Anda di halaman 1dari 3

Bayi tabung adalah suatu upaya untuk memperoleh kehamilan dengan jalan mempertemukan sel

sperma dan sel telur sehingga terjadi pembuahan dalam suatu wadah atau cawan petri, yang proses
pembuatannya terjadi di luar tubuh wanita (in Vitro).

Dengan kata lain bayi tabung di dalam proses kejadian yaitu ditempuh dengan cara inseminasi yaitu satu
cara memasukkan sperma ke dalam kelamin wanita tanpa melalui senggama.

Di dalam sumber syariat Islam (Al-Qur’an dan hadits) memang dijelaskan bahwasannya proses
penciptaan manusia yaitu dengan pembuahan antara sel telur dan sperma melalui senggama.

Adapun Inseminasi dan bayi tabung merupakan dua hal yang berbeda. Namun hukum inseminasi dalam
Islam sama dengan hukum bayi tabung menurut Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan
ovum dari pasangan suami-istri yang sah hukumnya mubah (boleh). Sebab, ini termasuk ikhtiar yang
berdasarkan kaidah-kaidah agama.

Hukum bayi tabung menurut pandangan Islam

1. Haram Jika Mendatangkan Pihak Ketiga

para ulama juga menyebutkan bahwa penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suami-istri yang
menggunakan rahim perempuan lain sebagai sarana adalah haram hukumnya.

Tidak hanya itu, proses bayi tabung yang berasal dari sperma dan sel telur bukan pasangan suami istri
yang sah, maka hukumnya juga haram. Hal ini dinyatakan secara tegas di dalam fatwa Majelis Ulama
Indonesia. Sebab, hal itu sama saja dengan hubungan kelamin lawan jenis di luar pernikahan yang sah
(zina).

Selain MUI, Nahdlatul Ulama (NU) pun sudah membuat ketetapan fatwa mengenai masalah bayi tabung
pada forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, pada tahun 1981. Salah satu isi keputusan
menyatakan bahwa apabila bayi tabung yang masuk ke dalam rahim istri bukan berasal dari mani
(sperma) suami dan istri yang sah, maka hukumnya adalah haram

Hal ini di dasarkan pada beberapa hadis:

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam pandangan Allah SWT,
dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim
perempuan yang tidak halal baginya,” riwayat Ibnu Abbas RA.
"Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada
tanaman orang lain (vagina istri orang lain),” riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Hadits ini dipandang
sahih oleh Ibnu Hibban.

2. Bayi Tabung pada Masa Iddah Hukumnya Haram

Jika metode bayi tabung dan inseminasi buatan dilakukan setelah suami wafat (meninggal), maka para
ulama tetap mengharamkannya. Hal ini dikarenakan sang suami yang memiliki sperma tersebut sudah
wafat, sehingga pernikahan pun juga sudah berakhir. Apabila masa inseminasi tetap dilakukan pada
masa ‘iddah, maka hal tersebut menjadi sebuah pelanggaran.

Keputusan ini juga telah disebutkan di dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dalam fatwanya, para
ulama MUI membuat keputusan jika bayi tabung berasal dari sperma suami yang sudah meninggal,
maka haram hukumnya. Pasalnya, hal ini akan menimbulkan masalah yang berhubungan dengan
penentuan nasab atau warisan

3.Mubah (Diperbolehkan) dalam Ikatan Suami dan Istri yang Sah

Dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia dinyatakan bahwa jika bayi tabung dengan sperma dan sel telur
berasal dari pasangan suami istri yang sah menurut hukum, maka mubah (diperbolehkan). Hal ini
dianggap masuk ke dalam ikhtiar mendapat keturunan yang didasari oleh kaidah agama.

Walau demikian, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:- Dilaksanakan atas ridho suami
dan istri

- Inseminasi akan dilaksanakan saat masih berada dalam status suami dan istri

- Dilaksanakan sebab keadaan yang darurat supaya bisa hamil

- Perkiraan dari dokter yang kemungkinan besar akan memberikan hasil dengan cara memakai metode
tersebut

- Aurat perempuan hanya diperkenankan dibuka saat keadaan darurat dan tidak lebih dari keadaan
darurat

- Tenaga medis yang menangani metode bayi tabung atau inseminasi tersebut adalah dokter perempuan
muslimah apabila memungkinkan. Namun jika tidak, maka bisa dilakukan oleh dokter perempuan non-
muslim. Jika tidak memungkinkan memakai jasa dokter perempuan muslimah atau non-muslim, maka
cara lain adalah dilakukan oleh dokter laki-laki muslim yang sudah bisa dipercaya. Jika tidak ada pilihan
lain, maka bisa dilakukan oleh dokter laki-laki non-muslim.
4. Bayi Tabung dengan Jenis Kelamin Sesuai Keinginan

- Memiliki Tujuan untuk Menyelamatkan Penyakit Turunan

Memilih jenis kelamin bayi tabung sesuai keinginan bisa dilakukan apabila tujuannya untuk
menyelamatkan penyakit turunan. Misalnya, jika anak yang terlahir berjenis kelamin laki-laki atau
perempuan dan nantinya dapat membuat janin dalam kandungan meninggal atau mewarisi penyakit
turunan dari orangtua, maka bayi tabung demi penentuan jenis kelamin dalam keadaan darurat seperti
ini diperbolehkan.

- Tidak Diperbolehkan Jika Hanya Mengikuti Keinginan

Apabila bayi tabung hanya untuk memilih jenis kelamin anak berdasarkan keinginan pasangan tanpa hal
yang darurat atau mendasar, maka tidak diperbolehkan.

Hal ini dikarenakan sebenarnya pasangan suami istri tersebut masih memiliki kemungkinan untuk
mempunyai anak, tetapi tetap tidak boleh keluar dari cara yang sudah dibenarkan yaitu dengan cara
inseminasi alami.

5. Sperma atau Air Mani Dikeluarkan dengan Cara yang Tidak Tepat

Nahdlatul Ulama pada forum Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta tahun 1981, juga menetapkan
keputusan lain yang berkaitan dengan metode bayi tabung. Jika sperma atau air mani yang akan
digunakan untuk proses bayi tabung tersebut adalah milik suami, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya haram.

“Mani muhtaram adalah mani yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’

Dalam fatwa NU juga mengatakan, seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya
(dengan beronani) dibantu dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri
memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang (melakukan hal tersebut)

Anda mungkin juga menyukai