Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219127


**Pembimbing/ dr. Fadil Rulian, Sp.A

STATUS EPILEPTIKUS

Sonia Zahira Rahman, S.Ked*


dr. Fadil Rulian, Sp.A**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

Status Epileptikus

Disusun Oleh
Sonia Zahira Rahman, S.Ked
G1A117037

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas


Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi Program Studi
Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi
Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan
Jambi, Agustus 2021

PEMBIMBING

dr. Fadil Rulian, Sp.A

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan Case Report Session
ini dengan judul “Status Epileptikus”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Fadil
Rulian, Sp. A, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan sehingga laporan Case
Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik dan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai penutup semoga
kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi kita khususnya dan bagi
dunia kesehatan pada umumnya.

​ ​ ​ ​ ​ ​Jambi, Agustus 2021


​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi adalah kondisi kronik pada sistem saraf yang ditandai dengan kejang
berulang. Kejang terjadi ketika suatu aktivitas listrik abnormal pada otak menyebabkan
perubahan yang tidak disadari pada pergerakan dan fungsi tubuh, sensasi, kesadaran, dan
tingkah laku. Sebagian penderita memiliki hanya satu tipe kejang sedangkan pada penderita
lain dapat menderita lebih dari satu tipe. Kondisi ini tidak dapat ditularkan dari satu orang
1
ke orang lainnya. Manifestasi klinis dari epilepsi tergantung jenis epilepsi yang diderita.
Status epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu, berulang
dan disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung lebih dari 30
menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus
menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan
bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi
2
kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian.
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin.
Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih
kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita
2
cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.
Hampir 70% dari penderita epilepsi memberikan respon baik terhadap pengobatan,
sisanya sebanyak 30% penderita yang berada di negara berkembang tidak mendapatkan
pengobatan yang semestinya. Penderita epilepsi dan keluarganya mendapat stigma yang
buruk dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu diagnosis dini terhadap epilepsi agar dapat
2
diobati secara tepat sehingga penderita mengalami remisi. ​
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama :​ Ahza Rumaisa
Umur :​ 7 bulan
Jenis kelamin :​ Perempuan
Agama :​ Islam
Alamat :​ Jambi timur , Kota Jambi
MRS :​ 13-07-2021

2.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan ​: Ibu pasien pada tanggal 03 Agustus 2021 di Picu
Keluhan Utama ​: Pasien Kejang sebanyak 2 kali sebelum masuk ruamh sakit
Keluhan Tambahan ​: -

Riwayat Perjalanan Penyakit ​: Pasien datang dengan keluhan kejang sebanyak 2


kali sebelum masuk rumah sakit, kejang berlangsung lebih dari 30 menit, kejang dimulai
dari bagian kedua tangan yang tiba tiba kaku dan menghentak hentakan tangannya selain
itu matanya mengarah ke kanan, kemudian pasien di bawa ke IGD RSUD Raden Mataher
sesampai di rumah sakit kejang telah berhenti dan di igd di beri obat anti kejang berupa Inj
Fenitoin.
Sebelum kejang pasien tidak terdapat tanda tanda kelainan namun pasien tiba tiba
kejang sesaat setelah kejang berlangsung lebih dari 30 menit pasien tertidur dan keluarga
pasien langsung membawa ke rumah sakit di perjalanan pasien kembali kejang dengan
kondisi yang sama seperti kejang sebelumnya .
7 hari sebelum masuk rumah sakit ibu pasien mengatakan pasien mengalami batuk
pilek dan demam, namun ibu pasien mengatakan sudah sembuh. ibu pasien mengatakan
pada saat kejang tubuh pasien tidak panas. ibu pasien juga mengatakan tidak ada riwayat
trauma atau jatuh pada pasien.

​Riwayat Penyakit Dahulu ​: ​


1. Riwayat hidrosefalus (-)
2. Riwayat Alergi (-)
3. Riwayat kejang (-)
4. Riwayat penurunan kesadaran (-)
5. Riwayat lumpuh (-)
​Riwayat Penyakit Keluarga :​ ​
• Riwayat menderita keluhan sesak nafas (-)
• Riwayat penyakit jantung (-)
• Riwayat kejang (-)

​Riwayat Sosial Ekonomi ​: ​
• Pekerjaan Ayah ​ : Swasta
• Pekerjaan Ibu ​ : IRT
Kesan sosial ekonomi ​: ​ Menengah ke bawah

2.3 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


• Riwayat Kehamilan
Selama hamil ibu pasien mengaku hanya 2x kontrol selama kehamilan . Riwayat mual
dan muntah (+) dalam batas normal. Saat hamil pasien tidak pernah mengkonsumsi
obat-obatan selain vitamin pemberian dari dokter, kejang selama kehamilan (-),
demam saat hamil (-), riwayat cacar/campak(-) . Saat kehamillan ibu pasien juga
tidak pernah melakukan vaksin kehamilan. Ibu pasien mengandung pasien saat usia
26 tahun.

• Riwayat kelahiran pasien


Masa kehamilan :​ (aterm)38 minggu
Partus :​ ​ Sectio caesarea
Ditolong oleh :​ ​ okter kebidanan
D
Tanggal :​ 1​ 3-02-2020
Berat badan lahir :​ 3​ 300 gram
Panjang badan :​ ​ 46 cm
Pasien lahir di rumah sakit di tolong oleh dokter, pada saat lahir pasien leukositnya
meningkat dan di rawat di RS selama 2 hari. Pada saat lahir pasien tidak langsung
menangis .
• Riwayat imunisasi
a. BCG ​ ​: (+)
b. Polio ​ ​: (+)
c. DTP ​ ​: (+)
d. Campak ​: (-)
e. Hepatitis ​: (+) ​
f. Kesan ​: Imunisasi dasar belum lengkap

• Riwayat keluarga
Perkawinan :​ ​Orang tua menikah
Umur :​ ​ yah
A ​: ​28 tahun
​ ​ Ibu ​: ​26 tahun
Pendidikan :​ ​Ayah ​: SMA
​ ​ Ibu ​: ​SMA
Saudara :​ ​ asien merupakan anak ke 2 dari 2 bersaudara
P

• Riwayat pertumbuhan
Berat badan lahir :​ 3300 gram
Panjang badan lahir :​ 46 cm
Lingkar kepala lahir :​ Ibu lupa
Lingkar perut lahir :​ Ibu lupa
Berat badan :​ 6,5 kg
Tinggi badan :​ 69 cm
Lingkar kepala :​ 41 cm
Lingkar lengan atas :​ 14 cm
Lingkar Perut :​ 40 cm

• Riwayat perkembangan
Gigi pertama :​ Usia 5,5 bulan
Tengkurap :​ ​ sia 5 bulan (masih di bantu)
U
Berbalik :​ Usia 4 bulan
Merangkak :​ Belum bisa
Duduk :​ Belum bisa
Berdiri :​ Belum bisa
Berjalan :​ Belum bisa
Berbicara :​ Belum bisa

• Status gizi
​Usia 7 bulan dengan berat badan 6,5 kg dan panjang badan 69 cm
-​
-
• Riwayat penyakit yang pernah diderita
Parotitis ​ ​ :​ (-) ​ ​ ​Muntah berak ​:
(-)
Pertusis ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​Asma ​ ​: (-)
Difteri ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​Cacingan :​ (-)
Tetanus ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​Patah tulang ​: (-)
Campak ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​Jantung :​ (-)
Varicella ​ ​: (-) ​ ​ ​Sendi bengkak :​ (-)
Thypoid ​ ​: (-) ​ ​ ​Kecelakaan :​ (-)
Malaria ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​ perasi
O :​ (-)
DBD ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​ eracunan
K :​ (-)
Demam menahun ​: (-) ​ ​ ​ akit kencing
S :​ (-)
Radang paru ​: (-) ​ ​ ​Sakit ginjal :​ (-)
TBC ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​ lergi
A ​ :​ (-)
Kejang ​ ​ ​: (-) ​ ​ ​ erut kembung: (-)
P
Lumpuh ​ ​: (-) ​ ​ ​ titis Media
O :​ (-)
Batuk/pilek ​ :​ (-)

2.4 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan umum ​: ​Tampak sakit sedang
Kesadaran :​ ​Apatis ​
GCS :​ ​E4M5V4 = 13
b. Pengukuran
Tanda vital à ​TD ​: -
​Nadi ​: ​126 x/menit, kuat angkat
​ ​ R
R ​: ​30 x/menit, teratur, tipe abdominothorakal ​
​ uhu
S :​ 3​ 7,0 °C ​
​ pO
S 2
:​ 9​ 9 % ​
Berat badan ​ :​ 6​ ,5 kg
Panjang badan ​ :​ ​ 69 cm
Lingkar kepala ​ ​ : 41cm
Lingkar lengan atas ​ : 14 cm
Lingkar perut ​ ​ : 40 cm
c. Kulit
Warna :​ Putih
Hemangioma :​ (​ -)
Turgor :​ ​ embali Cepat
K
Pucat :​ (​ -)
Lain-lain :​ ​ etekie (-), Purpura (-)
P
d. Kepala
Bentuk :​ ​ ormochepal, tanda-tanda trauma (-)
N
• Rambut ​
Warna ​: ​Hitam, merata, tidak mudah dicabut
Alopesia ​: ​(-)
Lain-lain ​: ​(-)
• Mata
Palpebra ​: ​Edema (-), cekung (-)
Alis dan bulu mata :​ ​ itam
H
Konjungtiva ​: ​Anemis (-/-)
Sklera ​: ​Ikterik (-/-)
Pupil ​ ​: Isokor, refleks cahaya (+), papil edema (-)
Kornea ​ :​ J​ ernih (+)
Lensa ​ ​: Jernih
• Telinga
Bentuk ​: ​Simetris
Sekret ​: ​Tidak ada
Serumen ​: ​(-/-)
Nyeri ​: ​(-/-)
• Hidung
Bentuk ​: ​Simetris
Sekret ​: ​(-/-)
Epistaksis ​: ​(- /-)
Lain-lain :​ ​(-)
• Mulut dan Gigi
Bentuk :​ Simetris
Bibir :​ ​ ianosis
S (-)
Karies ​ :​ (-)
• Faring
Hiperemis :​ (​ -)
Edema :​ (​ -)
Membran / pseudomembran : (-)
• Tonsil
Warna ​: ​Merah muda
Pembesaran ​: (-)
Abses / tidak ​: (-)
Membran / pseudomembran : (-)
e. Leher
​Pembesaran kelenjar leher ​: ​(-)
Kaku kuduk ​ :​ ​(-)
Massa ​ :​ (​ -)
Tortikolis ​ ​: (​ -)
Parotitis ​ :​ ​(-)
f. Thoraks
• Jantung ​

Inspeksi à Iktus kordis ​: Terlihat


Palpasi à Apeks : Dapat diraba, kuat angkat (+)
Auskultasi à Suara dasar ​: S -S reguler, murmur (-)
1 2

• Paru
Inspeksi ​à ​Bentuk ​: ​Simetris
​ ​Retraksi ​: ​(-)
​ ​Pernapasan ​: ​torakoabdominal
​ ​Sternum ​: ​Ditengah
Auskultasi ​à ​Suara nafas dasar ​: ​Vesikuler
​ ​Suara nafas tambahan : Ronkhi (-/-) , wheezing (-/-)
g. Abdomen
Inspeksi ​à ​Bentuk ​: ​cembung
​ ​Petekie ​: ​(-)
​ ​Spider nervi ​: ​(-)
​ ​Lain-lain ​: ​(-)
Auskultasi ​ ​ ​: ​Bising usus (+)

Palpasi ​à ​Nyeri tekan ​: ​(-)


​ ​Nyeri lepas ​: ​(-)
​ ​ efans muskular
D ​: ​(-)
​ ​ urgor
T :​ ​Baik
​ ​ ati
H :​ h​ epar teraba 1 jari dibawah arkus costae
​ ​ ien
L :​ t​ idak ada pembesaran lien
​ ​ injal
G :​ Tidak teraba
​ ​ assa
M :​ (​ -)
Perkusi ​à ​ impani
T :​ (+)

​ ​ scites
A :​ (​ -)
Nyeri ketuk CVA ​ ​ :​ (-)
h. Ekstremitas inferior :​ Akral hangat, sianosis (-),
i. Genitalia :​ Normal
j. Anus :​ (+)

2.5 Pemeriksaan Neurologi


• Tanda Rangsang Meningeal ​ ​
Kaku kuduk ​: (-) ​ ​
Brudzinsky I ​: (-) ​ ​
Brudzinsky II ​: (-) ​ ​
Kernig ​ ​: (-)
Lasegue ​ ​: (-) ​ ​
• Pemeriksaan Fisiologis
Refleks tendon biseps ​: (+/+)
Refleks tendon triseps ​: (+/+)
Patella ​ ​ ​: (+/+)
Achilles ​ ​ ​: (+/+)
• Pemeriksaan Patologis
Babinsky ​ : (-/-) ​
Chadook ​ : (-/-)
Gordon ​ : (-/-)
Oppenheim ​ : (-/-)
• Tonus :​ normotoni
• Kekuatan : 5 5
5 5

2.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan darah rutin (19-07-2021)
Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Perifer Lengkap ​
Hemoglobin 11,2 g/dL ​ 11-16
Hematokrit 35,9 % 35-50
Eritrosit 4,95 10^12/L 3,5-5,5
MCV 72,5 fL 80-100
MCH 22.6 Pg 27-34
MCHC 312 g/L 320-360
Trombosit 563 10^9/L 100-300
Leukosit 18,0 10^9/L 4-10

Pemeriksaan Elektrolit (19-07-2021)


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kimia Darah
Natrium 139,5 Mmol/L 136-146
Kalium 5,94 Mmol/L 3,34- 5,10

Klorida 103,1 Mmol/L 96-106

Pemeriksaan Faal Hati (23-07-2021)


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kimia Darah
SGOT 79 U/L ​ 15-37
SGPT 40 U/L 14-63

Pemeriksaan Faal Ginjal (17-07-2021)


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Faal Ginjal
UREUM 5 mg/dL ​ 15-39
KREATININ 0,2 mg/dL 0,5-1,3

2.5 ​ ​CT-SCAN kepala non


kontras (15/07/2021)
CT-SCAN kepala tanpa kontras dengan hasil :
• Sulci menyempit dengn gyri mendatar, falks ditengah
• Tak tampak midline shift
• Sistem ventrikel dan cysterna baik
• Tampak lesi hipodens pada parenkim otak di fronal temporal parietal,
occipital kanan, dan ganglia basal kiri
• Pons, cerebellum, CPA, medulla oblongata baik
• Bola mata, rongga orbita, sinus paranasal tak tampak kelainan
• Tulang-tulang baik
Kesan :
Gliosis di parenkim otak di frontal, temporal parietal, occipital kanan, dan
ganglia basal kiri.

EEG
EEG abnormal III (bangun dan tidur stadium II)

- ​Sharp wave frontal kanan, temporal kiri dan parietal kiri


Impresi : EEG saat perekaman ini abnormal mengindikasikan adanya
potensial epileptogenicity di temporal kiri dan parietal kiri

2.5 Diagnosis Kerja :​ status epileptikus


2.6 Diagnosis Banding :​
• Ensefalitis
• Gangguan Elektrolit

2.7 Terapi
• IVFD D5 1/4 ns 16 TPM mikro
• Ceftriaxon 1 x 300 mg
• Inj fenitoin 2 x 15 mg

2.8 Prognosis
Quo ad vitam ​: ​Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam ​: ​Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam ​: Dubia ad malam

2.9 Follow up pasien


Tgl S O A P
3/8/2 Akral dingin, nadi HR : 107 x /mnt Penurunan -
1 lemah, ​napa RR : 24 x/mnt kesadaran ​+ IVFD ​kaen ​
s spontan (-) SpO2 : 95% dgn encephalitis ​ 3A 500cc/24 jam
ventilator mode V + -Dobutamin 0​ ,5
A/C FiO2 85%, cc/jam
PEEP 5, R 24npm, hipoalbumin + gagal
napas ec -aminosteril
VTinsp 40 ml 50ml/24jam
peningkatan TIK

4/8/2 Pucat, ​sesak HR : 125 x/mnt Penurunan -


​(+), kejang RR : 24 x/mnt kesadaran ​+ IVFD ​kaen ​
1
SpO2 : 94% dgn encephalitis ​ 3B 500cc/24jam
ventilator mode V + -Dobutamin ​0,5
A/C FiO2 86%, cc/jam
PEEP 5, R 24npm, hipoalbumin + gagal
-Metropenem 3x150
VTinsp 40 ml napas ec
peningkatan TIK

5/8/2 OS ​tampak HR : 124 x/mnt Penurunan -


​sakit berat RR : 26 x/mnt kesadaran ​+ IVFD ​D1/4 ​
1
T : 34 C encephalitis ​ NS
SpO2 : 94% dgn +
ventilator mode V 500cc/hr
A/C FiO2 62%, hipoalbumin + gagal -drip ​dobutamin
PEEP 5, R 24npm, napas ec
0,5cc/jam
VTinsp 40 ml peningkatan TIK -aminosteril 50cc/hr

6/8/2 Nafas spontan (-) HR : 123 x/mnt Penurunan -


1 RR : 24 x/mnt kesadaran ​ IVFD ​D1/4 ​
T : 34,5 C ​ec NS
SpO2 : 91% dgn peningkatan TIK + 500cc/hr
ventilator mode V
A/C FiO2 63%,
sepsis ​+ -aminosteril 50cc/hr
PEEP 5, R 24npm, ​gagal napas
-Meropenem 3x 150 g
VTinsp 40 ml

7/8/2 Nafas spontan (-) HR : 128 x/m Penurunan -


RR : 24 x /m kesadaran ​e IVFD ​D1/4 ​
1
T : 35,1 C c peningkatan TIK NS
+
500cc/hr
-aminosteril ​100

SpO2 : 93 % dgn sepsis ​+ cc/hr
ventilator mode V ​gagal napas
A/C FiO2 65%,
PEEP 5, R 24npm,
VTinsp 40 ml

8/8/2 Nafas spontan (-), HR : 116 x/m Penurunan -


1 akral hangat RR : 24 x /m kesadaran ​ IVFD ​D1/4
T : 35 C ​ec ​NS
SpO2 : 94 % dgn peningkatan TIK +
ventilator mode V 500cc/hr
A/C FiO2 67%,
sepsis ​+
-
PEEP 5, R 24npm, ​gagal napas
aminosteril ​10
VTinsp 40 ml 0
cc/hr

9/8/2 Akral dingin, nadi HR : 66 x/m Penurunan -


tidak teraba, nafas RR : 24 x /m kesadaran ​ IVFD ​RL
1
sponran, kejang T : 34 C ​ec ​100cc
SpO2 : 95 % dgn peningkatan TIK +
ventilator mode V tetes cepat
sepsis ​+
A/C FiO2 70%, -IVFD RL 500cc/hr
PEEP 5, R 24npm, ​gagal napas
-aminosteril 100cc/hr
VTinsp 40 ml
-
meropenem ​
3 x​ 150g

BAB III

STATUS EPILEPTIKUS
3.1 Status Epileptikus
3.1.1. ​Definisi
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan
darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy
mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

3.1.2 ​Epidemiologi
Epilepsi adalah penyakit kronis dengan tingkat prevalensi tinggi. Oleh karena itu
setiap tenaga medis diharapakan lebih memperhatikan penderita dengan epilepsi dan
menangani mereka dengan baik. Insiden epilepsi lebih tinggi di negara berkembang
dibanding negara maju. Epilepsi paling sering terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak,
dan pada usia lanjut. Prevalensi datar pada kelompok usia 10-15 tahun. Kemungkinan
untuk terjadi bangkitan kedua setelah bangkitan pertama tanpa provokasi pada anak
sekitar 50%. Risiko kejadian bangkitan ulang setelah bangkitan kedua tanpa
provokasi adalah 85%. 65-70% anak dengan epilepsi akan mencapai remisi dengan
pengobatan yang sesuai. Remisi epilepsi pada onset anak-anak sekitar 50% dari
penderita.
Di negara berkembang, insidensi epilepsi pada anak lebih tinggi daripada di
negara maju, berkisar antara 25-840/100.000 penduduk per tahun. Prevalensi yang
pasti untuk epilepsi pada anak sulit ditentukan.

3.1.3 ​Etiologi
Epilepsi dicetuskan oleh inaktivasi sinaps inhibisi atau oleh stimulasi berlebihan sinaps
eksitasi atau perubahan keseimbangan neurotransmitter. Ditinjau dari faktor etiologi,
epilepsi dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Epilepsi Primer atau Epilepsi Idiopatik
Umumnya faktor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Penderita tidak
menunjukkan manifestasi patologi otak dan penyebab epilepsi tidak
diketahui.Diduga terjadi mutasi gen pada sel otak. Mutasi gen pada epilepsi
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu mutasi gen ekspresi pada kanal dan
mutasi genpengkode non-kanal ion. Mutasi gen ekspresi pada kanal ion seperti gen
SCN1A dan SCN2A dapat menyebabkan defek kanal ion natrium sehingga
inaktifasi kanal ion tidak berfungsi dan terjadilah peningkatan eksitasi. Selain itu,
mutasi gen pengkode non-kanal ion seperti neurotransmitter eksitasi glutamat atau
inhibisi gama amino butyric acid (GABA) berperan serta dalam menimbulkan
4
ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi.
2. Epilepsi Sekunder atau Simtomatik
Epilepsi sekunder atau simptomatik adalah epilepsi yang diketahui faktor
penyebabnya seperti infeksi susunan saraf pusat, trauma kepala atau kelainan
struktural otak. Selain itu, jika
gangguan metabolisme (seperti
hipokalsemia), infeksi (seperti meningitis), keracunan,
atau penyebab lainnya tidak ditatalaksana dengan baik
maka hal ini dapat memicu terjadinya epileps
Faktor risiko untuk menderita epilepsi dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal
ataupun postnatal dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor prenatal dan
perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi.
1. Faktor Prenatal
Salah satu faktor prenatal yang dapat menjadi pencetus epilepsi pada anak
adalah keadaan asfiksia. Asfiksia akan menyebabkan hipoksia dan iskemia
sehingga menimbulkan lesi pada daerah hipokampus yang mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi. Hal ini
dapat mengakibatkan munculnya epilepsi di kemudian hari. Keadaan yang dapat
menyebabkan asfiksia yaitu kehamilan dengan hipertensi dan eklamsia,
kehamilan pada usia berisiko terjadinya komplikasi seperti prematuritas, penyulit
persalinan dan partus lama.

2. Faktor Natal
Faktor natal yang menjadi faktor risiko epilepsi adalah bayi berat badan lahir
rendah yang dapat menyebakan asfiksia, hipoglikemi dan perdarahan
intraventikuler pada bayi. Selain itu, kelahiran prematur, postmatur, partus lama,
dan persalinan dibantu alat seperti forcep dan vakum yang menyebabkan jejas
pada otak juga dapat memicu terjadinya epilepsi. Penelitian Raharjo TB (2007)
telah menunjukkan hubungan partus lama yang lebih dari 13 jam terhadap
peningkatan insiden epilepsi pada anak.

3. Faktor Postnatal
Faktor-faktor yang menjadi pencetus epilepsi setelah masa natal adalah
sebagai berikut :
a. Kejang Demam: Kejang akan mengakibatkan gangguan pada sel neuron.
Gangguan ini dapat berupa gangguan fungsi dan metabolisme sel neuron
sehingga berkembang menjadi fokus epileptik. Pada kejang demam, harus
dibedakan antara kejang demam sederhana dan kejang demam komplek. Hal
ini disebabkan oleh karena bentuk bangkitan menentukan risiko kemungkinan
menjadi epilepsi. Kejang demam dapat menjadi epilepsi apajika kejang terjadi
lebih dari 30 menit sehingga mengakibatkan kerusakan DNA dan protein sel
yang menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghambat
proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi,
sehingga mempermudah timbulnya kejang. Konsekuensi epilepsi dapat
terjadi pada 3% anak dengan kejang demam berulang. Beberapa faktor risiko
epilepsi pasca kejang demam adalah riwayat keluarga yang menderita
epilepsi, adanya gangguan neurologis sebelum kejadian kejang demam, dan
kejang demam kompleks. Kejadian epilepsi juga meningkat pada kasus
kejang demam pada anak berusia di atas 6 tahun, dikenal dengan nama kejang
demam plus. Kejang demam plus diyakini berhubungan dengan faktor genetik
yang diturunkan secara autosomal dominan.
b. Tumor Otak: Jaringan patologis seperti tumor tidak dianggap sebagai
epileptogenik, tetapi neuron di sekitar tumor akan menjadi terganggu
fungsinya sehingga akan menjadi fokus epileptik yang menyebabkan
munculnya gejala epilepsi.
c. Trauma Kepala / Cedera Kepala: Munculan kejang tergantung pada usia
terjadinya kecelakaan. Sebagai contoh, trauma kelahiran akan memberikan
kejang pada tahun pertama kehidupan. Tidak semua orang yang telah
memiliki cedera kepala akan berkembang menjadi kejang. Kejang lebih sering
terjadi pada cedera tembus, fraktur depresi tengkorak, hematoma intrakranial,
atau terdapat amnesia pasca trauma yang lebih dari 24 jam. Lima puluh persen
dari kejang pasca trauma berkembang pada tahun pertama setelah kecelakaan,
5
dan 20% lainnya akan berkembang pada akhir tahun kedua.
:
d. Infeksi Susunan Saraf Pusat Ensefalitis virus berat dan meningitis dapat
mengakibatkan terjadinya epilepsi. Sikatriks pada sekelompok neuron atau
jaringan sekitar neuron dapat menjadi fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu
2 - 3 tahun kemudian menimbulkan epilepsi.

4. Faktor Heriditer (Keturunan)


Jika salah satu orang tua memiliki epilepsi idiopatik risiko anak berkembang
epilepsi adalah 4-6 %, dibandingkan dengan risiko 0,3-0,5 % pada populasi
umum. Jika kedua orang tua memiliki epilepsi idiopatik, risiko meningkat
menjadi 12-20 %. Pada orang tua dengan gejala epilepsi, masih ada sedikit
peningkatan dalam risiko hingga 2 %.
Faktor herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus
epilepsi, Jika seseorang mengidap epilepsi pada masa kecil, maka saudara
kandung memiliki risiko lebih tinggi menderita epilepsi. Risiko epilepsi pada
saudara kandung penderita epilepsi primer kurang lebih 4%. Pada anak, faktor
risiko untuk terjadi epilepsi juga dipengaruhi umur dan perkembangannya seperti
terlihat pada grafik 2.1. Epilepsi akan lebih jarang pada anak prematur dibanding
anak cukup bulan. Hal ini disebabkan karena perkembangan saraf pada anak
prematur belum berkembang secara sempurna sehingga memungkinkan
terjadinya ketidakseimbangan eksitasi-inhibisi. Munculan gejala sering terjadi
pada usia 4 bulan-4 tahun dengan frekuensi yang lebih tinggi. Selanjutnya,
6
frekuensi munculannya akan menurun sampai remaja.

6
Gambar 2.1 Grafik penyebab epilepsi berdasarkan usia

​ ​Terjadinya bangkitan epilepsi membutuhkan beberapa faktor yang bekerja


sama, seperti kelainan struktural otak atau jaringan abnormal pada otak dan juga faktor
faktor pencetus yang mungkin akan berbeda pada setiap penderita seperti keadaan demam,
hipoglikemia, alkalosis karena hiperventilasi, kurang tidur, emosional, dan stress.
3.1.4 ​Patofisiologi
Kasus epilepsi kebanyakan berupa tipe grand mal dan absence. Tipe grand mal
menunjukkan kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti gerakan
kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik. Selain
itu, dapat disertai mulut berbusa dan setelah bangkitan penderita menjadi lemas (fase
flaksid), serta tampak bingung. Pada tipe absence (lena) terjadi gangguan kesadaran secara
mendadak, berlangsung beberapa detik. Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan
penderita diam tanpa reaksi. Setelah bangkitan selesai, penderita melanjutkan aktivitas
semula tanpa menyadari telah terjadi bangkitan.
Pada kebanyakan kasus, didapatkan temuan sistem saraf pusat (SSP) yang normal
secara makroskopik maupun mikroskopik. Namun, pada kasus epilepsi sekunder sering
ditemukan lesi pada otak. Lesi dapat berupa hilangnya zona neuronal dan gliosis (scar).
Tanda-tanda kehilangan jaringan lainnya misalnya porencephaly, heterotopia, dysgenesis
cortex, hamartoma, malformasi vaskular, atau tumor.
Walaupun mekanisme pasti kejang pada epilepsi ini belum diketahui, beberapa
faktor fisiologis berperan dalam proses terjadinya kejang. Untuk memulai terjadinya suatu
kejang, terdapat sebuah kelompok neuron yang dapat menyebabkan perubahan signifikan
dan kerusakan sistem yang menginhibisi γ-aminobutyric acid (GABA). Terjadinya kejang
sepenuhnya tergantung pada eksitasi sinaps glutamatergik. Dari bukti yang ada, eksitasi
asam amino neurotransmitter (glutamate, aspartat) berperan dalam eksitasi karena aksi
reseptor sel spesifik.
Kejang dapat timbul dari area-area kerusakan neuron sehingga meningkatkan
hipereksitasi sinaps dan menimbulkan kejang. Lesi di lobus temporal seperti slow-growing
glioma, hamartoma, gliosis, hippocampus sclerosis, and arteriovenous malformation yang
menyebabkan kejang, jika diangkat terbukti mengurangi frekuensi kejang.
Tanda dan gejala kejang mungkin termasuk peringatan terhadap perubahan yang terjadi
pada otak. Patofisiologi yang mendasari proses epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam inisiasi kejang (ictogenesis) dan perubahan pada otak normal yang menjadi otak
yang rawan terjadi kejang (epileptogenesis).

1. Mekanisme Ictogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama yang mendasari ictogenesis. Eksitasi
berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuronal, atau
jaringan saraf.
a. Rangsangan dari neuron tunggal timbul dari perubahan struktural atau
fungsional dalam membran postsinaptic, yakni perubahan dalam jenis, jumlah,
dan distribusi tegangan dan ligand-gated saluran ion atau modifikasi biokimia
dari reseptor yang meningkatkan permeabilitas untuk Ca2+ yang menyebabkan
depolarisasi berkepanjangan sehingga terjadi kejang.
b. Rangsangan yang timbul dari lingkungan neuronal merupakan hal fisiologis dan
perubahan struktural. Perubahan fisiologis termasuk perubahan dalam
konsentrasi ion, metabolisme perubahan, dan tingkat neurotransmitter.
Perubahan struktural mempengaruhi neuron dan glia astrosit.
c. Perubahan dalam jaringan saraf dapat mengakibatkan hilangnya neuron inhibisi
atau hilangnya rangsang neuron yang dibutuhkan untuk mengaktifkan neuron
7
inhibisi.

2. Mekanisme Non-sinaptik
Selama hipereksitasi terjadi peningkatan K+ ekstraseluler atau menurunnya
Ca+ ekstraseluler, hal ini dapat disebabkan oleh penurunan volume ekstraseluler.
Kegagalan pompa Na+ dan K+ karena hipoksia atau iskemia dikenal sebagai
epileptogenesis, dan gangguan transportasi Cl dan K+ dapat menyebabkan
peningkatan eksitasi. Rangsangan terminal sinaptik tergantung pada sejauh mana
depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Sinkronisasi dari
lonjakan percabangan aksonal memainkan peran kunci dalam epileptogenesis.
Interaksi yang terjadi antara neuron tetangga dipisahkan dengan jarak ekstraseluler
yang kecil dan berkontribusi terhadap peningkatan sinkronisasi.

3. Mekanisme Sinaptik
Patofisiologi Sinaptik pada epilepsi adalah berupa berkurangnya inhibisi
GABAergic atau eksitas glutamatergic yang meningkat.
a. GABA: Pasien dengan jenis epilepsi tonik-klonik terbukti memiliki jumlah
GABA yang lebih sedikit dalam cairan cerebrospinal (CSS). Jika jaringan otak
yang mengalami epilepsi diangkat dari penderita dengan epilepsi resistan
terhadap obat, maka akan terjadi penurunan inhibisi pada penderita.
b. Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar telah menunjukkan
peningkatan berkelanjutan di tingkat kadar glutamat ekstraseluler selama dan
sebelum kejang. Tingkat GABA tetap rendah di daerah epileptogenik
hipokampus, tetapi selama kejang konsentrasi GABA meningkat, sebagian
besar terdapat di daerah non-epileptogenik hipokampus.

3.1.5 ​Manifestasi klinis


Epilepsi memiliki gejala klinis yang bervariasi dan salah satu cara untuk
mengelompokkan jenis-jenis kejang. The International League Against
Epilepsy(ILAE) telah mendeskripsikan secara sistematis dan telah
mengklasifikasikannya dari klinis dan hasil pemeriksaan.ILAE mengklasifikasikan epilepsi
menjadi:
I. Kejang Parsial (Fokal atau Lokal)
A. Kejang Parsial Simpleks
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensori
3. Dengan gejala otonom
4. Dengan gejala psikis

B. Kejang Parsial Kompleks


1. Kejang parsial simpleks yang diikuti oleh penurunan kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran saat onset kejang
C. Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang umum sekunder (tonik-klonik,
tonik, atau klonik)
1. Kejang parsial simpleks berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang parsial kompleks dan
8
berkembang menjadi kejang umum

II. Kejang
A. Kejang Absens
1. Kejang Absens
2. Kejang Absens Atipikal
B. Kejang Mioklonik
C. Kejang Klonik
D. Kejang Tonik
E. Kejang Tonik-Klonik
F. Kejang Atonik

III. Kejang Epilepsi yang Tidak Terklasifikasi


1. Kejang Parsial Simplek ​
Kejang parsial simplek didefinisikan sebagai kejang
parsial di mana kesadaran tidak terganggu. Kejang ini disebabkan
oleh kerusakan otak fokal. Bagian otak yang paling umum
terkena adalah lobus frontal dan temporal. Gejala pada
kejang ini berguna dalam memprediksi lokalisasi
anatomis dari kejang. Bentuk kejang biasanya tidak
memiliki gejala patologis yang spesifik. Biasanya sebagian
kejang parsial simplek dialami hanya beberapa detik.
Terjadinya kejang parsial simplek dimulai dengan muatan listrik di bagian otak
tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami sensasi,
gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah otak yang
terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan,
maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan; jika terjadi pada lobus
temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sangat
menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami
kelainan psikis dapat mengalami déjà vu (merasa pernah mengalami keadaan sekarang
8
di masa yang lalu).

2. Kejang Partial Kompleks


Kejang parsial kompleks berasal dari lobus temporal
pada 60% kasus, lobus frontal pada 30% kasus dan daerah
kortikal lainnya sekitar 10% kasus. Gambaran klinis
menunjukkan anatomi yang menyebabkan timbulnya kejang.
Lamanya kejang parsial kompleks bervariasi dalam lamanya.
11

Manifestasi yang timbul pada kejang parsial kompleks diantaranya timbulnya aura
diikuti oleh penurunan kesadaran, dan automatism (tindakan motorik yang terjadi
selama serangan epilepsi).

3. Parsial Berkembang Menjadi Kejang Umum


Kejang
Sekunder
Kejang parsial (simpleks dan kompleks) dapat menjadi kejang
umum. Kejang parsial sering dialami sebagai aura sesaat
sebelum terjadinya kejang. Kejang umum biasanya
memiliki klinis tonik-klonik.

4. Kejang Absans
Kejang ini terdiri dari penurunan kesadaran dan
penghentian semua aktivitas motorik. Tones biasanya
dipertahankan, dan tidak penderita tidak mengalami jatuh.
Penderita sama sekali tidak berhubungan dengan
lingkungan sekitar, tidak diajak berkomunikasi dan sering
seperti terlihat kosong. Serangan itu berakhir secara tiba-
tiba seperti serangan itu dimulai, dan aktivitas sebelumnya
dilanjutkan seolah-olah tidak ada yang terjadi saat kejang
itu berlangsung. Biasanya penderita tidak mengalami
kebingungan, tetapi penderita sering tidak menyadari
bahwa serangan telah terjadi. Sebagian kejang (>80%)
berlangsung kurang dari 10 detik. Fenomena klinis
lainnya termasuk berkedip, gerakan klonik sedikit batang
atau anggota badan dan otomatisasi yang singkat dapat
terjadi terutama pada saat serangan terjadi. Serangan sering
terulang, kadang-kadang mencapai ratusan kali dalam sehari.
Kejang absen dapat dipicu oleh kelelahan, mengantuk,
relaksasi, atau hiperventilasi. Kejang tidak khas
berkembang dimasa anak-anak atau remaja. Variasi dari
bentuk khas kejang ini termasuk tidak adanya mioklonik,
dan tidak adanya dengan mioklonik perioral atau
mioklonik kelopak mata.

5. Kejang Mioklonik
Kejang mioklonik merupakan kontraksi singkat otot atau
sekelompok otot. Hal ini dapat terjadi sekali atau berulang-
ulang, yang bervariasi dalam tingkat keparahan mulai dari
kedutan yang hampir tak terlihat sampai sentakan yang kuat.
Contohnya, penderita tiba-tiba jatuh atau melempar benda yang
ada ditangannya. Pemulihan pada kejang ini cepat dan penderita
sering menyatakan bahwa kesadaran tidak hilang saat kejang
terjadi. Kejang mioklonik dapat disebabkan oleh tindakan,
kebisingan, terkejut, atau stimulasi oleh cahaya.
Kejang mioklonik biasanya terjadi beberapa jam setelah bangun atau sebelum tidur.
Kejang mioklonik juga terjadi pada ensefalopati epilepsi. Mioclonus Focal adalah
gambaran dari fokus epilepsi lobus oksipital dan epilepsi yang timbul di daerah pusat
(jika terjadi terus menerus, diberi nama epilepsia partialis continua). Mioklonik umum
juga dapat terjadi pada epilepsi simtomatik yang disebabkan oleh anoksia otak, infeksi
otak, penyakit metabolik bawaan atau yang didapat, obat-obatan, atau keracunan.

6. Kejang Klonik
Kejang klonik terdiri dari sentakan yang sering
asimetris dan tidak teratur. Kejang ini paling sering terjadi
pada neonatus, bayi atau anak-anak muda.

7. Kejang Tonik
Kejang tonik adalah bentuk kontraksi otot tonik dengan
kesadaran berubah tanpa ada fase klonik. Kontraksi pada kejang
tonik menyebabkan ekstensi leher, kontraksi otot-otot
wajah, dengan mata membuka secara luas, bola mata
melihat ke atas, kontraksi otot-otot respirasi, dan spasme
otot-otot proksimal ekstremitas atas. Jika kontraksi tonik
menyebar ke distal, lengan akan naik ke samping-samping kepala seolah-
olah menyembunyikan kepala terhadap pukulan dan tungkai seolah-olah dipaksa utuk
menjadi lebih panjang. Kejang biasanya berfluktuasi sehingga kepala terlihat seolah-
9
olah mengangguk atau ada sedikit perubahan dalam postur badan.

8. Kejang Tonik Klonik


Kejang ini merupakan bentuk klasik dari serangan epilepsi. Kejang ini didahului
oleh aura, dimulai dengan kehilangan kesadaran dan dilanjutkan dengan tonik
(Terjatuh jika berdiri, kejadian singkat kontraksi otot, respirasi terhenti dan terjadi
sianosis umum) dan dilanjutkan dengan fase kloni (gerakan kejang, pernafasan
menjadi sesak, dan air liur sering tercampur darah akibat lidah yang tergigit).

9. Kejang Atonik
Atonik adalah klinis kejang yang paling berat dimana penderita tiba-tiba jatuh ke
tanah seperti boneka kain. Biasanya kejang ini berlangsung sebentar dan diikuti oleh
pemulihan segera.

Klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2017,


sebagai berikut:
Gambar 2.2 Klasifikasi epilepsi menurut ILAE 2017

10
Pedoman penggunaan klasifikasi operasional ILAE 2017 (ILAE)
• Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum
• Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat kesadaran. Focal aware seizure
merujuk pada simple partial seizure pada klasifikasi sebelumnya dan focal impaired
awareness seizure merujuk pada complex partial seizure.
• Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness seizure bila
terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama periode kejang.
• Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejang fokal dengan gejala atau tanda
pertama yang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior arrest.
• Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian aktivitas
sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
• Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat kesadaran.
Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang fokal dapat
ditentukan hanya dengan karakteristik motor atau non motor.
• Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat menambahkan deskripsi
dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu jenis kejang yang sudah ditentukan
sebelumnya. Sebagai contoh: focal emotional seizure dengan tonik pada lengan
kanan dan hiperventilasi.
• Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang tonik-klonik
yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk kejang yang secara
simultan berasal dari kedua hemisfer.
• Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset, terdapat
perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
• Klonik berbanding mioklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak ritmik yang
terus menerus dan mioklonik adalah gerakan menyentak yang regular tidak
berkelanjutan.
• Mioklonik palpebra: absans dengan mioklonik palpebra merujuk pada gerakan
mengedip selama kejang absans.

3.1.6 ​Diagnosis
Pedoman Umum
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu :
1. Langkah pertama : memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
merupakan bangkitan epilepsi.
2. Langkah kedua : apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah
bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
3. Langkah ketiga : tentukan etiologi, tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan
oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum
2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.
Secara sistematis, urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis epilepsi adalah sebagai
berikut:
1. Langkah pertama : ditempuh melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang diperoleh
dari anamnesis yang mencakup auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi
mata.
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan :
i. Keadaan penyandang saat bangkitan :
duduk/berdiri/berbaring/tidur/berkemih
ii. Gejala awitan (aura, gerakan/sensasi awal/speech arrest) : Pasien
mungkin mendeskripsikan sebagai rasa takut, baal atau kesemutan
pada jari-jari, rasa silau pada satu lapang pandang. Seringkali anak
tidak mengingat dan tidak dapat mendefinisikan aura tetapi keluarga
dapat melihat perubahan perilaku pada onset tersebut.
iii. Apa yang tampak selama bangkitan (pola/bentuk bangkitan) :
gerakan tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah
tergigit, pucat, berkeringat, deviasi mata
iv. Keadaan setelah kejadian : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, Todd’s paresis
v. Faktor pencetus : alkohol, kurang tidur, hormonal
vi. Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat
perubahan pola bangkitan
b. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat
penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar
OAE, kombinasi terapi)
e. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik atau
sistemik
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan
bayi/anak
h. Riwayat bangkitan neonatal/kejang demam
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dll.
2. Langkah kedua : untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1981.
3. Langkah ketiga : untuk menentukan etiologi, sindrom epilepsi atau penyakit
epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dilakukan dengan memperhatikan klasifikasi
ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan respons terhadap
OAE.

Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologik


Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik dan neurologik adalah sebagai
berikut :
• Lingkar kepala
• Mencari tanda-tanda dismorfik
• Kelainan kulit
• Pemeriksaan jantung dan organ lain
• Gangguan respirasi (hiperventilasi)
• Evaluasi psikologik
• Defisit neurologik
• Pemeriksaan funduskopik
Pemeriksaan Fisik Umum
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan defisit neurologik
10
fokal atau difus.

Pemeriksaaan Neurologik
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat tergantung dari interval antara
saat dilakukannya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
• Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan tampak
tanda pasca iktal terutama tanda fokal seperti Todd’s paresis, transient aphasic
symptoms, yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi.
• Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu, sasaran
utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem saraf
permanen (epilepsi simtomatik) dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila keadaan memungkinkan.
Pemeriksaan ini mencakup :
• Pemeriksaan electro-encephalography (EEG)
• Iktal (bila memungkinkan) dan interiktal
• Pola EEG tertentu dapat menunjukkan suatu sindrom
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan temuan gelombang epilepsi pada rekaman
EEG interiktal adalah sebagai berikut :
• Waktu perekaman
o Perekamam paskaiktal dalam 24 jam dapat menemukan gelombang
epilepsi interiktal (interictal epileptiform discharges) lebih besar
(51%) dibandingkan bila perekaman dilakukan lama setelah
bangkitan (34%).
• Perekaman berulang
• Keadaan kurang tidur (sleep deprivation)
• Aktivasi : tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik
• Perekaman EEG iktal dibutuhkan agar diagnosis epilepsi lebih jelas. Video
EEG telemetri digunakan bila diagnosis masih belum jelas dan untuk
penentuan lokalisasi fokus pada evaluasi praoperasi epilepsi.

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis dan membantu
penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat
membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan OAE. Namun,
EEG tidak harus abnormal pada anak dengan epilepsi. EEG normal dapat ditemukan pada
kejang umum pertama dan pada sepertiga anak kurang dari 4 tahun. EEG pertama dapat
normal pada 20% anak lebih dari 4 tahun dan sekitar 10% pada dewasa. Persentase ini
11
berkurang dengan EEG serial.

• Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)


Pemeriksaan CT scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita
dalam mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Pencitraan otak emergensi
biasanya tidak diperlukan dalam kasus tanpa bukti trauma atau
abnormalitas akut pada pemeriksaan. MRI (tidak emergensi)
diindikasikan pada anak dengan gangguan kognitif dan perilaku yang
signifikan, atau abnormalitas pada pemeriksaan neurologik yang tidak
diketahui penyebabnya, bangkitan kejang parsial, atau dengan EEG tidak
menunjukan benign partial epilepsy of childhood atau primary
generalized epilepsy, dapat dipertimbangkan untuk bayi di bawah usia 1
tahun, kesulitan untuk mengontrol bangkitan kejang, gangguan progresif
neurologik pada pemeriksaan serial, perburukan fokal pada EEG, dan
bukti lain untuk disfungsi neurologik.
Indikasi :
• Status epileptikus atau epilepsi akut yang berat
• Penyandang epilepsi fokal kecuali yang memiliki sindrom elektroklinik yang
tipikal untuk BECTS
• Epilepsi refrakter
• Bila ditemukan gangguan tumbuh kembang atau bukti sindrom neurokutan
Jenis penciteraan :
• Pencitraan struktural : CT scan, MRI, MR spektroskopik
CT scan memungkinkan diagnosis radiologis pada 10-20% pasien,
sedangkan MRI memungkinkan diagnosis radiologis pada 50% penyandang
epilepsi parsial refrakter MRI lebih baik dalam mendeteksi abnormalitas
fokal berukuran kecil dibandingkan CT scan.
Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik dapat
terdiagnosis secara non invasive, misalnya mesial temporal sclerosis,
glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic
neuroepitheliat tumor). Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi
pada epilepsi yang refrakter terhadap OAE.
• Pencitraan fungsional : PET, SPECT, fMRI. Kegunaan pencitraan fungsional
mencakup hal-hal sebagai berikut :
o Umumnya digunakan untuk perencanaan operasi epilepsi
o Membantu identifikasi region epileptogenik
o Membantu identifikasi daerah awitan bangkitan
o Melokalisasi fungsi otak
o Dibandingkan dengan pencitraan struktual, pencitraan fungsional
cenderung untuk menilai derajat epileptogenik korteks serebri secara
berlabihan
o PET (Positron Emission Tomography), SPECT (Single Photon
Emission Computed Tomography), dan MRS (Magnetic Resonance
Spectroscopy) bermanfaat dalam menyediakan informasi tambahan
mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah
regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
• Pemeriksaan laboratorium
o Pemeriksaan hematologik
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit,
trombosit, hapusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula, fungsi hati, ureum, kreatinin. Pemeriksaan ini
dilakukan pada awal pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila
timbul gejala klinik, dan rutin setiap tahun sekali.
o Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bengkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien.
Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali, atau bila
terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat
melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat perubahan fisiologi pada
tubuh penyandang (kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi ginjal).

3.1.8 Diagnosis banding


1. Gangguan metabolik
a. Hipoglikemia
• Kadar gula plasma < 45 mg/dl pada bayi atau anak-anak dengan atau tanpa
gejala.
• Kadar gula plasma < 35 mg/dl pada neonatus aterm < 72 jam
• Kadar gula plasma < 25 mg/dl pada neonatus preterm dan KMK
• Ketika kadar glukosa dalam darah rendah, sel-sel dalam tubuh terutama otak,
tidak menerima cukup glukosa dan akibatnya tidak dapat menghasilkan cukup
energi untuk metabolisme dan dapat menimbulkan kejang yang dapat
berakibat pada rusaknya sel-sel otak serta saraf dan sel-sel otak serta saraf
yang rusak dapat menyebabkan cerebral palsy, retardasi mental, dll.
Penyebab hipoglikemia pada anak :
• Peningkatan pemakaian glukosa / hiperinsulin yaitu pada neonatus dari ibu
penderita diabetes, besar masa kehamilan (BMK), neonatus yang menderita
eritroblastosis fetalis,dll
• Penurunan produksi/simpanan glukosa seperti pada bayi prematur, IUGR,
Asupan kalori yang tidak adekuat, penundaan pemberian
12
asupan(susu/minum), dll.
• Peningkatan pemakaian glukosa dan atau penurunan produksi glukosa seperti
pada stress perinatal, sepsis, syok, asfiksia, hipotermi, pasca resusitasi, dll.

b. Hiponatremia
• Kadar natrium serum < 120 mEq/L sering bergejala kejang, syok dan lethargi.
• Hiponatremia dapat mengakibatkan penurunan kesadaran hingga koma, dan
penderita juga dapat mengalami kejang, hemiparesis, ataksia, tremor, afasia
dan gejala gangguan jaras kortikospinalis. Apajika disertai kejang, harus
segera dilakukan koreksi natrium karena penderita mempunyai mortalitas
yang tinggi.

c. Hipomagnesemia
• Hypomagnesemia didefinisikan sebagai konsentrasi magnesium plasma <1,6
mEq/L (<1,9 mg/dl). Magnesium direkomendasikan sebagai anti konvulsan
pada preeklampsia dan eklampsia. Penghambatan N-metil- D aspartat
(NMDA) reseptor glutamat dan meningkatnya produksi prostaglandin
vasodilator dalam otak dapat menganggu mekanisme antikonvulsan dari
magnesium. Selain itu, magnesium juga berfungsi untuk menstabilkan
membran saraf.
• Gelaja biasanya muncul apajika kadar magnesium dalam tubuh < 1,2 mEq/L,
dan untuk kejang yang timbul biasanya tonik klonik umum. Selain kejang
gejala lain yang dapat timbul adalah iritabilitas neuromuscular,
hipereksitabilitas SSP dan aritmia jantung.

d. Defisiensi vitamin B6
• Fungsi sistem saraf cukup tergantung pada piridoksin, defisiensi piridoksin
dapat menyebabkan kejang-kejang dan neuropati perifer. Piridoksin berperan
serta dalam transport aktif asam amino melewati membran sel, chelates
metal dan berperan serta dalam sintesis asam arakhidonat dari asam linoleat.
Piridoksin tersedia dalam asi, susu sapi dan dalam tepung, tetapi proses
pemanasan yang lama pada susu sapi dan tepung dapat menghancurkan
piridoksin.
• Piridoksal fosfat merupakan koenzim untuk dekarboksilase glutamat dan
asam Y-aminobutirat transaminase yang masing-masingnya berfungsi untuk
metabolisme otak normal
• Bayi yang minum susu formula yang kurang vitamin B6 selama 1-6 bulan
menunjukkan iritabilitas dan kejang menyeluruh
• Selain dari defisiensi vitamin B6, ketergantungan atau berlebihannya vitamin
B6 juga dapat menyebabkan kejang-kejang yang bersifat mioklonik khas
dengan gambaran hipsaritmik pada elektroensefalogram. Ini terjadi biasanya
pada bayi-bayi yang mendapat dosis besar piridoksin selama kehamilan
ibunya. Oleh karena itu diet seimbang vitamin B6 sangatlah diperlukan.

e. Gangguan metabolik bawaan


​Defek metabolisme tubuh yang disebabkan oleh mutasi pada gen yang
mengkode protein spesifik sehingga terjadi perubahan struktur protein atau jumlah
protein yang disintesis yang dapat menimbulkan berbagai sindrom, antara lain
sindrom neurologis berupa disfungsi neurologis yaitu kejang.

2. Kejang Demam
• Bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas
38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
• Terjadi pada 2%-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun, apajika anak berumur
< 6 bulan atau > 5 tahun mengalami kejang yang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain seperti epilepsi atau infeksi sistem saraf pusat.
• Kejang demam kompleks dapat meningkatkan risiko kejadian epilepsi hingga
4%-6%.

3. Infeksi Sistem Saraf Pusat


a. Meningitis
• Peradangan selaput jaringan otak dan medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh
bakteri patogen.
• Sering didahului infeksi pada saluran nafas atas atau saluran cerna seperti demam,
batuk, pilek, diare dan muntah serta saat pemeriksaan akan ditemukan ubun-ubun
besar yang menonjol, kaku kuduk atau tanda ransangan meningeal (brudzinski
dan kernig).
• Untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis perlu dilakukan pemeriksaan
cairan cerebrospinal dengan lumbal pungsi.
b. Encephalitis
• Infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme (virus,bakteri,jamur dan protozoa) namun yang tersering adalah
virus.
• Gejala yang timbul antara lain demam tinggi mendadak (hiperpireksia),
terdapatnya gejala peningkatan tekanan intrakranial dan tanda kelumpuhan tipe
upper motor neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis dan klonus).
• Kejang pada encephalitis bersifat umum atau fokal, dapat berupa status
konvulsivus dan dapat ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan
penyakitnya.

4. Keracunan Teofilin
Digunakan untuk mengatasi apneu pada bayi yang dilahirkan dengan persalinan
yang sulit, efek samping penggunaan obat ini salah satunya yaitu kejang.

5. Encephalopati Hipertensi
Dapat terjadi pada hipertensi emergensi yaitu suatu keadaan yang menunjukkan
tekanan darah yang harus diturunkan dalam waktu satu jam karena didapatkan kejang,
nyeri kepala, gangguan penglihatan atau payah jantung.

6. Tumor Otak
Tumor otak adalah keganasan nomor 2 yang sering terjadi pada anak setelah
leukemia.Tumor otak supratentorial lebih sering menunjukkan gejala kejang dibanding
tumor otak infratentorial. Untuk menegakkan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan
MRI dan CT Scan.

7. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial didiagnosis atas dasar riwayat, manifestasi klinis,
ultrasonografi atau CT scan transfontanela kranium dan pengetahuan tentang risiko
spesifik-berat badan lahir terhadap tipe perdarahan. Diagnosis perdarahan subdural
pada bayi cukup bulan yang berat badan lahirnya besar menurut kehamilan (BBLB)
dengan disproporsi kepala-panggul dapat tertunda 1 bulan sampai volume cairan
subdural kronis bertambah menyebabkan sefalomegali, dominasi frontal, fontanela
cembung, kejang-kejang dan anemia. Apajika neonatus sehat namun terdapat kejang-
kejang, kemungkinan neonatus tersebut menderita perdarahan subarakhnoid ringan.
3.1.9 tatalaksana
Dampak epilepsi terhadap anak lebih luas cakupannya dari pada dewasa. Efek
jangka panjang yang akan terjadi pada anak baik dari segi kesehatan fisiknya dan juga
efek terhadap kehidupan anak sehari-hari. Untuk itu terapi pada epilepsi ini bukan hanya
medikamentosa, tetapi juga disertai dengan terapi motivasi terhadap anak dan keluarga.
Tatalaksana awal yang diberikan pada anak dengan kejang adalah penatalaksanaan
13
emergensinya. Lalu dilanjutkan dengan mencari tahu penyebab dari serangan kejang.
Manajemen yang dilakukan saat serangan terjadi adalah sebagai berikut:
- Pindahkan dan jauhi penderita dari benda-benda yang dapat mencelakai
seperti api, air, atau jalan raya
- Jauhkan penderita dari benda-benda tajam
- Longgarkan pakaian yang melekat pada penderita, dan lepaskan kacamata jika
penderita mengenakan kacamata
- Letakkan benda yang lembut pada kepala
- Putar kepala penderita sehingga saliva dan mukus keluar dari mulut penderita
- Jangan letakkan benda apapun kedalam mulut penderita
- Jangan beri penderita minum
- Jangan coba untuk menghentikan gerakan ataupun menahannya
- Tetap berada didekat penderita sampai kesadaran penderita kembali
- Biarkan penderita beristirahat dan melanjutkan aktivitas yang sedang
dilakukannya.

Gambar 2.2. Memposisikan penderita saat serangan

Selain dalam memposisikan, pada saat kejang diberikan juga antikonvulsan agar
kejang dapat berhenti. Manajemen emergensi dalam penanganan kejang dapat dilihat pada
gambar berikut:

Gambar 2.3 Tatalaksana epilepsi akut atau status epileptikus

Tabel 2.1 Dosis obat antiepilepsi


Jenis ObatDosis (perhari)
Efek Samping

Fenobarbital
3-8 mg/kgHiperaktif, penurunan kinerja belajar, mengantuk
Fenitoin 5-15 mg/kg
Hipersutisme, ataxia,

Valparin 10-60 mg/kg


Mual, muntah, peningkatan berat badan, rambut rontok

Carbamazepine
10-30 mg/kg
Mengantuk, pusing

A. Obat Antiepilepsi
a. Strategi pengobatan : anak dengan kejang pertama memiliki kemungkinan rekurensi 50%.
Oleh sebab itu, biasanya tidak diperlukan pemberian OAE sampai diagnosis epilepsi
ditegakkan, yaitu adanya bangkitan kejang kedua. Tipe bangkitan dan sindrom epilepsi
berhubungan dengan inisiasi pemberian obat. Mulai dengan satu jenis obat dengan dosis
moderate dan dosis ditambah jika bangkitan tidak terkontrol. Jika kejang tidak dapat
dikendalikan dengan dosis maksimal satu jenis OAE utama, perlahan-lahan ganti ke OAE
lain sebelum menggunakan terapi dua obat. Politerapi (penggunaan lebih dari dua jenis
OAE) jarang efektif jika dibandingkan dngan kemungkinan efek samping sinergis dari obat
13
multipel tersebut.
b. Prinsip terapi farmakologi
OAE diberikan bila :
▪ Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
▪ Pastikan faktor pencetus bangkitan dapat dihindari (misalnya kurang tidur, stress)
▪ Terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun
▪ Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
▪ Penyandang dan atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
yang timbul dari OAE
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan
dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat
dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif, bila diduga
ada perubahan farmakokinetik OAE (kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan
absorbs OAE), diduga penyandang epilepsi tidak patuh pada pengobatan, setelah
penggantian dosis/regimen OAE, melihat interaksi agar OAE atau obat lain, dilakukan rutin
setiap tahun pada penggunaan fenitoin.
Bila dengan penggunaan dosis maksimun OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, makan OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan (tapering off).
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila :
▪ Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
▪ Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis
herpes
▪ Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak
▪ Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
▪ Riwayat bangkitan simtomatik
▪ Terdapat sindrom epilepsi yang beresiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic
Epilepsy)
▪ Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, infeksi SSP
▪ Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi
farmakokinetik antar OAE.
Strategi untuk mencegah efek samping :
▪ Mulai pengobatan dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian
terapi
▪ Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
▪ Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada sindrom
14
epilepsi dan karakteristik penyandang epilepsi

Tabel 2.2 Obat Antiepilepsi

Tabel 2.3Pemilihan OAE Berdasarkan Bentuk Bangkitan


OAE Fokal Umum Tonik Lena Mioklonik
Sekunder Klonik
nFenitoin + + + - -
Karbamazepine + + + - -
Asam Valproat + + + + +
Fenobarbital + + + 0 ++
Gabapentin + + ++ 0 ?-
Lamotrigine + + + + +-
+
Topiramate + + + ++
Zonisamide + + ?+ ?+ ?+
Levetiracetam + + ?+ ?+ ?+
Oxkarbazepine + + + - -

c. Konseling : nasihat kepada orang tua bahwa pengguaan berlanjut dari OAE tidak akan
menyebabkan gangguan perlambatan mental signifikan dan permanen. OAE berguna untuk
mencegah terjadinya bangkitan kejang. Jangan mengganti dosis obat tanpa diketahui oleh
dokter. Pada anak yang lebih besar, dapat diterangkan cara penggunaan obatnya dengan
pengawasan dari orang tua mereka.

d. Kontrol : kontrol seperti darah rutin dan fungsi hati diperlukan untuk pasien yang
menggunakan OAE jangka panjang seperti valproat, fenitoin, dan karbamezepin.
Reevaluasi neurologik periodik sangat diperlukan. EEG ulangan diperlukan untuk
mengetahui perkembangan penyakit.

e. Managemen jangka panjang dan pemutusan obat antiepilepsi : rekurensi terjadi pada 25%
pasien yang menghentikan pengobatan, biasanya dalam 6-12 bulan setelah penghentian.
Jika terjadi bangkitan lagi, OAE harus dilanjutkan untuk sekitar 1-2 tahun.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :


• Pengehentian OAE dapat didiskusikan dengan penyandang epilepsi atau keluarganya
setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
• Gambaran EEG normal
• Harus dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 3-6 bulan
• Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut :
• Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
• Epilepsi simtomatik
• Gambaran EEG yang abnormal
• Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
• Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25% pada
epilepsi lena masa kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simtomatik, 85-95%
pada epilepsi meioklonik pada anak, dan JME
• Penggunaan lebih dari satu OAE
• Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
• Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
• Kemungkinan kekambuhan lebih ekcil pada penyandang yang terlah bebas bangkitan
selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka
gunakan dosis efektif terakhir (sebelum penggunaan dosis OAE), kemudian
dievaluasi kembali

f. Kandungan OAE dalam darah : beberapa efek toksik serius adalah reaksi alergik dan
15
toksisitas pada sumsum tulang dan hati.

g. Perhatikan efek samping obat : reaksi alergi signifikan terjadi pada 5-10% pasien yang
menggunakan karbamezepine, lamotrigin, oxcarbazepine, fenitoin, dan fenobarbital yang
beresiko terjadinya Steven Johnson Syndrome. Efek samping lainnya adalah hepatotoksik,
pankreatitis, diskrasia darah, dan batu ginjal. Efek samping fenitoin adalah hiperplasia
gingival dan hipertrikosis. Efek samping valproat dan gabapentin adalah kenaikan berat
badan sedangkan topiramat, zonisamide, dan felbamate menyebabkan penurunan berat
badan.

3.2.0 Prognosis
Prognosis dari epilepsi tergantung dari jenis epilepsi yang ada. Beberapa prognosis
16
jenis epilepsi dijelaskan pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Prognosis epilepsi


48

BAB IV
ANALISIS KASUS
Penemuan Teori
kejang sebanyak 2x yang berlangsung Kejang merupakan bangkitan motorik yang
lebih dari 30 menit sebelum masuk terjadi akibat ketidak seimbangan listrik
rumah sakit. dalam tubuh, kejang menurut etiologinya
digolongkan menjadi 3
1. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di
otak atau defisit neurologik.
Diperkirakan mempunyai predisposisi
genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi
penyebabnya belum diketahui.
Gambaran klinik sesuai dengan
ensefalopati difus
3. Simtomatik : bangkitan epilepsi
disebabkan oleh kelainan/lesi struktural
pada otak, misalnya cedera kepala,
infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelainan degeneratif.
Pada pasien etiologi termasuk idiopatik
karena tidak terdapat lesi struktural di
otak atau defisit neurologik.
Diperkirakan mempunyai predisposisi
genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.

Kejang yang berlangsung ± 30 menit


merupakan penegrtian dari status
epileptikus menurut ILAE,
International League Against Epilepsy
mendefinisikan status epileptikus sebagai
aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih.

Kejang tanpa demam Kejang tanpa demam menggambarkan


kejang yang tidak dicetus oleh adanya
suatu infeksi di susunan saraf pusat.

pasien tidur dan tiba-tiba kejang, Tipe kejang


kejang dimulai dengan badan nya
yang tiba-tiba kaku dan mata yang
melotot keatas, Kemudian pasien
dibawa ke rumah sakit

Gambar 2.2 Klasifikasi epilepsi menurut


ILAE 2017

Pasien ini termasuk kejang tonik-klonik


Kejang ini merupakan bentuk klasik dari
serangan epilepsi. Kejang ini didahului
oleh aura, dimulai dengan kehilangan
kesadaran dan dilanjutkan dengan tonik
(Terjatuh jika berdiri, kejadian singkat
kontraksi otot, respirasi terhenti dan terjadi
sianosis umum) dan dilanjutkan dengan
fase kloni (gerakan kejang, pernafasan
menjadi sesak, dan air liur sering
tercampur darah akibat lidah yang tergigit).

Riwayat prenatal-natal Dapat menjadi faktor pencetus terjadinya


• Riwayat lahir ditolong dokter serangan epilepsi di kemudian hari.
• Pasien lahir tidak langsung • Salah satu faktor prenatal yang dapat
menangis menjadi pencetus epilepsi pada
anak adalah keadaan asfiksia.
Asfiksia akan menyebabkan
hipoksia dan iskemia sehingga
menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus yang mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron
eksitasi. Hal ini dapat
mengakibatkan munculnya epilepsi
di kemudian hari.

Diagnosis banding Kejang dapat disebabkan oleh gangguan


• Gangguan elektrolit elektrolit seperti hipoglikemi, hiponatremi
• Meningitis dan hipokalsemi. Dari pemeriksaan
• Ensefalitis penunjang dapatkan hasil elektrolit pasien
an.Ar dalam batas normal.

adanya infeksi pada sistem saraf pusat


seperti meningitis dan ensefalitis
memberikan tanda dan gejala seperti
• Peradangan selaput jaringan otak dan
medulla spinalis yang dapat
disebabkan oleh bakteri patogen.
• Sering didahului infeksi pada saluran
nafas atas atau saluran cerna seperti
demam, batuk, pilek, diare dan
muntah serta saat pemeriksaan akan
ditemukan ubun-ubun besar yang
menonjol, kaku kuduk atau tanda
ransangan meningeal (brudzinski
dan kernig).
Pada pasien ini ditemukan adanya salah
satu tanda dan gejala seperti diatas yaitu
leukositosis. namun untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis perlu dilakukan
pemeriksaan cairan cerebrospinal dengan
lumbal pungsi.
a. Encephalitis
• Infeksi jaringan otak yang dapat
disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme
(virus,bakteri,jamur dan
protozoa) namun yang tersering
adalah virus.
• Gejala yang timbul antara lain
demam tinggi mendadak
(hiperpireksia), terdapatnya
gejala peningkatan tekanan
intrakranial dan tanda
kelumpuhan tipe upper motor
neuron (spastis, hiperrefleks,
refleks patologis dan klonus).
• Kejang pada encephalitis bersifat
umum atau fokal, dapat berupa
status konvulsivus dan dapat
ditemukan sejak awal ataupun
kemudian dalam perjalanan
penyakitnya.

Tatalaksana Fenitoin 5-15 mg


digunakan terutama untuk kejang umum.
Ini sangat berguna untuk gangguan kejang
campuran. Termasuk kejang mioklonik,
absen sederhana, absen mioklonik,
mioklonus, dan kejang tonik-klonik.
Dosis yang digunakan adalah 15 mg/kgbb

BAB V
KESIMPULAN

Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh
dunia. psi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima
puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di
negara berkembang.
Telah dilaporkan pasien an. Ahza Rumaisa 7 bulan dengan keluhan kejang sebanyak 2
kali >30 menit SMRS, setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka pasin di diagnosis dengan Status Epileptikus dan diterapi dengan asam
valproat (depaken sirup) 2x 2,5 mg. Pada kasus epilepsi, prognosis penyakit sangat
tergantung terhadap intesitas tejadinya serangan dimana intesitas serangan ini dapat
dikuranggi dengan cara menghindari faktor pencetus ataupun pengendalian aktifitas sehari
– hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Best Practice in Pediatrics. Jakarta; 2015.


2. Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta. Memahami epilepsi pada anak;
2016.
3. Soetamenggolo TS, Sofyan I. Kelainan Paroksismal dalam Buku Ajar Neurologi
anak. IDAI;(10):190.
4. Kliegman RM, Behrman, Richard E, Jenson. Nelson Textbook of Pediatric, 21th ed.
2018.
5. Sahin, S. Mutlu, U. Seizures in a pediactric intensive care unit: a prospective study.
Journal of tropical pediatrics; 2016.
6. Bayu, P. Agung, T. Cognitive function in children with epilepsi. Journal of nepal
paediatric society; 2018.
7. Carmelo, M. Roberta, M. Epilepsy in children: from diagnosis to treatment with
focus on emergency. Journal of clinal medicine; 2019.
8. Sara, R. Andrew, L. Seizures in childhood: aetiology, diagnosis, treatment, and
what the future may hold. EMJ Neurol; 2019.
9. Aaberg KM et al. Incidence and prevalence of childhood epilepsy: A nationwide
cohort study. Pediatrics. 2017
10. Inggrid, E. Samuel, B. ILAE classification of the epilepsies: position paper of the
ILAE commison for classification and terminology; 2017.
11. Paul, B. Susana, F. Recommendations for the treatment of epilepsy in adult and
pediatric patients in Belgium: 2020 update: Springer link; 2021.
12. Ornella, C. Manoj, M. Management of acute seizures in children: A review with
special consideration of care in resource-limited settings. Science direct; 2017.
13. Lauren, C. Nathan, J. Children’s Experiences of Epilepsy: A Systematic Review
of Qualitative Studies; 2016.
14. Pauline, S. Arwen, B. Clinical characteristics of children with epilepsy managed
at an urban hospital in Africa: a retrospective study. Journal of the international
child neurology association; 2019.
15. Christopher, M. Drugs for children with epilepsy. WebMD; 2019.
16. Reza, A. Prognosis of Epilepsies and Epileptic Syndromes in Children: A
Narrative Review; 2019.
54

Anda mungkin juga menyukai