Anda di halaman 1dari 15

 Jurnal At-Tajdid 

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN
KAJIAN KITAB KUNING DI PONDOK PESANTREN

Muhammad Thoriqussu’ud*
Abstract: Kitab is a specific term used to refer to papers in the field
of religion, written in Arabic alphabet. This designation distinguishes
papers in general that is usually written in non-Arabic letters, called
as book. The book used as a source of learning in schools and educa-
tional institutions such traditional Islam is called as the Yellow Book
(Kitab Kuning). The presence of the Kitab Kuning as a learning re-
source is generally more accessible by traditionalists than modernists.
The traditionalists aim to give high reward to the book itself and the
writer’s book. Besides that, they also think that they have moral re-
sponsibility to preserve the book. The implementation of the teaching
of this book is in gradual way. It is from elementary level curriculum
that teaches simple books, advanced level, and takhassus level. There
are some methods used in teaching implementation that is also ac-
companied with models of the development of yellow book assess-
ment, such as: memorizing, sorogan, weton or bandongan, mudzakarah
and majlis ta’lim.

Keywords: Kitab Kuning, Modeling of Study, Pesantren.

* Dosen Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya ‎

225
Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren

PENDAHULUAN
Sebagaimana langgar, pesantren pada mulanya merupakan lembaga
pendidikan dan penyiaran agama Islam di Jawa. Keberadaannya seba-
gai komunitas belajar agama mempunyai hubungan fungsional dengan
masyarakat sekitarnya, tempat pesantren menyelenggarakan kegiatan.
Dalam hal ini kyai mampunyai status kepemimpinan ganda, sebagai pe­
mimpin pesantren dan juga sebagai pemimpin spiritual masyarakat da-
lam melaksanakan kehidupan agama sehari-hari.
System pembelajaran lembaga ini khas diwarnai budaya lokal, na-
mun substansi yang diajarkan adalah ortodoksi Islam yang terkandung
dalam kitab kuning sebagai media pembelajaran. Kitab kuning ini me­
rupakan suatu hal yang harus dipelajari dan dikuasai oleh santri sebagai
bekal hidupnya kelak setelah ia keluar dan menjadi alumni dari pesan­
tren di mana ia mondok.
Dewasa ini, pengajian kitab kuning mendapatkan banyak sorotan,
utamanya yang berkaitan dengan lemahnya metodologi yang digunakan
dalam pembelajaran kitab-kitab kuning yang ada di pesantren, sehing-
ga menyebabkan aspek esensial dari tujuan pendidikan yang diajarkan
oleh pesantren tidak dapat tercover secara menyeluruh. Oleh karena itu
diperlukan cara baru dalam mencapai tujuan pendidikan yang ada di
pesantren. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini akan
dibahas mengenai model-model pengkajian kitab kuning di pesantren
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pendidikan yang ada dipesantren dan apa yang
menjadi sumber belajarnya dalam upaya pencapaian terhadap tu-
juan pesantren?
2. Bagaimana model-model dalam upaya pengembangan pengkajian
kitab kuning agar supaya tercipta santri yang memiliki pengetahuan
di bidang keagamaan secara menyeluruh dan menerapkan nilai-ni-
lai yang ada di dalamnya?

226 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012


Muhammad Thoriqussu’ud

SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN


Pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan memiliki hubungan
fungsional dengan masyarakatnya baik dalam bidang politik, ekonomi
dan sosial budaya. Dalam fungsinya yang terakhir, pesantren menye­
lenggarakan pendidikan dan pembinaan masyarakat melalui trans-
misi ajaran Islam ortodoks yang akomodatif terhadap system budaya
masyarakat. Fungsi ini merupakan ciri khas pesantren sejak awal berdi-
rinya yang secara esensial tidak berubah ketika lembaga itu mengalami
perkembangan.
Lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada
ma­syarakat dan anak-anak di Indonesia telah lahir dan berkembang
­semenjak masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal ke-
munculannya, lembaga pendidikan ini besifat sangat sederhana berupa
pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di
masjid, surau atau rumah-rumah ustadz. Lembaga yang terus berkem-
bang dengan nama pesantren ini terus tumbuh dan berkembang di-
dasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat
dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para san­
tri, masjid sebagai pusat aktivitas peribadatan dan pendidikan, santri se-
bagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kyai yang mengasuh
merupakan lima elemen dasar keberadaannya.1
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi peng­
ajaran agama Islam, tujuannya tidak semata-mata memperkaya pikiran
santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang islami, tetapi
untuk meningkatkan moral, menghargai nilai-nilai spiritual dan kema-
nusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral dan
­menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Di sam­ping
itu untuk mempersiapkan santrinya menjadi orang alim dalam ilmu
agama serta mengamalkannya di dalam masyarakat.2
Pesantren pada umumnya tidak merumuskan tujuan pendidikan-
nya secara rinci, dijabarkan dalam sebuah system pendidikan yang leng-
kap dan konsisten. Namun secara umum tujuan itu sebagaimana tertulis
dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Zarnuji, sebagai pedoman etika

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012 227


Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren

dan pembelajaran di pesantren dalam menuntut ilmu, yaitu “menuntut


dan mengembangkan ilmu-ilmu itu semata-mata merupakan kewajiban
yang harus dilakukan secara ikhlas”.3
Keikhlasan ini merupakan asas kehidupan di pesantren yang dite­
rapkan secara praktis dalam pembinaan santri, melalaui amal perbuat­
annya sehari-hari. Sementara ilmu agama yang dipelari merupakan nilai
dasa yang mengarahkan tujuan pendidikannya, “yakni membentuk ma-
nusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam merupakan
weltanschaung (dasar nilai yang bersifat menyeluruh).
Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengerjakan ke-
pentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan
kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan peng-
abdian kepada Tuhan.4 Diantara cita-cita pendidikan pesantren adalah
latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak meng-
gantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Allah SWT.5
Dari rumusan tujuan tersebut, tampak jelas bahwa pendidikan pe-
santren sangat menekankan pentingnya tegaknya Islam di tengah-te­
ngah kehidupan sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci
keberhasilan hidup bermasyarakat. Agama menurut WM Dixon diyaki-
ni sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral, dan apabila
penghargaan kepada ajaran agama merosot, maka sulit mencari peng-
gantinya.6
Pesantren dalam hal ini, akhirnya berperan ganda, yakni pesan­tren
terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur usa-
ha, yaitu usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk me-
mindahkan pola kehidupan ala Rasulullah SAW dan pewaris Nabi ke
dalam kehidupan pesantren. Kemudian, unsur selanjutnya adalah disi-
plin sosial yang ketat di pesantren, yaitu kesetiaan tunggal kepada pe-
santren untuk mendapatkan topangan moril dari kyai untuk kehidupan
pribadinya.7 Ukuran yang dipakainya guna mengukur kedisiplinan dan
kesetiaan seorang santri kepada pesantrennya atau kepada kyai adalah
kesungguhan dalam melaksanakan pola kehidupan tasawuf.

228 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012


Muhammad Thoriqussu’ud

Pesantren dalam proses perkembangannya masih tetap disebut se-


bagai suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan
il­mu agama Islam. Dengan segala dinamikanya, pesantren dipandang
sebagai lembaga yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan ma­
syarakat lewat kegiatan dakwah Islam, seperti tercermin dari berbagai
pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan individu,
sampai pada pengaruhnya terhadap politik diantara para pengasuhnya
dan pemerintah.
Hal tersebut bisa dilihat tidak saja pesantren pada posisi dewasa ini,
tetapi bisa dilihat posisi pesantren pada zaman dahulu sebelum Belanda
datang di Indonesia. Secara pedagogis, pesantren lebih dikenal sebagai
lembaga pendidikan Islam, lembaga yang di dalamnya terdapat proses
belajar mengajar ilmu agama Islam dan lembaga yang dipergunakan un-
tuk penyebaran agama Islam. Dalam proses belajar mengajar dalam pe-
santren diajarkan bahwa Islam adalah agama yang mengatur bukan saja
amalan-amalan peribadatan, apalagi sekedar hubungan orang dengan
Tuhannya, melainkan juga perilakunya dalam hubungan dengan manu-
sia di dunia.
Berangkat dari hal tersebut di atas, untuk mewujudkan tujuan da-
lam pendidikan di pesantren tersebut, maka diselenggrakanlah pengaji-
an kitab, yang di dalamnya terhimpun nilai dasar Islam tersebut ­sebagai
tata nilai. Sejumlah kitab yang ditentukan untuk dipelajari di suatu pe-
santren dipandang sebagai kurikulumnya. Pemahaman kurikulum ini
sejalan dengan pandangan Abudin Nata, yaitu “sejumlah mata pelajaran
yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau gelar tertentu”.8
Kurikulum pesantren tersebut meliputi delapan mata pelajaran yang
oleh Kuntowijoyo9 disebut pengetahuan humaniora pesantren, melipu-
ti Bahasa Arab (ilmu alat), fiqh, ushul fiqh, tafsir, Hadits, Adab (sastra
Arab), akhlaq, tasawwuf dan tarikh. Serangkaian mata pelajaran terse-
but terdapat dalam berbagai tingkatan kitab yang dipelajari di dalamnya
mengandung dua visi pendidikan. Pertama, visi moral, yakni pembinaan
sikap mental (watak) dan akhlaq karimah. Kedua, visi intelektual, yakni
pengembangan akal pikiran.10

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012 229


Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Dalam pembinaan moral, peran kyai sangat menentukan. Ia me­


rupakan personifikasi yang utuh dari tata nilai yang terkandung dalam
kitab yang diajarkan. Sebab, selain menguasai isi kitab, ia juga menerap-
kannya dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadikannya sebagai tata
nilai (pranata) dalam mengatur huubungan antara santri dengan pihak
kyai. Dijelaskan bahwa tingkah laku yang benar secara Islam dinyata-
kan dalam contoh-contoh seperti yang dikerjakan kyai, yang mengajar-
kan kepada masyarakatnya tingkah laku ideal, pola piker, perasaan ideal,
symbol-simbol dan amalan-amalan Islam. Melalui pendidikan ketela-
danan yang menekankan pada amal parktis inilah nilai dasar Islam dapat
diintegrasikan dalam jiwa santri dan diamalkan secara konsisten dalam
kehidupan sehari-hari. Menurt Steenbrink, dalam bidang ini pesantren
sangat berhasil dalam membentuk Pribadi yang militan.
Dalam kurikulum pesantren, pelajaran tasawuf sering diyakini sa­
ngat efektif dalam penanaman nilai. Sebab, menurut Arifin, dengan ajar­
an tasawuf santri secara tidak langsung telah tertanamkan dalam ­jiwanya
semacam inner control atau inner moral untuk tidak berani melanggar
akidah akhlak yang ada.
Terbinanya sikap mental dan akhlak karimah ini merupakan
harap­an utama orang tua antri dalam mengikuti pendidikan di pesan­
tren, sebelum menggantungkan harapan pada pengembangan visi yang
lain, visi intelektual. Strategi kyai dalam pengembangan visi intelektu-
al ini mempraktikkan pendidikan dengan pendekatan individual; santri
dididik sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan dirinya. Santri yang
cenderung cerdas dan memiliki kelebihan diberi perhatian istimewa, se-
lalu didorong untuk mengembangkan diri, dan menerima kuliah secara
individual secukupnya. Bahkan mereka yang ingin menjadi ulama, disa-
rankan untuk mengadakan pengembaraan mencari ilmu (rihlah ilmiah)
dari satu pesantren ke pesantren lainnya, untuk bertahassus di bidang
spesialisasi kyai pesantren itu.
Disamping berfungsi sebagai lembaga pendidikan dengan rumusan
tujuan pendidikan seperti yang telah dirumuskan di atas, pesantren juga
mempunyai fungsi sebagai tempat penyebaran dan penyiaran agama

230 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012


Muhammad Thoriqussu’ud

Islam. Hal ini dapat kita ketahui pada sejarah berdirinya pesantren-pe-
santren pada generasi awal dengan tujuannya yang tinggi dan mulia.
Menurut Dofier, tinggi rendahnya pengetahuan santri itu diukur
dengan jumlah buku yang telah dipelajari dan dari ulama mana ia telah
mengaji. Keberhasilannya dalam belajar dapat diketahui secara informal
setealh kyai memberi ijazah, yakni berupa pengakuan kyai tehadap kitab
yang telah dibca dan dipelajari santri, serta perkenaanya untuk meng­
ajarkan kitab tersebut kepada masyarakat. Ijazah ini adakalanya beru-
pa pengakuan kyai dengan menulis nama santri dalam urutan silsilah
transmisi ilmunya. Pemberian ijazah ini di satu sisi merupakan bukti
konkrit atas kemampuan akademik santri, di sisi lain merupakan jalinan
pengikat secara spiritual antara kyai dengan santrinya, minimal sebagai
pembimbing seumur hidup. Dengan jalinan ini, maka hubungan antara
pada alumni dengan pesantren tmpat mereka belajar tetap terpelihara.

KITAB KITAB SEBAGAI SUMBER BELAJAR


Kitab merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut
karya tulis di bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan
ini membedakan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf
selain Arab, yang disebut buku. Adapun kitab yang dijadikan sumber be-
lajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional semacam-
nya, disebut kitab kuning, yakni karya tulis Arab yang disusun oleh para
sarjana muslim Abad pertengahan Islam, sekitar abad 16-18. sebutan
“kuning” karena kertas yang digunakan berwarna kuning, mungkin ka­
rena lapuk di telan masa. Oleh karena itu kitab kuning juga disebut kitab
kuno. Istilah kitab kuning ini selanjutnya menjadi nama jenis literatur
tersebut dan menjadi karakteristik fisik.
Karena kitab kuning sudah menjadi identitas, maka karakteristik
fisik tersebut dilestarikan dalam tradisi percetakan. Kitab kuning di­cetak
dengan kertas kuning berukuran khusus yang sedikitlebih kecil dari
ukuran kertas kwarto, sedangkan penataan jilidnya digunakan sistem
korasan, berupa lembaran-lembaran yang dapat dipisah-pisah sehingga
mudah untuk membacanya, tidak perlu mengangkat seluruh lembaran
kitab.

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012 231


Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Layoutnya, hampir seluruh kitab kuning yang berisi matan dan


syarakh untuk bagian matan diletakkan di luar bidang persegi empat, se-
dangkan bagian syarakh diletakkan di dalamnya. Kitab kuning yang teks
bahasa Arabnya diberi terjemah bahasa local, terjemahannya biasanya
diletakkan menyondong, disebut jenggotan, di bawh teks Arabnya yang
dicetak tebal. Pola ini disebut terjemahan sela baris. Ada kalanya terda-
pat terjemahan atau komentar bebas yang diletakkan di paron bawah
halaman tersebut. Terjemahan melayu kadang mengikuti pola yang ber-
beda; teks Arab matan dipotong pendek-pendek kemudian diikuti terje-
mahannya secara harfiah yang diletakkan di dalam tanda kurung. Akan
tetapi sering terjadi, terjemahan atau syarahnya dicetak secara terpisah
tanpa menyertakan teks Arabnya.11
Sumber belajar, kitab kuning telah dipergunakan sejak abad 16,
meskipun tradisi cetak belum tersebar di Indonesia dan lembaga pe-
santren pun masih dipertentangkan keberadaannya. Kitab kuning yang
dipelajari dalam pengajian kitab memiliki corak yang berbeda dari abad
ke abad; meskipun kitab yang dipelajari sejenis kelompok kitab karya
abad pertengahan Islam.
Sejalan dengan corak Islam yang pertama masuk di Indonesia, kitab
yang dipelajari sekitar abad 17 bercorak mistik (tasawuf), khususnya fa-
ham tasawuf falsafi wahdat al-wujud, seperti kitab al-Tuhfah al-Mursalat
ila Ruh an-Nabi ditulis tahun 1000/1590 oleh Syeh Muhammad Fadlullah
al-Burhanpuri yang mengajarkan faham martabat tujuh.12 Di Jawa pada
abad 17 dipelajari juga kitab Fiqh Taqrib karya Abu Suja’ al Isfahani, dan
karya anonim al-Idhah. Kedua kitab tersebut masih digunakan hingga
sekarang.
Setelah abad 18, kitab-kitab yang dipelajari lebih bercorak orto­
doks, seperti kitab tasawuf akhlaqi Siyar al-Salikin karya Abd Shamad
al-Falimbani, kitab fiqh Sabil al-Muhtadin karya Muhammad Arsyad
al-Banjari yang hidup 1710-181213 di kalangan masyarakat melayu. Di
jawa, dipelajari juga tiga judul kitab, yakni Taqrib, Bidayatul Al-Hidayat
(ringkasan Ihya’) karya al-Ghazali dan Ushul yang merupakan kitab aki-
dah seba­nyak enam bis (bab) karya Abd Laits al-Samarkhandi. Corak

232 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012


Muhammad Thoriqussu’ud

yang dipelajari pada abad ini umumnya tidak berubah hingga sekarang.
Namun, setelah akhir abad 19 terdapat penambahan beberapa kita yang
dipelajari ; khususnya di bidang tafsir, Hadits dan Ushul Fiqh. Sebelumnya
ketiga bidang tersebut kurang mendapat perhatian. Di pesantren studi
tafsir hanya terbatas pada kitab Jalalain dan Baidhawi, bahkan untuk dua
bidang yang terakhir sama sekali belum disentuh oleh pesantren.
Setelah abad 20 ketiga bidang tersebut telah mendapat perhatian
pesantren. Lebih dari sepuluh kitab tafsir baik berbahasa Arab, Jawa
Melayu, maupun Indonesia telah dipelajarinya. Sejumlah kumpulan
kitab Hadis juga tidak terlewatkan dalam kurikulum pesantren. Disiplin
Ushul Fiqh telah ditambahkan dalam kurikulum pada banyak pesantren,
sehingga memungkinkan berkembangnnya wawasan fiqh yang lebih di-
namis dan fleksibel. Meskipun telah terjadi perubahan-perubahan kuri-
kulum pesantren, pemaknaan utama pengajarannya masih di bidang
fiqh. Bidang lain seperti filsafat dan metafisika yang menjadi salah satu
dimensi intelektual Islam klasik tidak muncul di pesantren.
Kitab kuning sebagai sumber belajar umumnya diakses oleh kala­
ngan tradisionis yang memberi penghargaan tinggi pada kitab dan
pe­ngarangnnya, dan merasa memiliki tanggung jawab moral untuk
­melestarikannya sebagaimana adanya, sedangkan kalangan modernis
kurang mengakses kitab kuning ini. Pada umumnya mereka cenderung
menggunakan sumber belajar yang disusun sendiri oleh para pengajar
dengan cara mengambil substansi kitab ini, atas dasar pertimbangan
efisiensi dan efektivitas mempelajarinya. Karena itu, tidak jarang lem-
baga pendidikan Islam kalangan modernis menggunakan buku agama
berbahasa Indonesia. Terlepas dari kekurangan kitab kuning dari sifat
lay out dan efisiensi pembelajarannya, kitab kuning mengandung infor-
masi yang kaya tentang Islam salafi yang banyak di nuil di dalamnya.

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KAJIAN KITAB KUNING DI PE­


SANTREN
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam mengikuti
proses pembelajaran kitab di pesantren, yang menyangkut interaksi gu-
ru-murid dan sumber belajar, antara lain sebagai berikut :

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012 233


Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren

1. Kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk ang-


gota keluarganya, dan kadang dianggap memiliki kekuatan ghaib
yang dapat memberi berkah14
2. Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan semata-mata karena ketajaman
akal, ketetpan metode mencarinya dan kesungguhan berusaha;
melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu dan berkah
kyai; serta upaya ritual keagamaan seperti puasa, doa dan riadhah.
Bahkan cara yang terakhir ini memenuhi tradisi pesantren
3. Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Ka­
rena itu, ia harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah ba-
nyak mengajar santri
4. Transmisi lisan para kyai adalah penting. Meskipun santri mampu
menelaah kitab sendiri, yang demikian ini belum disebut ngaji

Pelaksanaan pengajaran kitab ini secara bertahap, dari kurikulum


tingkat dasar yang mengajarkan kitab-kitab sederhana, kemudian ting-
kat lanjutan, dan takhassus. Dalam pengajaran ini dipergunakan ber­
bagai metode disertai dengan model dalam pengembangan kajian kitab
kuning, antara lain : hafalan, sorogan, weton atau bandongan, mudza­
karah dan majlis ta’lim.
Hafalan; santri diharuskan membaca dan menghafal teks-teks ber-
bahasa Arab secara individual, guru menjelaskan arti kata; biasanya di-
gunakan untuk teks nadhom (sajak), seperti Aqidatul Awam (aqidah),
Awamil, Imrithi, Alfiyah (nahwu) dan Hidayatus Sibyan (tajwid).
Dewasa ini pada beberapa pesantren yang ada, hafalan tidak selalu
menekankan pada sejauh mana siswa megnhafal teks Arab yang dipe­
rintah oleh seorang guru, melainkan terdapat beberapa pesantren yang
telah berusaha memodifikasi metode hafalan ini sehingga menjadi mo­del
pengembangan kajian kitab kuning di pesantren. Model pengembang­
an dengan berdasarkan hafalan ini yaitu disamping menghafalkan teks
Arab santri juga disuruh untuk menerangkan dan menafsirkan teks-teks
yang dihafalkannya, kemudian ditindak lanjuti dengan diskusi antar te-
man dalam satu kelas. Model pengembangan ini dilaksanakan pada ting-

234 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012


Muhammad Thoriqussu’ud

kat mutawassithoh ke atas (menengah ke atas) pada beberapa madrasah


diniyah di pesantren.
Weton atau bandongan; disebut weton karena berlangsungnnya
pengajian itu merupakan inisiatif kyai itu sendiri, baik dalam menen-
tukan tempat, waktu terutama kitabnya. Disebut bandongan karena
pe­ngajian diberikan secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri.
Kelompok santri yang duduk mengitari kyai dalam pengajioan itu di­se­
but halaqoh. Prosesnya, kyai membaca suatu kitab dalam waktu ­tertentu,
santri membawa kitab yang sama sa,bil mendengarkand an menyi­mak
bacaan kyai, mencatat terjemahan dan keterangan kyai pada kitab itu
yang disebut maknani, ngesahi atau njenggoti. Pengajian seperti ini di-
lakukan secara bebas, tidak terikat pada absensi, lama belajar hingga
tamatnya kitab yang dibaca.
Weton atau bandongan ini, seiring dengan perkembangan dan
tuntutan zaman, banyak pesantren yang telah berusaha memodifikasi
metode ini. Diantaranya adalah setelah kyai membaca dan menjelas-
kan ­ditindak lanjuti dengan cara membuka pertanyaan berkaitan de-
ngan ­materi yang telah dibaca dan dijelaskannya. Dari modifikasi ini,
maka terciptalah pengembangan model kajian kitab kuning yang baru,
se­hingga lebih memungkinkan santri sebagai “obyek pendidikan” pada
waktu itu akan menjadi lebih memahami terhadap apa yang disampai-
kan oleh seorang kyai, sehingga mengalihkan posisi santri pada posisi
sebagai “subyek pendidikan” dalam proses pembelajaran kitab kuning di
pesantren.15
Sorogan; pengajian secara individual, seorang santri menghadap
kyai untuk mempelajari kitab tertentu. Pengajian jenis ini biasanya ha­
nya diberikan hanya kepada santri yang cukup maju, khususnya yang
berminat hendak menjadi kyai. Namun sebaliknya, menurut Dhofier,
metode pengajaran seperti ini juga dapat diterapkan untuk santri pe-
mula dalam mempelajari kitab agar memperoleh kematangan untuk
meng­ikuti pe­ngajian weton. Kitab yang dibaca santri dalam pengajian
ini ­ditulis dalam bahasa Arab gundul, maka koreksi kyai terhadap ke-
mampuan b ­ ahasa Arab santri dalam membaca amat penting.16

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012 235


Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Dari sisi teoritis pendidikan, metode sorogan sebenarnya termasuk


metode modern, karena antara kyai-santri dapat saling mengenal; kyai
memperhatikan perkembangan belajar santri. Sementara santri belajar
aktif dan selalu mempersiapkan diri sebelum ngesahi kitab. Di sam­ping
itu kyai telah mengetahui materi dan metode yang sesuai untuk san­
trinya. Dalam belajar dengan metode ini tidak ada unsur paksaan, ka­
rena timbul dari kebutuhan santri sendiri.
Sorogan ini merupakan model pengembangan kajian kitab kuning,
karena di dalamnya terdapat atau terjadi interaksi yang hidup antara kyai
dengan santri. Kyai mengoreksi terhadap bacaan santri, dan santripun
dapat mengetahui secara jelas tentang apa yang menjadi kesalahan pada
dirinya berkaitan dengan lemahnya pemahaman terhadap cara mengar-
tikan literatur Arab dan memahami kitab kuning yang dipelajarinya.
Mudzakarah atau musyawarah, pertemuan ilmiah yang secara
khusus membahas persoalan agama pada umumnya. Metode ini di-
gunakan dalam dua tingkatan, pertama, diselenggarakan oleh sesama
santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih untuk memecahkan
masalah dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia. Kedua,
mudzakarah yang dipimpin kyai, di mana hasil mudzakarah santri di­
ajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam seminar. Biasanya dalam
mudzakarah ini berlangsung tanya jawab dengan menggunakan bahasa
Arab. Kelompok mudzakarah ini diikuti oleh santri senior dan memiliki
penguasaan kitab yang cukup memadai, karena mereka harus mempela-
jari kitab-kitab yang ditetapkan kyai.17
Metode ini mirip dengan metode diskusi yang ada dalam lembaga
pendidikan, baik lembaga pendidikan umum maupun lembaga pendidikan
Islam dalam berbagai jenjang pendidikan. Mudzakarah atau musyawarah
ini merupakan model pengembangan kajian kitab kuning santri di pesan­
tren sebagai wahana untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan
universal tentang berbagai persoalan yang dihadapinya, baik masalah fiqih,
aqidah, muamalah dan lain sebagainya. Unsur kesadaran santri cukup ter-
tantang, disamping itu pelaksanaan pembelajar­annya berlangsung dialogis
dan take and give dalam bidang keilmu­annya.

236 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012


Muhammad Thoriqussu’ud

Majlis ta’lim; seuatu media penyampaian ajaran Islam secara umum


dan terbuka. Diikuti oleh jama’ah yang terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat yang berlatar pengetahuan bermacam-macam dan tidak di-
batasi oleh tingkatan usia atau perbedaan kelamin. Pengajian semacam
ini hanya diadakan pada waktu-waktu tertentu saja. Pelaksanaan peng­
ajaran ini merupakan salah satu perwujudan hubungan fungsional pe-
santren dalam mempengaruhi system nilai masyarakat.
Ketika dikaitkan dengan modernisasi pendidikan, majlis ta’lim
merupakan salah satu model pengembangan pendidikan yang efektif
dan efesien. Betapa tidak, masyarakat yang kurang atau tidak bisa mem-
baca kitab kuning dapat mengetahui esensinya hanya dengan pengajian
yang diadakan di majlis ta’lim. Dengan kata lain metode ini merupakan
jalan alternative untuk memasukkan ilmu dan nilai-nilai keislaman ke-
pada mereka yang tidak memiliki cukup ilmu tentang bahasa Arab.

KESIMPULAN
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi pengajaran aga­
ma Islam, tujuan pesantren tidak semata-mata memperkaya pikiran san­
tri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang islami, tetapi untuk
meningkatkan moral, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan,
mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiap-
kan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Kitab merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut
karya tulis di bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan
ini membedakan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf
selain Arab, yang disebut buku. Kitab yang dijadikan sumber belajar di
pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional semacamnya, di­
sebut kitab kuning.
Keberadaan kitab kuning sebagai sumber belajar umumnya diakses
oleh kalangan tradisionis yang memberi penghargaan tinggi pada kitab
dan pengarangnnya, dan merasa memiliki tanggung jawab moral un­tuk
melestarikannya sebagaimana adanya, sedangkan kalangan modern­is
kurang mengakses kitab kuning ini.

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012 237


Model-Model Pengembangan Kajian Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Pelaksanaan pengajaran kitab ini secara bertahap, dari kurikulum


tingkat dasar yang mengajarkan kitab-kitab sederhana, kemudian ting-
kat lanjutan, dan takhassus. Dalam pengajaran ini dipergunakan ber­
bagai metode disertai dengan model dalam pengembangan kajian kitab
kuning, antara lain: hafalan, sorogan, weton atau bandongan, mudza­
karah dan majlis ta’lim. [ ]

ENDNOTES
1
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 44.
2
M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, ( Jakarta: Bumi Ak-
sara, 1993), hlm. 248.
3
Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, (Kudus: Menara Kudus, 1963), hlm. 01.
4
Ismail SM (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm. 44.
5
Zamarkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., hlm. 21.
6
M. Chabib Thoha, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 297
7
Abdur Rahman Wahid, Pesantren sebagai Sub Kultur dalam Pesantren dan
Pembaharuan, ( Jakarta: LP3ES, t.t.), hlm. 42.
8
Abudin nata, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Logos, 1997), hlm. 123.
9
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1987),
hlm. 44.
10
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren., hlm. 20.
11
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 42.
12
Lihat di Azyurmadi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 44.
13
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Mutiara,
1979), hlm. 50.
14
Manfren Oepen (ed), Dinamika Pesantren, ( Jakarta: P3M, 1988), hlm. 286.
15
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, ( Jakarta: Paramadina, 1997), hlm.
23.
16
Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah,
( Ja­karta: P3M, 1985), hlm. 61.
17
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng, (Ma-
lang: Kalimasada, 1993), hlm. 38-39

238 Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012


Muhammad Thoriqussu’ud

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng,
Malang: Kalimasada, 1993
Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bumi
Aksara, 1993
Azra, Azyurmadi, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1991
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-
tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994
Ismail SM (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: PT Tiara Wacana,
1987
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1997
Oepen (ed), Manfren, Dinamika Pesantren, Jakarta: P3M,1988
Raharjo (ed), Dawam, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari
Bawah, Jakarta: P3M, 1985
Thoha, M. Chabib, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Semarang:
Pus­taka Pelajar, 1996
Wahid, Abdur Rahman, Pesantren sebagai Sub Kultur dalam Pesantren
dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, t.t.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara,
1979
Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, Kudus: Menara Kudus, 1963

Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 1, No. 2, Juli 2012 239

Anda mungkin juga menyukai