RIVIEW JURNAL
Disusun oleh :
Dosen : Bu Okpri
Background: Asthma is a respiratory disease with a large enough number of prevalence in the
world.Asthma treatmentin hospital needs serious monitoring because of the risk to patient safety
and increase thecost of treatment. One attempt to reduce the incidence of unwanted is the
pharmacovigilance studies toimprove patient safety.
Purpose: to determine safety in terms of adverse drug reactions (ADR) and drug interactions of
thetreatment of inpatient asthmatic patients in a hospital.
Methods: This is a non-experimental study with sampling using purposive sampling. Then the
data were obtained from medical records were analyzed ADRs and drug interactions that occur
using the library and shown descriptively.
Results: The study sample as many as 43 people. The results showed there were 56 cases of
ADRs on asthma medications, especially the use of nebulized salbutamol (57.14%). While the
incidence of asthma therapy drug interactions there were 10 cases and the highest is
aminophylline with salbutamol (14.29%).
Conclusion: Treatment of asthma need to get to the ADR incidence and risk of drug interactions.
Incidence of ADRs and drug interactions at most of the use of salbutamol which is relatively safe
preference. This still needs to be done further research.
Hiperlipidemia adalah kelainan yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar lipid darah,
umumnya tidak menunjukkan gejala klinis spesifik. Penatalaksanaan hiperlipidemia melalui
modifikasi perilaku/gaya hidup dan penggunaan obat antidislipidemia konvensional. Selain itu,
juga berkembang pengobatan menggunakan obat bahan alam (jamu) yang dilakukan oleh dokter
praktik jamu. Penelitian ini merupakan bagian dari studi registri jamu berbasis website, bertujuan
mengetahui gambaran penggunaan/pemberian jamu oleh dokter praktik jamu kepada pasien
dengan keluhan hiperlipidemia. Desain penelitian potong lintang, deskriptif, dengan sampel data
rekam medik pasien jamu yang berobat pada 80 dokter praktik jamu di beberapa fasilitas
pelayanan kesehatan yang termasuk dalam jejaring pelayanan kesehatan tradisional, di 7 provinsi
di Indonesia. Hasil penelitian menggambarkan karakteristik dari 97 pasien hiperlipidemia
mayoritas perempuan (60,8%), usia 48-58 tahun (46,4%), sebagian besar hanya mendapatkan
pengobatan jamu saja (62,9%) selama 7-14 hari, dan selebihnya kombinasi dengan obat
konvensional dan/atau pelayanan kesehatan tradisional lainnya. Jenis jamu terbanyak diberikan
adalah jamu kemasan pabrik dalam bentuk sediaan kapsul (55,7%), dengan kandungan simplisia
utama daun jati belanda (Guazumae folium) dan daun kemuning (Murrayae folium). Kejadian
tidak diinginkan (KTD) terjadi pada 4 kasus, yaitu diare dan diuresis.
Keamanan menjadi bagian penting yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat, selain
tentunya efektivitas kerja obat, mutu/kualitas ataupun faktor ekonomi. Keamanan obat sudah
dapat dideteksi ketika dilakukan uji klinik, yaitu serangkaian uji manfaat dan keamanan suatu
obat pada manusia. Pengumpulan data keamanan produk setelah dipasarkan (post market) dan
penilaian risiko berdasarkan data observasi sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi dan
mengkarakterisasi profil risiko obat sehingga dapat diambil keputusan yang tepat untuk
minimalisasi risiko obat. Data keamanan ini akan menjadi acuan bagi regulator, yaitu Badan
POM, industri farmasi maupun tenaga kesehatan. Salah satu upaya monitoring keamanan obat
adalah dengan farmakovigilans atau disebut juga MESO (Monitoring Efek Samping Obat).
Pengertian farmakovigilans berdasarkan WHO, yaitu suatu keilmuan dan aktivitas tentang
pendeteksian, pengkajian (assessment), pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pusat farmakovigilans di Indonesia adalah Badan POM
yang merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam menjamin keamanan obat (ensuring
drug safety), baik sebelum dipasarkan (pre market) atau setelah dipasarkan (post market) yang
berdampak pada jaminan keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai pengguna akhir
suatu obat. Analisis terhadap kejadian yang tidak diinginkan ini dapat mengarah kepada produk
obat itu sendiri atau penyebab yang lainnya. Penyebab lainnya diantaranya adalah medication
error.
Medication error (ME) merupakan kesalahan dalam proses pengobatan yang dapat dihindari
dimana dapat menyebabkan pelayanan obat yang tidak tepat hingga membahayakan pasien.
Medication error dapat timbul pada setiap tahap proses pengobatan, antara lain prescribing
(peresepan), transcribing (penerjemahan resep), dispensing (penyiapan obat) dan administration.
Pencegahan Medication Error Kejadian medication error dapat dihindari baik oleh industri
farmasi, regulator (Badan POM), tenaga kesehatan atau pasien/ masyarakat itu sendiri.
Tugas Regulator
Sebagai pusat farmakovigilans di Indonesia, Badan POM mendapatkan laporan MESO,
baik dari industri farmasi maupun dari tenaga kesehatan yang diberikan secara sukarela.
Kualitas laporan yang diberikan sangat penting, agar dapat dilakukan evaluasi dan analisis
kausalitas yang tepat antara produk dan efek samping. Seluruh kejadian yang dicurigai
sebagai efek samping harus dilaporkan sesegera mungkin, termasuk efek samping obat
akibat medication error. Dengan adanya laporan tersebut, pusat farmakovigilans akan
mampu mendeteksi, mengidentifikasi, menganalisis dan mengklasifikasikan medication
error, serta menemukan akar penyebab terjadinya medication error. Data medication error
ini menjadi masukan yang sangat penting bagi Badan POM serta Industri Farmasi dalam
menindaklanjuti kejadian yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan potensi
medication error pada produk obat.
Tanggung Jawab Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien menerima resep dan
pengobatan yang tepat tanpa kesalahan. Saat pasien bertanggung jawab untuk
menggunakan obat sendiri, baik pada saat rawat jalan atau dalam rangka swamedikasi,
tenaga kesehatan harus memastikan bahwa pasien mengerti cara penggunaan obat yang
tepat untuk meminimalkan risiko medication error. Pemberi resep memiliki peran penting
dalam menentukan pengobatan yang tepat bagi pasien, berdasarkan indikasi yang
dijelaskan dalam informasi produk.
Tindakan Pasien/Masyarakat
Pencegahan medication error dapat dilakukan oleh pasien atau pendamping pasien. Pasien
perlu bertanya kepada tenaga kesehatan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pengobatan yang sedang dijalaninya, misalnya kegunaan obat, cara aturan pakai, serta batas
waktu penggunaan suatu obat. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan selalu
membaca etiket atau informasi obat dalam kemasan sebelum menggunakan obat, senantiasa
menyimpan obat beserta etiket atau informasi obat tersebut, tidak memisahkan obat dari
kemasan aslinya, serta menyimpan secara terpisah obat-obat yang digunakan sebagai obat
luar.
8. PENDEKATAN MODEL LEVINE DALAM MENGATASI GANGGUAN
TIDUR ANAK KANKER DI RSUPN DR CIPTO MANGUNKUSUMO
JAKARTA
Anak dan remaja yang menderita kanker sering mengalami gangguan tidur yang dapat
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan memengaruhi kualitas hidup. Tujuan penulisan
artikel ini adalah untuk memberikan gambaran penerapan Model Konservasi Levine dalam
asuhan keperawatan pada anak dengan kanker yang mengalami gangguan tidur. Desain yang
digunakan adalah studi kasus. Terdapat lima kasus yang menjadi pembahasan dalam artikel ini
dan teridentifikasi bahwa masalah tidur merupakan masalah yang utama. Intervensi keperawatan
yang diberikan didasarkan pada prinsip-prinsip konservasi yaitu konservasi energi, integritas
struktural, integritas personal dan integritas sosial. Hasil evaluasi berdasarkan respon organismik
menunjukkan sebagian besar masalah dapat teratasi dan menunjukkan perbaikan meskipun
belum teratasi secara keseluruhan. Model Konservasi Levine direkomendasikan untuk dapat
diterapkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan kanker yang mengalami
gangguan tidur dengan intervensi sleep hygiene dan terapi komplementer pemberian madu
sebelum anak tidur untuk mencapai hasil asuhan yang optimal.
Meningkatnya pengunaan obat herbal di masyarakat menyebabkan laporan terkait adverse event
dan toksisitas juga meningkat. Adverse event dan toksisitas dapat dideteksi dengan sistem
pharmacovigilance. Kejadian Adverse Drug Reaction (ADR) dari obat-obat herbal merupakan
hal yang masih jarang diteliti di Indonesia sehingga diperlukan studi pharmacovigilance untuk
mendeteksi kejadian ADR. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
kejadian ADR dari penggunaan obat herbal. Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan
menggunakan data retrospektif pada pasien yang mendapat resep obat herbal di Puskesmas X
Yogyakarta. Penelitian dilakukan dengan mengambil data pasien yang menggunakan obat herbal
10 bulan sebelum penelitian melalui rekam medik. Dilakukan wawancara untuk mengidentifikasi
kejadian ADR kemudian dilakukan analisis kausalitas menggunakan algoritma Naranjo. Dari
hasil penelitian diketahui bahwa 3 (13,63%) dari 22 pasien mengalami ADR dengan kategori
probabilitas probable (1) dan possible (2). Gejala ADR yang muncul adalah peningkatan
frekuensi defekasi, penurunan konsistensi feces dan diuresis. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa terdapat kejadian ADR pada pasien yang mendapat resep obat herbal di
Puskesmas X Yogyakarta.