Anda di halaman 1dari 8

Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi Porfiri Randu Kuning Cu-Au dan Endapan Logam Dasar

Epitermal Au-Base Sulfidasi Menengah di Selogiri, Jawa Tengah, Indonesia

Kawasan prospek Porphyry Cu-Au Randu Kuning terletak di Kecamatan Selo giri, Kabupaten Wonogiri,
Jawa Tengah, Indonesia, sekitar 40 km ke arah Tenggara dari kota Solo, atau sekitar 70 km sebelah timur
kota Yogyakarta. Kawasan Randu Kuning dan sekitarnya merupakan bagian dari Zona Pegunungan
Selatan Jawa Timur yang sebagian besar ditempati oleh batuan beku plutonik dan vulkanik, batuan
vulkaniklastik, silisiklastik dan karbonat. Produk magmatisme-vulkanisme ditunjukkan dengan
melimpahnya batuan beku dan batuan klastik vulkanik Formasi Mandalika dan Semilir. Distribusi zona
perubahan umumnya dikontrol oleh struktur berarah NE - SW dan NW - SE. Sedikitnya delapan jenis
alterasi hidrotermal di kawasan Randu Kuning dan sekitarnya telah teridentifikasi, yaitu magnetit + biotit
± K-feldspar ± klorit (potasik), klorit + serisit + magnetit ± aktinolit, klorit + magnetit ± aktinolit ±
karbonat (bagian dalam propilitik), klorit + epidot ± karbonat (propilitik luar), serisit + kuarsa + pirit
(filat), ilit + kaoli nite ± smektit (argilik menengah), ilit + kaolinit ± pyrophyllite ± alunite (argilik
lanjutan) dan quatz + klorit (sillisic ) zona. Mineralisasi Randu Kuning di Sel ogiri berdampingan dengan
porfiri Cu-Au dan logam dasar Au-epitermal sulfidasi menengah. Mineralisasi di lingkungan porfiri
sebagian besar terkait dengan adanya urat kuarsa-sulfida termasuk AB, C, urat karbonat-sulfida (vena D)
serta sulfida yang tersebar. Sedangkan pada prospek epitermal, mineralisasi terutama terkait dengan pirit
+ sfalerit + kalkopirit + karbonat ± urat galena serta breksi hidrotermal. Prospek porfiri Randu Kuning
memiliki kadar emas tembaga berkisar antara 0,66–5,7 gr / t Au dan 0,04–1,24% Cu, sedangkan pada
epitermal intermediet sulfidasi mengandung sekitar 0,1–20,8 gr / t Au, 1,2–28,1 gr / t Ag, 0,05–0,9% Zn,
0,14–0,59% Pb dan 0,01–0,65% Cu.

PERKENALAN

Wilayah prospek Porfiri Cu-Au Randu Kuning terletak di Selogiri, Wonogiri, Provinsi Jawa
Tengah, Indonesia pada koordinat UTM 485800-48700 mE dan 9137200-9138600 mS (49 zona Selatan)
dalam konsesi eksplorasi pertambangan (IUP) PT Alexis Perdana Mineral (Gambar 1). . Lokasi ini dapat
dicapai dengan kendaraan roda empat maupun roda dua, sekitar 40 km ke arah tenggara dari kota Solo,
atau kurang lebih 70 km ke arah timur kota Yogyakarta.

Properti Randu Kuning merupakan salah satu dari beberapa prospek mineral di wilayah
Wonogiri. Eksplorasi endapan tembaga dan emas di wilayah Wonogiri telah dilakukan sejak jaman
Belanda (1929–1935), dan dengan mengacu pada eksplorasi tersebut, kemudian diikuti oleh Jepang pada
masa pendudukan Indonesia (1942–1954) (Isnawan et al. , 2002). Produksi yang tercatat dari tambang ini
dalam jumlah kecil dan dapat diekspor ke Jepang (van Bemmelen, 1949). 13 tahun setelah kemerdekaan,
pada tahun 1958, pemerintah Indonesia mengevaluasi cadangan bijih hidrotermal yang ada di Tirtomoyo,
yang menyatakan bahwa terdapat tiga singkapan urat kuarsa yang mengandung kalkopirit (Isnawan et al.,
2002). Sejak tahun 1995, kawasan prospek Randu Kuning menarik perhatian para mahasiswa ketika
mulai kegiatan penambangan emas ilegal di kawasan tersebut (Suasta dan Sinugroho, 2011). Mei 2009,
PT. Alexis Perdana Mineral pemilik IUP di Selogiri, memulai eksplorasi khususnya di Randu Kuning dan
beberapa prospek di sekitarnya.

Jenis mineralisasi prospek Randu Kuning diinterpretasikan oleh banyak peneliti sebagai endapan
bijih Cu-Au porfiri dan sejumlah endapan epitermal logam dasar emas di sekitarnya (Imai et al., 2007;
Suasta dan Sinugroho, 2011; Corbett, 2011, 2012 dan Muthi dkk., 2012). Proses erosi yang intensif telah
mengungkap bagian atas deposit porfiri, sedangkan beberapa epitermal logam dasar emas terawetkan di
sepanjang punggung bukit yang berdekatan (Suasta dan Sinugroho, 2011). Banyak vena epitermal juga
ditemukan dan dipotong menjadi vena sangat porfiri dan perubahan potasik terkait (Suasta dan
Sinugroho, 2011; Corbett, 2012).

METODE PENELITIAN

Dalam studi ini, sampel urat dan batuan dikumpulkan secara sistematis dari pengeboran dan terowongan
pertambangan lokal serta singkapan permukaan. Kumpulan mineral sekunder diidentifikasi dari
pengamatan mikroskopis polarisasi (120 sampel), difraktometer sinar-X (43 sampel), Qemscan (Evaluasi
Kuantitatif Analisis Mineral dengan Scanning Electron Microscopy) (4 sampel). Difraktometer sinar-X
dilakukan di Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada dengan menggunakan Rigaku RINT-
2100. Analisis petrografi dan mikroskopis bijih dilakukan di Departemen Teknik Geologi Universitas
Gadjah Mada dan Departemen Mineralogi dan Ekonomi Geologi, Universitas RWTH Aachen, Jerman.
Analisis QemScan dilakukan di Departemen Mineralogi dan Geologi Ekonomi, Universitas RWTH
Aachen, Jerman

3 PENGATURAN GEOLOGI
Geologi regional
Kepulauan Indonesia dikendalikan oleh busur magmatik, dengan usia bervariasi dari Mesozoikum Akhir
hingga Kenozoikum. Sebagian besar mineralisasi berasal dari lima busur Tersier utama termasuk Sunda-
Banda, Kalimantan Tengah, Sulawesi-Mindanau Timur, Halmahera dan Medial Irian Jaya (Carlile dan
Mitchell, 1994) (Gambar 2).

Busur Sunda-Banda adalah salah satu dari enam busur Tersier utama di Indonesia yang membentang dari
Sumatera melalui Jawa hingga ke timur pulau Damar, di mana banyak endapan bijih telah diketahui (van
Leeuwen, 1994; Charlile dan Mitchell, 1994) (Gambar 2) (Gambar 2) ). Busur tersebut adalah busur
terpanjang di Indonesia, yang dikembangkan oleh subduksi lempeng samudera Hindia-Australia ke arah
utara di bawah tepi tenggara pulau Lempeng benua Eurasia, dinamai Sundaland (Hamilton, 1979; Katili,
1989). Ruas busur barat memiliki kelimpahan sistem vena epitel sulfidasi rendah seperti mineralisasi di
Miwah, Sondi, Martabe, Way Linggo, Ojo Lali, Cibaliung, Pongkor dan Banyumas. Perubahan gaya
mineralisasi yang mencolok terlihat pada segmen busur timur, di mana banyak ditemukan mineralisasi
tembaga-emas porfiri (Charlile dan Mitchell, 1994), seperti di Batu Hijau, Elang, Tumpang Pitu
(Hellman, 2010; Maryono et. al., 2012) dan Selogiri (Muthi et al., 2012).
Geologi dan mineralisasi di Jawa

Soeria-atmadja et al., (1994) membagi Magmatisme Tersier pada ava menjadi dua periode yaitu.
Magmatisme Eosen Akhir-Miosen Awal dan Magmatisme Miosen Akhir-Pliosen. Batuan vulkanik
magmatisme Eosen Akhir-Miosen Awal tersebar luas di sepanjang bagian selatan Jawa, yang biasanya
memiliki afinitas tholeitik, sedangkan magmatisme Miosen Akhir-Pliosen memiliki deret tholeitic, kals
alkali hingga K calc alkali tinggi, yang sebagian besar tersebar di bagian utara dari Magmatisme Eosen
Akhir-Miosen Awal. Banyak batuan vulkanik Eosen-Miosen Awal telah diidentifikasi dan diamati di
beberapa daerah terutama di Pegunungan Selatan pulau Jawa, antara lain Formasi Cikotok (kubah Bayah)
dan Formasi Vulkanik Jatibarang di Jawa Barat, batuan intrusif dioritik dan diabetes di Karangsambung
Jawa Tengah dan andesit. intrusi (Formasi Besole) Pacitan Jawa Timur. Sedangkan batuan vulkanik
Miosen Akhir juga telah banyak diamati seperti di Karangko bar Banjarnegara, Cilacap-Pangandaran,
Pacitan dan Selogiri (Soeria-atmadja et al., 1994).

Mineralisasi bijih di pulau Jawa yang ditemukan mulai dari Cibalium Jawa Barat hingga Tumpang Pitu
Jawa Timur, sebagian besar disebabkan oleh proses magmatisme-hidrotermal. Berbagai jenis mineralisasi
kebanyakan epitermal sulfidasi rendah dan porfiri Cu-Au umumnya berada di batuan vulkanik "Andesit
Tua". Meskipun indikasi jenis mineralisasi lain seperti skarn, sulfida masif vulkanogenik, polimetalik,
logam dasar karbonat dan urat kuarsa sulfida juga ditemukan di beberapa tempat (Setijadji et al., 2006)
(Gambar 3) Jenis kerak dan komponen sumber yang berbeda untuk proses magmatisme dapat
menghasilkan jenis mineralisasi yang berbeda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jawa Barat didominasi oleh
sulfidasi rendah Sistem epitermal Au-Ag yang berasosiasi dengan Neogen-Quartenary high K hingga
vulkanisme shosonitic pada pengaturan kerak benua, sebaliknya, Jawa Timur hingga Sumbawa
didominasi oleh sistem mineralisasi Cu-Au terkait porfiri yang berasosiasi dengan K rendah hingga
sedang, kerak minimum kontaminasi Tersier Tengah - Magmatisme Neogen (Setijadji dan Maryono,
2012).

Endapan Pongkor epithermal Au-Ag yang memiliki cadangan lebih dari 98 ton Au dan 1026 ton Ag
(Milési et al., 1999), hingga saat ini merupakan penambangan Au-Ag terbesar di Jawa. Sebagian besar
mineralisasi Au-Ag epitermal berada di dalam batuan vulkanik, kecuali yang ditemukan di Cikotok Jawa
Barat dan Karangsambung, Jawa Tengah, yang masing-masing menunjukkan inang sedimen dan inang
metamorf. Mineralisasi Cu-Au porfiri juga banyak dilaporkan di beberapa tempat, seperti prospek
Tumpang Pitu di Banyuwangi (Hellman, 2010), prospek Kali Sanen di Jember (Tain et al., 2005), prospek
Tempungsari di Lumajang (Tain et al., 2005), prospek Randu Kuning di Wonogiri (Prihatmoko et al.,
2002; Imai et al., 2007; Suasta dan Sinugroho, 2011; dan Muthi et al., 2012).,) Trenggalek, dan prospek
Ciemas (Tain et al. , 2005). Porfiri Randu Kuning Cu-Au, Wonogiri dan Porfiri Tumpang Pitu Cu-Au ±
Mo, Banyuwangi merupakan prospek endapan jenis porfiri yang paling menjanjikan di pulau Jawa.

Geologi Kawasan Randu Kuning

Kawasan Randu Kuning terletak di kawasan porfiri Cu-Au dan terjadi sulfidasi rendah epitermal Au,
tepatnya di tengah kawasan Selogiri. Daerah tersebut ditempati oleh batuan intrusif dioritik dan breksi
hidrotermal serta berbagai jenis vena / vena. Batuan intrusif terdiri dari diorit hornblende-pyroxene,
mikrodiorit hornblende, dan dior ite kuarsa, sedangkan breksi hidrotermal dapat diklasifikasikan sebagai
breksi hidrotermal magmatik dan breksi freatomagmatik (Gambar 4). Berdasarkan pengamatan baik pada
sampel singkapan permukaan maupun inti pemboran, batuan intrusif di daerah penelitian terdiri dari diorit
hornblende-pyroxene (peneliti sebelumnya disebut diorit sedang), mikrodiorit hornblende, dan diorit
kuarsa.

Diorit Hornblende-pyroxene yang tidak terkait dengan mineralisasi bijih (premineralisasi), terjadi
sebelum pembentukan mikrodiorit yang bertanggung jawab atas mineralisasi porfiri Au di daerah Selogiri
(syn-mineralization). Peneliti sebelumnya mendeskripsikan batuan intrusif ini sebagai hornblende diorite
(Suasta dan Sinugroho, 2011) dan medium diorite (Muthi et al., 2012). Pada singkapan permukaan
sebagian besar menunjukkan kondisi cuaca, namun pada beberapa lokasi terutama pada dinding sungai,
diorit piroksen masih relatif segar. Umumnya menunjukkan warna abu-abu pada kondisi segar (lebih
ringan dari mikrodiorit hornblende), tekstur porfiritik (sedang-kuat), berukuran kristal sedang (0,3–2 mm)
dengan ukuran fenokris piroksen dan hornblende bervariasi hingga 2 cm. Ini mengandung proporsi
plagioklas yang tinggi atau sekitar 35-50 persen dengan jumlah hornblende dan piroksen yang lebih
sedikit (3-8%) (Sutarto et al., 2015b).

Mikrodiorit hornblende dicirikan oleh ukuran fenokris berbutir halus (0,1–1 mm), banyak sampel yang
secara mikroskopis diklasifikasikan sebagai andesit (tekstur porfiritik), umumnya terdiri dari sekitar 30-
45 persen plagioklas dan 5-14 persen hornblende. Mikrodiorit hornblende diyakini bertanggung jawab
atas perubahan ekstensif dan deposit bijih porfiri Cu-Au di wilayah penelitian. Secara fisik, ia tampak
lebih gelap dalam warna dan lebih halus dalam ukuran kristal daripada diorit hornblende-pyroxene. Hal
ini disebabkan tidak hanya oleh jumlah mafik tetapi juga karena banyaknya magnetit sekunder. Sebagian
besar badan intrusif mikrodiorit hornblende berubah menjadi zona potasik dan tidak adanya tipe alterasi
profilitik dan filis. Kontak antara mikrodiorit hornblende dan diorit hornblende-pyroxene umumnya
ditandai dengan terbentuknya kontak intrusif dengan breksi (breksi hidrotermal magmatik). Bagian
puncak bukit Randu Kuning merupakan perwakilan dari jenis intrusi ini (Sutarto et al., 2015b).
Diorit kuarsa memiliki warna paling terang dan ukuran kristal paling kasar (0,8–3,2 mm), tekstur
porfiritik ekuigranular hingga lemah, ditandai dengan banyaknya plagioklas (40–55 persen) dan kuarsa
dalam jumlah kecil (4–7 persen) dan alkali feldspars (2–5 persen) (Sutarto et al., 2015b). Karena ukuran
kristal berbutir kasar, Muthi et al. (2012) mengenali dan mendeskripsikan intrusif sebagai kasar diorit. Itu
umumnya diubah menjadi tipe ubahan argilik dan profilitik filat, terkait dengan mineralisasi jenis
epitermal logam basa-Au. Dimensi dan distribusi intrusi ini relatif lebih sempit dan lebih kecil
dibandingkan intrusi hornblende pyroxene diorite dan hornblende microdiorite (Sutarto et al., 2015b).
Setidaknya ada dua jenis breksi hidrotermal yang dikenali dalam penelitian ini, yaitu breksi hidrotermal
magmatik dan breksi freatomagmatik, yang ditemukan di kawasan perbukitan Randu Kuning. Breksi
magmatik-hidrotermal di daerah penelitian dicirikan oleh berbagai benda tak beraturan yang
memperlihatkan bentuk subvertikal hingga vertikal yang bersentuhan dengan batuan dinding, sebagian
besar fragmen monomis, yaitu berbagai diorit yang berubah, bersudut-subrounded dan lebih besar. dalam
ukuran butir (0,5–8,4 cm), matriks sebagian besar terdiri dari mineral hidrotermal (magnetit, kalkopirit,
dan pirit) sebagai pengisi spce terbuka, rasio fragmen / matriks tinggi (60–90% vol.) atau sebagian besar
didukung fragmen, tekstur / struktur biasanya crackel, jig-saw dan fragmen yang diputar, tidak ada
fluidisasi (Sutarto et al., 2015b). Breksi freatomagmatik menunjukkan, tanggul tidak beraturan dan badan
pipa, vertikal subvetikal, fragmen / klas terdiri dari pol.

Mineralisasi

Berdasarkan karakteristik banyak parameter seperti pola dan jenis ubahan hidrotermal, jenis urat,
kumpulan mineral gangue dan bijih, inklusi fluida, mineralisasi RanduKuning di Selogiri kemungkinan
porfiri Cu-Au menjadi logam dasar Au epitermal sulfidasi intermediet (Tabel 1) Sedikitnya terdapat
delapan daerah prospek mineralisasi di Randu Kuning dan sekitarnya, yaitu Prospek Cu-Au porfiri Randu
Kuning dan masih banyak lagi. Prospek logam basa-Au epitermal sulfidasi menengah antara lain Bukit
Piti-Tumbu, Gawe, Geblak, Jangglengan, Lancip-Kepil dan prospek Selatan Randu Kuning (Tabel 2).
Sebagian besar mineralisasi di daerah penelitian dikaitkan dengan keberadaan beberapa sulfida seperti
kalkopirit, pirit, pirhotit, bornit, sfalerit, galena, dan kalkosit. Sumber daya emas tembaga porfiri Randu
Kuning

Mineralisasi Porphyry Cu-Au

Tidak semua jenis vena porfiri berkontribusi dalam mineralisasi tembaga dan emas. Vena magnetit kuarsa
awal (terutama vena A dan M) umumnya tidak mengandung Cu-Au atau mandul, sedangkan vena
bantalan sulfida kemudian (vena AB, C, D serta kalkopirit dessiminated) sebagian besar kaya akan
tembaga dan emas. Berdasarkan analisis inklusi fluida, fluida hidrotermal tingkat porfiri dikembangkan
pada suhu 300 sampai> 600 ° C dengan salinitas berkisar antara 16-72 wt.% Setara NaCl. Corbett (2011;
2012) melaporkan bahwa stockwork AB vein dipotong oleh C style chalcopyrite vein di WDD8- 1384m
yang terdiri dari 1 g / t Au; 2570 ppm Cu, D urat mengandung Au yang ditinggikan secara lokal hingga 5
g / t Au, 1,1 g / t Ag dan 292 g / t Cu (dalam DDH WDD18-358,4m) dengan rasio Ag: Au yang sangat
rendah sebesar 0,2 dan magnetit-kalkopirit yang tersebar mineralisasi di WDD18-336.9m terdiri dari 102
g / t Au; 1080 ppm Cu dan di WDD8-148,3m mengandung 1,74 g / t Au; 2550 ppm Cu.

KESIMPULAN

Berdasarkan karakteristik dari banyak parameter seperti pola dan jenis ubahan hidrotermal, jenis urat,
kumpulan mineral gangue dan bijih serta data inklusi fluida, mineralisasi Randu Kuning di Selogiri terjadi
berdampingan antara porfiri Cu-Au dan epitermal sulfidasi intermediet. Endapan logam Aubase.
Lingkungan porfiri dikembangkan pada suhu 300 sampai> 600 ° C dengan salinitas berkisar antara 16-72
wt.% NaCl setara, sedangkan epitermal sulfidasi menengah terjadi pada suhu 200-300 ° C dengan
salinitas sekitar <8-24 wt.% NaCl equiv.

entang komposisi dioritik dari jenis batuan intrusif dan dominasi zona potasik dan propilitik juga tidak
memiliki jenis alterasi filik, menunjukkan bahwa model alterasi dari endapan bijih porfiri Cu-Au di
daerah Randu Kuning lebih tipikal model diorit daripada dari model monzonit kuarsa umum. Tidak
semua jenis vena porfiri berkontribusi dalam mineralisasi tembaga dan emas. Dalam lingkungan porfiri,
urat kuarsa-magnetit awal (terutama urat A dan M) umumnya tidak mengandung Cu-Au atau mandul,
sedangkan sulfida kemudian mengandung urat (urat AB, C, D serta kalkopirit yang tidak dihilangkan)
sebagian besar adalah kaya akan tembaga dan emas, dengan kadar tembaga dan emas berkisar antara
0,66–5,7 gr / t Au dan 0,04–1,24% Cu. Dalam mineralisasi epitermal menengah, emas dan logam dasar
sebagian besar terkait dengan sulfida + kuarsa + urat karbonat dan memiliki kadar kadar logam berkisar
antara 0,1-20,8 gr / t Au, 1,2–28,1 gr / t Ag, 0,05–0,9% Zn dan 0,14–0,59 % Pb. Banyak sulfida seperti
pirit, kalkopirit, sfalerit dan kekurangan galena dalam breksi hidrotermal ruang terbuka juga memiliki
peran penting dalam mineralisasi emas-perak-seng-timbal.
Tonase dan kadar tembaga dan emas di kawasan Randu Kuning menjadi jauh lebih kecil dan lebih rendah
dibandingkan dengan endapan Cu-Au porfiri lainnya di Busur Sunda Timur, yaitu porfiri Tumpang Pitu
Cu-Au di Banyuwangi Jawa Timur dan porfiri Batu Hijau Cu-Au , Sumbawa. Hal ini mungkin karena
ukuran kecil batuan intrusif (hornblende microdiorite) yang bertanggung jawab untuk mineralisasi atau
karena letusan besar yang bertanggung jawab untuk perkawinan kawah

Anda mungkin juga menyukai