dan
Nasser Sosial Bank (1971), Walaupun pada akhirnya organisasi tersebut gulung tikar, namun
telah memberikan dampak terhadap sebuah pondasi atau konsep yang kuat terhadap
pengembangan sistem keuangan Syariah modern. Wilayah Asia-Pasifik pun tidak ketinggalan
untuk ikut serta dalam memberikan andil terhadap sistem perbankan bebas riba ini, Bank dengan
sistem bebas bunga kemudian didirikan pada tahun 1973 yaitu Philippine Amanah Bank (PAB).
Pendirian bank tersebut sebagai respon dari pemerintah Filipina atas pemberontakan muslim di
wilayah selatan Fiipina, Bank tersebut khusus untuk melayani masyarakat muslim disana dan
ikut membantu merehabilitasi dan merekonstruksi masyarakat di Mindanao, Sulu, serta wilayah
selatan lainnya. Setahun kemudian pemerintah Arab Saudi dan Organisasi Konferensi Islam
mendirikan Islamic Development Bank (IDB) dengan dana sebesar dua milyar dinar yang
menjadikan IDB sebagai Bank Syariah terbesar. IDB merupakan Bank antar pemerintah yang
berfokus pada pembangunan negara – negara yang menjadi anggota bank tersebut, yang sebagian
besarnya merupakan negara yang mayoritas berpenduduk Muslim termasuk Indonesia,
berdirinya IDB pun pada akhirnya menjadi sebuah momentum terhadap gerakan perbankan
Syariah yang kemudian ditandai dengan berdirinya Bank berprinsip Syariah di beberapa negara
semisal, Dubai Islamic Bank (1976), Faisal Islamic Bank of Egypt (1997), dan Bahrain Islamic
Bank (1979). Ekonomi Islam mulai masuk di Indonesia sejak tahun 1983 hal tersebut didasari
oleh munculnya Paket Desember 1983 (Pakdes 83) yaitu menegenai regulasi yang
memperbolehkan bank untuk melakukan kredit tanpa bunga atau yang lebih dikenal dengan
bunga 0% (zero interest). Selanjutnya di tahun 1991 Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri
sebagai bank umum pertama yang melaksanakan kegiatan usaha yang didasari oleh prinsip bagi
hasil , bank Syariah sendiri memiliki prinsip yang terdiri dari larangan atas riba di semua
transaksi selain itu pelaksanaan bisnis harus berdasarkan kesetaraan (equality), keadilan
(fairness) dan keterbukaan (transparency), keharusan mendapatkan keuntungan usaha secara
halal dan juga pembentukan kemitraan yang harus saling menguntungkan satu sama lainnya.
Selain sebagai tempat menabung bank Syariah pun diharuskan untuk mengeluarkan dan
mengadministrasi zakat untuk membantu pengembangan masyarakat sekitar. Selanjutnya

Muhammad Ilham Perdana


120410190038
Melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil, bank
Syariah resmi secara yuridis di Indonesia. Kemudian 6 tahun berselang tepatnya pada tahun 1998
dikeluarkan sebuah UU yaitu Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang kebijakan hukum
perkankan Indonesia yang memberikan akses untuk bank bank umum konvensional untuk
memberikan layanan Syariah layaknya bank bank Syariah melalui sistem perbankan ganda atau
dual banking sistem. Setelah terbitnya Undang undang tersebut bank bank konvensional mulai
membuka layanan Syariah, diawali oleh berdirinya Bank Syariah Mandiri, setelah itu Bank
Mega, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia dan sebagainya mulai menyusul untuk
memberikan layanan Syariah .[1]

Ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 yang berpengaruh terhadap banyak negara
termasuk Indonesia, saat itulah perbankan Syariah mulai mendapat perhatian, saat itu bank
konvensional mendapat pengaruh negatif yang lebih parah jika dibandingkan dengan bank
Syariah, hal tersebut dapat terjadi karena pendekatan investasi yang digunakan lebih beretika dan
kurang beresiko dibandingkan dengan bank konvensional.[2]. Krisis Ekonomi yang melanda
membuat bank Syariah mulai dilirik oleh masyarakat sebagai alternatif dari sistem bank
konvensional terlebih di Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Aset
perbankan Syariah di Indonesia sendiri mengalami peningkatan yang pada tahun 1998 sejumlah
Rp 479 milyar meningkat pada akhir tahun 2007 menjadi Rp 30.145 milyar. Secara makro,
perbankan Syariah dapat memberikan daya dukung untuk terciptanya stabilitas perekonomian
nasional, selain itu sistem bagi hasil yang ditawarkan perbankan Syariah akan membawa manfaat
yang lebih adil bagi seluruh pihak. Bank Syariah lebih dekat dengan sektor riil sehingga
dampaknya terasa lebih nyata jika dibandingkan dengan bank konvensional, selain itu produk
produk yang ditawarkan oleh perbankan Syariah tidak terdapat produk yang sifatnya
ketidakpastian (gharar). Pertumbuhan yang diperlihatkan oleh perbankan Syariah lebih tinggi
dari pertumbuhan perbankan konvensional, hal tersebut diakibatkan oleh baiknya kegiatan
penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan yang dilakukan perbankan Syariah. Selain
itu, gencarnya program sosialisai mengenai perbankan Syariah kepada masyarakat langsung
memperkuat minat masyarakat untuk beralih ke perbankan Syariah.[3]

Pada tahun 2008 untuk menegaskan perbedaan karakteristik antara bank Syariah dan
bank konvensional, berbagai kalangan berpendapat bahwa diperlukan sebuah undang undang

Muhammad Ilham Perdana


120410190038
khusus yang mengatur perbankan Syariah. Hal tersebut juga didorong oleh keinginan masyarakat
yang menginginkan praktik bank Syariah lebih optimal, khususnya ditinjau dari ketaatan bank
terhadap prinsip prinsip Syariah. Untuk menjawab tantangan tersebut dikeluarkanlah Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah hakikatnya dilatar belakangi oleh
niatan untuk meningkatkan ketaatan bank syariah terhadap prinsip-prinsip syariah sebagaimana
tertuang dalam al-Quran dan al-Hadist. Undang Undang tersebut sejalan dengan visi
pengembangan perbankan Syariah nasional yaitu terwujudnya sistem perbankan Syariah yang
sehat, kuat, dan istiqomah terhadap prinsip Syariah yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan
kesetaraan, guna mencapai masyarakat yang sejahtera secara material dan spiritual. Kehadiran
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan pengaturan
tentang kelembagaan dan produk perbankan Syariah, pengaturan tersebut berkaitan dengan
Komite Perbankan Syariah dan pemisahan (spin-off) UUS dari bank umum konvensional dan
implikasinya terhadap kemajuan perbankan Syariah kedepannya. Pemisahan atau spin-off yang
terkait dengan undang-undang tersebut dapat dilakukan secara sukarela atau menjadi sebuah
kewajiban apabila bank terkait sudah memenuhi persyaratan tertentu, pemisahan secara sukarela
pernah dilakukan oleh PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) yang memisahkan UUS nya dan
menjadi PT. Bank BRI Syariah. Adapun pada tahun 2016 Bank Aceh yang merupakan bank
umum konvensioanl mengajukan izin perubahan secara riil konversi menjadi bank umum
Syariah dan tepat pada tanggal 19 september 2016 Bank aceh berubah menjadi Bank Aceh
Syariah dan berhasil megimplementasikan pada seluruh cabang Bank Aceh secara serentak,
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 pasal 68 tentang perbankan Syariah menyatakan apabila
dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling
sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun
sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib
melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah. Lima belas tahun sejak
berlakunya Undang-undang tersebut terjadi pada tahun 2023, maka pada tahun tersebut bank
umum konvensional wajib melakukan pemisahan UUS nya menjadi bank umum Syariah, namun
jika dalam berjalannya kegiatan perbankan Syariah dalam sebuah bank konvensional dan aset
dari perbankan Syariah tersebut sudah mencapai 50% dari aset bank yang bersangkutan, maka
bank tersebut wajib melakukan pemisahan terhadap UUS walaupun belum memasuki tahun
2023.

Muhammad Ilham Perdana


120410190038
Komite Perbankan Syariah sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang tentang
perbankan Syariah telah mendapatkan peraturan operasionalnya berupa PBI No. 10/32/PBI/2008
tentang Komite Perbankan Syariah. Komite Perbankan Syariah merupakan sebuah forum yang
berisi para ahli di bidang Syariah muamalah, ahli ekonomu, ahlli keuangan, dan ahli perbankan
yang memiliki tugas membantu Bank Indonesia dalam mengimplementasikan fatwa MUI
menjadi ketentuan yang akan dituangkan ke dalam peraturan Bank Indonesia mengenai
perbankan Syariah, selain itu Komite juga bertugas untuk melakukan pengembangan industry
perbankan Syariah, dan hasil dari pelaksanaan tugas komite akan disampaikan kepada Bank
Indonesia dalam bentuk rekomendasi. Dengan adanya peraturan tentang kewajiban untuk spin-
off atau pemisahan atas UUS bank umum konvensional dan komite perbankan Syariah
menunjukan bahwa telah terjadi sebuah upaya yang riil dari pemerintah secara hukum untuk
pengembangan sektor perbankan Syariah di Indonesia yang lebih berkualitas sehingga
operasional akan lebih optimal dan lebih mendekati kepada pelaksanaan berdasarkan prinsip
Syariah yang sebenar benarnya. Secara spesifik dengan adanya pemisahan terhadap UUS di
Indonesia tentu akan membuat bank Syariah menjadi lebih leluasa untuk mengembangkan
kegiatan perbankan syariah di Indonesia karena sudah tidak bergantung kepada induknya,
kewenangan bisnis pun menjadi lebih besar dan profit yang didapatkan pun tentu akan
meningkat. Pemisahan atau spin-off memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mengingat
dengan berdirinya secara mandiri bank Syariah tentu harus lebih mandiri dalam membiayai
operasionalnya muali dari infrakstruktur, sistem perbankan, hingga sumber daya manusia.

Selain perbankan Syariah, terdapat salah satu produk ekonomi islam yaitu asuransi islam.
meskipun tidak seramai perbankan Syariah, perkembangan asuransi Syariah pun mengalami
kenaikan positif dari tahun ke tahun. Asuransi Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan
tumbuhnya perbankan Syariah.[4] Awal mula asuransi Syariah berasal dari zaman Nabi
Muhammad SAW yang disebut Aqilah. Al-Aqilah memiliki arti saling memikul dan bertanggung
jawab antar anggota keluarga, semisal diyat yang dibayarkan kepada korban itulah yang disebut
Aqilah. Praktik Asuransi Syariah terus dikembangkan pada masa kepemimpinan Umar bin
Khattab, pada saat itu, Pemerintahan Umar mendorong untuk dilakukanknya al-aqilah secara
menyeluruh. Kemudian Umar bin Khattab memerintahkan untuk mendirikan Diwan al-

Muhammad Ilham Perdana


120410190038
Mujahidin, barang siapa yang Namanya tertulis di Diwan al-Muhahidin maka harus membayar
diyat atau uang darah atas perbuatannya yaitu pembunuhan terhadap seseorang di dalam suku
mereka. Asuransi dalam Islam selalu berkembang seiring berjalannya waktu walaupun
mengalami pasang surut, contohnya pada abad 14-17, Aliran Sufi Kazeruniyya mengembangkan
sebuah sistem asuransi yang berlandaskan syariat Islam yang pada akhirnya mengalami
kemunduran juga. Kemudian di Abad ke-19, Mazhab Hanafi Ibnu Abidin seorang ahli hukum
mengemukakan ide asuransi dan dasar dari hukum hukumnya. Ibnu Abidin juga merupakan
orang pertama yang menjadikan asuransi sebagai sebuah Lembaga resmi, bukan hanya sebagai
praktik adat. Ide dari Ibnu Abidin kemudian membuka mata orang Islam untuk menerima
Asuransi tersebut. Asuransi Syariah pada dasarnya lebih banyak bernuansa sosial daripada
bernuansa ekonomi yang lebih mengutamakan profit (profit oriented). Hal ini disebabkan oleh
adanya aspek tolong menolong yang mejadi dasar utama dalam praktik asuransi Syariah. Rasa
saling menanggung atau biasa disebut takaful atau al-ta’mim sangatlah besar sangat ditekankan
dalam hukum Islam sehingga hal tersebutlah yang menjadi dasar pokok asuransi Syariah. Prinsip
tersebutlah yang sangat mendukung adanya rasa tenang, aman, dan rasa saling tolong menolong
antar pemegang polis sehingga membuat asuransi Syariah cukup diminati di berbagai belahan
dunia termasuk Indonesia. Perusahaan asuransi Syariah pertama kali didirikan pada tahun 1994
melalui PT Syarikat Takaful Indonesia (STI), kemudian menurut data pemerintah sampai dengan
tanggal 31 Januari 2011, di Indonesia terdapat 44 perusahaan yang bergerak di bidang Asuransi
Syariah, dan data terbaru yang didapat dari Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) di awal
tahun 2019 terdapat 63 perusahaan dan bahkan kemungkinan akan bertambah sekitar empat
sampai lima perusahaan di tahun 2019 dan peroleh premi tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp
14,1 triliun dan di tahun 2019 diperkirakan akan meningkat 10,63% menjadi Rp 15,6 triliun.
Secara konsep dasar, yang membedakan asuransi Syariah dengan asuransi konvensional adalah
prinsip pengelolaan risikonya. Prinsip pengelolaaan risiko asuransi Syariah adalah berbagi risiko
(risk sharing), yaitu risiko ditanggung bersama sesama anggota asuransi, hal tersebut dimaknai
dari fatwa DSN MUI bahwa asuransi Syariah adalah kegiatan melindungi dan tolong menolong
di antara sejumlah orang/pihak yang berarti risiko yang terjadi juga akan dibagi kepada semua
peserta asuransi Syariah.[5]

Muhammad Ilham Perdana


120410190038
Daftar Pustaka

[1] A. G. Anshori, “Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dan


Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional,” La_Riba, vol. 2, no. 2, pp. 159–172,
2008.

[2] M. D. Sari, Z. Bahari, and Z. Hamat, “PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI


INDONESIA : SUATU TINJAUAN,” vol. 3, no. 2, pp. 120–138, 2013.

[3] T. Dalam, M. Mea, and H. Alamsyah, “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah
Indonesia :,” April 2012, pp. 1–8, 2015.

[4] M. Cahyadin, “PRAKTIK EKONOMI ISLAMI DI INDONESIA DAN IMPLIKASINYA


TERHADAP PEREKONOMIAN Akhmad Akbar Susamto *),” vol. 5, 2008.

[5] N. Puspitasari, “Sejarah Perkembangan Asuransi Islam serta Perbedaanya dengan


Asuransi Konvensional,” Jeam, vol. 10, no. 1, pp. 35–47, 2011.

Muhammad Ilham Perdana


120410190038
Daftar Lampiran Gambar

1.

2.

Muhammad Ilham Perdana


120410190038
3.

4.

5.

Muhammad Ilham Perdana


120410190038

Anda mungkin juga menyukai