(Kelompok 9) Kajian Matan Hadits
(Kelompok 9) Kajian Matan Hadits
Makalah
disusun guna memenuhi tugas
disusun oleh:
1
KATA PENGANTAR
Tentunya dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. O
leh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memba
ntu dalam penyusunan makalah ini, terutama Ibu Lia Afiani, M. Hum. selaku dosen dala
m mata kuliah Ulumul Hadits.
Serta penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banya
k kekurangan. Baik dalam segi bahasa, penyusunan kalimat maupun isi makalah ini. Oleh
karena itu, harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah sehingga kedepannya bisa lebih baik lagi.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Daftar Isi.....................................................................................................……..(3)
Kata Pengantar............................................................................................…….(2)
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................…….(4)
A. Latar Belakang...........................................................................……...(4)
B. Rumusan Masalah........................................................................…….(4)
C. Tujuan permasalahan........................................................................…(4)
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................….……(5)
A. Cara Memahami Hadits.....................................................................…(5)
B. Cara Pengamalan Sunnah atau Hadits...............................................…(10)
C. Metode-Metode Memahami (Matan) Hadits................................…….(14)
BAB III PENUTUP...................................................................................……..(23)
A. Kesimpulan................................................................................…….(23)
B. Kritik dan Saran............................................................................…..(23)
Daftar Pustaka..........................................................................................……..(24)
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Ia juga merupakan pen
jelas, terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global, umum dan tanpa batasan.
Bahkan hadits juga dapat berfungsi sebagai penetap suatu hukum yang belum ditetapkan
oleh Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Nabi dalam menyampaikan ajaran a
gama Islam, ia mendapatkan perintah dari Allah, misalnya berupa perintah agar Nabi dala
m berdakwah berlaku bijaksana. Perintah tersebut pastinya dilaksanakan dengan sempurn
a oleh Nabi, sebab tingkat kepatuhan Nabi kepada Allah sangat tinggi, kalau sekiranya na
bi keliru dalam menjalankan perintah Allah, niscaya Allah akan memberikan petunjuk pe
rbaikannya. Dengan demikian, maka semua hadits Nabi merupakan bagian penting dari b
ukti kebijaksanaan Nabi dalam menyampaikan ajaran agama Islam. Selanjutnya, apabila
berbagai matan hadits diperbandingkan, dalam hal ini, yang sanadnya sama-sama shahih,
maka akan dijumpai sejumlah petunjuk yang tampak bertentangan, minimal menimbulka
n kesan tidak sejalan. Dalam memandang adanya pertentangan itu kalangan tertentu men
yampaikan bahwa riwayat hadits yang bersangkutan bukanlah sesuatu yang berasal dari
Nabi. Menurut mereka, mustahil bahwa Nabi mengatakan petunjuk yang saling bertentan
gan. Untuk menyikapi permasalahan dalam memahami hadits-hadits tersebut secara baik
dan benar maka para ulama-ulama mempunyai kaidah-kaidah dan metode yang dapat me
mpermudah dalam hal tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana cara untuk memahami hadits?
2. Bagaimana cara pengamalan hadits pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in?
3. Apa saja metode-metode untuk memahami (matan) hadits?
C. Tujuan permasalahan
1. Mengidentifikasi cara untuk memahami hadits !
2. Mengidentifikasi pengamalan hadits pada masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in !
3. Mengidentifikasi metode-metode untuk memahami (matan) hadits !
4
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk dapat memahami hadits dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimp
angan, pemalsuan dan penafsiran yang keliru, maka haruslah kita memahaminya sesuai d
engan petunjuk Al-Quran yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi yang kebenaran dan kea
dilan yang bersifat pasti, sebagaimana di terangkan dalam surat Q.S. Al-Anam: 115. Arti
nya:“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (AL-Qur’an) sebagai kalimat yang benar da
n adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimatnyadan dialah yang Maha mend
engar lagi maha mengetahui.”
Al Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan menjadi rujukan bagi se
tiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun Al-Hadits merupakan penjelasan terperi
nci bagi hukum-hukum di dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW bertugas menjelaskan tunt
unan-tuntunan Al Qur’an kepada umat manusia. Penjelasan Nabi SAW berkisar pada Al-
Qur’an dan tidak pernah melampauinya.
Oleh sebab itu, tidak ada hadits yang shahih bertentangan dengan ayat-ayat Al-Q
ur’an yang muhkam. Apabila sebagian umat beranggapan bahwa hadits Nabi bertentanga
n dengan Al-Qur’an, hal itu disebabkan hadits tersebut tidak shahih atau pemahaman yan
g tidak benar. Berarti hadits Nabi harus dipahami dalam konteks Al-Qur’an.
5
Untuk memahami hadits Nabi dengan benar, kita harus menghimpun hadits-hadits
yang bertema sama. Hadits-hadits yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam,
hadits yang muthlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan y
ang khash. Dengan demikian makna yang dimaksud akan semakin jelas antara satu sama
lain dan tidak ada pertentangan.
Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a.
bahwa Nabi SAW, pernah bersabda:
“Tiga jenis manusia yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh A
llah: (1) Seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu kecuali yang untuk diun
gkit-ungkit; (2) Seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya deng
an mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan (3) seorang yang membiarkan sarungnya
yang terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.”
Pada hadits tersebut yang dimaksud dengan sarung, ialah kaki seseorang yang sar
ungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sabagai h
ukuman atas perbuatannya. Akan tetapi bagi seseorang yang sempat membaca semua had
its yang berkenaan dengan masalah ini, akan mengetahui apa yang di-tarjih-kan oleh An-
Nawawi, Ibnu hajar, dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud di sini adalah sikap sombon
g yang menjadi motivasi orang yang menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam denga
n hukuman yang keras.
Hal ini sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, dari
Nabi Muhammad saw:“Barang siapa menyeret sarungnya (yakni menjulurkanya sampai
menyentuh atau hampir menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah tidak akan mem
andang padanya, pada hari kiamat.”
6
Dalam pandangan Yusuf Al-Qardhawi, pada dasarnya nash syari’at tidak saling b
ertentangan. Apabila ada pertentangan, hal itu hanya kelihatan dari luar, bukan dalam ken
yataan yang hakiki.
Dalam hal ini ada dua cara yang dapat digunakan :
a) Al-jam’u (penggabungan)
Hadits dapat dihilangkan pertentangannya dengan cara menggabungkan hadits-ha
dits tersebut. Misalnya, hadits tentang larangan seseorang menghadap ke kiblat ketik
a buang air kecil atau besar, sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal
tersebut. Dengan menggabungkan hadits-hadits yang bertentangan tersebut dapat dia
mbil kesimpulan bahwa maksud dari hadits-hadits larangan adalah bila dilakukan di t
empat terbuka, sedangkan maksud dari hadits-hadits yang membolehkan adalah bila
dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti, WC).
b) Tarjih dan Al-Nasikh wa Al-Mansukh.
Apabila hadits-hadits yang bertentangan tersebut tidak bisa digabungkan, maka da
pat diambil dua cara:
a. Tarjih: memenangkan salah satu dari dua hadits atau lebih dengan berbagai
cara pentarjihan yang telah ditentukan oleh para ulama.
b. Al-Nasikh wa Al-Mansukh: hadits yang mansukh (dihapus) dalam arti sebena
rnya, tetapi dalam memahami ini mansukh berarti rukhshah atau karena situasi
dan kondisi yang berbeda.
4. Memahami hadits sesuai dengan latar belakang, situasi dan kondisi, serta tujuannya
Jika Asbabun Nuzul diperlukan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran, ma
ka Asbabul Wurud lebih diperlukan dalam memahami hadits. Salah satu metode yang tep
at dalam memahami hadits Nabi SAW adalah melihat sebab-sebab khusus atau alasan tert
entu yang menjadi latar belakang atau alasan tertentu dalam suatu hadits, baik yang tersir
at maupun yang tersurat, atau yang dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Contoh, hadits tentang keharusan mahram bagi wanita ketika bepergian.
Imam Al-Bukhari dan muslim meriwayatkan dari Abbas dan yang lainya secara marfu’:
“Tidak boleh seorang bepergian, kecuali dengan mahramnya.”
7
Latar belakang larangan ini adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan ya
ng bepergian sendiri tanpa disertai suaminya atau mahramnya. Pada zaman dahulu sarana
transportasinya adalah unta, bighal, dan keledai. Mereka biasanya menempuh perjalanan
selama waktu yang lama, dan melalui daerah-daerah sepi dan padang pasir tak berpenghu
ni. Jika dalam kondisi perjalanan seperti ini seorang wanita tidak disertai mahramnya ma
ka keselamatan perempuan tersebut akan terancam, luput dari bahaya, dan namanya akan
tercemar.
Akan tetapi kondisi telah berubah seperti pada zaman sekarang, ketika perjalanan
jauh ditempuh dengan pesawat terbang yang dapat mengangkut banyak penumpang dan p
erjalanan dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Maka tidak akan ada lagi alasan yan
g mengkhawatirkan keselamatan wanita yang bepergian sendiri, secara syariat hal itu tida
k dapat menjadi masalah bagi wanita tersebut, dan juga tidak dianggap menyalahi hadits.
Salah satu penyebab kekeliruan dan kekacauan dalam memahami hadits adalah se
bagian orang mencampur antara tujuan tetap yang hendak dicapai dengan sarana yang me
nunjang pencapaian tujuan. Adapun sarana bisa berubah sesuai dengan perubahan lingku
ngan, zaman, adat, kebiasaan, dan sebagainya. Untuk menjelaskan pengertian di atas, Yus
uf Al-Qaradhawi mengemukakan contoh hadits tentang obat-obatan. Artinya: “Sebaik-bai
k apa yang engkau jadikan obat adalaah berbekam dan kayu-kayuan laut (HR. Bukhari)”.
Maksud dari hadits di atas adalah resep-resep obat yang digunakan, yaitu berbeka
m dan kayu-kayuan laut, dalam hadits lain menyebutkan kayu-kayuan India, jintan hitam,
itsmid (bahan untuk celak) juga sebagai obat. Sedangkan tujuan dari semua obat itu adala
h memelihara kesehatan. Sesuai perkembangan zaman semakin banyak sarana yang digu
nakan untuk memelihara kesehatan. Untuk itu, obat-obatan tersebut bisa diubah diganti d
engan sarana yang lain. Dalam memelihara kesehatan juga perlu memperhatikan aspek pe
ncegahan, misalnya menjaga kebersihan manusia, rumah dan lingkungan sekitarnya.
8
Bahasa Arab seringkali menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafo
r). Dalam ilmu balaghah (retorika) dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz, lebi
h berkesan ketimbang dalam bentuk hakiki atau biasa. Pengertian majaz mencakup maja
z lughawi, aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukk
an makna secara langsung. Apabila ungkapan-ungkapan majaz tidak dipahami dalam ma
kna majaz, artinya akan menyimpang dari makna yang dimaksud dan akan terjadi kekelir
uan dalam penafsiran. Kekeliruan pemahaman hadits Nabi karena tidak memperhatikan
majaz juga sudah muncul pada zaman Rasulullah SAW. Ketika Beliau bersabda pada istr
i-istri Beliau;“Yang paling cepat menyusulku diantara kalian sepeninggalanku adalah ya
ng paling panjang tangannya.”
Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang. Se
perti dikatakan Aisyah r.a. mereka saling mengukur siapa diantara mereka yang tanganny
a paling panjang. Padahal Rasulullah SAW tidak bermaksud seperti itu, maksud dari tang
an yang paling panjang adalah yang paling baik dan paling dermawan. Sabda Nabi terseb
ut memang sesuai dengan fakta, diantara istri-istri Nabi SAW yang meninggal dunia setel
ah beliau adalah Zainab binti Zahsyi r.a. ia dikenal sebagai wanita yang sangat terampil b
ekerja dan suka bersedekah.
Kandungan hadits Nabi SAW terdapat hal-hal yang berkaitan dengan alam ghaib, mis
alnya malaikat dan tugasnya, jin yang dapat melihat manusia dan manusia tidak dapat me
lihatnya, setan atau iblis yang bersumpah ingin menyesatkan manusia, hal-hal yang terkai
t tentang alam kubur dan lain sebagainya. Kekeliruan mendasar sebagian umat adalah me
nganalogikan sesuatu yang ghaib terhadap yang nyata atau akhirat terhadap dunia. Analo
gi seperti itu tidak tepat karena keduanya berbeda dan memiliki hukum sendiri-sendiri.
Contoh hadits tentang pohon di surga, artinya:”Ada pohon di surga yang (sedemikian
besarnya sehingga) seseorang berjalan di bawah keteduhannya dalam waktu seratus tahun
pun, belum cukup untuk melewatinya (HR. Bukhari)”.
9
Menurut Yusuf Al-Qaradhawi, “seratus tahun” dalam hadits di atas adalah menurut ta
hun-tahun di dunia, dan tidak diketahui perbandingan antara waktu di dunia dan waktu di
sisi Allah, Sesuai QS. Al-Hajj [22]: 47.
Untuk memahami hadits dengan baik, penting sekali untuk memastikan makna yang d
itunjukkan oleh kata-kata hadits. Sebab, makna kata-kata tersebut bisa berubah dari wakt
u ke waktu dan dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain. Hal ini diketahui oleh mer
eka yang mempelajari perkembangan bahasa dan kata-katanya serta pengaruh waktu dan
tempat.
Sebagian orang menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukkan suatu makna tert
entu. Tetapi yang dikhawatirkan adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata yang digun
akan dalam hadits sesuai dengan istilah sekarang, akibatnya akan timbul kekacauan dan k
ekeliruan. Contoh hadits tentang siksaan pada orang yang membuat gambar, artinya:”Ses
ungguhnya siksa Allah yang sangat pedih bagi manusia di hari kiamat adalah orang-orang
yang membuat gambar (HR. Bukhari)”
Makna dari kata tashwir (pembuatan gambar atau pembentukan rupa) yang disebutka
n dalam hadits shahih yang disepakati telah berubah maknanya. Pada zaman sekarang, ka
ta tashwir digunakan untuk menyatakan pengambilan gambar dengan kamera. Teknologi
fotografi ini belum ada pada zaman Nabi SAW, Maka tidak mungkin ditunjukkan kepada
ahli foto saat ini. Ancaman siksa dalam hadits tersebut tidak tepat bagi ahli foto yang men
ggunakan kamera untuk gambar-gambar tertentu.
10
kan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwujudkannya hadis.1 Keadaan ini sangat m
enuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan,
perbuatan, dan pengakuan atau penetepan Rasulullah SAW. Sehingga apa yang disampai
kan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan saksikan merupakan pedo
man. Rasullah satu-satunya contoh bagi para sahabat, karena Rasulullah memiliki sifat k
esempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan manusia lainnya.
Adapun metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam mengajarkan hadis
kepada para sahabat sebagai berikut:
a. Para sahabat berdialog langsung dengan Rasulullah SAW
b. Para sahabat menyaksikan perbuatan dan ketetapan Rasulullah SAW
c. Para sahabat mendengarkan perkataan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasululla
h SAW
d. Para sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasullah S
AW.2
2. Hadis Pada Masa Sahabat
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua peganga
n sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang harus dipegangi ba
gi pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi saw wafat, kendali kepemim
pinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu Bakar as- Shiddiq ( wafat 13 H/634 M) kemudian disusul
oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), da
n Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal de
ngan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman sh
ahabat besar.3
1
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an (Madinah: Daru Al-Shobuni, 2003),
29.
2
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 39.
3
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 4
1.
11
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan meny
usul era sahabat kecil. Dalam pada itu muncullah para tabi’in besar yang bekerjasama d
alam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada mas
a itu. Diantara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode al-Khulafa al-Rasyidin da
n yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadits Nabi saw ialah ‘A’isyah istri
Nabi (wafat 57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), ‘Abdullah bin Abbas (wa
fat 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin al-Khatthab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin
Abdullah (wafat 78 H/697 M).4
Para sahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber syari’ah pertam
a setelah Al-Qur’an Al-karim. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-Sunnah it
u mereka yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dar
i as-Sunnah warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi s
aw. karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang suci ternodai oleh ked
ustaan atau pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh segala cara untuk memelih
ara hadits, mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadits” dari Ra
sulullah, bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam meriwayat
kan hadits”.5 Periode sahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwa
yah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya, cara shahaba
t meriwayatkan hadits ada dua, yakni:6
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi saw yang me
reka hafal benar lafazhnya dari Nabi saw.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazh
nya karena tidak hafal lafazhnya asli dari Nabi saw.
4
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 4
1.
5
Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 124.
6
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 46.
12
a. Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayata
n hadits.
Adapun penulisan hadits pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas
dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah Umar bin Khattab me
mpunyai gagasan untuk membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan set
elah beliau melakukan shalat istikharah. Para shahabat tidak melakukan penulisan h
adits secara resmi, karena pertimbang-pertimbangan:7
1) Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian shaha
bat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada urusan pen
gumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mush-haf.
2) Para shahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits.
7
Ibid, 41-46.
13
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadis sehingg
a hadis tersebar ke banyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra hadis sebagai berikut:
8
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Aiyah dan Abu Hurayrah.
b. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Abd Allah Ibn Mas’ud
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Utbah Ibn Gahzwan
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-Ash
Pada masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadis dan juga muncul hadis
palsu. Faktor terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain:9
a. Periwayat hadis adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan
b. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis
c. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat
Pemalsuan hadis dimulai sejak masa ‘Ali Ibn Abi Thalib buukan karena masalah
politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya pemalsuan hadis dan kekeliruan periw
ayatan maka para ulama mengambil langkah sebagai berikut:10
a. Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadis atau para periwayatnya
b. Hanya menerima hadis dari periwayat yang tsiqoh saja
c. Melakukan penyaringan terhadap hadis dari rowi yang tsiqah
d. Mensyaratkan tidak adanya penyimpangan periwayat yang tsiqoh pada periwayat yan
g lebih tsiqah
e. Meneliti sanad untuk mengetahui hadis palsu.
8
Idri, Studi Hadits (Jakarta: Kencana, 2013), 44-45.
9
Ibid, 45-46.
10
Ibid, 46.
14
dengan pendekatan tekstual dan kontekstual historis, metode ini dapat dipilah menjadi me
tode tahliliy (analitis), metode ijmaliy (global), dan metode muqarin (komparatif), dan me
tode mawdhû‘iy (tematis).
1. Metode Tahiliy
Metode tahliliy adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memaparkan s
egala aspek yang terkandung di dalam hadits-hadits yang dipahami serta menerangkan m
akna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensy
arah yang memahami hadits-hadits tersebut. Dalam menyajikan penjelasan atau komentar,
seorang pensyarah hadits mengikuti sistematika hadits sesuai dengan urutan hadits yang t
erdapat dalam sebuah kitab hadits yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah atau kitab hadits la
innya.
Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadits demi hadits s
ecara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadits seper
ti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadits (jika ditemukan), kaitan
nya dengan hadits lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadits
tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadits.
Metode Tahiliy secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahili
y biasanya berbentuk mat’sur (riwayat) atau ra’yu (pemikiran rasional). Syarah yang berb
entuk ma’tsur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sah
abat, tabi’in atau ulama hadits. Sementara syarah yang berbentuk ra’yu banyak didominas
i oleh pemikiran rasional pensyarahnya.11
b. Dalam pensyarahan, hadits dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat sec
ara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al wurud dari hadits
–hadits yang dipahami jika hadits tersebut memiliki sabab wurud-nya.
11
Buchari M, Motode Pemahaman Hadits, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa Madan
i, 1999), h.26
15
c. Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sa
habat, tabi’ in dan para ahli syarah hadits lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
e. Selain itu, kadangkala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensy
arah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyaraha
n, seperti corak fiqh dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.
Kelebihan:
b. Metode tahliliy dapat menyakup berbagai aspek, kata, frasa, klausa, kalimat,
sabab al-wurud, munasabah (korelasi internal) dan lain sebagainya.
Kekurangan:
a) Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadits dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.
b) Penjelasan umum dan sangat ringkas. Pensyarah tidak memiliki ruang untuk
mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjela
12
Buchari M, Ibid., hal.32-33
16
san terhadap haditshadits tertentu juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas
metode tahliliy.13
Namun perlu diingat bahwa ciri metode ijmaliy ini tidak terletak pada jum
lah hadits-hadits yang disyarahkan, apakah keseluruhan kitab atau sebagian saja.
Yang menjadi tolak ukur adalah pola atau sistematika pembahasan. Selama pensy
arah hanya mensyarah hadits secara singkat maka dapat dikategorikan dalam syar
ah global.
Kelebihan:
Metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap oleh pe
mbacanya. Syarah tidak bertele-tele, sanad dan kritik matan sangat minim.
Kekurangan:
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadits secara utuh dan dapat me
njadikan petunjuk hadits bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehin
gga hadits yang bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas denganhadits yan
g sifatnya rinci.
13
Ibid . hal. 37
14
Ibid . hal.40
17
3. Metode Muqarin(Komparatif)
(1) membandingkan hadits yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam ka
sus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.
(2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadits.
Jadi metode ini dalam memahami hadits tidak hanya membandingkan hadits
dengan hadits lain, tetapi juga membandingkan pendapat ulama (pensyarah) dala
m mensyarah hadits. Diantara kitab syarah hadits yang menggunakan metode mu
qarin ini adalah Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy karya Imam Nawawiy, Um
dah al-Qâriy Syarh Shahih al-Bukhariy karya Badr al-Din Abu Muhammad Mah
mûd al-’Ainiy, dan lain-lain.
Ruang lingkup atau wilayah kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-
beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konota
si kata atau kalimat yang dikandungnya, dan ada yang menguraikan berbagai aspe
k, baik yang menyangkut kandungan (makna) hadits maupun korelasi antara hadit
s dengan hadits.15
Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan beberapa ciri-ciri metode ini sebaga
i berikut:
15
Ibid . hal. 45
18
Jadi, ciri utama metode ini adalah perbandingan, yang mencakup dua sasar
an yakni membandingkan hadits dengan hadits, dan pendapat ulama syarah dalam
mensyarah hadits.16
]Kelebihan:
a) Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca
bila dibandingkan denga metode lain.
b) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yan
g terkadang jauh. berbeda.
c) Pemahaman dengan metode muqarin sangat berguna bagi mereka yang ingin m
engetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadits.
Kekurangan:
a) Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yan
g dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
b) Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalah sosial yang ber
kembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandi
ngan daripada pemecahan masalah
c) Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberika
n oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru. 17
Untuk dapat memahami hadits dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutl
ak diperlukan. Berkaitan dengan ilmu bantu daIam memahami hadits, Yusuf al-Q
ardhawiy memberikan beberapa pedoman, yaitu:
17
Buchari M. Op. Cit. hal 48-50
19
3) Menggabungkan dan mentarjih antar hadits-hadits yang tampak bertentangan.
7) Mampu membedakan antara hadits yang berkenaan dengan alam gaib dengan y
ang kasat mata.
Bertitik tolak dari pemikiran Yusuf al-Qardhawiy diatas, dapat dipahami bahwa ci
ri-ciri metode ini adalah:
18
Ibid , hal. 123
20
b) Memahami makna dari masing-masing hadits.
Kelebihan:
a) Pembahasan lebih fokus dan mendalam karena objek pemahaman hanya satu te
ma tertentu. Contoh: Jihad, Thaharah, Shalat dan sebagainya.
c) Referensi yang lebih luas karena tidak fokus pada satu kitab matan seperti haln
ya metode-metode sebelumnya.
Kekurangan:
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam memahami hadits maka diperlukan beberapa hal yang harus diketahui, namun
juga terdapat berbagai corak atau pendapat dalam memahami hadits ini diantaranya
pendapat antara kelompok tekstualis dan kelompok kontekstualis. Mengumpulkan hadits-
hadits yang satu tema dan pembahasan pada satu tempat, memerlukan hadits yang
kontadiktif (mukhtalaful hadits), mengetahui Asbabul Hadits. Selain itu, dalam
memahami hadits kita juga dituntut mengetahui ilmu-ilmu yang membantu dalam
memahami ilmu-ilmu yang dimaksud yaitu seperti asbabul wurud (sebab-sebab), tawarih
al-mutun (sejarah matan hadits), al lughah (berbahasa arab) dan hermerrutika. Serta
22
beberapa cara dalam pengamalan hadits dalam kehidupan kita sebagai berikut, jika hadits
yang bertentangan dlo'if dan shahih maka diamalkanlah hadits yang shahih. Jika hadits
bertentangan shahih dan shahih, maka dikumpulkan hukumnya jika bisa atau boleh
dikumpulkan dan disatukan. Jika tidak diketahui mana yang terdahulu dan terbelakang,
maka perlu menggunakan cara pentarjihan penguatan hadits yang dilihat dari segi matan
beserta yang lainnya dan perlu diketahui bahwa hadits yang mau diamalkan tidak khusus
bagi Rasul atau Rasul mengkhususkannya kepada seseorang.
B. Saran
Untuk dapat memahami hadis dengan benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan
penafsiran, maka haruslah kita memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Qur'an. Untuk
menafsirkan hadits, penting untuk kita mengetahui apakah hadits tersebut harus dipahami
secara tekstual ataupun kontekstual. Suatu hadits yang shahih, akan sesuai dengan kajian-
kajian ilmiah, dan tidak akan bertentangan. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari hadits
untuk dapat memahami makna yang terdapat dalam hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Evi Mufidar, dkk., Metode-Metode Memahami Hadits Nabi. 2014. Tersedia di : http://mynewma
kalah.blogspot.com/2014/12/metode-metode-memahami-hadits.html diakses pada tanggal 19
Oktober 2020.
Abdul Mustaqim. Ilmu Ma’an Al-hadits (Memahami Hadits). Yogyakarta. 2009. Tersedia di:
http://digilib.uinsby.ac.id/645/4/Bab%201.pdf diakses pada tanggal 30 Oktober 2020.
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an (Madinah: Daru Al-Shobuni, 2003), 2
9.
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 39.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Haits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 4
1.
Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 124.
23
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 46.
Idri, Studi Hadits (Jakarta: Kencana, 2013), 44-45.
Buchari M, Motode Pemahaman Hadits, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Nuansa Madani,
1999), h. 26.
24