Anda di halaman 1dari 12

QS.

AT’TAUBAH AYAT 122

(KEWAJIBAN MENGAJAR)

1. MUH. RAJAB AFDAL ( 19010101109 )


2. HALIMATUSSANIA (19010101110)
3. LALA OKTA FADILAH (19010101093)
4. ABD. WAHID RIZAL (16010101091)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KENDARI

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt.Atas limpah rahmat serta karuniannya Kelompok kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ”QS AT TAUBAH AYAT 122” ini dengan lancer dan pada
waktu yang di tentukan

Dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan
sehingga saran dan krtik diharapkan untuk menambah dinamika pemikiran islam yang saat ini
mulai tampak lemah di tengah tengah kehidupan bermasyarakat

Akhir kata,saya mengucapkan terimakasih dan mohon maaf apabia ada kekurangan atau
kesalahan dalam mengerjakan tugas..
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar  Belakang........................................................................................,,,,,,,,,
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................        
1.3 Tujuan…………………………………………………....................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1  Surah at-Taubah Ayat 122 dan Terjemahaannya …..……………...............
2.2  Tafsir Mufrodat…………….............…………………...................................
2.3  Asbabul al-Nuzul..............................................................................................
2.4  Penafsiran Surat at-Taubah ….……………………......................................
2.5  Aspek-Aspek Tarbawi…………………………………..................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................
3.2 Saran..................................................................................................................
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Surah at-Taubah Ayat 122 dan Terjemahaannya

ۗ
ِ ‫ان ْالم ُْؤ ِم ُن ْو َن لِ َي ْن ِفر ُْوا َك ۤا َّف ًة َف َل ْواَل َن َف َر ِمنْ ُك ِّل ِفرْ َق ٍة ِّم ْن ُه ْم َط ۤا ِِٕٕى َف ٌة لِّ َي َت َف َّق ُه ْوا فِى ال ِّدي‬
‫ْن َولِ ُي ْن ِذر ُْوا‬ َ ‫َو َما َك‬
‫َق ْو َم ُه ْم ِا َذا َر َجع ُْٓوا ِا َلي ِْه ْم َل َعلَّ ُه ْم َيحْ َذر ُْو َن‬

\Artinya: Dan tidaklah semuanya kaum mukmin itu harus pergi, tetapi cukuplah yang pergi itu
sebagian saja dari tiap-tiap golongan. Sedangkan yang tinggal digaris belakang harus
memperdalam pelajaran agamanya, supaya bisa memberi pengertian kepada mereka yang pergi
bila sudah kembali ketempat mereka, supaya mereka itu bisa berhati-hati. (QS.at-taubah:122)

2.2 tafsir  mufradat


Nafara       : berangkat perang
Laula        :Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang  disebutkan
sesudah kata-kata tersebut, apabila itu terjadi dimasa yang akan datang. Tapi “Laula” juga berarti
kecemasan atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan   sesudaah kata itu, apabila merupakan
hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami,
maka bisa saja ”Laula”,itu berarti perintah mengerjakannya.
‫الفرقة‬  - Al- Firqah : kelompok besar
‫الطائفة‬ – At- Ta’ifah          : kelompok kecil
          Attafaqqaha:berusaha keras untuk mendalami dan memmahami suatu perkara  dengan susah
payah untuk memperolehnya.
‫انذره‬ – Anzarahu               : menakut-nakuti dia.
‫حذره‬ – Hazirahu               : berhati-hati terhadapnya.

2.3 Asbabul Nuzul (sebab turun ayat)


      Di riwayatkan oleh Ibn Abi Hatim yang bersumberkan daripada Ikrimah katanya, ketika
turun ayat Bermaksud: “Jika kamu tidak pergi beramai-ramai (untuk berperang pada jalan Allah
- membela AgamaNya), Allah akan menyesatkan kamu dengan azab siksa yang tidak terperih
sakitnya” (at-Taubah:39)
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah bahwa pada waktu QS. at- Taubah ayat 39 turun
ada beberapa orang yang tidak hadir dalam peperangan karena hidup di daerah
pedalaman (Badui). Mereka mengajar kaumnya ilmu agama. Melihat yang demikian, orang-
orang munafik mengatakan : "Celakalah penduduk kampung itu, mereka tidak hadir berperang
bersama Rasulullah." Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ke-122 yang memberikan
ketegasan bahwa orang-orang yang tidak hadir dalam peperangan karena baru menekuni ilmu
agama, mereka tidak berdosa. Jadi, orang yang belajar dan mengajar ilmu agama termasuk jihad.
Dalam satu riwayat yang lain juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim daripada Abdullah bin
Abidullah bin Amir berkata: “Orang-orang Islam diberi galakkan supaya berjihad, apabila
Rasulullah SAW menghantar bala tentera ke medan perang mereka akan keluar beramai-ramai.
Pada masa yang sama mereka meninggalkan Nabi Muhammad SAW. di Madinah dengan
beberapa orang sahaja. Lalu ayat itu di turunkan.
Riwayat lain dari Abdillah bin Ubaid bin Umar, oleh karena kaum muslimin berambisi sekali
untuk berjihad, maka apabila ada seruan untuk berjihad di medan perang dari Rasulullah SAW .
mereka dengan tanpa berpikir panjang langsung berangkat.  Tidak jarang mereka berangkat
dengan meninggalkan Rasulullah bersama orang-orang dhaif di Madinah. Sehubungan dengan
itu Allah menurunkan ayat 122 sebagai penegasan tentang larangan bagi kaum muslimin
berangkat perang secara keseluruhan dan ayat ini memberikan tuntunan agar sebagian kaum
muslimin menuntut ilmu agama, sementara yang lain berangkat jihad. Nilai pahala keduanya
sama.

2.4 Penafsiran surat at-taubah ayat 122


“Dan tidaklah semuanya kaum mukmin itu harus pergi,”(pangkal ayat 122). Sebagai juga
ayat 113 dan 120, disini sama bunyi pangkal ayat,yaitu orang beriman sejati tidaklah semuanya
turut bertempur berjihad dengan senjata kemedan perang.”tetapi a;angkah biknya keluar dari
tiap-tiap goloongan itu,diantara mereka, satu kelompok supaya mereka memperdalam pengertian
tentang agama.”[8]
Dengan susun kalimat falaulaa, yang berarti diangkat naiknya, maka Allah telah
menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan
diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringan ataupun
secara berat. Maka dengan ayat ini, Allah pun menuntun hendaklah jihad itu dibagikepada jihad
bersenjata dan jilhad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama.
Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya
berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena,
perang itu sebenarnya fardu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka
gugurlah yang lain, bukan fardu’ain, yang wajib dilaksanakan setiap orang. Perang barulah
menjadi wajib, apabila Rasul SAW sendiri keluar dan mengerahkan kaum mu’min menuju
medan perang. 
Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi
SAW. Mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada
seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: “Tidak sepatutnya bagi orang-
orang yang mukmin itu pergi ke medan perang semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan suatu kabilah diantara mereka beberapa orang, beberapa golongan saja kemudian
sisanya tetap tinggal di tempat untuk memperdalam pengetahuan mereka yakni tetap tinggal di
tempat mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum
agama yang telah dipelajarinya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya dari siksaan Allah,
yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Allah SWT telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan
berjihad dan diwajibkan pergi perang menurut kesanggupannya masing-masing, baik secara
ringan ataupun secara berat. Maka dengan ayat ini allah pun menuntut hendaklah jihad itu dibagi
kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang
agama. Jika yang pergi kemedan perang itu bertaruh nyawa dengan musuh, maka yang tinggal
memperdalam fiqh tentang agama,sebab tidaklah kurang penting jihad yang mereka hadapi.[13]
Dalam ayat ini, Allah SWT. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat
ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi
harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan
sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-
ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang
lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan. 
Dalam ayat 122 ini masih jelas diterangkan bahwa golongan-golongan itu keluar apabila ada
panggilan dari sudah datang. Mereka semuanya datang kepada Rasulullah SAW mendaftarkan
dirinya, ringan maupun berat, muda maupun tua. Tetapi hendaklah dari golongan-golongan yang
banyak itu datang berbondong kepada Rasulullah, ada satu kelompok (thaifatun), yang
bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuannya tentang agama itu adalah hal agama

supaya bisa memberi pengertian kepada mereka yang pergi bila sudah kembali ketempat
mereka, supaya mereka itu bisa berhati-hati..”(ujung ayat 122).itulah inti kewajiban dari
kelompok yang tertentu memperdalam faham agama itu, yaitu supaya dengan pengetahuan
meraka yang lebih dalam, mereka dapat memberikan peringatan dan ancaman kepada kaum
mereka sendiri apabila mereka kembali pulang.
Ayat inilah yang telah menjadi pokok pedoman didalam masyarakat islam, yang telah digariskan
oleh Rasul sendiri, diteruskan oleh khalifah-khalifah yang datang dibelakang, baik khulafaur
rasyidin, atau Bani Umaiyah atau Bani Abbas dan menjadi pegangan terus-menerus dari zaman
ke zaman. Yaitu tentang adanya tenaga-tanaga yang dikhususkan untuk memperdalam
pengertian tentang agama, terkadang terjadi pergolakan politik, perang saudara, perebutan
kekuasaan, pergelaran Bani Umayyah kepada Bani Abbas. Namun seluruh yang berkuasa itu
mengkhususkan dan menganjurkan ahli-ahli penyelidik agama.itu makanya kita mendapati
nama-nama ulama besar sebagai ‘atha’  dan mujahid. Said bin Jubair dan Said bin al-Musayyab
dan Hasan al-Bishri, disamping nama-nama raja-raja Bani Umaiyah sebagai mu’awiiyah, Abdul
Malik bin Marwan dan lain-lain.
Mengapa tidak segolongan saja, atau sekelompok kecil saja yang berangkat kemedan tempur dari
tiap-tiap golongan besar kaum mu’min, seperti penduduk suatu negeri atau suku, dengan maksud
supaya orang mukmin seluruhnya dapat mendalami agama mereka. Yaitu dengan cara orang
yang tidak berangkat dan tinggal dikota (Madinah), berusaha keras untuk memahami agama,
yang wahyu-Nya turun kepada Rasulullah SAW yang menerangkan ayat-ayat tersebut, baik
dengan perkataan atau perbuatan. Dengan  demikian maka diketahui hukum beserta hikmahnya,
dan menjadi jelas yang masih mujmal dengan adanya perbuatan Nabi tersebut. Disamping itu
orang yang mendalami agama memberi peringatan kepada kaumnya yang pergi perang
menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali kedalam kota. 
tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing
kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan
dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui, dengan harapan supaya mereka takut kepada
Allah SWT dan berhati-hati terhadap akibat kemaksiatan, disamping agar seluruh
kaum mukminin mengetahui agama mereka, mampu menyebarkan pada seluruh umat manusia.
 Jadi bukan bertujuan supaya memperoleh kepemimpinan dan kedudukan yang tinggi serta
mengungguli kebanyakan orang-orang lain, atau bertujuan memperoleh harta dan meniru
orang dzalim dan para penindas dalam berpakaian, berkendaraan maupun dalam persaingan
diantara sesama mereka.Menyiapkan diri untuk memusatkan perhatian dalam mendalami ilmu
agama dan maksud tersebut adalah termasuk kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan
kedudukan yang tinggi dihadapan allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang
berjihad dengan harta dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bahkan upaya
tersebut kedudukan nya lebih tinggi dari mereka yang keadaannya sedang tidak berhadapan
dengan musuh.  Berdasarkan keterangan ini, maka mempelajari fiqh termasuk wajib, walau
sebenarnya kata tafaqquh tersebut makna umumnya adalah memperdalam ilmu agama, termasuk
ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf dan sebagainya.
Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya
dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah
bersabda: "Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan
ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)".
Hadis tersebut menyuruh semua wajib tampil kemedan perang  atau dalam ayat 122 yang tengah
kita tafsirkan menyuruh adakan pembagian tugas diantara setiap mujahidin, sebab dia telah
kembali bernilai tinggi  karena sudah asal  ayat al-qur’an yang memberikan keterangan tegas. 
Malahan diayat ini sudah jelas bahwa orang- orang yang beriman itu tidaklah semua berbondong
kegaris depan, bahkan mesti ada yang menjaga garis belakang, garis benteng ilmu pengetahuan.
Bolehlah kita perhatikan didalam sejarah sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Sendiri setelah
beliau wafat. Khalifah-khalifah yang besar yang berempat, meskipun mereka memiliki
pengetahuan agama yang dalam, tetapi mereka menjadi pimpinan umum dalam kenegaraan dan
peperangan. Tugas ulama umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta
mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang
belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap
pribadi muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah
SAW. telah bersabda; "Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku
walaupun hanya satu ayat Alquran".
Akan tetapi tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun
menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagiannya
sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu
harus ada sebagian
 dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan
mendalami ilmu-ilmu agama agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat,
mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut,

Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan haruslah menjadi acuan bagi umatnya. Ia
harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan
pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan
bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap
orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya dan
mengajarkannya kepada orang lain.
Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang
ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem
hidup yang mencakup seluruh aspek dan mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak
bertentangan dengan norma-norma kehidupan segi manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang
berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-
norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini
dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai
tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula
hukumnya.

Zaman modern adalah zaman spesialisasi, kejuruan dan kekhususan suatu ilmu. Ilmu-ilmu
agama islam sendiri mempunyai bidang-bidang khusus sendiri, jarang seorang ulama yang ahli
dalam segala ilmu. Sebab itu maka pengertian terhadap cabang-cabangnya wajiblah diperdalam.
Ujung ayat member lagi ketegasan  kewajiban ahli itu, telah memberi ingat dan ancaman kepada
kaumnya bila mereka pulang kepada kaum itu, supaya kaum itu berhati-hati.
Kita telah selalu memperdekat pengertian diantara bahasa barat dan bahasa arab yang
terpakai dalam kalangan bangsa kita sekarang. Orang mengatakan bahwa arti ulama itu sama
dengan sarjana. Tentang arti memang sama, sarjana boleh diartikan kedalam bahasa arab dengan
ulama, dan ulama boleh diartikan kedalam bahasa Indonesia dengan sarjana.tetapi meskipun arti
sama, namun pengertian adalah lain. Didalam kata ulama terkandung sambungan kewajiban.
Orang yang mempelajari agama dengan mendalam, sehingga berhak diberi gelar ulama, sesudah
mendapat tugas belajar secara mendalam,  mendapat lagi tugas lanjutan , yaitu memimpin
kaumnya, sarjana belum tentu pemimpin, tetapi ulama berkewajiban memimpin.
Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi: "Setiap sarana
yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya". Karena
pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama
(sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama dari wajib militer agar pengajaran dan
pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang
menghadapi bahaya besar yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.
Ajaran islam itu mengutamakan akhlak bersamaan dengan ilmu. Bagi seorang ulama islam.
Ilmu bukan semata-mata untuk diri sendiri, tetapi juga buat dipimpinkan. Setelah diterangkan
pembagian tugas itu, sehingga ilmu dan pengertian agama bertambah mendalam, datanglah
lanjutan ayat.

2.5 Aspek-aspek Tarbawi


1.      Melalui dengan pendidikan diharapkan pula lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir
sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain.
2.      Pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip perkembangan ilmu
pengetahuan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Yaitu pengembangan ilmu pengetahuan yang
ditujukan bukan semata-mata hanya untuk pengembangan   ilmu pengetahuan itu sendiri,
melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah dibalik ilmu
pengetahun, yaitu rahasia keagungan Allah SWT. Dari keadaan yang demikian itu, maka ilmu
pengetahuan tersebut akan memperkokoh akidah, meningkatkan ibadah dan akhlak yang mulia.
3.      Pendidikan harus mampu mendorong peserta didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang
terlihat dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi, memelihara, menambah, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, besedia mengajarkan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya, agama, bangsa dan Negara.
BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Ayat-ayat ini menerangkan kelengkapan darai hokum-hukum yang menyangkut perjuangan,
yaitu mencari ilmu, mendalami agama dan mendalaminya.
Tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu karena ingin membimbing
kaumnya, mengajari mereka dan memberi peringatan kepada mereka tentang akibat kebodohan
dan tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui,dengan harapan supaya mereka takut kepada
Allah SWT dan berhati-hati terhadap kemaksiatan, disamping itu agar seluruh kaum mukminnin
mengetahui agama mereka, mampu menyebarkannya.
Pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang sengan hujjah dan penyampaian bukti-
bukti dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru iman dan menegakkan sendi-sendi
agama islam. Karena perjuangan yang digunakan bukan hanya pedang itu sendiri karena tidak
disyariatkan kecuali untuk jadi benteng dan pagar dari da’wah tersebut agar jangan dipermainkan
oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan menafik.

3.2     Saran
Kepada saudara sekaligus rekan sesame mahasiswa, kami sarankan janganlah kuliag sekedar
untuk mengejar gelar, tetapi jadikanlah kuliah ini sebagai pemenuhan kebutuhan kita akan ilmu
agama yang hendak kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai