Anda di halaman 1dari 24

Nama : Siti Umayah

Prodi : D3 Kebidanan Semester V

Mata Kuliah : Gawatdaruratan maternal dan Neonatal

Dosen : Bu Ida SSiT,MKM

Tugas : Askeb 4

A. Pengertian Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam.
Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas
sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera. Bila retensio plasenta tidak diikuti
perdarahan maka perlu diperhatikan ada kemungkinan terjadi plasenta adhesive, plasenta akreta,
plasenta inkreta, plasenta perkreta. (Manuaba (2010:176).

Plasenta tertahan jika tidak dilahirkan dalam 30 menit setelah janin lahir. Plasenta mungkin terlepas
tetapi terperangkap oleh seviks, terlepas sebagian, secara patologis melekat (plasenta akreta, inkreta,
percreta) (David, 2010)

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa retensio plasenta ialah plasenta yang belum
lahir dalam setengah jam setelah janin lahir, keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya
hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan
segera.

B. Fisiologi Plasenta

Klasifikasi plasenta merupakan proses fisiologis yang terjadi dalam kehamilan akibat deposisi
kalsium pada plasenta. Klasifikasi pada plasenta terlihat mulai kehamilan 29 minggu dan semakin
meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan, terutama setelah kehamilan 33 minggu. Selama
kehamilan pertumbuhan uterus lebih cepat daripada pertumbuhan plasenta. Sampai usia kehamilan 20
minggu plasenta menempati sekitar ¼ luas permukaan miometrium dan ketebalannya tidak lebih dari 2-
3 cm, menjelang kehamilan aterm plasenta menempati sekitar 1/8 luas permukaan miometrium, dan
ketebalannya mencapai 4-5 cm. Ketebalan plasenta yang normal jaran melebihi 4 cm, plasenta yang
menebal (plasentomegali) dapat dijumpai pada ibu yang menderita diabetes melitus, ibu anemia (HB < 8
gr%), hidrofetalis, tumor plasenta, kelainan kromosom, infeksi (sifilis, CMV) dan perdarahan plasenta.
Plasenta yang menipis dapat dijumpai pada pre eklampia, pertumbuhan jani terhambat (PJT), infark
plasenta, dan kelainan kromosom. Belum ada batasan yang jelas mengenai ketebalan minimal plsaenta
yang masih dianggap normal. Beberapa penulis memakai batasan tebal minimal plasenta normal antara
1,5-2,5 cm.

C. Patofisiologi
Segera setelah anak lahir, uterus berhenti kontraksi namun secara perlahan tetapi progresif
uterus mengecil, yang disebut retraksi, pada masa retraksi itu lembek namun serabut-serabutnya secara
perlahan memendek kembali. Peristiwa retraksi menyebabkan pembuluh-pembuluh darah yang berjalan
dicelah-celah serabut otot-otot polos rahim terjepit oleh serabut otot rahim itu sendiri. Bila serabut
ketuban belum terlepas, plasenta belum terlepas seluruhnya dan bekuan darah dalam rongga rahim bisa
menghalangi proses retraksi yang normal dan menyebabkan banyak darah hilang.

D. Fisiologi Pelepasan Plasenta

Pemisahan plasenta ditimbulkan dari kotraksi dan retraksi miometrium sehingga mempertebal dinding
uterus dan mengurangi ukuran area plasenta. Area plasenta menjadi lebih kecil, sehingga plsenta mulai
melepaskan diri dari dinding uterus dan tidak dapat berkontraksi atau berinteraksi pada area pemisahan
bekuan darah retroplasenta terbentuk. Berat bekuan darah ini menambah pemisahan kontraksi uterus
berikutnya akan melepaskan keseluruhan plasenta dari uterus dan ,mendorongnya keluar vagina disertai
dengan pengeluaran selaput ketuban dan bekuan darah retroplasenta (WHO, 2001)

E. Penyebab Retensio Plasenta

Secara fungsional dapat terjadi karena his kurang kuat (penyebab terpenting), dan plasenta sukar
terlepas karena tempatnya (insersi disudut tuba), bentuknya (plasenta membranacea, plasenta
anularis), dan ukurannya (palsenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas
disebut plasenta adhesive.

F. Tertinggalnya Sebagian Plasenta

Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin saja pada
beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa plasenta. Penemuan secara dini hanya di
mungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan.

Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan
kembali lagi ketempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang kerumah dan
subinvolusi uterus :

1. Penemuan secara dini hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta
setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar
pasien akan kembali lagi ketempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang
kerumah dan subinvolusi uterus.

2. Berikan antibiotika (sesuai intruksi dokter) karena perdarahan juga merupakan gejala metritis.
Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjukan 3x1 g oral dikombinasi dengan
metrodinazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
3. Lakukan eksplorasi digital (bidan boleh melakukan) (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan
darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuretase (dilakukan oleh dokter obgyn).

4. Bila kadar HB < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar HB > 8 g/dL, berkian sulfas ferosus 600
mg/hari selama 10 hari (sesuai petunjuk dokter kandungan).\

G. Tanda dan Gejala

Gejala yang selalu ada adalah plasenta belum lahir dalam 30 menit, perdarahan segera, kontraksi
uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu tali pusat putus akibat traksi berlebihan, inversi
uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta), gejala yang selalu ada
yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan
segera. Gejala yang kadang-kadang timbul uterus berkontraksi baik tetapi tetapi tinggi fundus tidak
berkurang.

Penilaian retensio plasenta harus dilakukan dengan benar karena ini menentukan sikap pada saat bidan
akan mengambil keputusan untuk melakukan manual plasenta, karena retensio bisa disebabkan oleh
beberapa hal antara lain :

1. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan
kegagalan mekanisme separasi fisiologis.

2. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan
miometrium, perlekatan plasenta sebagian atau total pada dinding uterus. Pada plasenta akreta vilii
chorialis menanamkan diri lebih dalam kedalam dinding rahim daripada biasa adalah sampai kebatas
atas lapisan otot rahim. Plasenta akreta ada yang kompleta, yaitu jika seluruh permukannya melekat
dengan erat pada dinding rahim. Plasenta akreta yang parsialis, yaitu jika hanya beberapa bagian dari
permukaannya lebih erat berhubungan dengan dinding rahim dari biasa. Plasenta akreta yang kompleta,
inkreta, dan precreta jarang terjadi. Penyebab plasenta akreta adalah kelainan desidua, misalnya desisua
yang terlalu tipis.

3. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai / melewati lapisan
miometrium.

4. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion yang menembus lapisan miometrium hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus.

5. Plasenta inkar serata adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri, disebabkan oleh kontriksi
ostium uteri

H. Penanganan Retensio Plasenta

1. Tentukan jenis retensio yang terjaid karena berkaitan dengan tindakan yang di ambil.
2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba
traksi terkontrol tali pusat.

3. Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes permenit. Bila perlu,
kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena
kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri).

4. Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual palsenta secara hati-hati dan
halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan.

5. Lakukan tranfusi darah apabila diperlukan.

6. Berikan antibiotika profilaksis (ampisislin 2 g IV / oral + metronidazole 1 g supositoria/oral).

7. Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik.

I. Penatalaksanaan Retensio Plasenta

Dalam melakukan penatalaksanaan pada retensio plasenta seiknya bidan harus mengambi beberapa
sikap dalam menghadapi kejadian retensio plasenta yaitu :

1. Sikap umum bidan melakukan pengkajian data secara subyekitf dan obyektif antara lain : keadaan
umum penderita, apakah ibu anemis, bagaimana jumlah perdarahannya, keadaan umum penderita,
keadaan fundus uteri, mengetahui keadaan plasenta, apakah plasenta inkaserata, melakukan tes
plasenta dengan metode kustner, metode klein, metode strastman, metode manuaba, memasang infus
dan memberikan cairan pengganti.

2. Sikap khusus bidan :

a. Retensio plasenta dengan perdarahan

- Langsung melakukan plasenta manual

b. Retensio plasenta tanpa perdarahan

- Setelah dapat memastikan keadaan umum penderita segera memasang infusdan memberikan
cairan.

- Merujuk penderita ke pusat dengan fasilitas cukup untuk mendapatkan penanganan yang lebih
baik.

- Memberikan transfusi

- Proteksi dengan antibiotika

- Mempersiapkan plasenta manual dengan letargis dalam keadaan pengaruhnarkosa.

J. Upaya Preventif Retensio Plasenta Oleh Bidan


Upaya pencegahan yang dapat di lakukan oleh bidan adalah dengan promosi untuk meningkatkan
penerimaan KB, sehingga memperkecil terjadi retensio plasenta ,meningkatkan penerimaan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatanyang terlatih,Pada waktu menolong persalinan kala III tidak
diperkenankan melakukanmassage dengan tujuan mempercepat proses persalinan plasenta
karenamassage yang tidak tepat waktu dapat mengacaukan kontraksi otot rahimdan mengganggu
pelepasan plasnta.(Manuaba, IGB. 2010 : 300)

2. Atonia Uteri

A.Pengertian Atonia Uteri

-Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan
pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (Depkes Jakarta ; 2002)

-Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot myometrium uterus untuk berkontraksi dan
memendek.

-Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi
maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. (Apri, 2007).

-Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu
menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. (Sarwono,
2009)

B.Faktor Penyebab Terjadinya Atonia Uteri

Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh
Atonia Uteri, diantaranya adalah :

a. Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya :

• Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)

• Kehamilan gemelli

• Janin besar (makrosomia)

b. Kala satu atau kala 2 memanjang

c. Persalinan cepat (partus presipitatus)

d. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin

e. Infeksi intrapartum

f. Multiparitas tinggi

g. Magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsia atau eklamsia.
h. Umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)

i. Malnutrisi

j. Kesalahan penanganan dalam usaha melahirkan plasenta

k. Ibu dengan keadaan umum jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun

l. Ada riwayat pernah atonia uetri sebelumnya

m. Kehamilan grande-multipara

n. Kelainan uterus

o. Riwayat peradarahan pasca persalinan atau riwayat plasenta manual

p. Tindakan opertaif dengan anstesi umum yang terlau dalam

q. Partus lama

r. Hipertensi dalam kehamilan

Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan
mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari
uterus.

C. Manifestasi Klinis

1. Uterus tidak berkontraksi atau lemahny kontraksi uterus dan lembek

2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)

D. Tanda dan gejala atonia uteri

1. Perdarahan pervaginam

Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini
adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti
pembeku darah

2. Konsistensi rahim lunak

Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab
perdarahan yang lainnya

3. Fundus uteri naik

4. Terdapat tanda-tanda syok


a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)

b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg

c. pucat

d. keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap

e. pernafasan cepat frekuensi 30 kali/ menit atau lebih

f. gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran

g. urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)

E. Diagnosis

Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak,
bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi
yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga
masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

F. Pencegahan Atonia Uteri

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%,
dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat
mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak
menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin
paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian
oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bonus atau 10-20 unit
per liter IV drip 100-150 cc/jam.

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah
dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya
cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada
membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang
dilakukan operasi sesar. Karbetosin tern/yata lebih efektif dibanding oksitosin

G.Langkah-langkah Penatalaksanaan Atonia Uteri

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam
keadaaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Tindakan pertama yang harus
dilakukan tergantung pada keadaaan klinisnya.
H.Langkah penatalaksanaan & Alasan

1.Masase fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta(maksimal 15 detik). Alasan: Masase merangsang
kontraksi uterus. Saat dimasase dapat dilakukan penilaia kontraksi uterus

2.Bersihkan bekuan darah adan selaput ketuban dari vaginadan lubang servik. Alasan: Bekuan darah dan
selaput ketuban dalam vagina dan saluran serviks akan dapat menghalang kontraksi uterus secara baik.

3.Pastikan bahwa kantung kemih kosong,jika penuh dapat dipalpasi, lakukan kateterisasi menggunakan
teknik aseptik. Alasan: Kandung kemih yang penuh akan dapat menghalangi uterus berkontraksi secara
baik.

4.Lakukan Bimanual Internal (KBI) selama 5 menit . Alasan: Kompresi bimanual internal memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterusdan juga merangsang miometrium untuk
berkontraksi.

5.Anjurkan keluarga untuk mulai membantu kompresi bimanual eksternal (KBE). Alasan: Keluarga dapat
meneruskan kompresi bimanual eksternal selama penolong melakukan langkah-langkah selanjutnya

6.Keluarkan tangan perlahan-lahan. Alasan: Menghindari rasa nyeri

7.Berikan ergometrin 0,2 mg IM (kontraindikasi hipertensi) atau misopostrol 600-1000 mcg. Alasan:
Ergometrin dan misopostrol akan bekerja dalam 5-7 menit dan menyebabkan kontraksi uterus

8.Pasang infus menggunakan jarum 16 atau 18 dan berikan 500cc ringer laktat + 20 unit oksitosin.
Habiskan 500 cc pertama secepat mungkin. Alasan: Jarum besar memungkinkan pemberian larutan IV
secara cepat atau tranfusi darah. RL akan membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama
perdarahan.oksitosin IV akan cepat merangsang kontraksi uterus.

9.Ulangi kompresi bimanual internal. Alasan: KBI yang dilakukan bersama dengan ergometrin dan
oksitosin atau misopostrol akan membuat uterus berkontraksi

10. Rujuk segera Jika uterus tidak berkontaksi selama 1 sampai 2 menit, hal ini bukan atonia
sederhana. Alasan: Ibu membutuhkan perawatan gawat darurat di fasilitas yang mampu melaksanakan
bedah dan tranfusi darah

11. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI. Alasan: Kompresi uterus ini memberikan
tekanan langung pada pembuluh darah dinding uterus dan merangsang uterus berkontraksi

12. Lanjutkan infus RL +20 IU oksitosin dalam 500 cc larutan dengan laju 500 cc/ jam sehingga
menghabiskan 1,5 I infus. Kemudian berikan 125 cc/jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup, berikan
500 cc yang kedua dengan kecepatan sedang dan berikan minum untuk rehidrasi. Alasan: RL dapat
membantu memulihkan volume cairan yang hilang akibat perdarahan. Oksitosin dapat merangsang
uterus untuk berkontraksi.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan
paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme
utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan
mekanisme ini.

Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.

H.Manajemen Atonia Uteri ( Penatalaksanaan)

1. Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan
oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan
monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.

2. Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan
perdarahan.Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik), jika uterus
berkontraksi maka lakukan evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera

3. Jika uterus tidak berkontraksi maka

Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks. Pastikan bahwa kandung
kemih telah kosong, lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.

• Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau
kala empat dengan ketat.

• Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual
eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika
hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI

• Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat

• Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

4. Pemberian Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini
menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan
dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan
frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV,
untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit
ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri
setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai
dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV
bolus 0,125 mg. obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga
menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.

Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa. Dapat diberikan
secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian
secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg.
Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping
prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang
disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal
temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan
pada pasien dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius
penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus
penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri
dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia
uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang
terjadi.

5. Operatif

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik
ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah
rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan
ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina
diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian
avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina
dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3
cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi
perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan
bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus
mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina
yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral
ligasi vasa ovarian.

6. Ligasi Arteri Iliaka Interna (dilakukan oleh dokter spesialis kandungan)

Identifikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan
insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter
ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna.
Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka
eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.Risiko ligasi arteri iliaka adalah
trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

Teknik B-Lynch

Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai
tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.

7. Histerektomi

Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum
masif yang jmembutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih
banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.

8. Kompresi bimanual atonia uteri

Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang yang
telah dicuci.

Teknik :

1. Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan

2. Eksplorasi dengan tangan kiri


3. Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina

4. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari
belakang atas

5. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar, itu tidak hanya menekan uterus, tetapi
juga meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya. Kompresi uterus bimanual
dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit. Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya
sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna.

3. Robekan Jalan Lahir

A. DEFENISI ROBEKAN JALAN LAHIR

Robekan jalan lahir adalah terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, serviks, portio
septum rektovaginalis akibat dari tekanan benda tumpul (Wiknjosastro, Sarwono:178)

Robekan jalan lahir adalah robekan yang selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi
banyaknya yang berasal dari perineum, vagina serviks, dan uterus. (Ilmu kebidanan, penyakit
kandungan, & KB untuk pendidikan bidan : 308)

Robekan jalan lahir meliputi : Robekan Vagina, Robekan Perineum, Robekan Serviks dan Rupture Uteri.

1. Robekan Vagina

Robekan atau laserasi yang sampai pada daerah vagina dan cenderung mencapai dinding lateral dan jika
cukup dalam dapat mencapai levator ani. Kadang juga dapat mengakibatkan cedera tambahan pada
bagian atas saluran vagina, dekat spina iskiadika.

Perlukaan pada dinding depan vagina sering kali terjadi terjadi di sekitar orifisium urethrae eksternum
dan klitoris. Perlukaan pada klitoris dapat menimbulkan perdarahan banyak. Kadang-kadang perdarahan
tersebut tidak dapat diatasi hanya dengan jahitan, tetapi diperlukan penjepitan dengan cunam selama
beberapa hari.

Robekan pada vagina dapat bersifat luka tersendiri, atau merupakan lanjutan robekan perineum.
Robekan vagina sepertiga bagian atas umumnya merupakan lanjutan robekan serviks uteri. Pada
umumnya robekan vagina terjadi karena regangan jalan lahir yang berlebih-lebihan dan tiba-tiba ketika
janin dilahirkan. Baik kepala maupun bahu janin dapat menimbulkan robekan pada dinding vagina.
Kadang-kadang robekan terjadi akibat ekstrasi dengan forceps. Bila terjadi perlukaan pada dindin
vagina , akan timbul perdarahan segera setelah jalan lahir. Diagnose ditegakan dengan mengadakan
pemeriksaan langsung.

Untuk dapat menilai keadaan bagian dalam vagina, perlu diadakan pemeriksaan dengan speculum.
Perdarahan pada keadaan ini umumnya adalah perdarahan arterial sehingga perlu dijahait. Penjahitan
secara simpul dengan benang catgut kromik no.0 atau 00, dimulai dari ujung luka sampai luka terjahit
rapi.

Pada luka robek yang kecil dan superfisal, tidak diperlukan penangan khusus pada luka robek yang lebar
dan dalam, perlu dilakukan penjahitan secara terputus-putus atau jelujur.

Bisanya robekan pada vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva maupun perinium. Jika robekan
mengenai puncak vagina, robekan ini dapat melebar ke arah rongga panggul, sehingga kauum dougias
menjadi terbuka. Keadaan ini disebut kolporelasis. Kolporeksis adalah suatu keadaan dimana menjadi
robekan pada vagina bagian atas, sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari
vagina.

2. Robekan Perineum

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan
berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika.

Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium. Terletak antara vulva dan
anus, panjangnya kira-kira 4 cm. Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis
dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian
posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar
bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari
fasia obturatorius. Serabut otot berinsersi di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang
efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis
tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma
pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri
dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna
dan eksterna. Persatuan antara mediana levatorani yang terletak antara anus dan vagina diperkuat oleh
tendon sentralis perinium, tempat bersatu bulbokavernosus, muskulus perinialis transversalis superfisial
dan sfingter ani eksterna. Jaringan ini yang membentuk korpus perinialis dan merupakan pendukung
utama perinium, sering robek selama persalinan, kecuali dilakukan episiotomi yang memadai pada saat
yang tepat. Infeksi setempat pada luka episiotomi merupakan infeksi masa puerperium yang paling
sering ditemukan pada genetalia eksterna.

Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin
menghadap.

Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :

Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit

perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea

ransversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani

Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani

Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum

3. Robekan Serviks

Robekan yang terjadi pada persalinan yang kadang-kadang sampai ke forniks; robekan biasanya terdapat
pada pinggir samping serviks malahan kadang-kadang sampai ke SBR dan membuka parametrium.
(UNPAD, 1984:219)

4. Rupture Uteri

Rupture uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka
kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan
meninggal dalam kavum abdomen. Ruptura uteri masih sering dijumpai di Indonesia karena persalinan
masih banyak ditolong oleh dukun. Dukun seagian besar belum mengetahui mekanisme persalinan yang
benar, sehingga kemacetan proses persalinan dilakukan dengan dorongan pada fundus uteri dan dapat
mempercepat terjadinya rupture uteri.

Ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio
metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh
nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut
dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya.

Resiko infeksi sangat tinggi dan angka kematian bayi sangat tinggi pada kasus ini. Ruptura uteri inkomplit
yang menyebabkan hematoma pada para metrium, kadang-kadang sangat sulit untuk segera dikenali
sehingga menimbulkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Syok yang terjadi seringkali tidak sesuai
dengan jumlah darah keluar karena perdarhan heat dapat terjadi ke dalam kavum abdomen. Keadaan-
keadaan seperti ini, sangat perlu untuk diwaspadai pada partus lama atau kasep.

Ruptur Uteri adalah robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat dilampauinya daya regang
miomentrium. Rupture uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau dalam persalinan
dengan atau tanpa robeknya perioneum visceral.

B. PENYEBAB ROBEKAN JALAN LAHIR

1. Robekan vagina

Robekan dinding vagina dapat timbul akibat rotasi forceps, penurunan kepala yang cepat, dan
persalinan yang cepat.

Perlukaan vagina sering terjadi sewaktu :


1) Melahirkan janin dengan cnam.

2) Ekstraksi bokong

3) Ekstraksi vakum

4) Reposisi presintasi kepala janin, umpanya pada letak oksipto posterior.

5) Sebagai akibat lepasnya tulang simfisis pubis (simfisiolisis) bentuk robekan vagina bisa memanjang
atau melintang.

2. Robekan perineum

Umumnya terjadi pada persalinan :

1. Kepala janin terlalu cepat lahir

2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

3. Jaringan parut pada perinium

4. Distosia bahu

3. Robekan serviks

a. Partus presipitatus

b. Trauma karena pemakaian alat-alat operasi

c. Melahirkan kepala pada letak sungsang secara paksa, pembukaan belum lengkap

d. Partus lama

4. Ruptur Uteri

a. Riwayat pembedahan terhadap fundus atau korpus uterus

b. Induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama

c. Presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus ).

d. Panggul sempit

e. Letak lintang

f. Hydrosephalus

g. Tumor yang menghalangi jalan lahir

h. Presentasi dahi atau muka


C. TANDA DAN GEJALA ROBEKAN JALAN LAHIR

Tanda dan Gejala yang selalu ada :

1. Pendarahan segera

2. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir

3. Uterus kontraksi baik

4. Plasenta baik

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada

1. Pucat

2. Lemah

3. Menggigil

Sedangkan Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang.

· Dramatis

1) Nyeri tajam, yang sangat pada abdomen bawah saat kontraksi hebat memuncak

2) Penghentian kontraksi uterus disertai hilangnya rasa nyeri

3) Perdarahan vagina ( dalam jumlah sedikit atau hemoragi )

4) Terdapat tanda dan gejala syok, denyut nadi meningkat, tekanan darah menurun dan nafas pendek
( sesak )

5) Temuan pada palpasi abdomen tidak sama dengan temuan terdahulu

6) Bagian presentasi dapat digerakkan diatas rongga panggul

7) Janin dapat tereposisi atau terelokasi secara dramatis dalam abdomen ibu

8) Bagian janin lebih mudah dipalpasi

9) Gerakan janin dapat menjadi kuat dan kemudian menurun menjadi tidak ada gerakan dan DJJ sama
sekali atau DJJ masih didengar

10) Lingkar uterus dan kepadatannya ( kontraksi ) dapat dirasakan disamping janin ( janin seperti berada
diluar uterus ).

· Tenang

1) Kemungkinan terjadi muntah


2) Nyeri tekan meningkat diseluruh abdomen

3) Nyeri berat pada suprapubis

4) Kontraksi uterus hipotonik

5) Perkembangan persalinan menurun

6) Perasaan ingin pingsan

7) Hematuri ( kadang-kadang kencing darah )

8) Perdarahan vagina ( kadang-kadang )

9) Tanda-tanda syok progresif

10) Kontraksi dapat berlanjut tanpa menimbulkan efek pada servik atau kontraksi mungkin tidak
dirasakan

11) DJJ mungkin akan hilang

D. PATOFISIOLOGI

1. Robekan Perinium

Robekan perineum terjadi pada semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan
berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul
dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau
kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan
melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.

Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bias menjadi luas apabila kepala janin lahir
terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke
belakang daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginial.

2. Robekan Serviks

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multiparaberbeda daripada
yang belum pernah melahirkan per vaginam. Robekan serviks yang luas mengakibatkan perdarahan dan
dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun
plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir,
khususnya robekan serviks uteri.

3. Ruptur Uteri

a. Ruptur uteri spontan


Terjadi spontan dan sebagian besar pada persalinan. Terjadi gangguan mekanisme persalinan sehingga
menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan.

b. Ruptur uteri trumatik

Terjadi pada persalinan, timbulnya ruptura uteri karena tindakan seperti ekstragksi farsep, ekstraksi
vakum, dll.

c. Rupture uteri pada bekas luka uterus

Terjadinya spontan atau bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus.

E. PENATALAKSANAAN

1. Penjahitan robekan vagina dan perenium

Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.

a. Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.

b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan
blok pedendal, jika perlu.

c. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.

d. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.

e. Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak terdapat
robekan derajat III dan IV.

1) Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus

2) Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.

3) Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter.

f. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT.

g. Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.

h. Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan.

2. Penjahitan robekan servik

a. Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan antiseptik ke vagina dan serviks .
b. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan pada sebagian besar
robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan (jangan mencampur obat
tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar.

c. Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu mendorong
serviks jadi terlihat.

d. Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks jika perlu.

e. Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hati–hati. Letakkan forcep pada
kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk melihat seluruh serviks.
Mungkin terdapat beberapa robekan.

f. Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau poliglokolik
0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali menjadi sumber pendarahan. Jika bagian
panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik atau
poliglikolik 0.

g. Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau forcep cincin.
Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus berupaya mengikat tempat pendarahan
karena upaya tersebut dapat mempererat pendarahan. Selanjutnya setelah 4 jam, buka forcep sebagian
tetapi jangan dikeluarkan.Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.

3. Penjahitan robekan perineum derajat III dan IV

a. Jahit robekan diruang operasi.

b. Tinjau kembali prinsip perawatan umum.

c. Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lignokain. Gunakan
blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan menggunakn anastesi lokal
dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV dengan perlahan ( jangan mencampurdengan
spuit yang sama ) jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.

d. Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.

e. Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.

f. Untuk melihat apakah spingter ani robek dengan masukkan jari yang memakai sarung tangan ke
dalam anus

1) Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.

2) Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat.


g. Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT

h. Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika ada.

i. Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan terkait.

j. Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa vagina, kulit perineum dan ke
otot perinatal yang dalam.

k. Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area robekan denagn forcep.
Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu dua menit algi kemudian lakukan tes ulang.

l. Jahit rektum dengan jahitan putus-putus mengguanakan benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak 0,5
cm untuk menyatukan mukosa.

m. Jika spingter robek pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika
robek ). Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan klem. Jahit sfingter
dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.

n. Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.

o. Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan rektum dan
sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT.

p. Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.

F. KOMPLIKASI

Risiko komplikasi yang mungkin terjadi jika rupture perineumtidak segera diatasi, yaitu :

a. Perdarahan

Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu satu jam setelah
melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan
sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal
perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot (Depkes, 2010).

b. Fistula

Fistuladapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vaginamenembus kandung
kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka, maka air kencing akan segera keluar melalui
vagina.Fistuladapat menekan kandung kencing atau rectumyang lama antara kepala janin dan panggul,
sehingga terjadi iskemia (Depkes, 2010).

c. Hematoma

 Hematomadapat terjadi akibat trauma partuspada persalinan karena adanya penekanan kepala
janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri pada perineumdan
vulvaberwarna biru dan merah. Hematoma dibagian pelvisbisa terjadi dalam vulva perineumdan
fosa iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineumtetapi bisa juga dengan varikositas
vulvayang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri. Kesalahan yang menyebabkan
diagnosis tidak diketahui dan memungkinka n banyak darah yang hilang. Dalam waktu yang
singkat, adanya pembengkakan biru yang tegang pada salah satu sisi introitus di daerah rupture
perineum ( Martius, 2010).

d. Infeksi

Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia pada kala nifas. Perlukaan pada
persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan
ketentuan meningkatnya suhu tubuh melebihi 380 Robekan jalan lahir selalu menyebabkan perdarahan
yang berasal dari perineum, vagina, serviks danrobekan uterus (rupture uteri).

4.. Pengertian HPP

Perdarahan postpartum (postpartum hemorrhage / PPH) adalah perdarahan 500 mL atau lebih dari jalan
lahir pada persalinan spontan pervaginam setelah kala III selesai (setelah plasenta lahir) atau 1000 mL
pada persalinan sectio caesarea. Namun karena sulitnya menghitung jumlah perdarahan, seluruh kasus
dengan jumlah perdarahan yang berpotensi menyebabkan gangguan hemodinamik dapat disebut
sebagai perdarahan postpartum. [1]PPH dapat dibagi menjadi primer dan sekunder. PPH primer adalah
perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan. Sedangkan, PPH sekunder adalah
perdarahan yang terjadi antara 24 jam hingga 6 minggu setelah persalinan.Diperkirakan bahwa 3 – 5 %
pasien obstetri di seluruh dunia mengalami perdarahan postpartum. Sekitar 25% kasus kematian ibu
hamil di seluruh dunia disebabkan oleh perdarahan postpartum. Perdarahan postpartum disebabkan
oleh gangguan pada 4T (tonus, tissue, trauma, dan thrombin). Penyebab PPH yang paling sering adalah
atonia uteri, diikuti dengan retensio plasenta, sisa plasenta, laserasi jalan lahir, dan gangguan
pembekuan darah atau faktor koagulasi.

Diagnosis dari perdarahan postpartum harus dilakukan secara cepat dan cermat, karena jika tidak
ditangani dengan segera maka dapat berakibat kematian. Diagnosis tetap dapat dilakukan dengan
anamnesis secara singkat, pemeriksaan fisik umum maupun khusus, dan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi.

Tatalaksana yang diberikan disesuaikan dengan penyebab terjadinya perdarahan postpartum. Apabila
disebabkan oleh gangguan pada tonus maka dapat diberikan terapi berupa oksitosin, metergin, hemabat
ataupun misoprostol. Perdarahan yang disebabkan oleh trauma dapat dilakukan penjahitan pada lokasi
laserasi. Perdarahan yang disebabkan oleh jaringan atau retensio plasenta dapat dilakukan eksplorasi
ataupun manual plasenta. Apabila akibat gangguan pada thrombin atau faktor koagulasi, maka dapat
dilakukan transfusi. Resusitasi dapat dilakukan sesuai dengan indikasi serta kondisi ibu.
A. Pengertian Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum atau perdarahan pasca persalinan adalah keluarnya darah dari jalan lahir segera
setelah melahirkan. Perdarahan setelah melahirkan dengan jumlah wajar merupakan hal yang normal
terjadi, hal ini disebut lochia.

Kondisi ini terjadi ketika kehilangan darah yang sangat banyak hingga lebih dari 500cc dalam 24 jam
setelah melahirkan merupakan suatu kondisi yang abnormal.

B. Faktor Risiko Perdarahan Postpartum

Beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian perdarahan postpartum, yaitu:

Persalinan lama.

Bayi dalam janin lebih dari satu.

Episiotomi (tindakan membuka jalan lahir dengan memberikan potongan di sekitar jalan lahir).

Bayi besar lebih dari 4000 gr.

Riwayat perdarahan sebelumnya.

Anemia saat hamil.

Usia kehamilan terlalu tua (lebih dari 38 tahun).

C. Penyebab Perdarahan Postpartum

Penyebab perdarahan postpartum secara umum dibagi menjadi empat penyebab, yaitu:

Tonus/kekuatan otot, keadaan ketika uterus tidak dapat berkontraksi atau disebut atonia uteri,
menyebabkan darah yang keluar dari uterus tidak dapat berhenti secara alamiah. Hal ini menyebabkan
darah yang keluar semakin banyak dan harus mendapatkan pertolongan.

Trauma/cedera, adanya robekan jalan lahir karena bayi terlalu besar, atau karena penggunaan obat
pacu persalinan yang tidak sesuai dengan aturan dapat menyebabkan kontraksi terlalu kuat dan
robeknya jalan lahir.

Jaringan, sisa jaringan plasenta yang masih menempel pada uterus dapat menyebabkan sumber
perdarahan dari jalan lahir.

Faktor pembekuan darah, perdarahan yang banyak dapat menyebabkan hilangnya faktor-faktor yang
dibutuhkan darah untuk membantu penutupan luka. Selain itu, pengidap kelainan hemofilia, yaitu ketika
darah sukar membeku menyebabkan kelainan perdarahan pasca melahirkan.
D.Gejala Perdarahan Postpartum

Gejala yang timbul berupa perdarahan dari jalan lahir yang keluar segera setelah persalinan. Di dalam
darah yang keluar biasanya mengandung darah, beberapa bagian dari jaringan otot uterus, mukus atau
lendir, dan sel darah putih.Pada keadaan yang normal darah yang keluar segera setelah melahirkan
kurang dari 500cc. Namun, pada keadaan ketika perdarahan postpartum merupakan sebuah kelainan,
darah yang muncul lebih dari 500cc. Keadaan tersebut disertai gejala lain:

Darah berwarna merah segar.

pada perut bawah.

Demam.

Pernapasan cepat.

Keringat dingin.

Penurunan kesadaran, mengantuk atau pingsan.

E. Diagnosis Perdarahan Postpartum

Diagnosis perdarahan postpartum ditegakkan oleh dokter dengan melihat gejala klinis dari pasien.
Dokter menentukan diagnosis perdarahan postpartum jika menemukan perdarahan lebih dari 500cc
dalam 24 jam pasca persalinan.

Untuk mencari penyebab perdarahan dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan fisik dan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan oleh dokter meliputi:

USG, untuk melihat bagian dalam uterus apakah ada sisa plasenta yang tertinggal

Pemeriksaan faktor pembekuan, untuk melihat adanya kelainan pembekuan atau tidak.

Pengobatan Perdarahan Postpartum

Pada keadaan akut, yaitu ketika kehilangan darah sangat banyak, tindakan pertama yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan cairan pengganti melalui infus. Tindakan memperbaiki keadaan
umum pengidap merupakan prioritas utama pengobatan. Selanjutnya, pengobatan dilakukan dengan
memperbaiki penyebab dari perdarahan postpartum, seperti:

Pemberian obat-obatan untuk memperkuat kontraksi uterus, seperti oksitosin.

Melakukan tindakan kuret apabila terdapat sisa jaringan plasenta yang tertinggal di dalam uterus.

Pemberian transfusi darah dan komponen darah apabila terdapat perdarahan masif pada pengidap.
F. Pencegahan Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum mengenai pada kelompok yang tidak berisiko sekalipun, sehingga tindakan
pencegahan aktif harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum. Beberapa
strategi yang dapat dilakukan meliputi:

Identifikasi dan koreksi anemia pada ibu hamil sebelum persalinan.

Pemeriksaan tanda vital sebelum persalinan juga penting untuk mengidentifikasi kemungkinan
perdarahan yang terjadi.

Untuk petugas kesehatan, manajemen aktif saat persalinan dan tindakan persalinan yang
menghindarkan dari terjadinya perdarahan pascapersalinan.

Anda mungkin juga menyukai