Anda di halaman 1dari 16

E.

SUMBERDAYA GENETIKA TERNAK DAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT


1) Breed tahan atau toleran penyakit
Banyak bukti menunjukkan ketahanan penyakit dari ternak breed lokal asli
/indigeneous.
▪ Trypanosomiasis ditularkan oleh lalat Tsetse,
▪ Penyakit ticks dan tick-borne
melemahkan ternak melalui pengisapan darah, dapat menyebabkan kelumpuhan
melalui injeksi toxin yang desekresikan dalam ludahnya, merusak kulit, membuat
infeksi kedua. Lebih sering terjadi di daerah tropis
▪ Parasit internal : Cacing menginfestasi perut ruminansia
▪ Busuk kaki (Foot rot) : penyakit bakteri di kuku ternak yang menular yang
menyebabkan kepincangan yang parah yang merupakan kerugian ekonomi yang
serius, khususnya untuk peternak domba. Lebih sering terjadi di daerah beriklim
dingin
▪ Bovine leucosis :penyakit darah yang disebabkan oleh virus bovine leucosis (BLV)
▪ Penyakit pada unggas : Wabah penyakit ND (Newcastle Disease) dan gumboro
(infectious bursal disease) seringmenghancurkan kelompok ayam di pedesaan
2) Peluang seleksi dalam breed terhadap ketahanan penyakit
Untuk penyakit endemik, yang selalu eksis dalam system produksi (seperti
mastitis, helminthosis) memungkinkan dilakukan seleksi berdasarkan
respon fenotipe terhadap tantangan penyakit.
Untuk penyakit epidemik, pendekatan alternatif perlu diadopsi. Oleh
karena itu perlu dikembangkan tehnik seleksi berdasarkan marka allele
yang berhubungan dengan peningkatan resistensi penyakit (Bishop and
Woolliams,2004)
F. ANCAMAN TERHADAP KERAGAMAN GENETIK TERNAK
1) Tren sektor ternak: faktor ekonomi, sosial dan kebijakan
Penurunan pada fungsi ternak tertentu karena tersedianya berbagai alternatif,
sering menimbulkan ancaman yang subtansial. Contoh yang jelas adalah breed
khusus untuk tenaga kerja terancam oleh ekpansi mekanisasi di bidang pertanian
(FAO, 1996).
Penggantian breed lokal dengan beberapa breed ternak yang berproduksi tinggi
adalah konsekuensi dari usaha untuk meningkatkan hasil.
Globalisasi ekonomi berkontribusi dalam beberapa cara terhadap erosi genetik:
adanya dorongan spesialisasi regional sehingga dapat mengakibatkan penurunan
breed spesial pada region tertentu yang berhubungan dengan tipe produksi yang
tidak disukai; adanya dorongan tren ke arah spesialisasi pada produk tunggal
ditingkat petani sehingga mengancam breed yang bersifat multiguna; adanya
dorongan untuk mengendalikan kapasitas lingkungan produksi, selanjutnya
menggunakan kisaran yang breed sempit; dan adanya fasilitas transfer bahan
genetik lintas batas internasional (Tisdell, 2003).
Faktor terakhir ini juga mendorong beroperasinya apa yang disebut ”efek dominan
Swanson” (Swanson dominance-effect”) yaitu situasi dimana pilihan yang dilakukan
pada awal perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi pengembangan akhir
di tempat lain.
2) Bencana dan keadaan darurat
Kekeringan dan kelaparan merupakan bencana alam yang paling mematikan.
Pertanyaan pertama untuk dipertimbangkan dalam hubungannya dengan
dampak pada SDGT, sejauh mana populasi ternak dipengaruhi oleh berbagai
macam tipe bencana dan emergensi.
Introduksi ternak exotik melalui proyek restocking mempunyai dampak penting
pada komposisi genetik dari populai lokal.
Menggunakan model populasi sederhana, pelacakan progeni dari ternak yang
dipakai untuk restoking menunjukkan bahwa meskipun dengan populasi awal
yang sedikit pada restoked ternak dapat mempunyai dampak besar pada pool
gene asli, dengan proporsi breed murni ternak asli dalam populasi lokal
menurun sangat drastis dalam periode waktu yang singkat.
Tugas membawa kembali populasi ternak setelah bencana sepertinya
memerlukan komitmen beberapa tahun dari agen donor untuk membangun
program pendukung pada negara penerima.
3) Epidemi dan penanganan kontrol penyakit
Di seluruh dunia dan disemua sistem produksi, penyakit ternak membawa
kematian dan menurunkan produktivitas ternak. Biaya untuk pencegahan dan
kontrol, merupakan pembatas bagi peternak, membatasi pertumbuhan
ekonomi, dan mengancam kesehatan masyarakat umum.
Usaha untuk mengontrol penyakit dapat membawa pada pembentukan “area
bebas unggas” sekitar unit produksi skala besar.
Keberlangsungan dari produksi unggas di backyard farming mungkin juga
dihambat oleh perubahan pada praktek pengelolaan dan kegiatan budaya
yang dipaksakan dengan tujuan untuk mengurangi ancaman dari HPAI.
Contohnya memelihara berbagai macam spesies, seperti memelihara itik atau
angsa bersama-sama dengan ayam dilarang di beberapa negara untuk
mencegah wabah HPAI.
Perayaan budaya dan sosial yang melibatkan campuran unggas (contohnya
adu jago atau pameran nyanyian burung) mungkin dilarang.
Manajemen ancaman pada SDGT, perlu integrasi yang lebih baik dari
banyak aspek dari pengembangan sektor peternakan.

Langkah konkret untuk memenuhi tujuan ini termasuk:


• Karakterisasi yang lebih baik dari SDGT dan lokasinya;
• Memberi alat utuk pengkajian ex ante dari dampak genetik dari
intervensi pengembangan, termasuk tindakan restoking setelah
emergensi;
• melindungi SDGT yang unik pada saat kejadian wabah penyakit
atau ancaman yang akut
❖Arah Sektor Peternakan

A. MENGGERAKKAN PERUBAHAN DALAM


SEKTOR PETERNAKAN
➢ Kebutuhan akan perubahan
Di negara berkembang 70% konsumsi daging adalah
daging babi dan unggas; di negara maju 80%.
Konsumsi daging unggas di negara berkembang di
proyeksikan tumbuh 3,4% per tahun sampai tahun 2030,
yang diikuti daging sapi 2,2% dan ovine (daging anak
sapi) 2,1%. Di negara maju, konsumsi daging unggas
diproyeksikan tumbuh 2,5% per tahun sampai 2030 dan
daging lainnya tumbuh 1,7% atau kurang.
• Daya beli
Konsumsi produk ternak naik dengan meningkatnya daya beli. Masyarakat
kelas bawah dan menengah berpengaruh paling besar pada peningkatan
penghasilan produk makanan tetapi konsumsi per kapita makanan dari
produk ternak paling tinggi adalah kelompok dengan penghasilan tinggi.
• Urbanisasi
Urbanisasi mempengaruhi konsumsi produk-produk ternak karena biasanya
diikuti dengan perubahan kebiasaan pola konsumsi makanan dan gaya hidup
• Cita rasa dan kesukaan konsumen
Sumber daya alam, budaya, agama memberikan keragaman pada pola
preferensi konsumen dan juga mempengaruhi cara konsumen mengakses
kualitas produk ternak.

➢ Perdagangan dan penjualan eceran


• Alur ternak dan produknya
Produksi ternak yang diperdagangkan meliwati batas Internasional bertambah
dari 4% pada awal tahun 80-an menjadi 10% saat sekarang. Ekspor utama
negara berkembang adalah ternak hidup dan daging sapi, domba, kambing,
babi, kuda, ayam dan itik, susu segar dan susu kondensasi sapi, pakan babi
dan sapi.
Dengan globalisasi, pasar internasional dan domestik dapat terhubung.
• Peningkatan pengecer besar dan koordinasi vertikal sepanjang rantai makanan
Masuknya transnational kedalam rantai pangan hasil pertanian di negara
berkembang, terutama sektor eceran dan pemrosesan, telah mengubah cara
yang mana pangan dari pertanian dibeli dari pemasok, diproses kedalam
produk yang berbeda, dan didistribusikan ke konsumen.

➢ Perubahan lingkungan alam


Perubahan iklim saat ini, terutama didaerah dengan temperatur yang lebih
hangat, telah mempengaruhi keragaman hayati dan ekosistem. Pemanasan
lebih dari 2,5oC dapat menurunkan suplai pangan global dan menyumbang
meningkatnya harga. Sistem intensif dalam pengelolaan peternakan akan lebih
mudah beradaptasi dengan perubahan iklim dibanding sistem pengelolaan
tanaman (pangan).
➢ Kemajuan dalam teknologi
Kemajuan transportasi dan komunikasi telah mendorong ekspansi pasar
global, dan memudahkan penyebaran sistema produksi yang mana ternak
dipelihara jauh dari sumber pakan. Kemajuan teknologi memungkinkan
peningkatan tingkat kontrol terhadap lingkungan produksi dimana ternak
dipelihara.

➢ Kebijakan lingkungan
Kebijakan-kebijakan dirancang dan disesuaikan dengan mempertimbangkan
keadaan pasar, teknologi yang tersedia dan sumber daya alam. Pembuat
kebijakan menggunakan tiga instrumen utama untuk mempengaruhi
perubahan yaitu: harga, kelembagaan dan promosi dalam perubahan
teknologi.
B. RESPON SEKTOR PETERNAKAN

Sistem produksi industrialisasi tanpa lahan


Tinjauan sistem produksi peternakan
Isu-isu lingkungan

Sistem skala kecil tanpa lahan


Tinjauan sistem skala kecil
Isu-isu lingkungan
Pola produksi

Sistem berbasis padang pengembalaan


Tinjauan sistem produksi
Isu-isu lingkungan
Pola produksi

Sistem pertanian terpadu


Tinjauan sistem pertanian terpadu
Isu-isu lingkungan
Pola produksi
Sistem Pertanian Terpadu

Sistem Pertanian Terpadu merupakan suatu sistem menggunakan ulang atau mendaur
ulang dengan memanfaatkan tanaman dan hewan/ternak sebagai mitra, menciptakan
suatu ekosistem yang dibuat mendekati ekosistem alami.

Agar manfaat sistem pertanian terpadu dapat diperoleh secara efektif dan efisien, pertanian dibuat
di suatu kawasan secara kolektif. Pada kawasan tersebut dapat dibuat beberapa sektor, seperti
sektor produksi tanaman, peternakan serta perikanan.

Sektor-sektor ini akan menjadikan suatu kawasan memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh
komponen produksinya tidak akan menghasilkan limbah, karena dapat dimanfaatkan oleh
komponen-komponen lainnya. Selain itu, peningkatan hasil produksi dan penghematan biaya
produksi juga dapat tercapai.
3 alasan mengapa pertanian terpadu perlu dilakukan, yaitu:

✓ Panen Tidak Setiap Hari – Adanya sistem pertanian terpadu akan menjadikan petani
memiliki alternatif pendapat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
✓ Menekan Harga Produksi – Pertanian terpadu merupakan kombinasi sektor pertanian,
peternakan, perikanan, kehutanan dan lainnya dalam satu wilayah tani. Adanya sistem
ini akan menekan harga pokok produksi dengan penerapan sistem zero waste.
✓ Meningkatkan Harga Jual – Melalui pembinaan yang berkelanjutan, hasil panen
memiliki keunggulan dibanding pertanian konvensional. Manfaat positifnya adalah
harga jual produk pertanian yang meningkat yang memengaruhi kesejahteraan petani
menjadi lebih baik.
Tujuan Pertanian Terpadu (4F)

Pertanian dengan sistem terpadu diharapkan mampu menghasilkan


kesejahteraan meliputi 4F, yaitu food, feed, fuel, dan fertilizer.

✓ Food – Pertanian terpadu diharapkan dapat menghasilkan pangan lebih


beragam, seperti beras, sayuran, daging, dan ikan.
✓ Feed – Limbah dari pengolahan produk pertanian seperti dedak dan bungkil
jagung dapat diolah kembali menjadi konsentrat untuk pakan ternak dan
perikanan.
✓ Fuel – Bahan bakar biogas dapat diperoleh dari pengolahan kotoran ternak,
sehingga dapat mencukupi kebutuhan energi rumah tangga, seperti memasak.
✓ Fertilizer – Limbah dari kotoran hewan serta pembusukan bahan organik lain
dapat dimanfaatkan untuk pupuk cair dan padat.
Strategi Sistem Pertanian

Pertanian dilakukan berlandaskan pada kepentingan ekologis, ekonomis, dan


berkesinambungan atau sistem pertanian terpadu (integrated farming system) sebagai
upaya mengatasi keterbatasan lahan.

Sekitar 60% penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian dan bekerja seagai petani, buruh tani, pekebun, peternak dan nelayan. Rata-rata
petani di Indonesia memiliki lahan yang sempit, yakni sekitar 0,3 hektar terutama di Pulau Jawa.

4 strategi sistem pertanian terpadu, yaitu:

• Meningkatkan variasi sumber pendapatan petani-peternak


• Menurunkan biaya produksi dengan penggunaan bahan organik dari ternak maupun limbah sisa
pertanian untuk menyuburkan lahan
• Mengoptimalkan pemanfaatan secara bijak dengan mempertimbangkan aspek konservasi lahan
dan tanah
• Membangun kelembagaan terpadu yang memberikan penyuluhan akan hal teknis serta
peningkatan sumber daya manusia

Anda mungkin juga menyukai