Anda di halaman 1dari 33

RESUME CRITICAL REASONING

SKENARIO 3

Nama : Fina Sudarni Sukmana

NPM : 116170021

Blok : 7.1

Kelompok :6

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2020
CRITICAL REASONING

A. Kasus

Seorang laki-laki berusia 33 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan


keempat anggota gerak tidak bisa digerakkan dan tidak bisa merasakan
sensasi sentuhan.

B. Resume Literature Review

Lemah anggota gerak dan hilang


sensasi sentuhan :

1. Stroke Iskemik
2. Miestenia gravis
3. Guillain Bare Syndrome
4. Transient Ischemic Attack
(TIA)
5. Trombosis serebri
6. Trauma Medula Spinalis
7. Emboli serebri
8. Myelitis
C. Literature Review
1. Stroke Iskemik
a. Definisi
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian,
tanpa ada penyebab lain yang jelas selain vaskuler Definisi ini
mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan
intraserebral (PIS) non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan
beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA).1
b. Etiologi
Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering
disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di
intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran
darah otak. Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran
darah ke otak dapat mencetuskan suatu kaskade iskemik, yang akan
mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak.1
a) Emboli Sumber emboli dapat terletak di arteri karotis maupun
vertebralis akan tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskular.
1) Embolus yang dilepaskan oleh arteri karotis atau vertebralis,
dapat berasal dari “plaque atherosclerotique” yang berulserasi
atau thrombus yang melekat pada intima arteri akibat trauma
tumpul pada daerah leher. 2) Embolisasi kardiogenik dapat
terjadi pada: Penyakit jantung dengan “shunt” yang
menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau
ventrikel. 3) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat
terjadi sebagai emboli septik, misalnya dari abses paru atau
bronkiektasis, dapat juga akibat metaplasia neoplasma yang
sudah ada di paru.4
2) Trombosis Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada
pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri karotis dan
percabanganya) dan pembuluh darah kecil. Tempat terjadinya
trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri
serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis
interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya
turbulensi aliran darah. Energi yang diperlukan untuk
menjalankan kegiatan neuronal berasal dari metabolisme
glukosa. Bila tidak ada aliran darah lebih dari 30 detik
gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2 menit
aktifitas jaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka
kerusakan jaringan otak dimulai, dan bila lebih dari 9 menit
manusia dapat meninggal.4
c. Faktor Risiko
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
 Umur
 Jenis kelamin
 Ras dan suku bangsa
 Faktor turunan
 Berat badan lahir rendah
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
 Merokok
 Diet tidak sehat: lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,
kurang buah
 Alkoholik
 Obat-obatan: narkoba (kokain), anti koagulansia, antim platelet,
amfetamin, pil kontrasepsi
 Kurang gerak badan
Fisiologis:
 Penyakit hipertensi
 Penyakit jantung
 Diabetes mellitus
 Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
 Gangguan ginjal
 Kegemukan (obesitas)
 Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit perdarahan
d. Klasifikasi
Dasar klasifikasi yang berbeda – beda diperlukan, sebab setiap
jenis stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa
yang berbeda, walaupun patogenesisnya sama.
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya : 1. Stroke
iskemik, Transient Ischemic Attack (TIA), Thrombosis serebri,
Embolia serebri. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu 1.
Transient Ischemic Attack (TIA) 2. Stroke in evolution 3. Completed
stroke III. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah 1. Sistem karotis 2.
Sistem vertebrobasiler IV. Berdasarkan tipe infark: 1. Total Anterior
Circulation Infarction 2. Partial Anterior Circulation Infarction 3.
Posterior Circulation Infarction 4. Lacunar Infarction
Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan kriteria kelompok
peneliti TOAST 1. Aterosklerosis arteri besar (Embolus/ Trombosis) 2.
Kardioembolisme (Risiko Tinggi/ Risiko Sedang) 3. Oklusi pembuluh
darah kecil (Lakunar) 4. Stroke akibat dari penyebab lain yang
menetukan 5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tak dapat
ditentukan: a. Dua atau lebih penyebab teridentifikasi b. Tidak ada
evaluasi c. Evaluasi tidak lengkap.1
e. Patofisiologi
Stroke iskemik terjadi apabila terjadi oklusi atau penyempitan
aliran darah ke otak dimana otak membutuhkan oksigen dan glukosa
sebagai suber energi agar fungsinya tetap baik. Aliran drah otak atau
Cerebral Blood Flow (CBF) dijaga pada kecepatan konstan antara 50-
150 mmHg. Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh:
a) Keadaan pembuluh darah Bila menyempit akibat stenosis atau
ateroma atau tersumbat oleh trombus atau embolus maka aliran
darah ke otak terganggu.
b) Keadaan darah Viskositas darah meningkat, polisitemia
menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat
dapat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c) Tekanan darah sistemik Autoregulasi serebral merupakan
kemampuan intrinsik otak untuk mempertahankan aliran darah ke
otak tetap konstan walaupun ada perubahan tekanan perfusi otak.
d) Kelainan jantung berupa atrial fibrilasi, blok jantung menyebabkan
menurunnya curah jantung. Selain itu lepasnya embolus juga
menimbulkan iskemia di otak akibat okulsi lumen pembuluh darah.
Jika CBF tersumbat secara parsial, maka daerah yang bersangkutan
langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut
dinamakan daerah iskemik. Infark otak, kematian neuron, glia, dan
vaskular disebabkan oleh tidak adanya oksigen dan nutrien atau
terganggunya metabolisme.1
f. Diagnosa
Infark pada Sistem Saraf Pusat Tanda dan gejala infark arteri
tergantung dari area vaskular yang terkena.4
a) Infark total sirkulasi anterior (karotis)
1) Hemiplegia (kerusakan pada bagian atas traktus
kortikospinal)
2) Hemianopia (kerusakan pada radiasio optikus),
3) Defisit kortikal, misalnya disfasia (hemisfer dominan),
hilangnya fungsi visuospasial (hemisfer nondominan).
b) Infark parsial sirkulasi anterior
Hemiplegia dan hemianopia, hanya defisit kortikal saja.
c) Infark lakunar
Penyakit intrinsik (lipohialinosis) pada arteri kecil profunda
menyebabkan sindrom yang karakteristik.
d) Infark sirkulasi posterior (vertebrobasilar):
 Tanda-tanda lesi batang otak,
 Hemianopia homonim.
Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara
mendadak; gejala seperti sinkop, bingung, dan pusing tidak cukup
untuk menegakkan diagnosis. TIA umumnya berlangsung selama
beberapa menit saja, jarang berjam-jam. Untuk membedakan jenis
stroke iskemik dengan stroke perdarahan dilakukan pemeriksaan
radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke hemoragik akan terlihat adanya
gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan terlihat
adanya gambaran hipodens.1
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang
peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa
pentingnya pengobatan stroke sedini mungkin, karena ‘jendela terapi’
dari stroke hanya 3-6 jam. Hal yang harus dilakukan adalah:
1) Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing,
Circulation)
2) Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau
gagal napas Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin
normal 0,9% dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai
cairan hipotonis seperti dekstrosa 5 % dalam air dan salin 0, 45
%, karena dapat memperhebat edema otak.
3) Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung
4) Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
5) Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen
toraks
6) Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah
perifer lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit,
ureum, dan kreatinin), masa protrombin, dan masa tromboplastin
parsial
7) Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi
hati, gas darah arteri, dan skrining toksikologi
8) Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
9) CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia.4
2. Miestenia gravis
a. Definisi
Miestenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan
antara sistem saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit
miastenis gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan pada
beberapa atau seluruh otot, dimana kelemahan tersebut diperburuk
dengan aktivitas terus menerus atau berulang-ulang. Miastenia gravis
adalah penyakit autoimun yang menyerang neuromuskular juction
ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di
neuromuskular juction berkurang.2
b. Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah
Acetyl Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl
Choline(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic.
Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah
normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan
rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena
proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR
bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-
synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak
sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus turut
berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75 % pasien
Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun
dan 10 % berhubungan dengan timoma.2
c. Gejala klinis
Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan
dan kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot
secara berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini
akan enghilang atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot
yang melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang
khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan
gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan
otot-otot tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat
benda menjadi ada dua atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak
mata secaara abnormal (ptosis).5
Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan
menyebabkan penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta
penampilan yang seperti tanpa ekspresi. Penderita juga akan
merasakan kelemahan dalam mengunyah dan menelan makanan
sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu, terjadi
gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari
langit-langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita Miastenia
gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk
tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan
asimetris . Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami
kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil
penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh.
Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata disebut
Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi berat
dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-
otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila
sampai diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia
gravis tersebut dikenal sebagai krisis Miastenia gravis atau krisis
miastenik. Umumnya krisis miastenik disebabkan karena adanya
infeksi pada penderita Miastenia gravis.5
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang
berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam,
dengan istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot
faring lainnya ( disfagia , suara sengau )
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
 Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi.
Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman
membuat klasifikasi klinis sebagai berikut :
a) Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot
okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada
kasus kematian (15-20 %)
b) Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat,
biasanya pada mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka
dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena, respon terhadap
terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan
sering disertai gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat
dengan terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Respon
terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien
terbatas. (25 %)
c) Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat
dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai
mulai terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit
berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok
ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat
bururk dan angka kematian tinggi. (15%)
d) Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2
tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon
terhadap obat dan prognosis buruk. (10%).

d. Diagnosis
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase,
EMG, serologi untuk antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI toraks
untuk melihat adanya timoma.
1) Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah
aktivitas dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-
otot mata (dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai
kelumpuhan anggota badan (terutama triceps dan ekstensor jari-
jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi
cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan
penderita bisa sesak.
2) Tes klinik sederhana:
- Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang
antara kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi
ptosis (tes positif).
- Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka
suara akanmenghilang secara bertahap (tes positif) 10.
3) Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon
secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara
intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus
memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak
mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera
lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk
mengatasinya dapat digunakan atropin.5
4) Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula
atropin 0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,
strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.5
5) Laboratorium
 Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien
yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40
tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang penting pada
penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa timoma anti-SM
Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan
usia lebih dari 40 tahun.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan
hasil anti-AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif),
menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
mendiagnosis suatu Miastenia gravis, dimana terdapat hasil
yang postitif pada 70%-95% dari penderita Miastenia gravis
generalisata dan 50% - 75 % dari penderitadengan Miastenia
okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia
gravissering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.5
6) Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek
pada transmisi neuro muscular melalui 2 teknik :

- Single-fiber Electromyography (SFEMG)


SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber density
yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang
memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita,
sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas
pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot
tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density
(jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat
direkam oleh jarum perekam).
- Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah
reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya
penurunan suatu potensial aksi.5
7) Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
oentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa
pada bagian anterior mediastinum.
 Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
semua kasus Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan
usia tua.
 MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan
sebagaipemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila
diagnosis Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab
defisit pada saraf otak. 5

e. Tatalaksana awal
1) Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120
mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan
membantu pasien untuk mengunyah, menelan, dan beberapa
aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon
long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1
mg/4 jam/iv atau im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau
menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati
normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.5
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada
Miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk
konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,
lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat
diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.5
2) Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20
mg, dinaikkan bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari,
maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis
minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa: peningkatan berat
badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak.5
3) Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi
jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara
efektif.Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi.
Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan
intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang
mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien
yang akan menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari
penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi
umumnya 3-4 liter sebanyak 5x dalam 2 minggu.5
4) Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari
pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
5) Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55
tahun dengan Miastenia gravis generalisata. Walaupun timektomi
merupakan terapi standar di berbagai pusat pengobatan namun
keeefektivitasannya belum dapat dipastikan oleh penelitian
prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi pada terapi awal
pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar. 5
3. Guillain Bare Syndrome
a. Etiologi
Tidak ada etiologi yang akurat dan belum secara lengkap dapat
dimengerti namun sejumlah besar penelitian mengindikasikan bahwa
penyebabnya adalah inflamasi autoimun neuropati perifer, yang dipicu
oleh berbagai faktor termasuk infeksi bakteri ataupun virus, dan
vaksinasi. Agen spesifiknya tidak diketahui, terlihat pada infeksi
citomegelovirus, Epstein-Barr virus, dan HIV atau infeksi bakteri
seperti mycoplasma pneumoni dan lyme disease. Campylobacter
Jejuni mungkin adalah bakteri yang paling banyak dihubungkan
dengan SGB. Meskipun tidak terdapat bukti sensitisasi antigen virus
maupun bakteri pada manusia dengan SGB spontan, aktivitas penyakit
ini terlihat berkorelasi dengan adanya antibodi serum pada myelin
saraf perifer sehingga menyebabkan terjadinya peradangan dan
kerusakan mielin.3

b. Patofisiologi
Patologi klasik pada acute inflammatory demyelinating
polyneuropathy adalah infiltasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan
makrofag) dan area segmental sarafnya mengalami proses
demielinisasi, sering juga dihubungkan dengan tanda degenerasi akson
sekunder yang mana dapat dideteksi pada akar spinal sama halnya
pada saraf sensorik-motorik kecil maupun besar. T sel yang teraktivasi
di perifer, mengindikasikan terjadinya perubahan ekspresi antigen,
major histocompatibility complex (MHC) kelas II dan ko-stimulatori
faktor, berbagai sitokin proinflamasi seperti interferon gama (IFN)
dan tumor necrosis faktor alpha (TNF α) dan reseptor sitokin. Ini akan
mengawali aktivasi daripada komplemen, yang mengikat ikatan
antibodi pada permukaan sel schwaan dan memulai terjadinya
vesikulasi dari myelin.
Invasi makrofag diamati terjadi pada waktu 1 minggu sesudah
kerusakkan myelin terjadi. Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG
dan aktivasi komplemen berikatan dengan aksolema pada serat
motorik dari nodus ranvier, diikuti oleh pembentukkan kompleks
membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan degenerasi akson dari
serat motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun demielinisasi.3
c. Manifestasi Klinis
GBS merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan
rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh
paralisis ke-empat ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini
biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan
kemudian menghilang sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya
dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini
bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus,
biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat
timbul secara signifikan dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan
ventilator dalam bernafas.3
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga
dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak-anak.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan
kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau
hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang
tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.3
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala
berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering
(50%) adalah bilateral facial palsy. Gejala-gejala tambahan yang
biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK,
inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan
kabur (blurred visions).3
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes:
0 : Sehat
1 : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan
manual
2 : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat
melakukan pekerjaan manual
3 : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5 : Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian
d. Diagnosis
Diagnosis dari GBS biasanya ditegakkan berdasarkan klinisnya.
Gejala klinis utama dari GBS adalah kelemahan bilateral yang
progresif dan relatif simetris dari anggota tubuh dengan atau tanpa
keterlibatan dari otot respirasi atau otot yang diinervasi saraf kranial.
Diagnosis SGB sering secara langsung, terutama ketika
kelemahan didahului dengan infeksi antara 1-3 minggu, dari onset.
Pada beberapa pasien bagaimanpun, diagnosis dapat menjadi lebih
sulit terutama ketika nyeri muncul sebelum gejala kelemahan atau
ketika kelemahan pada awalnya hanya muncul pada kaki.
Dari anamnesis dapat ditanyakan, ada atau tidaknya infeksi
virus yang mengawali 2-4 minggu sebelum muncul gejala,
menanyakan ada atau tidaknya retensi urin, untuk anak biasanya nyeri
50% sehingga membuat anak menjadi rewel. Untuk pemeriksaan fisik
pada Guillain Barre Syndrome didapatkan antara lain:
1) Akut, simetris, dan kelemahan biasanya asendens dari anggota
tubuh
2) Arefleksia atau hiporefleksia dan kelemahan otot, menurunnya
posisi dan sensasi getar
3) Paralisis otot pernapasan 30% jika tanpa terapi
4) Keterlibatan saraf kranial <50%, biasanya kelemahan wajah, 10-
20% ophthalmoparesis
5) Disautonomia (50%): tekanan darah yang labil, aritmia, ileus,
retensi urin, dapat terjadi quadriparesis yang berat hingga
paralisis otot pernafasan.
6) Ataksia (23%).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menyokong diagnosis
Sindroma Guillain Barre adalah adanya disosiasi sito albuminemik
yaitu adanya kenaikkan jumlah protein didalam cairan serebrospinal
tanpa adanya kenaikkan jumlah sel yang melebihi 10 sel mononuclear
per mm3, ini didapatkan pada 80 sampai 90% dari pasien dengan
GBS pada minggu pertama sesudah onset dari gejala. Pemeriksaan
darah tepi antara lain hemoglobin, leukosit dan laju endap darah
biasanya normal, kecuali ada infeksi pada paru-paru dan saluran
kencing.
Untuk pemeriksaan MRI, sebaiknya dilakukan pada hari ke-13
setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan MRI dengan
menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran
peningkatan penyerapan kontras di daerah lumbosakral terutama di
kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada GBS adalah 83%.
e. Tatalaksana
 Terapi khusus
Sekarang dua pilihan terapi yang tersedia termasuk plasmaparesis
dan intravenous immunoglobulin.
a) Plasmaparesis
Bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang
beredar. Penggunaan plasmaferesis sebagai terapi pada SGB
pertama kali dilaporkan pada tahun 1978 yang kemudian
mengarah kepada enam uji klinis acak yang membandingkan
antara plasmaferesis dengan terapi suportif. Hasil yang
didapat adalah terapi dengan plasmaferesis terbukti efektif,
sehingga pada tahun 1986 terapi plasmaferesis
direkomendasikan pada kasus SGB berat. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB
dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Bahan
pengganti plasma yang digunakan adalah albumin atau Fresh
Frozen Plasma (FFP). Pada proses plasmaferesis, plasma
dipisahkan dalam mesin dialysis dan kemudian diganti
dengan albumin atau FFP, dengan demikian antigen asing
dalam plasma pasien dapat dibuang.
b) Intravenous immunoglobulin (IVIg)
IVIg efektif sebagai pengganti plasma untuk terapi
SGB. Pasien dengan bentukkan klinis yang lebih berat,
mungkin diuntungkan dengan penggunaan IVIg karena
durasinya yang lama pada tubuh dan juga karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg diduga
dapatmenetralisasi antibody myelin yang beredar dengan
berperan sebagai antibody anti-idiotipik, menurunkan sitokin
proinflammatory dan menghadang kaskade komplemen serta
mempercepat proses mielinisasi. Dosis maintenance 0.4- 0,5
gr/kg BB/hari selama 4-5 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg memiliki
beberapa kelebihan yaitu sediaan lebih muda didapat dan
pemberiannya tidak memerlukan alat khusus.

Tabel 1. Penanganan GBS selama penyakit berlangsung


Diagnosis:
 Diagnosis SGB didasarkan terutama dari temuan klinis dan CSS
 Investigasi laboratorium termasuk darah dan EMG
Berikan perawatan yang terbaik:
 Monitoring progesnya, pencegahan serta penanganan komplikasi yang fatal,
terutama:
 Monitor secara teratur fungsi paru (kapasitas vital, frekuensi respirasi),
diawali setiap 2 – 4 jam, pada fase stabil setiap 6 – 12 jam
 Cek disfungsi autonom (tekanan darah, pacu jantung, pupil dan ileus)
 Cek disfungsi menelan
 Pengenalan dan terapi nyeri (guideline WHO). Coba untuk hindari opioid
 Pencegahan (dan terapi) infeksi dan emboli paru
 Pencegahan dekubitus dan kontraktur
Pertimbangkan terapi spesifik dengan IVIG dan PE:
 Indikasi untuk memulai IVIg atau PE
 Pasien yang berat (pasien tidak mampu berjalan tanpa bantuan = ketidakmampuan
SGB skala 3
 Mulainya terapi lebih baik dalam 2 minggu pertama sesudah munculnya gejala
 IVIg: 0,4 g/kg untuk 5 hari, (tidak diketahui apakah 1,0 g/kg untuk 2 hari adalah
unggul)
 PE: standar 5 x PE dengan total penggantian dari 5 volume plasma
 Tidak diketahui apakah IVIg efektif pada pasien SGB sedang (skala ≤ 2) atau pasien
MSF
 Indikasi untuk terapi ulangan dengan IVIg: perburukan sekunder sesudah awalnya
membaik atau stabil (terapi mengalami fluktuasi): diterapi dengan 0,4 g/kg untuk 5
hari
 Tidak ada bukti efek dari terapi ulangan dengan IVIg pada pasien yang berlanjut
menjadi buruk.
Adakah indikasi untuk masuk ICU:
 Kelemahan berat yang progresnya cepat sering dengan kegagalan respirasi (kapasitas
vital < 20 ml/kg)
 Membutuhkan ventilasi buatan (mekanik)
 Penurunan refleks menelan dengan perkiraan infeksi yang tinggi
 Disfungsi autonom berat
 Penggunaan model prognostik untuk mendeterminasi indikasii untuk ventilasi
artificial
Fluktuasi dari penyakit atau berlanjut dengan progress yang lambat
 Pertimbangkan treatment-related fluctuation (TRF): terapi ulangan
 Pertimbangkan onset akut CIDP dan terapi yang sesuai
Rehabilitasi dan kelelahan:
 Mulailah fisioterapi sedini mungkin selama proses penyakit
 Memulai rehabilitasi saat penyembuhan dimulai.

4. Transient Ischemic Attack (TIA)


a. Definisi
TIA adalah serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak
dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik
dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya
dalam 24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50%
sampai 75% pasien.7
b. Faktor Resiko
 Usia (55 tahun)
 Jenis kelamin (laki-laki)
 Memiliki riwayat stroke di dalam keluarga.
 Merokok
 Jarang olahraga
 Konsumsi minuman beralkohol
 Menderita penyakit tertentu : penyakit jantung, diabetes, kolesterol
tinggi, atau hipertensi.
c. Etiologi
 Aterosklerosis
 Gangguan vaskular : aorta, arteritis, noninfectious necrotizing
vasculitis
 Gangguan vaskular sekunder : akibat obat-obatan, radiasi, trauma
lokal, dan penyakit jaringan ikat.
d. Gejala
Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara
mendadak; gejala seperti sinkop, bingung, dan pusing tidak cukup
untuk menegakkan diagnosis. TIA umumnya berlangsung selama
beberapa menit saja, jarang berjam-jam. Daerah arteri yang terkena
akan menentukan gejala yang terjadi:
1) Karotis (paling sering):
 Hemiparesis,
 Hilangnya sensasi hemisensorik,
 Disfasia,
 Kebutaan monokular (amaurosis fugax) yang disebabkan oleh
iskemia retina.
2) Vertebrobasilar:
 Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternatif,
 Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut),
 Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia-setidaknya dua dari tiga
gejala ini terjadi secara bersamaan.
e. Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis dan penentuan jenis patologi stroke,
segera ditegakkan dengan:7
1) Skor Stroke: Algoritma Gajah Mada

2) Pemeriksaan Penunjang
Untuk membedakan jenis stroke iskemik dengan stroke perdarahan
dilakukan pemeriksaan radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke
hemoragik akan terlihat adanya gambaran hiperdens, sedangkan
pada stroke iskemik akan terlihat adanya gambaran hipodens.7
f. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan
besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya
pengobatan stroke sedini mungkin, karena ‘jendela terapi’ dari stroke
hanya 3-6 jam. Hal yang harus dilakukan adalah:7
a) Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing,
Circulation).
b) Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal
napas.
c) Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 %
dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis
seperti dekstrosa 5 % dalam air dan salin 0, 45 %, karena dapat
memperhebat edema otak.
d) Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui nasal kanul.
e) Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut.
f) Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen
toraks.
g) Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer
lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan
kreatinin), masa protrombin, dan masa tromboplastin parsial.
h) Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi
hati, gas darah arteri, dan skrining toksikologi.
i) Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
j) CT-Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia.

5. Trombosis serebri
a. Definisi
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya
penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin
lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia. Trombosis serebri
adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau
lebih pembuluh darah lokal.6
b. Faktor Risiko
1) Tidak dapat di modifikasi
- Usia
- Jenis kelamin
- Ras
- Riwayat stroke dalam keluarga
- Serta riwayat serangan transient ischemic attack atau stroke
sebelumnya
2) Dapat di modifikasi
- Hipertensi
- Diabetes mellitus
- Dislipidemia
- Penyakit jantung
- Merokok
- Alkohol
- Obesitas
c. Tanda dan Gejala
Onset penyakit ini perlahan lahan, keluhan sering timbul pada
pagi hari saat bangun tidur. Biasanya di dahului oleh gejala prodromal
berupa vertigo, sakit kepala, kesemutan, afasia serta gangguan mental
dan tidak berasa pada ujung-ujung ekstremitas. Gejala umum berupa
kesadaran baik, hemiparese atau hemiplegi, disatria, afasia, mulut
mencong kadang-kadang hemianopsia, dengan gejala fokal otak
lainnya. Gejala klinis yang ditimbulkan tergantung pada lokasi
jaringan otak yang rusak yang disebabkan oleh pembuluh darah yang
tersumbat tersebut.6
d. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, gejala klinik yang
ditemukan, dan didukung dengan beberapa pemeriksaan penunjang
seperti:
 Laboratorium: pemeriksaan kadar gula darah, asam urat, profil
lipid seperti kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida.
 CT Scan kepala
 Angiogafi
e. Tatalaksana
Tujuan pengobatan stroke fase akut adalah menurunkan angka
kematian, meminimalisirkan kecacatan, mencegah komplikasi dan
membantu pemulihan penderita. Tujuan pengobatan fase lanjut adalah
untuk mencegah serangan ulang dan mengobati berbagai faktor
penyebab infark seperti penyakit jantung, diabetes melitus dan lain
sebagainya.6
1) Terapi umum
- Breathung: perhatikan jalan nafas, pemberian oksigen.
- Blood: Kontrol tekanan darah dan viskositas darah
- Brain: atasi kejang, gelisah, perhatikan intake makanan
- Bladde: miksi, kateter
- Bowel: kebutuhan makanan dan elektrolit
2) Terapi khusus
- Anti udem
 Gliserol 10% infus 1-2 gr/KgBB/hari dalam 6 jam.
 Manitol 1-2 gr/KgBB/selama 5-7 har, diturunkan
perlahan-lahan.
 Deksametason 30 mg/hari IV selama 5-6 hari dan
tapering off.
- Anti agregasi trombosit
 Dipiridamol: 3 x 75 mg
 Pentoxifilin: 3 x 400 mg
 Indobufen: 200 mg/hari
- Metabolic activator
 Citicholin: 2 x 500 mg IV
 Piracetam 3-6 x 800 mg
 Nicergilon: 30 mg/hari
3) Rehabilitasi: fisioterapi
6. Trauma Medula Spinalis
a. Definisi
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula
spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Kerusakan medula
spinalis dapat dibagi menjadi :7
 Tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek pada
pasien
 Tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total.

b. Etiologi dan Faktor Resiko


Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik,
disebabkan dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau
hiperekstensi medula spinalis atau kauda ekuina.7
- Trauma kecelakaan lalu lintas
- Jatuh
- Olahraga
- Kecelakaan kerja
c. Gejala Klinis
Bergantung pada letak kerusakan medula spinalis.
 Nyeri
 Paralisis
 Inkontinensia
Menurut American Spinal Cord Injury Association terdapat 5
sindrom utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American
Spinal Cord Injury Association, yaitu:
1) Central cord syndrome;
2) Anterior cord syndrome;
3) Brown-Sequard syndrome;
4) Cauda equina syndrome; dan
5) Conus medularis syndrome.

Sindrom inkomplit yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior cord


syndrome.

d. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorik darah.
- Pemeriksaan radiologik, dianjurkan dengan 3 posisi standar
(anteroposterior, lateral, dan odontoid) untuk vertebra servikal,
serta posisi AP dan lateral untuk vertebra torakal dan lumbal.
- Pada kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologik,
pemeriksaan lanjutan CT-Scan dan MRI sangat dianjurkan. MRI
merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi lesi
medula spinalis akibat trauma.
e. Tata Laksana
Terapi pada kasus cedera medula spinalis terutama ditujukan
untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensorik dan
motorik.
 Farmakoterapi
Farmakoterapi standar pada SCI (spinal cord injury) berupa
metilprednisolon 30 mg/kgBB secara bolus intravena, dilakukan
pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera.
a) Jika terapi tersebut dapat dilakukan pada saat kurang dari 3
jam setelah cedera, terapi tersebut dilanjutkan dengan
metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4
mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian.
b) Jika terapi bolus metilprednisolon dapat dikerjakan pada
waktu antara 3 hingga 8 jam setelah cedera maka terapi
tersebut dilanjutkan dengan metilprednisolon intravena
kontinu dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam selama 48 jam
kemudian.
Terapi ini efektif dimana terjadi peningkatan fungsi sensorik dan
motorik secara signifikan dalam waktu 6 minggu pada cedera
parsial dan 6 bulan pada cedera total.7
 Non Farmakoterapi
1) Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam
penanganan pasien cedera medula spinalis.
2) Fisioterapi, tujuan utama fisioterapi ialah untuk
mempertahankan range of movement (ROM) dan
kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot.
3) Terapi okupasi, terapi okupasional terutama ditujukan untuk
memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, serta
mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari.
Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin
4) Bladder training harus dilakukan sedini mungkin.
7. Emboli serebri
a. Definisi
Sumbatan pembuluh darah serebral oleh embolus yang berasal
dari jantung atau aterosklerosis
b. Faktor Resiko
 Hipertensi
 Diabetes melius
 Penyakit jantung
 Kelesterol
 Merokok
 Obesitas
 Umur
 Herediter
 Jenis kelamin
c. Etiologi
 Atrium fibrilasi
 Gangguan atau penyakit katup
 Kardomiopati
 Komplikasi kateterisasi jantung atau operasi jantung
 Infark miokard
 Stetonis katup mitral yang menyebabkan thrombus atrium
 Regurgitasi katub mitral
 Endocarditis infeksiosa
 Prolapse katup mitral pada usia muda
d. Diagnosis
Gejala:
 Kelumpuhan anggota tubuh
 Ganggua bicara
 Nyeri dada
 Sesak napas
 Berkeringat berlebih
 Detak jantuk cepat
Kriteria diagnostik yang diguakan adalah:
1) Gejala neurologis dengan onset yang mendadak dengan
manifestasi maksimal pada permulaan
2) Serangan timbul pada waktu menjalankan aktivitas, dengan gejala
klinis seperti thrombosis
3) Adanya bukti potensial bahwa emboli bersumber dari jantung
4) Oklusi pada percabangan arteri terlihat pad angiografi serebral
5) Adanya bukti emboli pada anggota gerak dan organ lain
6) Infark multifel melibatkan lebih dari 1 kawasan
7) Pemeriksaan penunjang:
 CT-Scan kepala: infark multiple, dan disekitar infark tampak
petechie
 EKG: melihat adanya atrial fibrilasi dan infark miokard
 Echocardiografi transthorasic
e. Tatalaksana
1) Umum
Menggunaka prinsip B6 yaitu, breathing berupa menjaga agar jalan
nafas stabil. brain yaitu mencegah terjadinya oedema otak,
memenuhi kebutuhan intake cairan, serta mengatasi kejang.bladder
menjaga agar proses miksi tetap stabil (kateter). Bowel menjaga
pemenuhan kecukupan alori, serta burn yaitu mencegah terjadinya
demam yang dapat memperburuk stroke.
2) Khusus
 Anti edema: mannitol, gliserol
 Obat sitoprotektif
 Antiplatelet agregasi: asam traneksamat
 Anti coagulantia: asetosal
 Hemodilusi issovolemik
 Metabilik activator: pirasetam
 Mengobati penyakit penyerta
Hipertensi tidak boleh diturunkan dalam 3-5 hari pertama
kecuali hipertensi emergensi (diastolic > 120 mmHg atau
MABP > 140 mmHg)
 Rehabilitasi atau fisioterapi
 Resosualisasi
8. Myelitis
a. Definisi
Myelitis adalah peradangan pada satu bagian saraf tulang
belakang. Kondisi ini ditandai dengan rasa nyeri, kebas atau mati rasa,
tungkai atau lengan terasa lemah, serta gangguan buang air kecil dan
buang air besar.3

b. Etiologi
Belum diketahui apa yang menyebabkan mielitis transversa,
namun penyakit ini diduga terkait dengan sejumlah kondisi berikut:
 Infeksi, di antaranya penyakit Lyme, sifilis, toksoplasmosis, cacar
air, dan herpes zoster.
 Multiple sclerosis, yaitu suatu kondisi ketika sistem kekebalan
tubuh menyerang selaput otak dan tulang belakang.
 Neuromyelitis optica, yaitu peradangan yang terjadi di sekitar
saraf tulang belakang dan saraf mata.
 Penyakit autoimun, seperti lupus dan sindrom Sjogren.
c. Gejala Mielitis
- Nyeri pada bagian punggung bawah yang muncul secara
mendadak. Kondisi ini bisa menjalar bagian lain, seperti ke dada,
perut, atau tungkai, tergantung bagian saraf tulang belakang yang
terkena.
- Adanya gangguan sensasi, misalnya merasa seperti terbakar,
kesemutan, dingin, atau mati rasa. Sejumlah penderita merasa
sensitif terhadap gesekan pakaian, suhu panas, atau suhu
- Lengan dan tungkai terasa lemah. Beberapa penderita bahkan
sampai berjalan dengan menyeret kaki atau mengalami
kelumpuhan.
- Gangguan BAB dan BAK, seperti sembelit atau sulit buang air
kecil. Atau malah sebaliknya, menjadi sering buang air kecil atau
tidak mampu menahan buang air kecil (inkontinensia urin).
d. Penegakkan Diagnosis
 Pemindaian dengan MRI, untuk melihat tanda peradangan pada
saraf tulang belakang.
 Pungsi lumbal (lumbar puncture), yang dilakukan dengan
mengambil sampel cairan tulang belakang untuk diperiksa di
laboratorium.
 Pemeriksaan antibodi, untuk memeriksa kemungkinan
neuromyelitis optica
e. Penatalaksanaan
 Plasmaferesis
Plasmaferesis adalah tindakan mengganti cairan plasma darah
dengan cairan infus. Tindakan ini dilakukan kepada penderita
yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh dan tidak
merespons pengobatan lain.
 Pemulihan
- Terapi okupasi untuk mengajarkan kemampuan dasar, agar
pasien bisa menjalani aktivitas sehari-hari dengan normal
- Psikoterapi guna mengatasi gangguan psikologis, seperti
kecemasan, depresi, atau disfungsi seksual.
- Fisioterapi untuk membantu memperbaiki kekuatan dan
fungsi otot, serta memperbaiki gerakan tubuh.
f. Komplikasi
 Kelumpuhan permanen.
 Disfungsi ereksi pada pria dan sulit orgasme pada wanita.
 Nyeri kronis atau berkepanjangan.
 Gangguan kecemasan atau depresi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Edisi Revisi.


Tangerang:Binarupa Aksara; 2017.
2. Greenberg M, et al. Teks Atlas Kedokteran Kegawatdaruratan Greenberg.
Jilid I. Jakarta: Erlangga; 2008.
3. Setiati, S . Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jilid 3. Interna
publishing:Jakarta. 2014.
4. Purwadianto A, dkk. Kedaruratan Medis Disertai Contoh Kasus Klinis.
Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara; 2012.
5. Boswick, John A. Perawatan Gawat Darurat. Jakarta: EGC; 2013.
6. Ron Walls, et al. Rosen’s Emergency Medicine : Concepts and Clinical
Practice. Elsevier; 2016
7. Roger P, Simon, Michael J, Greenber D. Clinical
Neurology.Lange:McGraw Hill Education ;2018

Anda mungkin juga menyukai