HUKUM SYARA’
Disusun Oleh :
Dosen Pengampuh :
FAKULTAS SYARIAH
T.A. 2021/2022
ii
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya, berkatnya kami dapat menyelesaikan makalah “Hukum Syara’” sesuai
dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Kami berharap, dengan selesainya makalah ini, dapat bermanfaat bagi semua
pembacanya. Jika didalam makalah ini terdapat kata atau kalimat yang tidak sepantasnya,
kami selaku yang membuat makalah ini, meminta maaf yang sebesarnya. Karena manusia
tidak luput dari kesalahan.
Kami dengan rendah hati dan tangan terbuka, menerima berbagai macam kritik dan
saran pada makalah ini, agar untuk makalah selanjutya bias lebih baik lagi.
Terima Kasih
Wassalamualaikum Wr.Wb
Penulis
iii
Daftar Isi
A. Kesimpulan ...................................................................................... 15
B. Saran ................................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa didalam mempelajari Ushul Fiqh
terdapat bermacam-macam hukum yang diantaranya yaitu hukum syara’ adalah kata
majemuk yang tersusun dari kata “Hukum” dan kata “Syara”. Kata Hukum berasal
dari bahasa arab. “Hukum” yang secara etimologi berarti “memutuskan atau
menetapkan dan menyelesaikan”. Sedangkan kata Syara’ secara etimologi berarti
“jalan-jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk
menuju kepada Allah. Dalam Al-Quran terdapat 5 kali disebutkan kata syara’ dalam
arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh.
Jadi Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan, berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku, serta mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam. Dalam hukum syara’ terdapat beberapa pembagian
hukum. Didalam pembagian hukum tersebut terdapat beberapa macam bentuk-bentuk
hukumnya yang akan saya bahas lebih luas didalam pembahasan makalah ini.
Untuk itu, lewat makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hukum syara’
dan hukum taklifi serta sekilas tentang hukum wadh’i yang menjadi bagiannya.
B. Rumusan Makalah
1. Apa pengertian Hukum Syara’?
2. Apa macam-macam Hukum Syara’?
3. Apa saja unsur-unsur Hukum Syara’?
4. Apa yang dimaksud dengan Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi’?
C. Tujuan
1. Memahami pengertian Hukum Syara’.
2. Mengetahui macam-macam Hukum Syara’.
3. Mengetahui unsur-unsur yang terdapat pada Hukum Syara’.
4. Mempelajari arti dari Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi’.
5
BAB II
PEMBAHASAN
ﻫﻮ ﺧﻄﺎﺏ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﺍﻟﻤﺘﻌﻠﻖ ﺑﺄﻓﻌﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩ ﺑﺎﻹﻗﺘﻀﺎء ﺍﻭ ﺍﻟﺘﺨﻴﻴﺮ ﺍﻭ: ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ
ﺍﻟﻮﺿﻊ
“Hukum syara’ adalah seruan dari As Syari’ yang terkait dengan perbuatan-
perbuatan hamba, baik berupa tuntutan (iqtidha), pemberian pilihan (at-takhyir),
atau penetapan (al-wadh’i)”
Bila dicermati dari definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
ayat-ayat atau hadist-hadist hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam
berikut :
a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang
diperintahkan itu sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang dilarang itu
sifatnya haram.
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan
untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang di anjurkan
untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
1
Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.
2
Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: 1985), hlm.20.
6
3
Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 38-39.
4
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), cet.Ke-2, hlm. 42.
5
Saipiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 124-126
7
e. Mubah
Secara bahsa yaitu melepaskan dan memberitahukan. Secara istilah,
mubah ialah suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada mukallaf
antara memperbuat dan meninggalkan. Konsekuensinya adalah jika
dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka tidak
berdosa. Contohnya seperti : makan dan minum, berburu setelah
melakukan haji, bertebaran setelah shalat jumat, dan lain-lain.6
2. Hukum Wadhi’
Hukum Wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai
sebab, syarat, mani’, rukhsah atau azimah, sah dan batal.7
Ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum wadhi’ dengan:
ﻡ ﺍﻗﺘﻀﻲ ﻭ ﺿﻊ ﺷﻲ ء ﺳﻴﺐ ﻟﺸﻲ ﺍ ﻭ ﺷﺮ ﻁ ﻟﻢ ﺍ ﻭ ﻡﻧﻊ ﻣﻨﺢ
“Aturan yang mengandung ketentuan bahwa sesuatu merupakan sebab bagi
sesuatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang
untuknya.”
Pembagian Hukum Wadhi’
a. Sebab
Dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu yang lain. Secara istilah, sebab didefinisikan sebagai sesuatu yang
dijadikan syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.8 Contohnya seperti
masuknya bulan Ramadhan menjadi petanda datangnya kewajiban puasa
Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah suatu yang jelas dan dapat
diukur, apakah bulan Ramadhan sebab, sedangkan datangnya kewajiban
berpuasa Ramadhan disebut musabbab atau hukum atau disebut juga
sebagai akibat.
b. Syarat
Menurut para ulama mendefinisikan ialah sesuatu yang tergantung
kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum,
tetapi tidaklah lazim dengan adanya ada hukum. Dari definisi kedua dapat
dipahami bahwa syarat merupakan penyempurna bagi suatu perintah
6
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Mesir : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah , tt), hlm. 105-115
7
Wahbah, al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar ak-Fikr, 2001), Cet. Ke-2, hlm. 93.
8
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 55
9
9
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 124-126.
10
10
Wahbah al-Zulhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), Cet.Ke-2, hlm. 37.
11
2. Al-Hakim
Istilah hakim secara bahasa berarti orang yang memutuskan atau menetapkan
hukum. Dalam kajian usul fiqh, istilah hakim diartikan sebagai pihak yang
menentukan dan membuat hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini para ulama
sepakat bahwa yang menjadi sumber pembuat hukum-hukum yang ditetapkan
tersebut ada yang datangnya melalui Al-Qur’an dan Sunnah dan ada juga melalui
perantaraan para ahli fiqh dan mujtahid. Dalam hal ini, para mujtahid dan ulama
dipandang sebagai orang yang menjelaskan dan mengungkapkan hukum.
Meskipun para ahli ushul fiqh sepakat bahwa yang membuat hukum adalah
Allah, tetapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum itu
hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu dan datangnya Rasulullah atau
apakah akal dapat secara independen mengetahui hukum tersebut.
Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat para ulama yang dilatar
belakangi oleh perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik
(al-husnu) dan buruk (al-qubhu) yaitu sebagai berikut :
1. Kalangan Mu’tazilah, berpendapat bahwa menjadikan akal sebagai sumber
hukum terhadap hal-hal yang tidak disebutkan dal Al-Qura’an.
2. Kalangan Asy’ariyyah, berpendapat bahwa akal secara independen tidak dapat
mengetahui hukum Allah tanpa perantaraan Rasul dan Wahyu.
3. Kalangan Maturidiyyah, berpendapat bahwa akal mampu mengetahui baik dan
buruk pada sebagian besar perbuatan karena ada sebagai besar perbuatan
karena ada berbagai sifat yang melekat pada perbuatan tersebut, baik
mengandung kemalahatan maupn yang mengandung kerusakan.
3. Mahkum Fih/Bih
Dalam kajian ushul fiqh, mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang berkaitan
dengan hukum. Mahkum fih atau perbuatan mukallaf adakalanya terdapat dalam
hukum taklifi dan adakalanya terdapat dalam hukum wadh’i. Mahkam fih serring
juga disebut dengan mahkam bih, karena perbuatan mukallaf tersebut selalu
dihubungkan dengan perintah atau larangan.
12
Ada beberapa syarat untuk sahnya suatu taklif (pembebasan hukum), yaitu :
1. Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat
melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Maka berdasyaratkan nas-nas
ini Al-Qur’an yang bersifat global (belum jelas), maka tidak wajib untuk
mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul. Contohnya,
tentang perintah haji dalam Al-Qur’an yang masih global. Maka tidak wajib
mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul.
2. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki
wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya
oleh mukallaf.
3. Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau
ditinggalkan oleh mukallaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Mengingat
tujuan hukum adalah agar hukum itu dapat ditaati, oleh karena itu tidak ada
beban yang diperintahkan oleh Al-Qur’an untuk dikerjakan atau ditinggalkan
yang melewati batas kemampuan manusia. Berdasarkan syarat ini, maka tidak
sah memberikan beban yang mustahil (di luar kemampuan) mukallaf.
Contohnya perintah untuk terbang seperti burung.
Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ma’idah (5):6:
4. Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan makum alaih adalah mukallaf yang layak
mendapatkan khitab dari Allah di mana perbuatannya berbungan dengan hukum
syara’.
Seseorang dapat dikatakan mukallaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Mukallaf dapat memahami dalil taklif, baik itu berupa nas-nas Al-Qur’an atau
sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak
mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa
yang diperintahkan kepadanya Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah
dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan
mukallaf.
2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Yang dimaksud dengan ahli di sini adalah layak atau wajar untuk menerima
Dalam hal ini, keadaan manusia harus dihubungkan dengan kelayakan untuk
menerima atau menjalankan hak dan kewajiban, yaitu dapat dikelompokkan
menjadi 2 :
1. Tidak sempurna artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya
kewajiban. Contohnya seperti janin yang ada di dalam perut seorang ibu.
Baginya ada beberapa hak, ia berhak menerima harta pusaka dan bisa
menerima wasiat, tetapi tidak mampu melaksanakan kewajiban.
2. Secara sempurna artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan
layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf)
perintah.
5. Ahliyyah
Secara bahasa, kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya
ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan seatu pekerjaan.
Menurut para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminologi yaitu
“Sifat yang dijadikan sebagai ukuran oleh syara’ yang terdapat pada diri seseorang
untuk menentukannya telah cakap dikenai tuntutan syara’”. Dari definisi ini, dapat
dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang mengindikasikan seseorang telah
sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif.
14
11
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 112-
126
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan dalam makalah ini adalah .
Secara garis besar, hukum syara’ adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat,
berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
Perbedaan perselisihan dikalangan dua kelompok antara ahli ushul fiqh dan
ahli fiqh terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqh yang memiliki fungsinya
adallah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang
harus dirumuskan menjadi hukum yang terinci. Sedangkan ahli fiqh yang fungsinya
menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan
syara’ yang sudah terinci.
Hukum yang termasuk dalam hukum syara’ adalah sebagai berikut :
1. Hukum taklifi yaitu titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dengan
demikian hukum taklifi ada lima macam yaitu : wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah.
2. Hukum wadhi’ yaitu titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan
Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan
perbuatan mukallaf itu sendiri, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab
masuknya waktu dzuhur.
Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, shah,
batal, ataupun fasid.
16
B. Saran
Semoga Makalah ini dapat menambah sedikit ilmu kita tentang apa-apa saja
Hukum Syara’. Dan semoga kita dapat mengambil mamfaatnya.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun sudah berusaha memaparkan dan
menjelaskan materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan
adanya kekeliruan dalam penyusunannya, baik dari segi materi, maupun
penyusunannya, oleh karena itu penyusun mengharapakan sumbangsih pembaca
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga
makalah ini dapat memberi manfaat dalam proses evaluasi pendidikan.
17
Daftar Pustaka
Wahab Khalaf, Abdul. Tt. Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah.
Harun Nasrun, “ Ushul Fiqih” (Jakarta: Logos Publishing House, 1996) h. 207-211
Al-Karim Zaidan, Abd. 1987. al-Wjiz Fi Ushul al-Fiqh, cet-2. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Wahab Khalaf, Abdul. Tt. Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah.
[1] Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.
[3] Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 38-39.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), cet.Ke-2, hlm. 42.
[5] Saipiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 124-126
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Mesir : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah , tt),
hlm. 105-115
[7] Wahbah, al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar ak-Fikr, 2001), Cet. Ke-2, hlm.
93.
18
[8] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987),
Cet. Ke-2, hlm. 55.
[9] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 124-126.
[10] Wahbah al-Zulhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), Cet.Ke-2, hlm.
37.
[11] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987),
Cet. Ke-2, hlm. 112-126