Anda di halaman 1dari 18

Nama : Elsa Nurfadila

Kelas :G

Npm : B1A020257

Matkul : Hukum Acara Praktik Pidana

Permohonan Pengujian (Uji Materi) Undang-Undang Nomor 8 Tahuan 1981 Tentang


Hukum Acara Pidana

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

a. Nomor Putusan dan Identitas Pemohon

Nomor putusan : Nomor 65/PUUVIII/2010

Identitas pemohon :

Nama : Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra

Tempat/Tanggal Lahir : Belitung, 5 Februari 1956

Alamat : Jalan Karang Asem Utara Nomor 32, Mega Kuningan, Jakarta Selatan

1. Pasal 1 angka 26 ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
2. Pasal 1 angka 27 ”Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu”
3. Pasal 65 “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan
yang menguntungkan bagi dirinya”
4. Pasal 116 ayat (3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki
didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu
dicatat dalam berita acara.
5. Pasal 116 ayat (4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib
memanggil dan memeriksa saksi tersebut
6. Pasal 184 ayat (1) Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi

b. Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi memutuskan dua hal yaitu:

 Menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 dan 27 dihubungkan dengan ketentuan Pasal


65 juncto  Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP
adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu
konstitusional sepanjang dimaknai saksi yang menguntungkan dan saksi a de
charge adalah orang yang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang tidak
selalu dan/atau mesti  ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Keterangan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang tidak selalu dan/atau mesti ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Meminta
dipanggil dan diperiksanya saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge adalah
hak tersangka yang wajib dipanggil dan diperiksa oleh Penyidik, tanpa adanya
kewenangan Penyidik untuk menilai dan menolak melaksanakan kewajiban itu.
 Menyatakan bahwa putusan ini membawa implikasi kostitusional dan yuridis kepada
Penyidik pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang memeriksa Pemohon,
untuk memanggil dan memeriksa saksi-saksi yang menguntungkan yang diminta oleh
Pemohon, yaitu Megawati Sukarnoputri, HM Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie dan Susilo
Bambang Yudhoyono terhitung sejak Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada
tanggal 24 Juni 2010
c. Amar putusan

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.


2. Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4);
serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116
ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk
pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan
,penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
3. Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4);
serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116
ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk
pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri”;
4. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013

Nomor putusan : 3/PUU-XI/2013

Identitas pemohon:

Nama : Hendry Batoarung Ma’dika

Warga Negara : Indonesia

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat :Bua, Kelurahan Sangbua, Kecamatan Kesu’, Kabupaten Toraja Utara

Permohonan ini diajukan oleh Hendry Batoarung Ma’dika yang menguji ketentuan Pasal 18
ayat (3) KUHAP mengenai “tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.”
Batu uji yang digunakan ialah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945.

b. Pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi memutuskan beberapa hal, yaitu:

 Menyatakan Ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak berlaku, sepanjang frasa kata
“segera“‘ dimaknai tidak lebih dari 3 (tiga) hari setelah penangkapan tembusan surat
perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga bagi keluarga yang tinggal
dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama dengan wilayah Kepolisian Resort
yang melakukan penangkapan;
 Menyatakan Ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak berlaku, sepanjang frasa kata
“segera” dimaknai tidak lebih dari 1 (satu) minggu setelah penangkapan tembusan
surat perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga bagi keluarga yang
tinggal dalam satu wilayah propinsi tapi di luar kabupaten/kota dengan wilayah
Kepolisian Resort yang melakukan penangkapan;
 Menyatakan Ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak berlaku, sepanjang frasa kata
“segera” dimaknai tidak lebih dari 1 (satu) minggu setelah penangkapan tembusan
surat perintah penangkapan harus disampaikan kepada keluarga bagi keluarga yang
tinggal dalam satu wilayah provinsi tapi di luar kabupaten/kota dengan wilayah
Kepolisian Resort yang melakukan penangkapan;

c. Amar putusan

Berdasarkan Putusan MK Nomor Perkara Nomor: 3/PUU-XI/2013 Tanggal 30 Januari 2014,


dinyatakan :

 Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun


1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945
 Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai : “segera dan tidak lebih dari 7
(tujuh) hari.”

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012

Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:

Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), yang diwakili oleh:


1. Nama : Boyamin

Tanggal Lahir : 20 Juli 1968

Pekerjaan : Swasta

Jabatan : Koordinator dan Pendiri MAKI

Alamat : Jalan Jamsaren Nomor 60, Serengan, Surakarta

2. Nama : Supriyadi

Tanggal Lahir : 8 Februari 1981

Pekerjaan : Swasta

Jabatan : Pendiri MAKI

Alamat : Jalan Denpasar II (YBR V) Nomor 46, Jakarta Selatan

a) Benyamin dan supriyadi memohon untuk MK menguji Pasal 80 KUHAP


“Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.
b) Batu uji dalam Permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H
ayat (2), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

Menyatakan Pasal 80 KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian
“Pihak Ketiga yang Berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula
“masyarakat luas yang diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan” sesuai maksud, tujuan, dan pembidangan Lembaga Swadaya Masyarakat
dan atau Organisasi Masyarakat tersebut sesuai bobot keperluan umum atau kepentingan
publik yang terganggu akibat suatu tindak pidana yang menimbulkan korban orang banyak
atau masyarakat luas. Selanjutnya hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau
Organisasi Masyarakat tersebut tidak memerlukan pengaturan khusus dalam Undang-Undang
yang berkaitan untuk mengajukan gugatan praperadilan.
Menyatakan Pasal 80 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
pengertian pihak ketiga yang berkepentingan tidak dimaknai termasuk pula “masyarakat luas
yang diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat atau organisasi kemasyarakatan” sesuai
maksud, tujuan, dan pembidangan Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau Organisasi
Masyarakat tersebut. Selanjutnya hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat dan atau
Organisasi Masyarakat tersebut tidak memerlukan pengaturan khusus dalam Undang-Undang
yang berkaitan untuk mengajukan gugatan praperadilan.

c. Amar putusan

Berdasarkan Putusan MK Perkara Nomor: 98/PUU-X/2012 Tanggal 21 Mei 2013,


dinyatakan :
 frasa “PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN” bertentangan dengan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “termasuk SAKSI KORBAN atau
PELAPOR, LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT atau ORGANISASI
KEMASYARAKATAN”.

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUX/2012

Nama Pemohon : H. Parlin Riduansyah

Alamat : Jalan Sutoyo S. Nomor 23 RT.054/018, Kelurahan Teluk Dalam, Banjarmasin

b. Pasal yang dimohonkan untuk diuji

a. Pasal 197
(2) Surat putusan pemidanaan memuat :
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus
dan nama panitera;
2. (2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal
ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

c. Amar putusan

Berdasarkan Putusan MK Nomor 69/PUUX/2012 Tanggal 22 Nopember 2012, dinyatakan :

1. Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;


2. Mahkamah memaknai bahwa:
2.1 Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat
ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan
putusan batal demi hukum;
2.2 Pasal 197 ayat (2) huruf “k” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, apabila diartikan surat putusan
pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-
Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;
2.3 Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selengkapnya
menjadi, “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h,
j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”;
3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUUX/2012

Nama Pemohon : Dr. H. Idrus, M. Kes

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Alamat : Jalan Ahmad Yani, Nomor 10, Lubuksikaping, Sumatera Barat

Perkara ini dimohonkan oleh  Dr. H. Idrus, M. Kes, yang menguji ketentuan Pasal 244
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) mengenai: “Terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah
Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Batu uji dalam Permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945.
Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan beberapa hal berikut:
 Menyatakan bahwa frasa “bebas” pada Pasal 244 KUHAP adalah bebas murni atau
juga termasuk bebas tidak murni;
 Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244 KUHAP
adalah tidak bermakna dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena
bertentangan dengan UUD 1945; atau
 Menyatakan bahwa frasa “kecuali terhadap putusan bebas” pada Pasal 244 KUHAP
adalah tidak bermakna secara bersyarat (conditionally unconstitutional) kecuali jika
diartikan dengan tegas melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan memori
kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas dengan alasan apapun
termasuk alasan bebas murni maupun bebas tidak murni;

c. Amar Putusan

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan  Pemohon dengan amar yang menyatakan:


 Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP
bertentangan dengan UUD 1945;
 Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 KUHAP tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

5. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013

Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

Perkara ini dimohonkan oleh:


1. Nama : Antasari Azhar, S.H., M.H.
Pekerjaan : Pensiunan Jaksa
Alamat : Jalan Merbabu Blok A Nomor 13 Giriloka – 2 BSD, Tangerang Selatan;
2. Nama : Ida Laksmiwaty S.H.
Pekerjaan : Swasta/Ibu rumah tangga
Alamat : Jalan Merbabu Blok A Nomor 13 Giriloka – 2 BSD, Tangerang Selatan;
3. Nama : Ajeng Oktarifka Antasariputri
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Merbabu Blok A Nomor 13 Giriloka – 2 BSD, Tangerang Selatan
Permohonan ini diajukan oleh Antasari Azhar, S.H., M.H., Ida Laksmiwaty S.H., Ajeng
Oktarifka Antasariputri. Para Pemohon menguji ketentuan Pasal Pasal 268 ayat (3) KUHAP
yang berbunyi “Permintaan     Peninjauan     Kembali     atas     suatu     putusan hanya   dapat
dilakukan satu kali saja”;
Batu uji yang digunakan dalam permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1),
Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Dalam permohonan ini Para Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan
tiga hal yaitu
 Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP berbunyi: “Permintaan   Peninjauan  
Kembali atas  suatu   putusan   hanya   dapat dilakukan satu kali saja” bertentangan
dengan UUD 1945 jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan ditemukannya
keadaan baru (novum);
 Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP berbunyi: “Permintaan Peninjauan   Kembali
atas     suatu     putusan     hanya     dapat dilakukan satu kali saja” tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat jika dimaknai tidak dikecualikan terhadap alasan
ditemukannya keadaan baru (novum);
 Menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, selengkapnya berbunyi: “Permintaan
Peninjauan   Kembali   atas   suatu   putusan   hanya   dapat dilakukan satu kali saja,
kecuali terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum) dapat diajukan lebih
dari sekali ”.

c. Amar putusan

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013, menyatakan:

 Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945;


 Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

6. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

a. Nomor Putusan dan Identitas Pemohon

Nomor keputusan : Nomor 21/PUU-XII/2014

Identitas pemohon :

Nama : Bachtiar Abdul Patah

Pekerjaan : Karyawan PT. Chevron Pasific Indonesia

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus betanggal 6 Februari 2014 memberi kuasa
kepada Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., Dr. S.F. Marbun S.H., M.Hum., Alexander Lay, S.T.,
S.H., LL.M., Dasril Affandi, S.H., M.H., Syahrizal Zainuddin, S.H., Masayu Donny
Kertopati, S.H., Ade Kurniawan, S.H., Mohamad Ikhsan, S.H., Suci Meilianika, S.H., dan
Azvant Ramzi Utama, S.H., yang semuanya adalah advokat dan konsultan hukum dari Kantor
Maqdir Ismail & Partners yang berkedudukan hukum di Jalan Bandung Nomor 4, Menteng,
Jakarta, baik sendiri-sendiri maupu bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa;
b. Pasal yang dimohonkan untuk diuji

Pasal 77 huruf a KHUAP

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang: 

“a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan; dan

b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan”. Tetapi juga termasuk “penetapan tersangka,
penggeledahan, dan penyitaan”

c. Amar putusan

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013, menyatakan:

1. mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian;


1.1 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang
cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal
21 ayat (1) Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
(Lembaga Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaga Negara
Republik Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti
permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah
minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-undang No 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
1.2 Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang
cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal
21 ayat (1) Undang-undang No mor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaga Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaga Negara
Republik Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang
cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat
dalam Pasal 184 Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
1.3 Pasal 11 huruf a Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaga Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaga Negara
Republik Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka penggeledahan dan penyitaan;
1.4 Pasal 77 huruf a Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaga Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaga Negara
Republik Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan
penyitaan
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya:
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011

a. Nomor Putusan dan Identitas Pemohon.

1. Nomor Putusan : Nomor 65/PUU-IX/2011


2. Identitas Pemohon : Tjetje Iskandar

Menguji ketentuan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang menyatakan:
(1) “Terhadap putusan pra peradilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”; (2) “Dikecualikan dari
ketentuan ayat (1) adalah putusan pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan
akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”.

b. Pasal yang dimohonkan pemohon untuk diuji

Dalam permohonan ini Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan sebagai
berikut:

 Menyatakan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, bertentangan dengan Pasal 27
ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
 Menyatakan Pasal 83 KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan
segala akibat hukumnya

c. Amar putusan

 Pasal 83 ayat (2) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945;


 Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUUXI/2013

a. Nomor Putusan dan Identitas Pemohon.

1. Nomor Putusan : Nomor 68/PUUXI/2013


2. Identitas Pemohon : Ferry Tansil

b. Pasal yang dimohonkan untuk diuji

1. Pasal 197

a) Ayat (1) huruf I


(I) hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan
nama panitera
b) Ayat 2
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal
ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Pasal yang dijadikan bahan uji materi adalah terhadap pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat 1, Pasal
28G ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu ujian selengkapnya berbunyi :
1. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”
2. Pasal 28D (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.
3. Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

c. Amar Keputusan

Berdasarkan putusan MK Nomor Nomor 68/PUUXI/2013, dinyatakan:

1. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya;

2. Mahkamah memaknai:

2. 1. Pasal 197 ayat 1 huruf l Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945,
Apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1
huruf I Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengakibatkan
putusan batal demi hukum;

2.2. Pasal 197 ayat 2 huruf I Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan mengikat, apabila
diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf l
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengakibatkan putusan
batal demi hukum;

2.3. Pasal 197 ayat 2 huruf I Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selengkapnya menjadi, “Tidak dipenuhinya
ketentuan dalam ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal
demi hukum;
9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015

Identitas pemohon :

Nama : Drs. Rusli Sibua, M.Si.

Tempat/Tanggal lahir : Daruba, 05 Maret 1962

Alamat : Desa/Kelurahan Muhajirin Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Pulau Morotai,


Provinsi Maluku Utara

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 30 Juli 2015 memberi kuasa
kepada Achmad Rifai MA, S.H., Saiful Anam, S.H., Bambang Kurniawan, S.H., Zenuri
Makhrodji, S.H., Achmad Rulyansyah, S.H., Lissa Rochmilayali S.H., dan Nanang Hamdani,
S.H. advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum “Achmad Rifai & partners” yang
beralamat di Menara Lippo Kuningan Lt. 17, Jalan HARI. Rasuna Said Kav. B Nomor 12
Kuningan, Jakarta Selatan, bertindak baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk
dan atas nama pemberi kuasa.

Pasal yang diuji:

 Pasal 82 ayat (1) huruf d UU No. 8 Tahun 1981 : d. dalam hal suatu perkara
sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan
mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur;

 Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang


Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "suatu perkara sudah
mulai diperiksa" tidak dimaknai "permintaan praperadilan gugur ketika pokok
perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok
perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan."

Berdasarkan putusan MK Nomor 102/PUU-XIII/2015 tanggal 9 November 2016,


dinyatakan:

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian


2. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “suatu perkara sudah
mulai diperiksa” tidak dimaknai “permintaan praperadilan gugur ketika pokok
perkara telah dilimpahkan dan dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara
atas nama terdakwa/pemohon praperadilan”.
3. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

10. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016

Identitas pemohon
Nama : Anna Boentaran
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Alamat : Jalan Simprug Golf I Kavling 89 RT 003 RW 008, Grogol
Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 32/SK-SHP/I/2016, bertanggal 28
Januari 2016 memberi kuasa kepada Muhammad Ainul Syamsu, S.H., M.H., Syaefullah
Hamid, S.H., Hafisullah Amin Nasution, S.H., Teuku Mahdar Ardian, S.HI., Advokat/Kuasa
Hukum, pada Kantor Hukum Syamsu Hamid & Partners, berkantor di Graha Samali Building
R. 2001 Lantai 2, Jalan H. Samali Nomor 31B, Pancoran, Pasar Minggu, Jakarta Selatan,
12740, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa

Pasal yang diuji :


 Pasal 263 ayat (1) : Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan. kembali kepada Mahkamah Agung.

 Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai lain selain yang
secara eksplisit tersurat dalam norma a quo.

Berdasarkan putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016, dinyatakan :


Menyatakan :
1. Mengabulkan permohonan pemohon ;
1.1 pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Udang-
undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 secara bersyarat, yaitu
sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a
quo;
1.2 pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain selain yang secara
eksplisit tersurat dalam norma a quo;
2. memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

11. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XIV/2016

Identitas pemohon:
Nama : Joelbaner Hendrik Toendan
Pekerjaan : Advokat
Alamat : Kantor Hukum Joelbaner H Toendan, Jalan Tebet Timur Raya Nomor
15, Jakarta Selatan;

Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 20 Oktober 2016 memberi kuasa
kepada Dr. Juniver Girsang, S.H., M.H., Harry Ponto, S.H., LLM., Swandy Halim, S.H.,
MSc., Patuan Sinaga, S.H., M.H., Arief Patramijaya, S.H., LLM., Hanita Oktavia, S.H.,
Patricia Lestari, S.H., M.H., Triweka Rinanti, S.H., M.H., Dr. N. Pininta Ambuwaru, S.H.,
M.M., M.H., LLM., Handoko Taslim, S.H., LLM., Budi Rahmad, S.H., dan Fajri Akbar,
S.H., para Advokat pada Law Firm Swandy Halim & Partners, beralamat kantor di Law Firm
Swandy Halim & Partners, Gedung Menara Kadin Indonesia Lantai 19, Jalan H.R. Rasuna
Said Blok X-5 Kav. 2-3, Jakarta Selatan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Pasal yang di uji:
 Pasal 197 ayat (1) : Surat putusan pemidanaan memuat :
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau dibebaskan; 1. hari
dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama
panitera;
 Pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "surat
putusan pemidanaan memuat" sepanjang tidak dimaknai "surat putusan
pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat".

Berdasarkan Putusan MK MK Nomor 103/PUU-XIV/2016, dinyatakan:


1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Menyatakan pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258) bertentangan dengan Udang-
undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 secara bersyarat dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “surat putusan pemidanaan
memuat” tidak dimaknai "surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama
memuat", sehingga pasal 197 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana menjadi berbunyi :
Surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat :
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasae
penentuan kesalahan terdakwa
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan
l. Hari dan tanggal putusan, nama penutut umum, nama hakim yang memutuskan
dan nama panitera
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

Anda mungkin juga menyukai