Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

“TETANUS”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2
MUHAMMAD DAYU WARDANA 1102014166
KINARYOCHI WIJAYA 1102016098
ARMAIN 1102017039
FIRYAL IFTINANDA 1102017095
MOH FIRDAUS 1102017140
RISNA SARI DESVIANTY DJALI 1102017199

DOSEN PEMBIMBING :

dr. IDA RATNA NURHIDAYATI, Sp.S, M.Pd.Ked

dr. EDI PRASETYO, Sp.S, M.H

PEMBELAJARAN JARAK JAUH

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 8 NOVEMBER 2021- 14 NOVEMBER 2021


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................3
2.1 Definisi...................................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi..........................................................................................................................3
2.3 Etiologi...................................................................................................................................5
2.4 Klasifikasi..............................................................................................................................6
2.5 Patofisiologi...........................................................................................................................6
2.6 Manifestasi Klinis..................................................................................................................7
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding.........................................................................................8
2.8 Tatalaksana.............................................................................................................................9
2.9 Pencegahan...........................................................................................................................10
2.10 Komplikasi.........................................................................................................................10
2.11 Prognosis............................................................................................................................11
BAB III..........................................................................................................................................12
KESIMPULAN..............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit serius yang ditularkan melalui paparan spora bakteri
Clostridium tetani, yang hidup di tanah, air liur, debu, dan kotoran. Bakteri dapat masuk ke
dalam tubuh melalui luka yang dalam, luka atau luka bakar yang mempengaruhi sistem saraf.
Infeksi menyebabkan kontraksi otot yang menyakitkan, terutama otot rahang dan leher, dan
umumnya dikenal sebagai lockjaw. Orang-orang dari segala usia bisa mendapatkan tetanus tetapi
penyakit ini sangat umum dan serius pada bayi baru lahir dan ibu mereka ketika ibu tidak
terlindungi dari tetanus oleh vaksin, toksoid tetanus. Tetanus yang terjadi selama kehamilan atau
dalam 6 minggu akhir kehamilan disebut "tetanus ibu", sedangkan tetanus yang terjadi dalam 28
hari pertama kehidupan disebut "tetanus neonatus".
Penyakit ini tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di banyak bagian
dunia, tetapi terutama di negara atau distrik berpenghasilan rendah, di mana cakupan imunisasi
rendah dan praktik kelahiran yang tidak bersih sering terjadi. WHO memperkirakan bahwa pada
tahun 2018 (tahun terakhir yang perkiraan tersedia), 25.000 bayi baru lahir meninggal karena
tetanus neonatorum, penurunan 88% dari situasi pada tahun 2000. 1
Strain toksik dari Clostridium tetani dapat menyebabkan tetanus, infeksi bakteri yang
mengancam jiwa. Spora bakteri saprofit, anaerobik obligat ini, yang lebih disukai hidup di
habitat yang hangat dan lembab, terdapat di lingkungan di seluruh dunia dan dapat masuk ke
tubuh manusia melalui kontaminasi luka. Yang mana mungkin terjadi dari cedera dalam kasus
orang dewasa atau anak-anak atau terjadi dalam kasus bayi baru lahir saat lahir ketika tali pusat
dipotong (tetanus neonatus). Dalam kondisi anaerobik pada luka yang terkontaminasi kotoran,
suplai darah yang buruk atau jaringan nekrotik, spora dapat berkecambah dan sel vegetatif dapat
berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin. Tetanospasmin, neurotoksin C. tetani yang
sangat kuat, memblokir neurotransmiter penghambat dari sistem saraf pusat, mencegah relaksasi
otot dan menyebabkan kekakuan otot dan kelumpuhan kejang yang khas untuk tetanus.
Berdasarkan banyaknya spora C. clostridium di lingkungan dan tingkat kematian yang tinggi,
yang hampir 100% dalam kasus kekurangan perlindungan kekebalan dan perawatan medis
intensif, tetanus merupakan ancaman serius bagi kesehatan manusia. Namun, dapat dengan
mudah dicegah dengan vaksinasi dengan vaksin tetanus toksoid, yang sudah diperkenalkan pada
tahun 1924, menjadikannya salah satu vaksin tertua yang digunakan2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme, yang
diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani. Tetanus merupakan penyakit yang bisa mengenai
banyak orang, tidak mempedulikan umur maupun jenis kelamin. Ada beberapa batasan mengenai
penyakit tetanus, khususnya pada neonatus dan maternal. Tetanus pada neonatus dan maternal,
biasanya berhubungan erat dengan higiene serta sanitasi saat proses melahirkan. Tetanus
didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri
(biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tapa penyebab lain, dan
terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya. Neonatal tetanus didefinisikan sebagai
suatu penyakit yang terjadi pada anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan
menangis pada 2 hari pertama kehidupannya tapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke 3-28
serta menjadi kaku dan spasme. Maternal tetanus didefinisikan sebagai tetanus yang terjadi saat
kehamilan sampai 6 minggu setelah selesai kehamilan (baik dengan kelahiran maupun abortus) 3.

2.2 Epidemiologi

Pada negara maju angka kejadian penyakit tetanus kecil, karena angka cakupan imunisasi
sudah cukup baik. Namun pada negara yang sedang berkembang, tetanus, masih merupakan
masalah kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di
seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian
300.000-500.000 pertahun. Sebagian besar kasus pada negara berkembang adalah tetanus
neonatorum, namun angka kejadian tetanus pada dewasa juga cukup tinggi. Hal in mungkin
dikarenakan program imunisasi yang tidak adekuat.
Data epidemiologi yang bisa dipercaya, mengenai kejadian tetanus di dunia, sulit untuk
didapatkan. Hal ini dikarenakan tidak dilaporkannya semua kejadian tetanus, pada sebuah
penelitian di Amerika Serikat dilaporkan sebanyak hampir 25% kejadian tetanus tidak
dilaporkan. Angka kejadian tetanus di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 1997-2000 di
Indonesia, angka kejadian tetanus 1,6-1,8 per 10.000 kelahiran hidup, dengan angka kematian
akibat tetanus neonatorum sebesar 7,9% 3.
Sebagian besar kasus tetanus terjadi di negara berkembang di mana kekebalan kurang,
dan khususnya di daerah di mana bencana alam telah terjadi. Spora clostridium tetani hadir di
lingkungan terlepas dari lokasi geografis. Spora berada di dalam tanah dan dapat masuk melalui
lubang di kulit. Semua usia rentan terhadap infeksi, dan tingkat fatalitas kasus dapat mendekati
100% jika intervensi medis segera tidak tersedia. Neonatus berada pada peningkatan risiko di
daerah tertinggal di dunia ketika peralatan medis yang tidak disterilkan digunakan untuk
memotong tali pusat. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2015
sekitar 34.000 neonatus meninggal akibat tetanus neonatorum. Tetanus adalah penyakit yang
dapat dicegah dengan vaksin di mana vaksin yang mengandung toksoid tetanus (TTCV)
termasuk dalam jadwal imunisasi rutin anak. Insiden tahunan rata-rata di Amerika Serikat 2001-
2008 adalah 0,01 per 100.000 penduduk per WHO. Kelompok usia pada risiko tertinggi adalah
anak-anak dan orang tua sekunder untuk mengurangi kekebalan. Vaksin toksin tetanus pertama
kali diproduksi pada tahun 1924 dan digunakan secara luas untuk pertama kalinya di kalangan
tentara selama Perang Dunia II. Saat ini, vaksin pentavalen, yang melindungi terhadap difteri,
tetanus, pertusis, Hib, dan hepatitis B (DTP-Hib-HepB), adalah vaksin anak yang paling umum
digunakan di seluruh dunia 4.
2.3 Etiologi

Clostridium tetani adalah basilus anaerobic bakteri gram positif anaerob yang ditemukan
di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan
gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. C.tetani merupakan bakteri yang
motile karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain.
Namun ke sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi
oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun age kimia.
Spora, C.tetani dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan
autoclave pada suhu 121°C selama 15-20 menit). Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh
melalui luka terbuka. Ketika menempati tempt yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang
dan melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg) Faktor risiko dari
tetanus adalah luka terbuka yang sering dalam keadaan anaerob, cocok untuk berkembang biak
bakteri C.tetani 3.
2.4 Klasifikasi

Menurut klasifikasi albaet terdapat 4 klasifikasi tetanus menurut derajat kepaharannya


yaitu ringan sedang dan berat

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Keparahan tetanus Berdasar Albet.


Deraja Tingkat keparahan Gejala
t
1 Ringan Trismus ringan, kekakuan general, tanpa gangguan
respirasi, tanpa disfagia maupun spasme.
2 Sedang Trismus sedang, kekakuan, disertai spasme namun
hanya sebentar, disfagia ringan, gangguan respirasi
sedang, frekuensi napas >30x/ menit
3 Berat Trismus berat, disertai kekakuan spase yang
berlangsung terus menerus, disfagia berat, frekuensi
napas >40x/ menit, kadang disertai periode apneu,
frekuensi nadi> 120x/ menit
4 Sangat berat Grade 3 disertai gangguan otonomik
Keterangan: berdasar klasifikasi ini derajat lebih dari 2, kemungkinan terjadi obstruksi jalan
napas tinggi, sehingga pada pasien dengan derajat 2 atau lebih, trakeostomi dini berguna
mencegah obstruksi jalan napas atau kesulitan dalam mengatasi masalah sekresi 3.

2.5 Patofisiologi

Clostridium tetani memerlukan tekanan oksigen yang rendah untuk berkembang biak dan
bermultipikasi. Pada keadaan dimana jaringan sehat kaya oksigen, pertumbuhan dan multipikasi
tidak terjadi dan spora dihilangka oleh fagosit.Clostridium tetani memproduksi dua toksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit.
Tetanospasmin atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang
mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.

Tetanospasmin adalah protein tunggal dengan berat molekul 150 kDa, yang terbagi
menjadi 2 rantai, rantai berat (100 kDa) dan rantai ringan (50 kDa), dihubungkan oleh ikatan
disulfida. Toksin ini ditransportasikan secara intra axonal menuju nuklei motorik dari saraf pusat.
Sekuensi asam amino dari tetanospasmin identik dengan toksin yang dihasilkan Clostridium
botulism, namun pada C.botulism, toksin tidak ditransportasikan ke susunan saraf pusat sehingga
memiliki gejala klinis yang berbeda.
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf melalui otot dimana terdapat suasana anaerobic
yang memungkinkan C.tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu setelah masuk ke
susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan secara retrograde menuju saraf presinaptik,
dimana toksin tersebut bekerja. Toksin tersebut akan menghambat pelepasan transmitter inhibisi
dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tapi khususnya toksin tersebut
menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik menginhibisi
neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi dari sistem saraf
motorik. Selain sistem saraf motorik, sistem saraf otonomik juga terganggu. Peningkatan
katekolamine mengakibatkan komplikasi kardiovaskular 3.

2.6 Manifestasi Klinis


Setelah luka terkontaminasi dengan clostridium tetani, terdapat masa inkubasi selama
beberapa hari (7-10 hari) sebelum gejala pertama muncul. Gejala yang pertama kali muncul
adalah trismus atau rahang yang terkunci. Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam.
Namun dapat dibagi menjadi 4 tipe secara klinik, yaitu tetanus generalized, localized, cephalic
dan neonatal. Variasi gambaran klinik in hanya menunjukkan tempat dimana toksin tersebut
bekerja, bukan bagaimana toksin tersebut bekerja. Tetanus generalized adalah tetanus yang
paling sering dijumpai. Gejalanya adalah, trismus, kekakuan otot master, punggung serta bahu.
Gejala lain, juga bisa didapatkan antara lain opistotonus, posisi dekortikasi, serta ekstensi dari
ekstremitas bawah. Tetanus localized gejalanya meliputi kekakuan dari daerah dimana terdapat
luka (hanya sebatas daerah terdapat luka), biasanya ringan, bertahan beberapa bulan, dan sembuh
dengan sendirinya. Pasien kadang mengalami kelemahan, kekakuan serta nyeri pada daerah yang
terkena tetanus localized.

Tetanis cephalic meliputi gangguan pada otot yang diperantarai oleh susunan saraf perifer
bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan pada daerah wajah dan leher. Sering gejalanya
agak membingungkan, seperti disfagia, trismus dan focal cranial neuropathy, Namun dengan
perjalanan penyakit dapat timbul parese wajah, disfagia serta gangguan pada otot ekstraokular.
Pada beberapa kasus tetanus cephalic mengakibatkan tetanus ophthalmologic, supranuclear
oculomotor palsy serta sindroma Horner. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses
kebersihan saat melahirkan tidak bersih. Biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai
oleh kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus. Pada tetanus sering
juga disertai gangguan otonomik berupa tekanan darah yang labil (takikardia maupun
bradikardia), peningkatan respirasi serta juga hiperpireksia3.

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis serta
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur clostridium tetani pada luka, hanya merupakan
pemeriksaan penunjang diagnosis. Menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus atau
spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis 3.

Diagnosis banding

 Encephalitis
 Meningitis
 Dystonia (congenital and acquired)
 Drug-induced dystonias
 Intracranial hemorrhage
 Hepatic encephalopathy
 Seizure
 Strychnine poisoning
 Neuroleptic malignant syndrome 4.

2.8 Tatalaksana
Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi utamanya adalah
menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksin dengan mempertahankan jalan napas
yang adekuat. Penanganan umum, sebisa mungkin tempt perawatan pasien tetanus dipisahkan,
sebaiknya ditempatkan pada ruangan khusus. Ruangan yang tenang serta terlindungi dari
stimulasi taktil dan suara. Luka yang merupakan sumber infeksi sebaiknya segera dibersihkan.

 Imunoterapi : jika memungkinkan berikan tetanus immunoglobulin manusia (TIG) 500


unit secara IM atau IV (tergantung sediaan) sesegera mungkin. Pemberian equine
antitoksin juga bisa untuk menginaktifkan toksin. Pemberian 10.000-20.000 U equine
antitoksin dosis tunggal secara intamuskular sudah cukup, namun hati-hati reaksi
anafilaktoid.
 Antibiotik : pilihan antibiotik adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam (baik secara IV
maupun secara oral) selama 7 hari. Alternatif lain adalah Penicillin G 100.000-200.000
IU/kgBB/hari secara intravena, terbagi 2-4 dosis. Tetrasiklin, makrolid, klindamisin,
sefalosporin serta kotrimoksasole juga cukup efektif.
 Pengontrolan spasme otot : Benzodiazepin lebih disukai. Diazepam dapat ditingkatkan
dititrasi perlahan 5mg atau lorazepam 2 mg, sampai tercapai kontrol spasme tapa sedasi
maupun depresi napas yang berlebihan (maksimal 600 mg/hari). Pada anak, dosis dapat
dimulai dari 0,1-0,2 mg/kg berat badan, dinaikkan sampai tercapai kontrol spasme yang
baik. Magnesium sulfat bersama dengan benzodiazepin dapat digunakan untuk
mengontrol spasme dan gangguan autonomik dengan dosis loading 5 gram (75mg/kgBB)
secara intravena, dilanjutkan dengan dosis 2-3 gram/jam sampai spasme terkontrol.
Untuk mencegah overdosis diperlukan monitor reflek patelar: Jika reflek patelar
menghilang maka dosi bat harus diturunkan. Obat lain yang dapat digunakan adalah
klorpromasin (50-150 mg secara intramuscular tiap 4-6 jam pada dewasa, atau 4-12 mg
IM, tiap 4-6 jam pada anak-anak).
 Kontrol gangguan autonomik : magnesium sulfat seperti diatas, penggunaan beta bloker,
seperti propranolol, saat ini kurang direkomendasikan karena berhubungan dengan
kematian. Penggunaan labetalol (penghambat reseptor adrenergik alfa dan beta) secara
parenteral,direkomendasikan pada pasien tetanus dengan kelainan otonom yang
menonjol.
 Kontol jalan napas: pada tetanus, kita harus benar-benar memonitor pernapasan, karena
obat-obatan yang digunakan dapat menyebabkan depresi napas, serta kemungkinan
spasme laring tidak dapat disingkirkan. Penggunaan ventilator mekanik dapat
dipertimbangkan, khususnya bila terjadi spasme, dan trakeostomi juga dapat dilakukan
bila terjadi spasme karena ditakutkan terjadi spasme laring saat pemasangan pipa
endotrakeal.
 Pemberian cairan dan nutrisi: pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat akan membantu
dalma proses penyembuhan tetanus 3.

2.9 Pencegahan
Tetanus dicegah dengan penanganan luka yang baik dan imunisasi. Rekomendasi WHO
tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan, booster pertama saat umur 4-7 serta 12-
15 tahun dan booster terakhir saat dewasa. Di Amerika, CDC merekomendasikan booster
tambahan saat umur 14-16 bulan disertai booster tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang
menerima imunisasi saat mash anak-anak, namun tidak mendapat booster, direkomendasikan
menerima dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu. Rekomendasi WHO, menganjurkan
pemberian imunisasi pada wanita hamil yang sebelumnya belum pernah diimuninsasi, 2 dosis
dengan selang 4 minggu tiap dosisnya. Hal tersebut untuk mencegah tetanus maternal dan
neonatal 3.

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas, sehingga
pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan ventilator. Kejang yang berlangsung
terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta
rhabdomiolisis yang sering dikuti oleh gagal ginjal akut. Salah satu komplikasi yang agak sulit
ditangani adalah gangguan otonom, karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol.
Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi
dan bradikardia.
Pasien dengan tetanus juga berisiko terkena infeksi nosokomial, karena masa perawatan
yang rata-rata agak lama. Kebutuhan nutrisi sering kurang memadai Pada kasus dengan spasme
abdomen yang cukup berat, pemasangan kateter vena sentral untuk nutrisi dapat
dipertimbangkan, namun cara ini sulit dilakukan pada negara berkembang. Pada negara kita, kita
menggunakan terapi cairan untuk memperbaiki status gizi dan kebutuhan hidrasi pasien 3.

2.11 Prognosis
Perjalanan penyakit tetanus yang cepat, menandakan prognosis yang jelek. Selain itu
umur dan tanda-tanda vitasl juga menunjukkan prognosis dari penyakit tetanus 3.

Tabel 2. Faktor-faktor prognosis yang menunjukkan perburukan penyakit


tetanus
Tetanus Dewasa Neonatal Tetanus
Umur > 70 tahun Kejadian umur yang lebih muda,
kelahiran prematur
Periode inkubasi < 7 hari Inkubasi < 6 hari
Waktu saat gejala awal muncul sampai Keterlambatan penanganan di rumah
penanganan di rumah sakit sakit
Adanya luka bakar, luka bekas operasi kotor Hygiene yang buruk, saat proses
kelahiran
Onset periode <48 jam
Frekuensi jantung >140x/menit
Tekanan darah sistolik >140mmHg
Spasme yang berat
Temperature >38,5⁰C

BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan spasme, yang
diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani. Tetanus merupakan penyakit yang bisa mengenai
banyak orang, tidak mempedulikan umur maupun jenis kelamin. Pada luka dimana terdapat
keadaan yang anaerob, seperti pada luka yang kotor dan nekrotik, bakteri ini memproduksi
tetanospasmin, sebuah neurotoksin yang cukup poten. Neurotoksin ini menghambat pengeluaran
neurotransmitter inhibisi pada sistem saraf pusat, yang mengakibatkan kekakuan otot. Dengan
ditemukannya vaksin tetanus, pencegahan dapat dilakukan dengan divaksin dan hal ini dapat
menekan angka kejadian tetanus. Program imunisasi yang tidak kuat dapat mengakibatkan
kejadian penyakit tetanus meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Tetanus. 2021. Tersedia di https://www.who.int/health-


topics/tetanus#tab=tab_1 [ diakses pada 8 Novermber 2021]
2. Möller, J., Kraner, M. E., dan Burkovski, A. More than a toxin: protein inventory of
Clostridium tetani toxoid vaccines. Proteomes, 2019. 7(2), 15.

3. Ismanoe, G.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta. 2017 InternaPublishing

4. George EK, De Jesus O, Vivekanandan R. Clostridium Tetani. In: StatPearls. StatPearls


Publishing, Treasure Island (FL); 2020. PMID: 29494091.

Anda mungkin juga menyukai