Anda di halaman 1dari 4

Sistem Gua Kiskendo merupakan sistem yang memiliki banyak manfaat, diantaranya sebagai

tempat wisata dan sumber air. Salah satu sistem di hulu Gua Kiskendo adalah sistem Gua Semar –
Kiskendo. Sistem ini diperkirakan sangat mempengaruhi kondisi sistem goa Kiskendo karena terhubung
ke sungai alogenik yang memberikan kontribusi untuk mengisi ulang dari luar Kawasan Karst
Jonggrangan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui karakteristik rongga-rongga Gua
Semar dan 2) menganalisis konektivitas dan karakteristik rongga-rongga pada sistem Gua Semar -
Kiskendo. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan memetakan gua untuk menjawab
permasalahan pertama dan melakukan uji penelusuran aliran sungai bawah tanah untuk menjawab
permasalahan kedua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rongga Gua Semar yang dapat dipetakan
memiliki panjang 158,2 meter, volume total gua 1.220,6 m3, dan diameter rata-rata rongga gua adalah
2,8 meter. Hasil penelitian kedua dengan uji tracer menunjukkan hubungan antara Gua Semar dengan
sungai bawah tanah di Gua Kiskendo, dan rongga-rongga tersebut memiliki karakteristik single conduit
yang cukup berkembang.

Kawasan karst merupakan bentang alam yang memiliki keunikan bentuk lahan dan kondisi hidrologis
akibat proses pelarutan batuan oleh air [1]. Beberapa keunikan geomorfologi dicirikan oleh formasi
doline, perbukitan karst, sinkhole, gua, dan sungai bawah tanah. Secara hidrologis, kawasan karst
dicirikan oleh kurangnya aliran sungai di permukaan dan lebih dipengaruhi oleh sistem sungai bawah
tanah [2]. Bentang alam karst merupakan bentang alam yang terbentuk dari batuan terlarut seperti
batugamping, dolomit, gipsum, dan batuan garam serta terletak di daerah dengan curah hujan tinggi
yang proses pelarutannya berlangsung secara intensif.

Sungai bawah tanah merupakan salah satu ciri kawasan karst. Formasi ini terjadi karena proses
pelarutan yang diawali dengan munculnya gua-gua. Gua-gua yang terbentuk pada kawasan karst yang
saling berhubungan akan membentuk suatu sistem gua dan apabila sistem tersebut terisi air maka
formasi ini disebut sungai bawah tanah. Gua didefinisikan sebagai formasi yang terdapat pada batuan
terlarut dengan diameter lubang yang memungkinkan manusia untuk dapat memasukinya.

Saluran sungai bawah tanah yang besar memungkinkan pemetaan dengan eksplorasi [7]. Namun,
seringkali terdapat rongga-rongga gua atau sungai bawah tanah dengan air yang sangat sempit atau
penuh yang menyebabkan pemetaan langsung sangat sulit dilakukan [8,9]. Dalam hal ini dapat dilakukan
metode tracer test untuk mengetahui konektivitas antara gua atau sungai bawah tanah dan untuk
mengetahui karakteristik rongga yang terbentuk pada sistem sungai bawah tanah [10,11].

Kawasan Karst Jonggrangan yang terletak di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Indonesia merupakan salah satu kawasan yang memiliki peran penting dalam penyediaan air bersih.
Mata air di daerah tersebut telah memasok air bersih dalam jumlah besar dan telah mendukung industri
pariwisata serta pertanian, terutama untuk persawahan. Salah satu mata air besar di Kawasan Karst
Jonggrangan adalah Mata Air Sumitro yang merupakan kebangkitan dari sungai bawah tanah Kiskendo.
Penelitian tentang sistem sungai bawah tanah Kiskendo memiliki peran penting, namun sejauh ini hanya
sedikit studi empiris terkait yang telah dilakukan, terutama yang berkaitan dengan daerah resapannya.
Salah satu daerah yang diperkirakan menjadi daerah resapan sistem sungai bawah tanah Kiskendo
adalah sistem Gua Semar. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui karakteristik rongga-rongga Gua
Semar dan 2) menganalisis konektivitas dan karakteristik rongga-rongga pada sistem Gua Semar -
Kiskendo.

Kegiatan wisata di bentuk lahan karst sering dikaitkan dengan pembuangan limbah dan limbah yang
tidak terkendali dari tempat perlindungan tunggal, pondok wisata, dan hotel. Oleh karena itu
transportasi cepat kontaminan terlarut sepanjang saluran dan rekahan terjadi. Polutan dapat bermigrasi
ke bawah tanah juga dari sumber dangkal yang menyebar, yang menjadi semakin penting bagi
pariwisata dalam kombinasi dengan kegiatan wisata individu

Metodologi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei yang dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu tahap pra lapangan, tahap lapangan, dan tahap pasca lapangan. Tahap pra-lapangan melibatkan
pengumpulan data sekunder dari penelitian sebelumnya. Tahapan lapangan adalah pemetaan gua dan
uji tracer. Tahap pasca lapangan terdiri dari pengolahan data yang diperoleh pada tahap pra lapangan
dan tahap lapangan sebelumnya.

Pemetaan Gua

Proses pemetaan gua dimulai dengan penentuan titik-titik survei. Titik-titik survei ini disebut sebagai
stasiun. Stasiun dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu stasiun tetap dan stasiun terapung [13]. Sistem
survei dalam pendataan menggunakan top to bottom, pemetaan dimulai dari mulut gua dan dilanjutkan
ke ujung rongga gua. Metode pengumpulan data adalah Forward Method dengan alat pembaca dan
pencatat di belakang, sedangkan alat tulis di depan. Penentuan lokasi stasiun didasarkan pada
pertimbangan: perubahan arah, perubahan ekstrim bentuk kurva rongga (3 dimensi), ke bawah, atap
runtuh, perubahan lebar dinding, batas pengukuran (30 m), perubahan elevasi ekstrim (pitch, climb ),
temuan penting lainnya seperti ornamen dan litologi tertentu.

Tes Pelacak

Langkah pertama sebelum melakukan sungai bawah tanah tracing sedang melakukan survey lapangan
dengan memetakan sebaran lokasi goa masuk, ponor, tenggelam sungai dan mata air. Zat pelacak
dituangkan ke dalam Gua Semar yang diperkirakan mengarah ke Gua Kiskendo dengan
mempertimbangkan input-output debit air dan elevasi Gua Kiskendo yang lebih tinggi. Tracer test
merupakan metode yang tepat untuk mengetahui asal, pergerakan, dan muara sungai bawah tanah.
Dalam bidang hidrogeologi, penelusuran dapat dilakukan dengan bahan yang ramah lingkungan, mudah
dikenali dan mudah dideteksi dalam konsentrasi rendah. Dua jenis bahan pelacak yang sering digunakan
adalah pewarna fluoresen dan garam [14]. Dalam penelitian ini, uranin digunakan sebagai salah satu
jenis fluorescent Salah satu aplikasi dari tracer test ini adalah untuk memvalidasi kerawanan airtanah.
Untuk keperluan validasi, hasil analisis kerentanan dianalisis dengan data curah hujan, data debit, dan
kualitas air. Analisis pada prinsipnya adalah untuk mengetahui perubahan debit mata air dan sungai
bawah tanah serta kualitas airnya terhadap hujan, yang dalam hal ini menggunakan daya hantar listrik,
suhu, kekeruhan, TDS, dan unsur-unsur utama.
A). Analisis data curah hujan – data laju aliran, analisis ini dilakukan dengan mencocokkan ketebalan
hujan (jam, harian, bulanan) dengan variasi debit pada mata air dan aliran gua, sehingga respon debit
(cepat-lambat ) hujan. b) Analisis korelasi dan regresi antara data ketinggian air dan debit terukur baik
mata air maupun aliran gua untuk membuat kurva peringkat debit bertahap, dan antara kualitas air dan
debit mata air dan aliran gua. C). Analisis hidrograf. Analisis hidrograf yang dibuat adalah hidrograf muka
air, debit hidrograf sepanjang tahun pengukuran. Hidrograf aliran ini kemudian digunakan untuk analisis
debit hujan, mengetahui karakteristik aliran terutama waktu puncak, dan volume limpasan. D). Analisis
kemograf. Untuk mengetahui variasi kualitas air sepanjang periode pengukuran dikaitkan dengan
kejadian hujan, debit, sehingga dapat diketahui respon kualitas air terhadap hujan. Dengan asumsi
bahwa hujan merupakan media transpirasi pencemar, maka berdasarkan respon kualitas air terhadap
hujan akan diketahui lambatnya waktu tempuh air (polutan) di mata air dan aliran gua. e). Tes pelacak.
Untuk mengetahui kecepatan perjalanan zat pelacak dalam aliran sistem aliran gua sehingga dapat
dianalisis respon sistem jika ada polutan yang masuk ke sistem aliran gua. Uji validasi di atas melalui
karakteristik aliran yaitu time to peak (Tp) dan volume limpasan, analisis hubungan antara kualitas air
dan debit aliran, kualitas air dan hujan, dan uji tracer. Semakin cepat waktu puncak (Tp) dan semakin
tinggi volume limpasan, maka airtanah semakin rentan terhadap pencemaran. Semakin tinggi kadar
unsur dengan bertambahnya laju aliran, maka air tanah semakin rentan terhadap pencemaran.
Peningkatan debit aliran air tanah dipengaruhi oleh air hujan, sehingga hubungan antara kualitas air dan
hujan juga sejalan dengan itu. Uji pelacak merupakan metode validasi yang paling akurat, karena zat
pelacak sengaja dimasukkan ke dalam sistem air tanah untuk menentukan kecepatan waktu tempuh.
Semakin cepat waktu tempuh zat pelacak maka air tanah akan semakin rentan terhadap pencemaran
[15].

3. Hasil dan Pembahasan Formasi Jonggrangan merupakan bagian dari Pegunungan Kulon Progo yang
memiliki morfologi berupa kubah yang terbentang dari timur laut hingga barat daya sepanjang 32 km.
Daerah ini terbentuk oleh proses pengangkatan yang terjadi pada masa Pleistosen [16]. Formasi
Jonggrangan terletak di puncak Pegunungan Kulon Progo seperti terlihat pada Gambar 1. Formasi
Jonggrangan tersusun dari batuan konglomerat, napal tuff, batupasir dengan sisipan lignit, batugamping
berlapis dan batugamping karang. Formasi ini berada tepat di bawah Formasi Sentolo yang artinya
Formasi Jonggrangan lebih tua dari Formasi Sentolo. Ketebalan formasi Jonggrangan diperkirakan sekitar
250 meter.

3.1 Pemetaan Gua

Gua Semar terletak pada koordinat 403800 mT dan 9143697 mU. Pintu masuk gua ini terletak di dasar
sebuah doline dengan lebar mulut 6,9 meter. Ada sungai bawah tanah di gua ini. Sungai bawah tanah
mengarah ke bah atau rongga yang tidak dapat ditelusuri lagi karena penuh dengan air. Uji lacak
menggunakan zat uranin di lokasi penelitian ini dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan diketahui bahwa
total panjang rongga Gua Semar sampai dengan sump mencapai 158,2 meter (Gambar 2). Ornamen
yang didapatkan di Gua Semar antara lain stalaktit, stalagmit, gorden, kolom, dan labu mikro.

Gua Semar dipetakan dengan sistem survei top-to-bottom. Pada sistem ini arah pengambilan data
adalah dari luar ke dalam gua. Pemetaan dimulai dari titik di depan pintu masuk Gua Semar, kemudian
dilanjutkan ke dalam gua. Metode survei pemetaan gua yang digunakan adalah metode forward karena
posisi penembak selalu berada di belakang stationer. Setelah membaca alat ukur (leica disto dan
clinometer) dan melaporkan hasil pembacaan deskriptor, penembak pindah ke posisi stationer di
depannya. Setelah titik stasiun ditempati oleh penembak, juru tulis bergerak ke depan untuk
menentukan stasiun berikutnya. Hasil pemetaan Gua Semar dalam bentuk model 3D disajikan pada
Gambar 2 menggunakan program kompas, sedangkan data morfometrik disajikan pada Tabel 1. Rongga
Gua Semar dominan berarah barat laut dan timur laut seperti ditunjukkan pada diagram mawar pada
Gambar 3

Anda mungkin juga menyukai