Anda di halaman 1dari 7

PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Artikel X

ISSN 2089-0346 (Print) || ISSN 2503-1139 (Online) Volume 9, Nomor 2, Desember 2019

Faktor Risiko Kejadian Stunting pada­ Balita Usia 24-36 Bulan di


Wilayah Kerja Puskesmas Kolono

The Risk Factors of Stunting in Toddlers Aged 24-36 Months Old in The
Working Area of Kolono Public Health Center

Nur Wahyuni (1*), Habib Ihsan (2), Riska Mayangsari (3)


(1,2,3) Program Sarjana Gizi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Karya Kesehatan

*Email Korespondensi: riska.mayangsari28@gmail.com

ABSTRAK
Stunting merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan di Negara berkembang, terma-
suk Indonesia. Terdapat 22,9 %, atau hampir satu dari empat anak berusia di bawah lima tahun (Balita)
mengalami stunting. Lebih dari setengah balita yang mengalami stunting tersebut tinggal di Benua Asia
dan lebih dari sepertiga tinggal di Benua Afrika.Prevalensi stunting di Indonesia menempati peringkat
kelima terbesar di dunia. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey kasus control
(Case Control). Populasi adalah seluruh balita yang mengalami stunting dan sampel sebanyak 60 orang.
Data diperoleh menggunakan kuesioner dan menggunakan uji chi-square dan melihat factor risiko
menggunakan uji Odds ratio. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian stunting berisiko pada
balita yang mengalami infeksi diare. Kejadian stunting berisiko pada balita yang tidak memenuhi ASI
eksklusif.

Kata Kunci : ASI Ekslusif ;Diare; Stunting

ABSTRACT
Stunting is a health problem that is commonly found in developing countries, including Indonesia.
There are 22.9%, or almost one in four children under five years old (Toddler) experiencing stunting. More
than half of toddlers who experience stunting live on the Asian Continent and more than one third live on
the African Continent. Prevalence of stunting in Indonesia ranks fifth in the world. The research used in this
study is a case control survey (Case Control). The population is all toddlers who experienced stunting and
samples of 60 people. Data obtained using a questionnaire and using the chi-square test and see risk factors
using the Odds ratio test. The conclusion in this study is the incidence of stunting at risk of infants who have
diarrhea infections. The risk of stunting in infants who do not meet exclusive breastfeeding.

Keywords : Breast Feeding;Diarhea; Stunting.

Nur Wahyuni 212


PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Artikel X
ISSN 2089-0346 (Print) || ISSN 2503-1139 (Online) Volume 9, Nomor 2, Desember 2019

PENDAHULUAN anak terhadap PTM serta peningkatan risiko


Stunting adalah kondisi dimana overweight dan obesitas. Keadaan overweight
balita memiliki panjang atau tinggi badan dan obesitas jangka panjang dapat meningkat-
yang kurang jika dibandingkan dengan kan risiko penyakit degeneratif. Oleh karena
umur. Kondisi ini diukur dengan panjang itu, kasus stunting pada anak dapat dijadikan
atau tinggi badan yang lebih dari minus dua prediktor rendahnya kualitas sumber daya
standar deviasi median standar pertum- manusia suatu negara. Keadaan stunting yang
buhan anak (World Health Organization, menyebabkan buruknya kemampuan kognitif,
2018b) rendahnya produktivitas, serta meningkatnya
Stunting merupakan masalah risiko penyakit mengakibatkan kerugian
kesehatan yang banyak ditemukan di nega- jangka panjang bagi ekonomi Indonesia
ra berkembang, termasuk Indonesia. Ter- (Ibrahim, 2014).
dapat 22,9 %, atau hampir satu dari empat Berdasarkan data sekunder di Pusk-
anak berusia di bawah lima tahun (Balita) esmas Kolono terdapat 90 orang Balita dan
mengalami stunting (United Nations Chil- terdapat 53 anak balita yang diketahui men-
dren’s Fund, 2016). Lebih dari setengah galami stunting dengan prevalensi yang di
balita yang mengalami stunting tersebut dapat sebesar 59% (Puskesmas Kolono,
tinggal di Benua Asia dan lebih dari seperti- 2019).
ga tinggal di Benua Afrika. Prevalensi stunt- Proses pertumbuhan pada usia 2-3
ing di Indonesia menempati peringkat tahun cenderung mengalami perlambatan se-
kelima terbesar di dunia (TNP2K, 2017). hingga peluang untuk terjadinya kejar tum-
Berdasarkan data Riskesdas tahun buh lebih rendah dibanding usia 0-2 tahun.
2010 Prevalensi stunting sebesar 35,6 %, Usia 2-3 tahun merupakan usia anak mengala-
namun terjadi peningkatan ditahun 2013 mi perkembangan yang pesat dalam kemam-
sebesar 37,2 % dan mengalami penurunan puan kognitif dan motorik. Diperlukan kondisi
di tahun 2018 yaitu 29,9%. Kondisi stunting fisik yang maksimal untuk mendukung
di Provinsi Sulawesi Tenggara mengalami perkembangan ini, dimana pada anak yang
peningkatan sebesar 6,8% jika dibanding- stunting perkembangan kemampuan motorik
kan tahun 2016 dan tahun 2017, yakni dari maupun kognitif dapat terganggu. Anak pada
29,6% menjadi 36,4 % dan pada tahun 2018 usia ini juga membutuhkan perhatian lebih
mengalami penurunan dengan menunjukan dalam hal asupan karena kebutuhan energi
prevalensi 30,8%, meskipun telah mengala- yang lebih tinggi dan kebutuhan makanan
mi penurunan prevalensi stunting di tahun yang lebih bervariasi dibanding usia 0-2 ta-
2018 namun belum mencapai target dari hun (Sugyono, 2015).
RPJMN 2019 yaitu 28% (RISKESDAS, 2010). Stunting terjadi mulai janin masih
Stunting pada balita perlu dalam kandungan dan baru nampak saat anak
mendapatkan perhatian khusus karena berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia
dapat menyebabkan terhambatnya pertum- dini meningkatkan angka kematian bayi dan
buhan fisik, perkembangan mental, dan sta- anak, menyebabkan penderitanya mudah sa-
tus kesehatan pada anak. Stunting pada kit dan memiliki postur tubuh tak maksimal
anak merupakan dampak dari defisiensi saat dewasa (World Health Organization,
nutrien selama seribu hari pertama ke- 2018a).
hidupan. Stunting menyebabkan penurunan Stunting merupakan masalah gizi
kemampuan kognitif dan motorik serta kronik yang disebabkan oleh banyak faktor
penurunan performa kerja. Anak dengan seperti asupan protein kurang, riwayat penya-
stunting memiliki rata-rata skor IQ 11 poin kit infeksi, riwayat Air Susu Ibu (ASI) ek-
lebih rendah dibandingkan rata-rata skor IQ sklusif, kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat
pada anak normal. Gangguan tumbuh kem- hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
bang pada anak akibat kekurangan gizi bila asupan gizi pada bayi (Kemenkes RI, 2012).
tidak mendapatkan intervensi sejak dini Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebe-
akan berlanjut hingga dewasa (Marimbi, lum dan saat kehamilan serta setelah persali-
2014). nan mempengaruhi pertumbuhan janin dan
Stunting pada anak balita berhub- risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada
ungan dengan peningkatan kerentanan ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh

Nur Wahyuni 213


PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Artikel X
ISSN 2089-0346 (Print) || ISSN 2503-1139 (Online) Volume 9, Nomor 2, Desember 2019

ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu nilai Odd Ratio (OR) = 5,675 (95% CI =
dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan 1,841 – 17,494) sehingga kejadian stunting
nutrisi yang kurang pada saat kehamilan beresiko 5,675 kali lebih besar pada balita
(Mentari and Hermansyah, 2019). yang tidak memenuhi ASI eksklusif.

METODE PENELITIAN PEMBAHASAN


Jenis penelitian ini merupakan Faktor Risiko Infeksi Diare dengan Ke­
penelitian dengan desain case control. Case jadian Stunting
control study yaitu kelompok subyek kontrol Penyakit infeksi dapat menurunk-
dari individu yang sejauh mungkin sama kon- an asupan makanan, mengganggu absorbsi
disinya dengan subyek kasus. Kasus kontrol zat gizi, menyebabkan hilangnya zat gizi
merupakan rancangan penelitian yang secara langsung, meningkatkan kebutuhan
mempelajari hubungan antara pemapar dan metabolik. Terdapat interaksi bolak-balik
penyakit dengan cara membandingkan ke- antara status gizi dengan penyakit infeksi.
lompok kasus dan kelompok kontrol ber- Malnutrisi dapat meningkatkan risiko in-
dasarkan status keterpaparannya. Penelitian feksi, sedangkan infeksi dapat menyebab-
kasus kontrol juga merupakan penelitian epi- kan malnutrisi. Apabila kondisi ini terjadi
demiologis analitik observasional yang mene- dalam waktu lama dan tidak segera diatasi
laah hubungan antara efek (penyakit atau maka dapat menurunkan asupan makanan
kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor- dan mengganggu absorbsi zat gizi, sehingga
faktor risiko tertentu. Desain penelitian kasus dapat meningkatkan risiko terjadinya
-kontrol dapat digunakan untuk menilai be- stunting pada anak balita (Aridiyah,
rapa besar peran faktor risiko dalam kejadian Rohmawati and Ririanty, 2015).
penyakit, Penelitian kasus-kontrol dilakukan Hasil penelitian ini menunjukan
dengan pendekatan retrospektif, artinya bah- bahwa kejadian stunting beresiko 5,537
wa efek atau penyakit sebagai variabel terikat kali lebih besar pada balita yang mengalami
diidentifikasi terlebih dahulu baru kemudian infeksi diare. Hasil penelitian ini sejalan
faktor risiko sebagai variabel bebas dipelajari dengan hasil penelitian Suharmianti yang
secara retrospektif. menyatakan bahwa diare sebagai faktor
risiko terjadinya stunting pada balita
HASIL (Achmad Afendhi, 2016).
Karakteristik Responden Hasil penelitian Afendhi bertolak
Tabel 1. Karakteristik Responden

Total sampel Kasus Kontrol


Variabel
(n=60) (n=30) (n=30)
Karakteristik Responden
Umur Ibu (tahun)⸶ 30,0 (27,0 – 33,0) 30,5 (29,0 – 35,0) 28,0 (27,0 – 31,0)
Umur Balita (bulan)
27,0 (25,0 – 36,0) 32,5 (25,0 – 36,0) 25,5 (24,0 – 36,0)

Tinggi Badan Balita
81,0 (78,0- 83,0) 78,0 (72,5 – 81,3) 83,0 (81,0 – 89,0)
(cm) ⸶
Karakteristik Sampel
Laki-laki ⸶⸶ 28(46,7) 11(36,7) 17(56,7)
Perempuan ⸶⸶ 32(53,3) 19(63,3) 13(43,3)

Pada tabel 2. Menunjukkan nilai Odd belakang dengan penelitian ini, Afendhi da-
Ratio (OR) = 5,537 (95% CI = 1,976 – 15,516) lam penelitiannya menyatakan secara
sehingga kejadian stunting beresiko 5,537 statistik tidak memiliki risiko yang signif-
kali lebih besar pada balita yang mengalami ikan antara rerata frekuensi penyakit in-
infeksi diare. feksi (ISPA dan diare) dengan kejadian
Sedangkan pada tabel 3 menunjukkan stunting. Hasil penelitian di surakarta

Nur Wahyuni 214


PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Artikel X
ISSN 2089-0346 (Print) || ISSN 2503-1139 (Online) Volume 9, Nomor 2, Desember 2019

dengan penelitian yang dilakukan di wila- dan cepat ditangani agar tidak sakit berlam-
yah kerja Puskesmas Gilingan, menyatakan lama karena dapat menurunkan nafsu makan
bahwa frekuensi penyakit infeksi (ISPA dan anak. Hal ini sejalan dengan penlitian yang
diare) tidak memiliki risiko yang signifikan dilakukan oleh Eko yang menyatakan bahwa

Tabel 2. Analisis Faktor Risiko Riwayat Infeksi Diare dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia
24-36 Bulan
Infeksi Kejadian Stunting p OR 95% CI
Diare
Kasus Kontrol Lower Upper
N % N % 0,004 5,537 1,976 15,516
Diare 30 100 21 70
Tidak diare 0 0,0 9 30

Total 30 100 30 100

Tabel 3. Faktor Risiko riwayat ASI ekslusif dengan kejadian Stunting pada Balita Usia 24-36 bulan

ASI Ekslusif Kejadian Stunting p OR 95% CI


Kasus Kontrol Lower Uper
n % N % 0,002 5,675 1,841 17,494
Tidak ASI Ekslusif 23 76,7 11 36,7
ASI Ekslusif 7 23,3 19 63,3
Total 30 100 30 100

dengan kejadian stunting pada anak usia 12 kejadian stunting memiliki faktor risiko ter-
-48 bulan. Hal ini disebabkan stunting tidak hadap infeksi diare (Fibrila, 2016). Hasil
hanya dipengaruhi oleh frekuensi penyakit penelitian ini juga sesuai dengan penelitian
infeksi, tetapi juga dipengaruhi oleh durasi yang dilakukan di Desa Kopandakan Kecama-
penyakit infeksi dan asupan nutrien selama tan Kotamobagu Selatan yang mendapatkan
episode penyakit infeksi tersebut (Eko, bahwa rerata durasi sakit saat balita > 3 hari
2018). per episode sakit memiliki risiko terjadinya
Dalam penelitian ini menunjukkan stunting pada anak balita. Sehingga anak yang
bahwa stunting banyak terdapat pada anak sakit dan cepat di obati bisa terhindar dari
yang disertai penyakit infeksi. Mayoritas kejadian stunting (Hadiana, 2013).
anak yang mengalami infeksi ini, juga men- Berdasarkan hal diatas penulis ber-
galami penurunan nafsu makan. Padahal, pendapat bahwa sebagian besar ibu, dalam
anak yang berada dalam keadaan sakit pemberian makanan anaknya masih kurang
membutuhkan asupan gizi yang cukup un- tepat. Sedangkan kita mengetahui bahwa
tuk mempercepat proses pemulihan. Dari pemberian makanan selama diare itu sangat
hasil penelitian diketahui bahwa anak sakit penting karena bertujuan untuk memberikan
paling lama 7 hari dan ada anak yang sakit 2 gizi pada penderita diare, terutama pada
kali dalam 3 bulan terakhir. Bila infeksi ter- balita agar tetap kuat dan tumbuh serta guna
jadi dalam jangka waktu yang lama dan ber- mencegah berkurangnya berat badan. Anak
ulang, dapat mengakibatkan pertumbuhan yang usia 0-6 bulan harus lebih sering diberi
anak terhambat dan anak akhirnya akan ASI, dan anak yang minum susu formula juga
menjadi pendek (Achmad Afendhi, 2016). diberikan lebih sering dari biasanya. Anak
Dalam penelitian ini juga terdapat usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang
balita yang infeksi diare tapi tidak mengala- telah mendapatkan makanan padat harus
mi stunting, hal ini terjadi karena ibu lang- diberikan makanan yang mudah dicerna dan
sung memeriksakan anaknya ke puskesmas diberikan sedikit-sedikit namun sering.

Nur Wahyuni 215


PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Artikel X
ISSN 2089-0346 (Print) || ISSN 2503-1139 (Online) Volume 9, Nomor 2, Desember 2019

Setelah diare berhenti pemberian makanan lostrum lebih berisiko tinggi terhadap stut-
ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk ing. Hal ini disebabkan karena kolostrum
membantu pemulihan berat badan. memberikan efek perlindungan pada bayi
Selain itu juga pada kelompok baru lahir dan bayi yang tidak menerima ko-
kontrol terdapat 21 responden mengalami lostrum memiliki insiden, durasi dan kepra-
infeksi diare tetapi tidak stunting, Hal ini han penyakit yang lebih tinggi seperti diare
dikarenakan ada faktor lain yang secara yang berkontribusi terhadap kurangnya
langsung mempengaruhi status gizi seperti gizi balita sehingga pertumbuhan balita
sosial ekonomi keluarga, berat badan lahir akan lambat (Nasikhah and Margawati,
rendah dan tingkat konsumsi zat gizi. Hasil 2012). Hasil penelitian lain yang dilakukan
penelitian ini sejalan dengan penelitian Tari- oleh Ni’mah menyatakan bahwa terdapat
gan, yang menyatakan bahwa faktor hubungan antara riwayat pemberian ASI ek-
penyebab langsung timbulnya masalah gizi sklusif dengan dengan kejadian stunting
kurang pada balita adalah adanya penyakit dengan OR sebesar 4,64 yaitu balita yang
infeksi dan parasit, serta konsumsi yang tid- tidak mendapatkan ASI eksklusif pada usia 0
ak mencukupi kebutuhannya (Diah Tantri -6 bulan memiliki risiko 4,64 lebih besar un-
Suhendrawidi, 2018). tuk mengalami stunting karena ASI memiliki
banyak manfaat untuk meningkatkan imuni-
Faktor Risiko ASI Ekslusif dengan Kejadi­ tas anak terhadap penyakit infeksi telina,
an Stunting mencegah diare, konstipasi kroni dan penya-
Menurut WHO, definisi ASI ek- kit ISPA. Kurangnya pemberian ASI dan pem-
sklusif adalah bayi hanya menerima ASI dari berian MP – ASI yang teralu dini dapat
ibu, atau pengasuh yang diminta mem- meningkatkan risiko stunting terutama pada
berikan ASI dari ibu, tanpa penambahan awal kehidupan (Kementerian Kesehatan RI,
cairan atau makanan padat lain, kecuali sirup 2010).
yang berisi vitamin, suplemen mineral atau ASI eksklusif adalah memberikan
obat. ASI diberikan secara eksklusif 6 bulan hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai
pertama, kemudian dianjurkan tetap diberi- usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi
kan setelah 6 bulan berdampingan dengan diperbolehkan mengkonsumsi obat-obatan,
makanan tambahan hingga umur 2 tahun vitamin dan mineral tetes atas saran dokter.
atau lebih. ASI mengandung zat gizi paling Selama 6 bulan pertama pemberian ASI ek-
sesuai untuk pertumbuhan dan perkem- sklusif, bayi tidak diberikan makanan dan
bangan, ASI juga mengandung zat kekebalan minuman lain. Menyusui predominan adalah
tubuh yang sangat berguna bagi kesehatan menyusui bayi tetapi pernah memberikan
bayi dan kehidupan selanjutnya (Bentian, sedikit air atau minuman berbasis air, misal-
Mayulu and Rattu, 2015). nya teh sebagai makanan/minuman prelak-
Hasil penelitian ini menunjukan teal sebelum ASI keluar. Menyusui parsial
bahwa kejadian stunting beresiko 5,675 kali adalah menyusui bayi serta diberikan ma-
lebih besar pada balita yang tidak memenuhi kanan buatan selain ASI, baik susu formula,
ASI eksklusif. bubur atau makanan lainnya sebelum bayi
Hasil penelitian ini sejalan dengan berumur enam bulan, baik diberikan secara
penelitian Diah yang menyatakan bahwa kontinyu maupun diberikan sebagai ma-
memiliki risiko antara riwayat ASI eksklusif kanan prelakteal (Fikawati and Syafiq,
dengan kejadian stunting di Wilayah Kerja 2010).
UPT Puskesmas Klecorejo Kabupaten Madi- Berdasarkan hal diatas penulis ber-
un dengan nilai p value= 0,000 < 0,05 serta pendapat bahwa stunting yang dialami balita
nilai RP= 2,05 (95% CI 1,422 – 2,957) (18). disebabkan karena riwayat ASI tidak ek-
Anisa juga menyatakan bahwa riwayat ASI sklusif sehingga menyebabkan lemahnya
eksklusif memiliki risiko dengan kejadian imunitas pada anak dan mudah terserang
stunting, yang memiliki risiko 3,7 kali lebih penyakit apabila balita mudah terserang
tinggi pada balita yang tidak diberi ASI ek- penyakit akan terjadi pengalihan energi yang
sklusif (ASI <6 bulan) dibandingkan dengan seharusnya digunakan untuk pertumbuhan
balita yang diberi ASI eksklusif (≥6 bulan) tetapi akhirnya digunakan untuk melawan
karena balita yang tidak mendapatkan ko- infeksi atau penyakit yang ada didalam

Nur Wahyuni 216


PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Artikel X
ISSN 2089-0346 (Print) || ISSN 2503-1139 (Online) Volume 9, Nomor 2, Desember 2019

tubuh balita sehingga pertumbuhan balita penyuluhan kepada ibu dan pendampingan
juga akan terhambat dibandingkan balita pada anak yang menderita stunting, bagi ibu
dengan riwayat ASI eksklusif akan balita agar mencegah terjadinya stunting
mendapatkan kekebalan tubuh secara alami dengan memperhatikan asupan balita untuk
sehingga tidak mudah terserang penyakit. mengonsumsi makanan yang tinggi energi
Berdasarkan hasil wawancara atau kalori dan bagi peneliti selanjutnya, agar
dengan responden mengatakan bahwa bayi dapat mengkaji faktor lain penyebab ter-
diberikan makanan tambahan dan susu for- jadinya stunting pada balita di wilayah kerja
mula sebelum waktunya dikarenakan air Puskesmas Kolono Kabupaten Konawe Se-
susu sang ibu tidak keluar. Hal ini dikare- latan.
nakan, pada masa kehamilan ibu kurang
mengkonsumsi makanan bergizi yang dapat DAFTAR PUSTAKA
merangsang keluarnya ASI. Beberapa ibu Achmad Afendhi, A. (2016) ‘PENGARUH
mulai memberikan pisang, bubur tepung EFEKTIFITAS MODAL KERJA DAN
atau nasi yang dilumatkan pada bayi berusia LIKUIDITAS TERHADAP PROFITABILI-
sekitar 3-4 bulan. Pada usia ini usus bayi be- TAS PADA KOPERASI PEGAWAI REPUB-
lum cukup kuat dan belum siap untuk menc- LIK INDONESIA (KPRI) DI KOTA SEMA-
erna pisang, nasi atau zat tepung lain sehing- RANG TAHUN 2015’. Universitas Wahid
ga makanan ini dapat menggumpal di usus Hasyim.
dan membahayakan kehidupan bayi. Selain Aridiyah, F. O., Rohmawati, N. and Ririanty, M.
itu apabila bubur bayi dibuat lama sebelum (2015) ‘Faktor-faktor yang
bayi memakannya, bakteri dapat tumbuh Mempengaruhi Kejadian Stunting pada
dalam makanan dan akan menyebabkan bayi Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan
terserang diare. Oleh karena itu, pemberian Perkotaan (The Factors Affecting Stunt-
makanan padat sebelum enam bulan lebih ing on Toddlers in Rural and Urban Are-
membahayakan daripada menguntungkan as)’, Pustaka Kesehatan, 3(1), pp. 163–
bayi. Makanan bayi dibawah usia enam bulan 170.
hanyalah makanan cair yaitu ASI. Bentian, I., Mayulu, N. and Rattu, A. J. M.
Pada kelompok kontrol, lebih ban- (2015) ‘Faktor Resiko Terjadinya Stunt-
yak responden mendapatkan ASI ekslusif. ing Pada Anak TK Di Wilayah Kerja
Namun, kenyataan di lapangan, terdapat 11 Puskesmas Siloam Tamako Kabupaten
responden dengan riwayat tidak mendapat- Kepulauan Sangihe Propinsi Sulawesi
kan ASI ekslusif tetapi tidak mengalami Utara’, JIKMU, 5(1).
stunting.. Hasil penelitian ini sejalan dengan Diah Tantri Suhendrawidi, K. (2018)
hasil penelitian yang dilakukan di Desa ‘HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI
Bangsri Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepa- EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STUNT-
ra, bahwa tidak didapatkan hubungan antara ING DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
pemberian ASI ekslusif dengan kejadian BULELENG III’. Jurusan Kebidanan
stunting pada anak umur 24-36 bulan. Ke- 2018.
jadian stunting pada anak umur 24-36 bulan Eko, S. (2018) ‘Faktor-Faktor yang Berhub-
mungkin disebabkan beberapa faktor yaitu ungan dengan Kejadian Stunting pada
status asupan energi, protein, zat gizi mikro, Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
serta kondisi penyakit infeksi (Kartika, Puskesmas Andalas Kecamatan Padang
2016). Timur Kota Padang Tahun 2018’. Uni-
versitas Andalas.
KESIMPULAN Fibrila, F. (2016) ‘Hubungan usia anak, jenis
Berdasarkan hasil penelitian maka kelamin dan berat badan lahir anak
dapat disimpulkan bahwa ejadian stunting dengan kejadian ISPA’, Jurnal Kesehatan
berisiko 5,537 kali lebih besar pada balita Metro Sai Wawai, 8(2), pp. 8–13.
yang mengalami infeksi diare dan kejadian Fikawati, S. and Syafiq, A. (2010) ‘Kajian im-
stunting juga berisiko 5,675 kali lebih besar plementasi dan kebijakan air susu ibu
pada balita yang tidak memenuhi ASI ek- eksklusif dan inisiasi menyusu dini di
sklusif. Bagi Pihak Puskesmas Kolono, agar Indonesia’, Makara kesehatan, 14(1),
dapat memberikan edukasi tentang stunting, pp. 17–24.

Nur Wahyuni 217


PROMOTIF: Jurnal Kesehatan Masyarakat Artikel X
ISSN 2089-0346 (Print) || ISSN 2503-1139 (Online) Volume 9, Nomor 2, Desember 2019

Hadiana, S. Y. M. (2013) ‘Hubungan status


gizi terhadap terjadinya infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) Pada Balita di
Puskesmas Pajang Surakarta’. Univer-
sitas Muhammadiyah Surakarta.
Ibrahim (2014) Keadaan Overweight dan
Obesitas. Depok: Universitas Indone-
sia.
Kartika, R. P. (2016) ‘HUBUNGAN LAMANYA
JAM KERJA IBU MENYUSUI DENGAN
PEMBERIAN ASI PADA BAYI USIA 0-6
BULAN DI DESA BANGSRI KECAMA-
TAN BANGSRI KABUPATEN JEPARA’,
Jurnal Kesehatan dan Budaya, 8(02).
Kemenkes RI (2012) ‘Penilaian Status Gizi’,
in. Jakarta: EGC.
Kementerian Kesehatan RI (2010) ‘Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Ta-
hun 2010-2014’, Jakarta: Kementerian
Kesehatan.
Marimbi, H. (2014) Tumbuh Kembang, Sta-
tus Gizi dan Imunisasi Dasar Pada
Balita. Yogyakarta: Nuha Medika.
Mentari, S. and Hermansyah, A. (2019)
‘FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUB-
UNGAN DENGAN STATUS STUNTING
ANAK USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH
KERJA UPK PUSKESMAS SIANTAN
HULU’, Pontianak Nutrition Journal, 1
(1), pp. 1–5.
Nasikhah, R. and Margawati, A. (2012)
‘Faktor risiko kejadian stunting pada
balita usia 24–36 bulan di Kecamatan
Semarang Timur’. Diponegoro Univer-
sity.
Puskesmas Kolono (2019) ‘Data Balita
Stunting’, in. Kolono: Puskesmas Ko-
lono.
RISKESDAS (2010) ‘Prevalensi Stunting’, in
Balitbang, Kemenkes RI. Jakarta.
Sugyono (2015) ‘Pertumbuhan dan Perkem-
bangan Stunting’, in. Depok: Universi-
tas Indonesia.
TNP2K (2017) ‘Prevalensi Stunting’, in Ke-
mentrian Kesehatan RI. Jakarta.
United Nations Children’s Fund (2016)
‘Kejadian Stunting Pada Balita’, in Ke-
mentrian Kesehatan RI. Jakarta.
World Health Organization (2018a) ‘Faktor
Terjadinya Stunting’, in Switzerland.
World Health Organization (2018b) ‘Standar
Deviasi Median Standar Pertumbuhan
Anak’, in. Switzerland.

Nur Wahyuni 218

Anda mungkin juga menyukai