Anda di halaman 1dari 27

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah

Dosen : Abdul hermansyah Thalib,S.Kep.Ns.,M.Kep

“ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN CA


NASOFARING”

DISUSUN
OLEH
(KELOMPOK 7)

1. Susanti H. Nani (17.059)


2. Syaida Alvi Khairiyya Biki (17.060)
3. Ukarman (17.061)
4. Yuniar (17.063)

AKADEMIK KEPERAWATAN MAKASSAR


YAYASAN PENDIDIKAN MAKASSAR
2019

i
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Segala puja dan puji syukur kami ucapkan kepada tuhan yang
maha esa, karena atas berkat dan rahmatnyalah kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul asuhan keperawatan CA
NASOFARING.
Karena keterhatasan kemampuan yang ada, penyusun menyadari
sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................i


Daftar Isi .......................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................2
C. Tujuan ................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1. Konsep Medis ....................................................................3
A. Definisi CA Nasofaring ......................................................3
B. Anatomi .............................................................................3
C. Etiologi ...............................................................................4
D. Klasifikasi ...........................................................................5
E. Patofisiologi .......................................................................5
F. Manifestasi Klinis ...............................................................6
2. Konsep Keperawatan ........................................................8
A. Pengkajian .........................................................................8
B. Diagnosa keprawatan .......................................................17
C. Intervensi Keperawatan ....................................................17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................23
B. Saran .................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang

paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana

karsinoma nasofaring temasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan

frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,

tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan di daerah kepala dan

leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir

60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung

dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,

tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).

Santoso (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF

berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi

anatomi FK Unair Surabaya (1973-1976) diantara 8463 kasus

keganasan diseluruh tubuh. Di bagiam THT Semarang mendapatkan

127 kasus KNF dari tahun 2000-2002. Survei yang dilakukan oleh

Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”

mendapatkan angka pravalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000

penduduk atau diperkirakan 7000-8000 kasus per tahun diseluruh

Indonesia.

1
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih

merupakan suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum

pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang

tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli

sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis

pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya

diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin

buruk.

Dengan melihat hal tersebut, diharapkan tenaga kesehatan

khususnya perawat dapat berperan dalam pencegahan, deteksi diri,

terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini. Penulis

berusaha untuk menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk

dipahami melalui tinjauan pustaka dalam referat ini dan diharapkan

dapat bermanfaat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asuhan keperawatan pada klien dengan
karsinoma nasofaring ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
karsinoma nasofaring

2
BAB II
PEMABAHASAN

1. Konsep Medis
A. Definisi
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang
muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorokan dan di
belakang hidung, yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi
skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur (Kementerian
Kesehatan RI).
Karsinoma Nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel
nasofaring di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga
mulut yang tumbuh dari jaringan epitel yang meliputi jaringan limfosit
dengan predileksi di fossa rossenmuller pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi
skuamosa (Brunner & Suddarth, 2002).
Kanker nasofaring adalah penyakit di mana ganas (kanker) sel
terbentuk di jaringan nasofaring. Nasofaring adalah bagian atas faring
(tenggorokan) di belakang hidung. Kanker nasofaring paling sering
dimulai di sel-sel skuamosa yang melapisi nasofaring (Nasional Cancer
Institute, 2013).

B. Anatomi
NASOFARING disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan
yang terletak dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di
bawah dasar tengkorak.
Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan
ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan
belakang 2-3 sentimeter.
Batas-batasnya :
– Dinding depan : Koane
– Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggi Vertebra
Sevikalis I dan II.
– Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.
– Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.
– Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.
Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius
menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di
belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus
Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang
merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya
tumor ganas nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat
meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka
setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka

3
ostium tuba juga terganggu. Dengan radiasi, diharapkan tumor primer
dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian
pendengaran dapat menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan radiasi dosis
tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk
pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi dan atropi
dari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif penderita
masih mengeluh pendengaran tetap menurun.
C. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring berhubungan dengan virus Ebstein
Barr, faktor genetik, dan faktor  lingkungan.
1. Virus Epstein Barr (EBV)
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA dengan
kapsid ikosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae.
Infeksi EBV berhubungan dengan beberapa penyakit seperti
limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis, dan karsinoma
nasofaring (EBV-1 dan EBV-2). EBV dapat menginfeksi manusia
dalam bentuk yang bervariasi. Namun, dapat pula menginfeksi
orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi
adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.
2. Genetik
Karsinoma nasofaring bukan termasuk tumor genetik.
Namun, karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisa
genetik menunjukkan gen HLA (Human Leukocyte Antigen) dan
gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan
merupakan gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 merupakan enzim yang bertanggungjawab
atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamin dan karsinogen.
Analisa genetik pada populasi endemik menunjukkan
bahwa orang dengan gen HLA-A2, HLA-B17 dan HLA-Bw26
memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma
nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita
karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada
regio HLA. Orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi
tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena
karsinoma nasofaring.
3. Lingkungan
Ikan asin dan makanan yang diawetkan mengandung
sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang
mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring.
Merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap
rokok yang mengandung formaldehide dan juga debu kayu/asap

4
kayu bakar kemungkinan dapat mengaktikan kembali infeksi dari
EBV. Resiko untuk menderita KNF pada perokok meningkat
2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok serta
ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di
Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi
frekuensi merokok.

D. Klasifikasi
Menurut WHO : WHO menetapkan Karsinoma Nasofaring (KNF)
sebagai kanker yang berasal dari sel skuamosa dan dibedakan menjadi
3 tipe :
a. Tipe I : keratinizing squamous cell carsinoma Menunjukkan
differensiasi skuamosa dengan adanya jembatan interseluler dan atau
keratinisasi di atasnya.
b. Tipe II : differentiated non keratinizing carsinoma Sel tumor
menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di
dalam sel, terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur sampai
anaplastik dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau tidak sama
sekali.
c. Tipe III : undifferentiated carsinoma Mempunyai gambaran patologi
yang sangat heterogen. Sel ganas memiliki inti bulat sampai oval dan
vesikuler, batas sel yang tidak jelas, dapat ditemukan sel ganas
berbentuk spindle dengan inti hiperkromatik. Tipe II dan III lebih
radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-
Barr (Chan dan Felip, 2009).

E. Patofisiologi
Infeksi EBV terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-
sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Mula-mula, glikoprotein
(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 (reseptor
virus) di permukaan limfosit B. Masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B
menyebabkan limfosit B menjadi imortal. Namun, mekanisme masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan
pasti. Namun demikian, terdapat dua reseptor yang diduga berperan
dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan
PIGR (Polimeris Imunoglobin Receptor).6
 Sel yang terinfeksi oleh EBV dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu

5
a. sel yang terinfeksi EBV akan mati dan virus akan bereplikasi
b. EBV yang menginfeksi sel akan mati sehingga sel menjadi
normal kembali
c. terjadi reaksi antara sel dan virus yang mengakibatkan
transformasi/perubahan sifat sel menjadi ganas sehingga
terbentutlah sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada
penderita KNF adalah gen laten yaitu EBERs,EBNA1, LMP1,
LMP2A dan LMP2B. 6
a. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada
infeksi laten.
b. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B  menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik
virus.
c. Protein transmembran LMP1 (gen yang paling berperan dalam
transformasi sel) menjadi perantara sinyal TNF (Tumor Necrosi
Factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang
meningkatkan proliferasi sel B dan menghambat respon imun
lokal.

F. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring 
adalah :
a. Gejala Dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka
diagnosis dan pengobatan yang sedini mungkin sangat diperlukan..
1) Gejala telinga :
a) Sumbatan tuba eustachius atau kataralis.
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.Gejala
ini merupakan gejala yang sangat dini.
b) Radang telinga tengah sampai perforasi membran timpani.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi
akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah
akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin

6
banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membran timpani
dengan akibat gangguan pendengaran.

2) Gejala Hidung :
a) Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan
sentuhan dapat terjadi perdarahan hidung atau epistaksis.
Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit
dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan.
b) Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi
koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya
pilek kronis, sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering
terjadi pada anak yang sedang menderita radang. Hal ini
menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak terdeteksi pada
stadium dini (Roezin & Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).

3) Gejala Lanjut :
a) Pembesaran kelenjar limfe leher
b) Tidak semua benjolan leher menandakan kekhasan penyakit
ini jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah
daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di
level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya sering
diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang
terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.
Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran
kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong
pasien datang ke dokter.
c) Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf
otak dapat terjadi, seperti penjalaran tumor melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat
juga mengenai saraf otak ke-V, sehingga dapat terjadi
penglihatan ganda (diplopia). Proses karsinoma nasofaring
yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang
relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut

7
dengan sindrom Jackson.Bila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral.Dapat juga disertai dengan
destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian
biasanya prognosisnya buruk.
d) Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal
ini yang disebut metastasis jauh.Yang sering ialah pada
tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu
stadium dengan prognosis sangat buruk (Nutrisno , Achadi,
1988 dan Nurlita, 2009).

2. Konsep Keperawatan

A. Pengkajian
a. Identitas
1.    biodata klien
a.    Nama :
b.    Tempat tanggal lahir :
c.    Umur : 59 tahun dan menurun setelahnya
d.   Jenis Kelamin :
e.    Suku Bangsa :
f.     Status Perkawinan :
g.    Pendidikan :
h.    Pekerjaan :
i.      Status Ekonomi :
j.      Alamat : mungkin dipengaruhi lingkungan dan kebiasaan
hidup di rumah yang kurang sehat
k.    Tanggal Masuk :
b. Riwayat Kesehatan
1.    Keluhan Utama (keluahan yang pertama kali dirasakan dan
diucapkan klien) Leher terasa nyeri, semakin lama semakin
membesar, susah menelan, hidung terasa tersumbat, telinga
seperti tidak bisa mendengar, penglihatan berkunang-kunang,

8
badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu
singkat.
2.    Riwayat Kesehatan Sekarang (Tanyakan keluhan yang
dirasakan sekarang)
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan, terlihat
membesar pada bagian leher dan terasa banyak gangguan pada
hidung, telinga, dan mata, nyeri dirasakan setiap waktu
R : Keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga, mulut
dan menyebar
S : Keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas, skala nyeri 10

T : Nyeri hilang timbul dan lebih sering saat bernafas dan


menelan, keluhan muncul secara bertahap
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu (Tanyakan apakah klien pernah
menderita penyakit yang mempermudah terjadinya ca
nasofaring)
Mempunyai profil HLA, pernah menderita radang kronis
nasofaring
4. Riwayat Kesehatan Keluarga (Tanyakan apakah ada kluarga
yang menderita penyakit yang menyebabkan ca nasofaring)
5.    Riwayat Kesehatan Lingkungan (Tanyakan tentang
lingkungan klien)
Terbiasa terhadap lingkungan karsinogen
c. Pola Kesehatan Fungsional (Hidayat & Alimul, 2007)
1. Pola persepsi kesehatan – pemeliharaan kesehatan
Pada klien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan
tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan
tentang dampak sehingga menimbulkan presepsi yang
negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak

9
mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama,
oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan
mudah dimengerti pasien.
2. Pola metabolisme nutrisi
Akibat adanya pembekakan pada saluran pernafasan atas
shingga menimbulkan keluahan nyeri pada leher, susah
menelan, berat badan menurun dan lemas. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi
dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status
kesehatan penderita.
3. Pola eliminasi
Akibat kurangnya konsumsi air putih menyebabkan
volume kencing berkurang, susah kencing. Pada eliminasi
alvi terdapat gangguan, klien buang air besar tidak teratur.
4. Pola aktivitas
Adanya Ca Nasofaring menyebabkan penderita tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
penderita mudah mengalami lemah dan letih. Klien biasanya
bekerja diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat di
Rumah Sakit.
5. Pola istirahat – tidur
Adanya Ca nasofaring membuat klien mengalami
perubahan pada pola tidur. Klien kurang tidur baik pada
waktu siang maupun malam hari. Klien tampak tergangu
dengan kondisi ruang perawatan yang ramai. Dan adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri,
ansietas, berkeringat malam.
6. Pola kognitif – persepsi

10
Klien mampu menerima Pengetahuan, ide persepsi, dan
bahasa. Klien mampu melihat, mendengar, mencium,
meraba, dan merasa dengan baik.
7. Pola persepsi diri – konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan
menyebabkan penderita mengalami gangguan pada
gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga. Klien
mengalami cemas karena kurangnya pengetahuan tentang
sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan
yang diprogramkan.
8. Pola hubungan – peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan
penderita malu dan manarik diri dari pergaulan.
9. Pola seksual – reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di
organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi
seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi
dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Selama
dirawat di rumah sakit klien tidak dapat melakukan hubungan
seksual seperti biasanya.
10. Pola penanganan masalah – strees – toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik,
perasaan tidak berdaya karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung, kehilangan kontrol, dan
menarik diri dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang konstruktif/adaptif.

11
Klien merasa sedikit stress menghadapi tindakan
kemoterapi/sitotraktika karena kurangnya pengetahuan.
11. Pola keyakinan – nilai-nilai
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan
fungsi tubuh serta Ca nasofaring tidak menghambat
penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi
pada ibadah penderita.
d. Pemeriksaan Fisik
1. Penampilan atau keadaan umum : Secara keseluruhan
keadaan tidak baik, BB menurun
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien tidak begitu terkontrol, mata : 2, Respon
Verbal : 5, Respon motor : 4, indra penciuman terganggu,
ketajaman terganggu, berjalan sempoyongan, tidak bisa
seimbang
3. Tanda-Tanda Vital
- Suhu Tubuh,Tekanan Darah ,Nadi,Pernapasan(RR)
4. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
1. Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran
kranium, bulat sempurna, tidak ada deformitas, tidak
ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi
(tidak ada nyeri tekan)
2. Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala bersih, tidak ada
lesi, tidak ada skuama, tidak ada kemerahan, tidak ada
nevus)
3. Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah bingung, keadaan
simetris, tidak ada edema, dan tidak ada massa)
Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)

12
4. Rambut : Inspeksi (rambut kotor, ada ketombe, ada
uban) Palpasi (rambut rontok)
5. Mata : Inspeksi (bulat besar, bersih tidak cowong,
simestris, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik,
pupil isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya positif,
gerakan mata tidak normal, fungsi penglihatan tidak
terlalu baik) Palpasi (bola mata normal, tidak ada nyeri
tekan)
6. Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada lendir, ada
polip, ada pernafasan cuping hidung, ada deviasi
septum, mukosa lembab, kesulitan bernafas, warna
cokelat, tidak ada benda asing) Palpasi (tidak ada nyeri
tekan)
7. Telinga : Inpeksi (Simetris, bersih, fungsi
pendengaran kurang baik, tidak ada serumen, tidak
terdapat kelainan bentuk) Palpasi (normal tidak ada
lipatan, ada nyeri)
8. Mulut : Inspeksi (kotor, tidak ada stomatitis,
mukosa bibir lembab, lidah simetris, lidah kotor, gigi
kotor, ada sisa makanan, berbau, gigi atas dan bawah
tanggal 3/2, sebagian goyang, faring ada
pembekakan, tonsil ukuran tidak normal, uvula tidak
simetris) Palpasi (tidak ada lesi)
9. Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak
ada pembesaran jvp, ada pembesaran limfe, leher
panas)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
1. Paru-paru:

13
Inspeksi : Pergerakan dinding dada tidak normal,
tidak ada batuk, nafas dada, frekuensi nafas 24
x/menit.
Palpasi : Suara fremitus kanan-kiri, tidak ada nyeri
tekan, .
Perkusi : Sonor pada saluran lapang paru.
Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler, tidak
ada weezing.
2. Jantung :
Inspeksi : Normal (Iktus kordis tidak tampak).
Palpasi : Normal (Iktus kordis teraba pada V±2cm)
Perkusi : Normal (Pekak)
Auskultasi : Normal (BJ I-II Murni, tidak ada gallop,
tidak ada murmur)
c. Pemeriksaan Payudara
Inspeksi : Bersih, tidak ada pembekakan, bentuk simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas post operasi, warna
cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus 10x/menit
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal,
Hepar tidak teraba, limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba,
tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada Titik Mc. Burney
Perkusi : Timpani, tidak ada cairan atau udara
e. Pemeriksaan Anus dan Genitalia
1. Anus
Inspeksi : Warna cokelat, tidak ada bengkak atau
inflamasi

14
Palpasi : Feses keras, tidak ada darah, tidak ada pus,
tidak ada darah
2. Genitalia
-Wanita
Inspeksi : Warna merah muda, tidak berbau, tidak ada
lesi, nodul, pus, daerah bersih, bentuk simetris, tidak
varices
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, Fungsi Reproduksi
baik, tidak terpasang DC
-Laki-Laki
Inspeksi : Ada rambut pubis, kulit penis normal, lubang
penis ditengah, kulit skrotum halus, tidak ada
pembekakan, posisi testis norma
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada batang penis dan
skrotum
f. Pemeriksaan Ekstremitas
1. Ekstremitas Atas :
Inspeksi : Jari tangan lengkap, kuku bersih, bentuk
simetris, tidak ada sianosis di lengan kanan atas, tidak
ada edema.
Palpasi : Denyut nadi 94 x/menit, kuku normal,
kekuatan menggenggam normal
2. Ektremitas Bawah :
Inspeksi : bentuk simetris, warna kulit cokelat, kuku
bersih, ada bulu, tidak ada lesi, tidak ada edema, tidak
ada sianosis, persendian normal.
Palpasi : Nadi 94 x/menit, tidak ada nyeri tekan
3. Tulang Belakang :
Inspeksi : Postul normal, vertebra normal, lengkungan
normal

15
Palpasi : Otot bekerja baik
g. Pemeriksaan Kulit
Inspeksi : Kulit bersih, Kulit pucat, kulit kering, tidak ada
lesi
Palpasi : Tekstur tidak normal pada bagian leher, ada
turgor
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Labolatorium
 Hb : 11,9 g/dl
 Leukosit : 3000 sel/mm3
 Trombosit : 556000/mm3
 Ht : 35,4%
 Eritrosit : 4,55 x 106/mm3
 LED : 10
2. Pemeriksaan Diagnostik
- Otoskopi : Melihat Liang telinga, membran timpani
-Nasofaringoskopi : Ada massa di hidung atau nasofaring
-Rinoskopi anterior : Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di
rongga hidung mungkin hanya banyak sekret. Sedangkan
pada tumor eksofilik tampak tumor di bagian belakang rongga
hidung, tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole
negatif.
-Rinoskopi posterior : Pada tumor endofilik tak terlihat masa,
mukosa nasofaring tampak lebih menonjol, tak rata, dan
puskularisasi meningkat. Sedangkan pada tumor eksofilik
tampak masa kemerahan.
-Biopsi multiple
-Radiologi : Thorak PA, Foto tengkorak, CT Scan, Bone
Scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)

16
-Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui
perluasan tumor kejaringan sekitar yang menyebabkan
penekanan atau infiltrasi kesaraf otak, manifestasi tergantung
dari saraf yang dikenai.

B. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d metastase sel kanker
b. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas b.d adanya bendaa
asing (tumor ganas)
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
intake makanan yang kurang
d. Harga diri Rendah b.d perubahan perkembangan penyakit

C. Intervensi Keperawatan
DX Tujuan dan Kriteria
No Intervensi Rasional
Hasil
1. Nyeri akut Setelah dilakukan O: Observasi reaksi   Informasi
tindakan nonverbal dari memberikan data
keperawatan selama ketidaknyamanan dasar untuk
2 x 24 jam klien O: Kaji dan monitor mengevaluasi
diharapkan nyeri berapa skala nyeri kebutuhan/keefektif
dapat berkurang dan O: Lakukan dengan an intervensi
terkontrol. komunikasi terapeutik   Untuk menjaga
KH : N: Pantau aktivitas klien, kenyamanan
K : Klien mampu cegah hal-hal yang bisa pasien
menunjukkan tingkat memicu terjadinya nyeri   Meningkatkan
nyeri dengan N: Bantu klien untuk lebih relaksasi dan
menunjukkan skala berfokus pada aktivitas pengalihan
nyeri (0-10) bukan pada nyeri perhatian
A : Klien mampu N: Lakukan penanganan   Mengurangi rasa

17
mengutarakan nyeri dengan relaksasi ketidaknyamanan
ketidaknyamanan E: Berikan sokongan karena nyeri
dengan yang (support) pada ektremitas   Membantu
dikeluhkan yang luka. menurunkan
P : Klien merasa C: Kolaborasi pemberian ambang presepsi
nyerinya sudah obat-obatan analgesik nyeri
berkurang   Mengurangi rasa
P : Setelah dilakukan nyeri
tindakan
keperawataan klien
dapat melakukan
aktifitas dengan
normal.
Skala nyeri : 6
2. Ketidakefekt Setelah dilakukan O: Monitor TTV, Klien   Untuk
ifan tindakan dianjurkan untuk napas mengetahui TTV
Bersihan keperawatan selama dalam sebelum dilakukan dan memudahkan
jalan nafas 2 x 24 jam klien tindakan tindakan
diharapkan dapat O: Kaji kebutuhan oral   Untuk
mempertahankan O: Klien dianjurkan untuk mengetahui
jalan nafas tetap istirahat dan napas dalam sumbatan
terbuka dan bersihan setelah dilakukan tindakan   Untuk
jalan nafas paten. N: Atur posisi klien dengan meringankan
KH : bagian kepala tempat tidur bebab klien
K : Klien dapat ditinggikan 450   Memungkinkan
menunjukkan jalan N: Auskultasi suara nafas untuk
nafas yang paten sebelum dan sesudah pengembangan
A : Klien mampu suctioning maksimal rongga
mengidentifikasi dan N: Menggunakan alat dada
mencegah faktor yang steril   Membedakan

18
yang dapat N: Menginstruksikan klien suara nafas
menghambat jalan tentang batuk dan teknik   Supaya tidak
nafas napas dalam terjadi infeksi
P : Klien mampu N: Penghisapan   Untuk
batuk efektif dan nasofaring untuk memudahkan
suara nafas yang mengeluarkan sekret pengeluaran sekret
bersih, tidak ada N: Monitor respirasi dan   Untuk
sianosis, dan status O2 memudahkan
dyspneu N: Berikan udara/oksigen pengeluaran sekret
P : Nasofaring dapat yang telah dihumidifikasi   Jalan napas tetap
bekerja dengan baik, E: Jelaskan pada klien stabil
respirasi dalam batas tentang suctioning   Kelembaban
normal 16-20x/menit C: Kolaborasi melakukan menurunkan
TTV fisioterapi dada, kekentalan sekret
Suhu : 36,00C melakukan suction,   Supaya pasien
TD : 140/90 mmHg memberi bronkodilstor bila mengerti
Nadi : 70 x/menit perlu   Untuk
RR : 20 x/menit memudahkan
pengobatan
3. Nutrisi Setelah dilakukan O: Kaji dan hitung kadar   Untuk
tindakan nutrisi pada klien mengetahui
keperawatan selama O: Kaji kemampuan klien tentang keadaan
2 x 24 jam klien untuk mendapatkan nutrisi dan kebutuhan
diharapkan yang dibutuhkan nutrisi pasien
mendapatkan nutrisi O: Monitor pertumbuhan sehingga dapat
yang seimbang. dan perkembangan nutrisi diberikan tindakan
KH : N: Berikan makanan dan pengaturan
K : Klien mengetahui sedikit dan sering dengan nutrisi
penyebab bahan makanan yang   Untuk mencegah
kekurangan nutrisi tidak bersifat iritatif kekurangan nutrisi

19
A : Klien dapat N: Anjurkan pasien untuk   Untuk memenuhi
menutarakan mematuhi diet yang telah kebutuhan asupan
ketidaknyamanan diprogramkan kalori yang adekuat
keadaan sekarang N: Berikan substansi gula   Kebutuhan
P : Klien mampu N: Timbang klien pada terhadap diet dapat
mengatur pola makan interval yang tepat mencegah
dan kebutuhan nutrisi N: Ubah posisi pasien komplikasi
P : Klien tidak semi fowler atau fowler   Mengetahui
mersakan tubuh tinggi perkembangan
lemas, berat badan E: Ajarkan klien berat badan
naik, dan nafsu bagaimana membuat   Untuk
makan bertambah catatan makanan harian memudahkan klien
E: Berikan informasi menelan
A= BB : menurun tentang kebutuhan nutrisi   Kebutuhan
B= HB : turun E: Jelaskan bagaimana pasien teratasi
C= Klien biasanya tanda-tanda kekurangan   Untuk memenuhi
tampak lemas dan nutrisi kebutan nutrisi
pucat, kulit kering C: Kolaborasi dengan ahli   Untuk
D= Porsi makan gizi untuk menentukan memberikan nutrisi
berkurang biasanya 3 jumlah kalori dan nutrisi maksimal dengan
kali menjadi 1 kali yang dibutuhkan klien upaya minimal
pasien /
penggunaan energi

4. Harga diri Setelah dilakukan O: Monitor frekuensi   Untuk


Rendah tindakan komunikasi verbal klien mengetahui
keperawatan selama negative seberapa lancar
2 x 24 jam gangguan O: Kaji alasan untuk berkomunikasi
harga diri pasien mengkritik atau   Supaya klien
teratasi. menyalahkan diri sendiri tidak lagi

20
KH : N: Dorong klien menyalahkan diri
K : Klien mampu mengidentifikasi kekuatan sendiri
mengenali kekuatan dirinya   Untuk
diri N: Dukung peningkatan menguatkan diri
A : Klien tanggung jawab diri klien
mengungkapkan N: Dukung Klien untuk   Untuk
perubahan gaya menerima tantangan baru meningkatkan rasa
hidup tentang E: Ajarkan Keterampilan tanggung jawab
perasaan tidak perilaku yang positif dan bisa menerima
berdaya, dan E: Tunjukkan rasa percaya keadaan
keinginan untuk diri terhadap kemampuan   Untuk
mendapatkan klien meningkatkan rasa
konseling C: Kolaborasi dengan percaya diri
P : Klien mampu sumber-sumber lain   Untuk Menambah
menerima diri, (petugas dinas social, rasa percaya diri
menerima kritik dari perawat spesialis klinis, pada klien dan
orang lain dan dan layanan keagamaa) lebih mudah untuk
komunikasi terbuka mengaplikasik
P : Klien dapat
beradaptasi terhadap
penyakit, percaya
diri, optimis tentang
masa depan, dan
merubah hidup

BAB III
PENUTUP

21
A. Kesimpulan
Kanker nasofaring adalah penyakit di mana ganas (kanker) sel
terbentuk di jaringan nasofaring. Nasofaring adalah bagian atas faring
(tenggorokan) di belakang hidung. Kanker nasofaring paling sering
dimulai di sel-sel skuamosa yang melapisi nasofaring (Nasional Cancer
Institute, 2013), keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,
kanker leher rahim, dan kanker paru (Kemenkes RI). Banyak faktor
yang di duga berhubungan dengan tumor nasofaring, yaitu: adanya
infeksi EBV, faktor lingkungan, dan genetik.
B.Saran
Perawat sebaiknya mengetahui mengenai penyakit karsinoma
nasofaring, sehingga apabila menemukan kasus secara dini dapat
segera ditangani dengan sesuai dan dapat memberikan asuhan layanan
keperawatan yang tepat bagi penderita karsinoma nasofaring

DAFTAR PUSTAKA

22
Ballenger, Jacob John. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala dan Leher. Jilid 2 Edisi 22. Jakarta : Binarupa Aksara.
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8
vol.3. EGC. Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai