DOSEN PENGAMPU:
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
UNIVERSITAS JAMBI
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah mengenai “Nilai-nilai ekonomi program pendidikan”.
Makalah ini sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan
pertolongan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
sudah ikut berkontribusi didalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun
dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ilmiah sehingga
menjadi makalah yang baik dan benar.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 KESIMPULAN………………………………………………………………………..15
Ii
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2
Pengelola pendidikan adalah pihak yang terkait langsung dengan proses
pendidikan. Pendidikan tidak ubahnya dengan proses produksi yang bergerak untuk
merubah serangkaian sumber-sumber menjadi output atau keluaran. Dengan
demikian proses pendidikan adalah tindakan merubah sumber-sumber pendidikan
menjadi keluaran pendidikan.
3
terciptanya kualitas atau mutu pendidikan yang dicita-citakan, mensyaratkan
bahwa pendidikan di Indonesia harus terus dibangun dan dibenahi.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an
ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in
human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan peletak
dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana
bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan
merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan
suatu investasi (Fattah, 2004: 5)
4
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat
dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada
tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di
dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang
lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian
hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung
akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
5
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok
bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas
sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu
komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi
suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Pengembangan
SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai
investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang
konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari
pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara
total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan
yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-
negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi
pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding
15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih
rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat
dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di
negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan
kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik
terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi: 1999, 247).
6
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa
kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN
adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan
selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada
kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari
keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang
berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kriteria
equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan UNESCO.
Dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, perlu melihat dulu nilai
ekonomi dari pendidikan, sedangkan dalam membuka lapangan kerja diperlukan
investasi fisik. Untuk mengukur nilai ekonomi pendidikan dapat dilakukan dengan
menilai modal yang telah dikeluarkan (human capital), dan menggunakan
pendekatan ongkos produksi (Hasibuan, 1991). Sejak tahun 1960-an telah
dikembangkan pula analisis rasio biaya-manfaat (benefit-costs analysis) dan
Retedin (return to educational invesment) atau yang sering pula disebut IRR
(internal rate of return).
7
adalah tetap) telah menamatkan suatu program pendidikan, tetapi setelah bekerja
sampai dengan pensiun tidak dapat mengembalikan akumulasi nilai investasi yang
pernah digunakan untuk mendapatkan pengetahuan, kerampilan, dan
kemampuannya (human capital), maka nilai pasar dari segala kemampuannya
relatif rendah.
Dari perspektif benefit pendidikan, Cohn (1979) memerinci empat nilai ekonomi
pendidikan, yaitu: Pertama, berdasarkan pendekatan human capital yang
mengkonstantasi hubungan linier antara investment of education dengan higher
productivity dan higher earning. Dalam pengertian, manusia sebagai modal dasar
yang diinvestasikan dalam pendidikan akan menghasilkan manusia terdidik yang
produktif, dan meningkatnya penghasilan sebagai akibat dari kualitas kinerja yang
ditampilkan oleh manusia terdidik tersebut.
8
hidup yang diharapkan. Sedang pada pihak produsen, yaitu satuan pendidikan
dipelajari tentang bagaimana mengkombinasikan input agar dapat memperoleh
biaya total terendah, oleh karena itu maka pembahasan juga akan menyangkut
pembahasan tentang pendidikan sebagai industri.
Di samping itu karena produk pendidikan berupa jasa, maka perlu diketahui
pula mengenai karakteristik dari industri jasa, dalam hal ini adalah jasa pendidikan.
Tentang pasar pendidikan ada beberapa definisi. Antara lain yang dikemukakan
oleh Hector Corea, ia mengemukakan bahwa permintaan pendidikan
menggambarkan kebutuhan, dan dimanifestasikan oleh keinginan untuk diberi
pelajaran tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan
pendidikan seperti budaya, politik, dan ekonomi. Kemudian permintaan pendidikan
perorangan secara agregat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: pendapatan
orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, biaya pendidikan,
kebijaksanaan umum (Pemerintah), kebijaksanaan lembaga, dan persepsi individu
terhadap tiap-tiap jenis pendidikan. Permintaan pendidikan juga tergantung kepada
cara pandangnya, yaitu apakah pendidikan itu dianggap sebagai konsumsi, sebagai
investasi, atau konsumsi dan investasi.
Penawaran pendidikan dapat dilihat secara makro dan secara mikro. Secara
makro, pengadaan pendidikan dapat dilaksanakan berdasarkan pendekatan
ketenagakerjaan. Sedang secara mikro, yaitu pengadaan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan, seperti sebuah SLTP, sebuah SMU, dan sebagainya.Terlepas
oleh siapa pendidikan itu diselenggarakan, maka proses pengadaan pendidikan
harus dilaksanakan secara efektif dan efisien.
9
Tentang harga pendidikan. Untuk menentukan harga dari jasa pendidikan tidak
sederhana, seperti halnya pada harga barang-barang. Karena banyak komponen
yang harus dihitung, antara lain yaitu uang pendaftaran, uang pangkal (BP3, dan
sebagainya), uang tes sumatif, uang laporan pendidikan, uang pendaftaran ulang,
dan sebagainya.
Sesuai dengan kriteria tersebut, maka pendidikan dasar atau pendidikan wajib
belajar yang terdiri dari SD dan SLTP dapat digolongkan sebagai barang publik.
Ada beberapa teori yang mendasari tentang barang publik. Teori-teori tersebut
dikemukakan oleh Bowen, Eric Lindahl, dan Samuelson. Ketiga teori tersebut pada
prinsipnya membahas tentang bagaimana pengadaan dan pembebanan biayanya.
10
tingkat ini pengadaan pendidikan bukan hanya didorong oleh motivasi-motivasi
yang bersifat keagamaan, dan kebangsaan, tetapi juga didorong oleh
pertimbangan-pertimbangan bisnis. Sehingga ada atau tidak adanya atau banyak
sedikitnya produksi pendidikan dipengaruhi oleh banyak sedikitnya permintaan dan
pendapatan yang mungkin diterima oleh penyelenggara/pengelola di masa yang
akan datang.
Dilihat dari segi sifat kebutuhan, pengadaannya pendidikan pada tingkat ini
merupakan barang publik. Kemudian dilihat dari motivasinya, maka pendidikan
sebagai konsumsi ini dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhan akan
pengembangan kepribadian, kebutuhan sosial, kebutuhan akan pengetahuan dan
pemahaman. Selanjutnya mengenai orientasi waktunya adalah sekarang.
Permintaan pendidikan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan disposibel.
11
2.4 NILAI EKONOMI PROGRAM PENDIDIKAN TINGGI
Paling tidak ada empat isu yang tengah berkembang kaitannya dengan
pendidikan tinggi, yaitu:
Ada argumen rasional dan alasan logis yang mendukung langkah universitas
menaikkan biaya pendidikan. Sebab, sasaran utamanya adalah meningkatkan
kontribusi (dalam bentuk uang pangkal dan SPP) bagi mahasiswa yang berasal dari
lapisan kelas menengah tersebut.
Dengan kata lain, investasi dana publik untuk pengembangan perguruan tinggi
harus menghitung besaran nilai ekonomi dan tingkat kemanfaatan bagi kepentingan
masyarakat luas. Jadi, ada rasionalitas ekonomi di balik kenaikan biaya pendidikan
itu, yang secara teknis dilakukan dengan membuat analisis perbandingan antara
public economic benefits dan private economic benefits.
12
Pertama, peningkatan pendapatan pajak. Kedua, peningkatan produktivitas.
Tesis umum yang berlaku adalah: semakin tinggi level pendidikan yang dicapai,
kian luas pula pengetahuan dan keterampilan teknis yang didapat. Ketiga,
peningkatan konsumsi. Berbagai studi menunjukkan, peningkatan konsumsi itu
paralel dengan level pendidikan. Keempat, peningkatan adaptabilitas tenaga kerja.
Persaingan ekonomi yang sangat ketat pada level global menuntut tenaga kerja
bisa cepat beradaptasi dengan perubahan. Kelima, penurunan ketergantungan
pada bantuan finansial pemerintah. Para lulusan perguruan tinggi cenderung
kurang memerlukan program bantuan sosial yang diberikan pemerintah. Sebab,
secara ekonomis mereka sudah berkecukupan dan mampu memenuhi sendiri
berbagai kebutuhan dasar tersebut.
Pertama, peningkatan gaji dan penghasilan. Para lulusan perguruan tinggi yang
berbekal pengetahuan dan keterampilan dipastikan bisa memperoleh gaji dan
panghasilan tinggi pula menurut keahlian yang dimiliki. Kedua, pilihan pekerjaan
yang luas. Ketiga, tabungan (savings) relatif lebih besar. Dengan pekerjaan yang
baik serta gaji dan penghasilan besar, sangat logis bila para sarjana mempunyai
tabungan yang besar pula. Keempat, jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang baik.
Bagi lulusan perguruan tinggi relatif mudah mendapatkan pekerjaan yang baik dan
tempat bekerja yang comfortable. Kelima, mobilitas individual. Para lulusan
perguruan tinggi lebih mampu bertukar jenis pekerjaan. Dengan bekal keahlian
yang memadai dan kompetensi yang mumpuni, para sarjana lebih mudah
memperoleh pekerjaan baru atau berpindah profesi bahkan untuk bidang keahlian
yang berlainan sekalipun.
Metode analisis ini bisa dijadikan dasar bagi pemerintah untuk berinvestasi di
level pendidikan tinggi. Studi mutakhir yang dilakukan oleh dua ahli ekonomi
konsultan Bank Dunia, Psacharopoulos dan Patrinos, Returns to Investment in
13
Education (2002), membuat perbandingan antara private and social rates of
return pada jenjang pendidikan tinggi di lima kawasan. Hasil studi itu dengan jelas
menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara private rate of return dan
social rate of return di seluruh kawasan.
Temuan studi ini bisa ditafsirkan, bila dana publik dalam jumlah besar
digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi, maka yang paling beruntung justru
lapisan masyarakat kelas menengah ke atas. Bagi penganut mazhab Marxian, ini
jelas akan melenggangkan struktur kemampuan sosial dan menghambat mobilitas
vertikal masyarakat kelas bawah.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kualitas manusia yang tangguh, andal dan unggul harus dipersiapkan oleh
pendidikan, sebab menunjang terhadap perikehidupan yang sedang ditempuh.
Kualitas unggul dalam proses pendidikan ini, selain memiliki karakteristik abadi
seperti ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, budi pekerti yang
luhur, harus ditambah dengan keuletan, kegigihan, daya saing, kemandirian,
keberanian memecahkan masalah dan menghadapi realitas serta rajin dan bekerja
keras juga berdisiplin tinggi.
https://mulyawans.blogspot.com/2009/07/nilai-ekonomi-pendidikan-tinggi.html
https://www.academia.edu/12737875/PENDIDIKAN_SEBAGAI_INVESTASI
15