Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH EKONOMI PENDIDIKAN

“NILAI EKONOMI PROGRAM PENDIDIKAN”

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Siti Syuhada, S.Pd., M.E

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5

1. Imelda Ariandini (A1A121033)


2. Liestia Tri Putri (A1A121038)
3. Lilis Aprilia Marpaung (A1A121112)
4. Reza Yogi Pratama (A1A121048)
5. Sariatun Apriza
6. Selly Tri Amanda (A1A121093)
7. Yulianti Panjaitan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah mengenai “Nilai-nilai ekonomi program pendidikan”.

Makalah ini sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan bantuan
pertolongan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
sudah ikut berkontribusi didalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun
dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ilmiah sehingga
menjadi makalah yang baik dan benar.

Akhir kata kami meminta semoga makalah mengenai nilai-nilai ekonomi


program pendidikan bentuk jurnal, dan latihan jurnal ini bisa memberi mannfaat
ataupun inpirasi untuk pembaca.

Jambi, November 2021

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG ..........................................................................................1


1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................................1
1.3 TUJUAN PENULISAN .......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN NILAI EKONOMI PENDIDIKAN ................................................2

2.2 PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI ................................................................2-7

2.3 KONSEP NILAI EKONOMI…………………………………………………………7-11

2.4 NILAI EKONOMI PENDIDIKAN TINGGI………………………………………12-14

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN………………………………………………………………………..15

3.2 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................15

Ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di antara sekian banyak agenda pembangunan bangsa, pendidikan merupakan


salah satu agenda penting dan strategis yang menuntut perhatian sungguh-
sungguh dari semua pihak. Sebab, pendidikan adalah faktor penentu kemajuan
bangsa di masa depan. Jika kita, sebagai bangsa, berhasil membangun dasar-
dasar pendidikan nasional dengan baik, maka diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap kemajuan di bidang-bidang yang lain. Pendidikan merupakan
salah satu bentuk investasi modal manusia (human investment), yang akan
menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa.
Bangsa-bangsa maju di dunia pasti ditopang oleh SDM berkualitas, sehingga
memiliki keunggulan hampir di semua bidang, termasuk ekonomi. Menurut
sejumlah ahli, krisis ekonomi yang demikian dahsyat yang melanda Indonesia,
selain disebabkan oleh faktor-faktor teknis ekonomi, juga dikarenakan terbatasnya
SDM yang kita miliki. Padahal SDM yang berkualitas merupakan unsur penting
dalam membangun daya tahan (ekonomi) bangsa. Krisis akut sekarang ini seolah
menegaskan dan semakin meyakinkan kita, betapa faktor SDM itu amat vital.
Pendidikan merupakan salah satu elemen paling penting dalam SDM.
Terlebih lagi memasuki abad ke-21 yang ditandai oleh proses globalisasi,
dengan persaingan yang sangat ketat, maka bangsa Indonesia dituntut untuk
menyiapkan SDM berkualitas yang memiliki keunggulan kompetitif. Semua itu
hanya bisa diperoleh melalui pendidikan yang bermutu. Dengan demikian,
pendidikan yang baik dan bermutu merupakan conditio sine quanon bagi upaya
memenangkan kompetisi global.
Pendidikan mempunyai nilai ekonomi yang demikian tinggi, sampai-sampai MJ
Bowman (1996) menyebut the human investment revolution in economic thought.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Pengertian nilai ekonomi Pendidikan
2. Pendidikan sebagai investasi
3. Konsep nilai ekonomi
4. Nilai ekonomi Pendidikan tinggi

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui apa pengertian nilai ekonomi Pendidikan
2. Untuk mengetahui mengapa Pendidikan sebagai investasi
3. Untuk mengetahui konsep nilai ekonomi
4. Untuk pengetahui nilai ekonomi program Pendidikan tinggi
1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN EKONOMI PENDIDIKAN

Menurut Prof Samuelson (1961), Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari


tentang bagaimana manusia dan masyarakat memilih menggunakan uang atau
tidak, untuk memanfaatkan sumber daya produktif yang langka guna menghasilkan
bermacam komoditas dari waktu ke waktu. Dan mendistribusikannya untuk
konsumsi waktu sekarang dan kemudian hari diantara bermacam-macam orang
dan kelompok dalam masyarakat. Intinya ekonomi adalah ilmu produksi dan
distribusi seluruh sumber daya yang langka baik benda fisik maupun jasa yang
setiap individu membutuhkannya.

Menurut Webster’s New World Dictionary (1962), pendidikan adalah proses


pelatihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, daya pikir, karakter dll
khususnya melalui pendidikan formal. Aktifitas pendidikan meliputi produksi dan
distribusi pengetahuan baik yang dihasilkan dalam institusi pembelajaran umum
ataupun institusi lainnya. Karena mayoritas aktifitas tersebut berasal dari istitusi
pembelajaran sekolah dasar dan menengah baik negeri maupun swasta serta
perguruan tinggi negeri maupun swasta. Hal yang ditekankan dalam pembahasan
ini adalah pendidikan formal, namun hal itu dikarenakan bahwa kegiatan edukasi
dibawah institusi lain seperti militer, gereja, masyarakat dan kelompok dan
persekutuan bisnis kurang begitu dipedulikan.

Ekonomi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia dan


masyarakat memilih menggunakan uang atau tidak untuk memanfaatkan sumber
daya produktif yang langka guna menghasilkan bermacam jenis pelatihan dan
pengembangan pengetahuan, keterampilan, daya pikir, karakter dll khususnya
melalui pendidikan formal_dan mendistribusikannya sekarang dan kemudian hari
diantara jenis orang dan kelompok masyarakat.

2.2 PENDIDIKAN SEBAGAI INVESTASI

Pendidikan merupakan barang investasi (invesment goods) yang berarti


sejumlah pengeluaran untuk mendukung pendidikan yang dilakukan orang tua,
masyarakat dan pemerintah dalam jangka pendek untuk mendapatkan manfaat
dalam jangka panjang. Keluarga, masyarakat dan pemerintah rela melakukan
pengorbanan untuk kepentingan pendidikan demi manfaat dimasa depan.

2
Pengelola pendidikan adalah pihak yang terkait langsung dengan proses
pendidikan. Pendidikan tidak ubahnya dengan proses produksi yang bergerak untuk
merubah serangkaian sumber-sumber menjadi output atau keluaran. Dengan
demikian proses pendidikan adalah tindakan merubah sumber-sumber pendidikan
menjadi keluaran pendidikan.

Pendidikan berbasis pemerintah, dan pendidikan berbasis masyarakat serta


keluarga merupakan pengelola pendidik yang sesungguhnya terjadi di negeri ini.
Pengelola-pengelola inilah yang melakukan proses pendidikan. Pengelola
pendidikan dalam nlelakukan proses pendidikan menghadapi berbagai masalah
antara lain, Pertama, keluaran pendidikan yang bagaimana yang dikehendaki.
Kedua, sumber-sumber pendidikan dan kombinasi yang bagaimana yang
diperlukan. Biasanya pengelola pendidikan memiliki tujuan yang tidak jauh berbeda
dengan pengelola bisnis pada umumnya

Pendidikan sebagai suatu lembaga tidak langsung menghasilkan produk tetapi


terjadi melalui usaha pemberian jasa baik oleh tenaga pengajar, administrasi
maupun pengelola. Keluaran pendidikan bukan barang yang dapat di konsumsi
bersamaan dengan waktu dihasilkan, bukan sesuatu yang berwujud. Berbagai
definisi diberikan tentang jasa pelayanan, salah satu diantaranya mengatakan
bahwa usaha pelayanan jasa adalah suatu perbuatan dari satu orang/kelompok
menawarkan kepada orang lain/kelompok, sesuatu yang tidak berwujud, produknya
berkaitan atau tidak dengan fisik produk (Kotler 2000), karena itulah dapat dikatakan
bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang bergerak dibidang jasa. Karena itu
perlu memperhatikan aspek-aspek pembiayaan agar dapat berjalan secara efektif
dan efisien.

Kualitas pendidikan meliputi pertama, produk pendidikan yang dihasilkan


berupa persentase peserta didik yang berhasil lulus dari lulusan tersebut dapat
diserap oleh lapangan kerja yang tersedia atau membuka lapangan kerja sendiri,
baik dengan cara meniru yang sudah ada atau menciptakan yang baru. Kedua,
Proses pendidikannya sendiri, proses pendidikan ini menyangkut pengelolaan kelas
yang scsuai pada kondisi kelas yang relatif kecil, penggunaan metode pengajaran
yang tepat serta pada lingkungan masyarakat yang kondusif. Ketiga, adanya kontrol
pada sumber-sumber pendidikan (inputs) yang ada.

Secara umum kualitas pendidikan tersebut diwarnai empat kriteria yaitu


pertama, kualitas awal peserta didik. Kedua, penggunaan dan pemilihan sumber-
sumber pendidikan yang berkualitas. Ketiga, proses belajar dan mengajar.
Keempat, keluaran pendidikan. Berbagai masalah yang terjadi dan belum

3
terciptanya kualitas atau mutu pendidikan yang dicita-citakan, mensyaratkan
bahwa pendidikan di Indonesia harus terus dibangun dan dibenahi.

Empat aspek sasaran pembangunan pendidikan yang ada adalah: Pertama,


pembangunan pendidikan harus dapat menjamin kesempatan belajar bagi warga
masyarakat secara keseluruhan. Kedua, pembangunan pendidikan harus memiliki
relevansi, yaitu proses pendidikan yang dilakukan dan lulusannya harus dapat
memenuhi kebutuhan industri. Ketiga, pembangunan pendidikan harus diarahkan
pada mutu pengajaran dan lulusan. Pengembangan mutu ini akan tergantung dari
efektivitas belajar mengajar dan sumber daya pendidikan seperti guru yang
bermutu, dana memadai, fasilitas dan infrastruktur yang memadai pula. Keempat,
pembangunan pendidikan harus mengarah pada terciptanya efisiensi pengelolaan
pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan akan tercapai apabila tujuan
pendidikan tercapai (Ministry of Education and Cultural, 1992). Pembangunan
pendidikan tersebut memiliki tujuan pada terciptanya kualitas pendidikan.

Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah


berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa
pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan
sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya
manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi
(economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith
(1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad
ke-19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.

Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an
ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in
human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan peletak
dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana
bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan
merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan
suatu investasi (Fattah, 2004: 5)

Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor


pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi
langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan
keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara
pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai
nilai ekonomi dari pendidikan.

4
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat
dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada
tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di
dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang
lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.

Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak,


termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti
dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor
pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain
sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human
capital investement) dan menjadi leading sector atau salah satu sektor utama. Oleh
karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-
sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah
dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi
dengan kemajuan pembangunan makronya.

Hasil penelitian yang dilakukan Bramley (1991:9) mengemukakan bahwa “Ada


beberapa hasil efektif dari pendidikan untuk peningkatan kualitas SDM, yaitu:
pencapaian tujuan, peningkatan kualitas sumber daya (SDM dan sumber daya lain),
kepuasan pelanggan, dan perbaikan proses internal.”

Sebelumnya, Sutermeister (1976:3) mengemukakan bahwa “Perubahan dan


peningkatan kualitas SDM dipengaruhi oleh pendidikan. Pendidikan diperhitungkan
sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang, baik secara sosial maupun
ekonomi. Nilai pendidikan merupakan aset moral, yaitu dalam bentuk pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh dalam pendidikan merupakan investasi.
Pandangan ini ditinjau dari sudut human capital (SDM sebagai unsur modal).”

Beberapa penelitian neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara


ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi
secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar
keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program
bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap
pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi
antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.

Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian
hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung
akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.

5
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok
bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas
sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu
komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi
suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Pengembangan
SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan
ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai
investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang
konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).

Investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari
pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara
total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan
yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-
negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi
pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding
15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih
rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat
dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di
negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan
kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik
terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi: 1999, 247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan


pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %,
pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat
sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat
sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini
maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun
1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk
Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000
rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi
Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Mantan Dirjen Dikti,
Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana
untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini
menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada
pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu
dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

6
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa
kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN
adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan
selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada
kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari
keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang
berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kriteria
equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan UNESCO.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita, seperti dikutip oleh Nurkholis (2008:1)


menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan
bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar
setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do,
leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan
kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung,
meneliti, menghafal dan menghayal. Lebih lanjut Kinosita merekomendasikan agar
anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan
pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu
pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya.
Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan
pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah
terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran
pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

2.3 KONSEP NILAI EKONOMI

Dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, perlu melihat dulu nilai
ekonomi dari pendidikan, sedangkan dalam membuka lapangan kerja diperlukan
investasi fisik. Untuk mengukur nilai ekonomi pendidikan dapat dilakukan dengan
menilai modal yang telah dikeluarkan (human capital), dan menggunakan
pendekatan ongkos produksi (Hasibuan, 1991). Sejak tahun 1960-an telah
dikembangkan pula analisis rasio biaya-manfaat (benefit-costs analysis) dan
Retedin (return to educational invesment) atau yang sering pula disebut IRR
(internal rate of return).

Nilai ekonomi pendidikan secara singkat dapat dirumuskan setidak-tidaknya,


manfaatnya sama dengan jumlah nilai biaya yang telah dikorbankan selama dalam
masa pendidikan. Bilamana seseorang (dengan anggapan bahwa faktor-faktor lain

7
adalah tetap) telah menamatkan suatu program pendidikan, tetapi setelah bekerja
sampai dengan pensiun tidak dapat mengembalikan akumulasi nilai investasi yang
pernah digunakan untuk mendapatkan pengetahuan, kerampilan, dan
kemampuannya (human capital), maka nilai pasar dari segala kemampuannya
relatif rendah.

Sebelum variabel-variabel pendidikan diakomodasi ke dalam ilmu ekonomi,


variabel-variabel itu termasuk ke dalam kelompok variabel ilmu sosial, tetapi lama
kelaziman ilmu ekonomi berkembang, dan mulai mempelajari bahwa perilaku
variabel sosial itu dapat dipandang sebagai variabel ekonomi. Dalam arti, perilaku
variabel-variabel tersebut balk sebagian maupun seluruhnya dikendali¬kan oleh
motif ekonomi. Semua komponen pembiayaan yang dikeluarkan untuk
kelangsungan proses pendidikan, menjadi biaya investasi bilamana dilihat bahwa
sumber daya manusia balk sebagal faktor produksi maupun sebagai tujuan dari
proses produksi.

Dari perspektif benefit pendidikan, Cohn (1979) memerinci empat nilai ekonomi
pendidikan, yaitu: Pertama, berdasarkan pendekatan human capital yang
mengkonstantasi hubungan linier antara investment of education dengan higher
productivity dan higher earning. Dalam pengertian, manusia sebagai modal dasar
yang diinvestasikan dalam pendidikan akan menghasilkan manusia terdidik yang
produktif, dan meningkatnya penghasilan sebagai akibat dari kualitas kinerja yang
ditampilkan oleh manusia terdidik tersebut.

Kedua, berdasarkan pendekatan radikal yang menyatakan bahwa pendidikan


yang lebih balk- diperuntukkan bagi tingkatan ekonomi tinggi. Tingkatan pendidikan
sebagai penentu masa depan manusia harus mendukung seluruh lapisan
masyarakat sesuai dengan kemampuan akademik dan sosial mereka.

Ketiga, berdasarkan taxonomy of education benefit diperlihatkan bahwa


peningkatan kapasitas penghasilan manusia terdidik berhubungan nyata dengan
tingkat pendidikan, aktualisasi pendidikan pada level tertentu menggambarkan
keterkaitan antara private dengan social benefit pendidikan; dan keempat
intergeneration effect atau peningkatan pendidikan, lebih tinggi terjadi pada
generasi muda dibanding generasi terdahulu.

a. Pendidikan Sebagai Konsumsi dan Investasi Ekonomi

Mikro ekonomi pendidikan mempelajari unsur-unsur permintaan, penawaran,


dan harga dari produk jasa pendidikan. Pada unsur permintaan dipelajari tentang
bagaimana calon siswa/mahasiswa memaksimumkan pendapatan neto seumur

8
hidup yang diharapkan. Sedang pada pihak produsen, yaitu satuan pendidikan
dipelajari tentang bagaimana mengkombinasikan input agar dapat memperoleh
biaya total terendah, oleh karena itu maka pembahasan juga akan menyangkut
pembahasan tentang pendidikan sebagai industri.

Pendidikan diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan, di mana


lembaga pendidikan dapat mendirikan sebuah atau beberapa satuan pendidikan,
maka ini berarti bahwa lembaga pendidikan mempunyai kedudukan sebagai badan
usaha, dan satuan pendidikan seperti SD, SLTP, SMU, SMK, dan program-program
studi di perguruan tinggi berkedudukan sebagai perusahaan (firm).

Di samping itu karena produk pendidikan berupa jasa, maka perlu diketahui
pula mengenai karakteristik dari industri jasa, dalam hal ini adalah jasa pendidikan.

b. Pasar, Permintaan, dan Penawaran Jasa Pendidikan

Pasar pendidikan adalah keseluruhan permintaan dan penawaran terhadap


sejenis jasa pendidikan tertentu. Seperti halnya pada bidang ekonomi, maka pasar
di dalam pendidikan dapat dibedakan atas pasar konkret dan pasar abstrak. Dilihat
dari bentuknya, pasar pendidikan mempunyai kesamaan dengan pasar persaingan
monopoli. Berbicara tentang pasar pendidikan, maka paling tidak ada dua unsur
penting, yaitu permintaan pendidikan dan penawaran pendidikan.

Tentang pasar pendidikan ada beberapa definisi. Antara lain yang dikemukakan
oleh Hector Corea, ia mengemukakan bahwa permintaan pendidikan
menggambarkan kebutuhan, dan dimanifestasikan oleh keinginan untuk diberi
pelajaran tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan
pendidikan seperti budaya, politik, dan ekonomi. Kemudian permintaan pendidikan
perorangan secara agregat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: pendapatan
orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, biaya pendidikan,
kebijaksanaan umum (Pemerintah), kebijaksanaan lembaga, dan persepsi individu
terhadap tiap-tiap jenis pendidikan. Permintaan pendidikan juga tergantung kepada
cara pandangnya, yaitu apakah pendidikan itu dianggap sebagai konsumsi, sebagai
investasi, atau konsumsi dan investasi.

Penawaran pendidikan dapat dilihat secara makro dan secara mikro. Secara
makro, pengadaan pendidikan dapat dilaksanakan berdasarkan pendekatan
ketenagakerjaan. Sedang secara mikro, yaitu pengadaan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan, seperti sebuah SLTP, sebuah SMU, dan sebagainya.Terlepas
oleh siapa pendidikan itu diselenggarakan, maka proses pengadaan pendidikan
harus dilaksanakan secara efektif dan efisien.

9
Tentang harga pendidikan. Untuk menentukan harga dari jasa pendidikan tidak
sederhana, seperti halnya pada harga barang-barang. Karena banyak komponen
yang harus dihitung, antara lain yaitu uang pendaftaran, uang pangkal (BP3, dan
sebagainya), uang tes sumatif, uang laporan pendidikan, uang pendaftaran ulang,
dan sebagainya.

Kemudian tentang elastisitas harga. Elastisitas harga atau elastisitas


permintaan pendidikan ialah perbandingan antara perubahan relatif dari permintaan
jasa pendidikan dengan perubahan relatif dari harganya. Sesuai dengan bentuk
pasarnya, yaitu persaingan monopoli, maka sifat elastisitas permintaannya
inelastis.

c. Pendidikan sebagai Barang Publik dan Barang Swasta

Pendidikan dapat merupakan barang publik dan dapat merupakan barang


swasta. Barang publik (public goods) adalah suatu jenis barang yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi tak ada seorang pun yang bersedia untuk
menghasilkannya. Ada dua sifat pokok dari barang ini, yaitu nonrival consumption
dan non-exclusion. Berdasarkan definisi dan sifat-sifat dari barang publik tersebut,
agar pendidikan dapat digolongkan sebagai barang publik, maka harus memenuhi
kriteria sebagai berikut:

1. Pendidikan harus merupakan barang/jasa konsumsi.

2. Pendidikan dibutuhkan oleh semua orang.

3. Pihak swasta tidak bersedia untuk menghasilkannya.

4. Pendidikan, konsumsinya mempunyai sifat nonrival consumption dan non-


exclusion.

Sesuai dengan kriteria tersebut, maka pendidikan dasar atau pendidikan wajib
belajar yang terdiri dari SD dan SLTP dapat digolongkan sebagai barang publik.
Ada beberapa teori yang mendasari tentang barang publik. Teori-teori tersebut
dikemukakan oleh Bowen, Eric Lindahl, dan Samuelson. Ketiga teori tersebut pada
prinsipnya membahas tentang bagaimana pengadaan dan pembebanan biayanya.

Pendidikan juga dapat digolongkan sebagai barang swasta. Barang swasta


(private goods) adalah barang yang penyediaannya dilakukan melalui mekanisme
pasar. Termasuk ke dalam kategori ini adalah pendidikan pada tingkat setelah
pendidikan wajib belajar, yaitu SLTA (SMU dan SMK), dan Perguruan Tinggi. Pada

10
tingkat ini pengadaan pendidikan bukan hanya didorong oleh motivasi-motivasi
yang bersifat keagamaan, dan kebangsaan, tetapi juga didorong oleh
pertimbangan-pertimbangan bisnis. Sehingga ada atau tidak adanya atau banyak
sedikitnya produksi pendidikan dipengaruhi oleh banyak sedikitnya permintaan dan
pendapatan yang mungkin diterima oleh penyelenggara/pengelola di masa yang
akan datang.

d. Pendidikan sebagai Konsumsi dan sebagai Investasi

Pendidikan dapat dipandang sebagai konsumsi, sebagai investasi, dan sebagai


konsumsi dan investasi secara komplementer. Pendidikan sebagai konsumsi
adalah pendidikan sebagai hak dasar manusia. Atau merupakan salah satu hak
demokrasi yang dimiliki oleh setiap warga negara. Sehingga sampai tingkat tertentu
pengadaan harus dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu maka di banyak
negara pendidikan dasar (SD dan SLTP) dijadikan sebagai pendidikan wajib
belajar. Sebagai konsekuensinya pendidikan pada tingkat ini pendidikan bukan
hanya sebagai hak, tetapi juga sebagai kewajiban bagi setiap warga negara pada
tingkat umur tertentu (di Indonesia antara 6 sampai 15 tahun).

Dilihat dari segi sifat kebutuhan, pengadaannya pendidikan pada tingkat ini
merupakan barang publik. Kemudian dilihat dari motivasinya, maka pendidikan
sebagai konsumsi ini dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhan akan
pengembangan kepribadian, kebutuhan sosial, kebutuhan akan pengetahuan dan
pemahaman. Selanjutnya mengenai orientasi waktunya adalah sekarang.
Permintaan pendidikan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan disposibel.

Pendidikan sebagai investasi bertujuan untuk memperoleh pendapatan neto


atau rate of return yang lebih besar di masa yang akan datang. Biaya pendidikan
dalam jenis pendidikan ini dipandang sebagai jumlah uang yang dibelikan untuk
memperoleh atau ditanamkan dalam sejumlah modal manusia (human capital) yang
dapat memperbesar kemampuan ekonomi di masa yang akan datang. Pendidikan
sebagai investasi didasarkan atas anggapan bahwa manusia merupakan suatu
bentuk kapital (modal) sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya yang sangat
menentukan terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Melalui investasi
dirinya seseorang dapat memperluas alternatif untuk kegiatan-kegiatan lainnya
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya di masa yang akan datang.

11
2.4 NILAI EKONOMI PROGRAM PENDIDIKAN TINGGI

Paling tidak ada empat isu yang tengah berkembang kaitannya dengan
pendidikan tinggi, yaitu:

1. Pendidikan Tinggi mempersiapkan seseorang dengan kualifikasi tinggi untuk


menjadi seseorang yang berkualitas amat tinggi.

2. Pendidikan tinggi mempersiapkan profesional dalam berbagai bidang keilmuan


untuk kepentingan pembangunan nasional bangsa itu.

3. Pendidikan tinggi adalah tonggak Perkembangan Civilization manusia.

4. Unesco mempromosikan Pendidikan Tinggi untuk semua.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi memang memerlukan biaya besar, yang


tidak mungkin bila hanya mengandalkan sumber dana pemerintah semata (baca:
dana publik). Selama ini, yang menikmati layanan pendidikan tinggi adalah
kelompok masyarakat, yang dalam strata sosial tergolong kelas menengah ke atas.

Ada argumen rasional dan alasan logis yang mendukung langkah universitas
menaikkan biaya pendidikan. Sebab, sasaran utamanya adalah meningkatkan
kontribusi (dalam bentuk uang pangkal dan SPP) bagi mahasiswa yang berasal dari
lapisan kelas menengah tersebut.

Jika masyarakat kelas menengah yang paling banyak mendapat akses


pendidikan tinggi, maka penggunaan dana publik (yang bersumber dari pajak) untuk
membiayai universitas justru bertentangan dengan prinsip keadilan.

Dengan kata lain, investasi dana publik untuk pengembangan perguruan tinggi
harus menghitung besaran nilai ekonomi dan tingkat kemanfaatan bagi kepentingan
masyarakat luas. Jadi, ada rasionalitas ekonomi di balik kenaikan biaya pendidikan
itu, yang secara teknis dilakukan dengan membuat analisis perbandingan antara
public economic benefits dan private economic benefits.

Dalam teori ekonomi, terminologi public economic benefits diartikan sebagai


keuntungan ekonomis yang memberi manfaat bagi masyarakat luas setelah
seseorang berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. James Merisotis dalam
Who Benefits from Higher Education? (1988) membuat lima kategori public
economic benefits.

12
Pertama, peningkatan pendapatan pajak. Kedua, peningkatan produktivitas.
Tesis umum yang berlaku adalah: semakin tinggi level pendidikan yang dicapai,
kian luas pula pengetahuan dan keterampilan teknis yang didapat. Ketiga,
peningkatan konsumsi. Berbagai studi menunjukkan, peningkatan konsumsi itu
paralel dengan level pendidikan. Keempat, peningkatan adaptabilitas tenaga kerja.
Persaingan ekonomi yang sangat ketat pada level global menuntut tenaga kerja
bisa cepat beradaptasi dengan perubahan. Kelima, penurunan ketergantungan
pada bantuan finansial pemerintah. Para lulusan perguruan tinggi cenderung
kurang memerlukan program bantuan sosial yang diberikan pemerintah. Sebab,
secara ekonomis mereka sudah berkecukupan dan mampu memenuhi sendiri
berbagai kebutuhan dasar tersebut.

Sementara terminologi private economic benefits diartikan sebagai keuntungan


ekonomis yang memberi manfaat hanya bagi individu bersangkutan setelah ia
berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi. Ada lima kategori private economic
benefits.

Pertama, peningkatan gaji dan penghasilan. Para lulusan perguruan tinggi yang
berbekal pengetahuan dan keterampilan dipastikan bisa memperoleh gaji dan
panghasilan tinggi pula menurut keahlian yang dimiliki. Kedua, pilihan pekerjaan
yang luas. Ketiga, tabungan (savings) relatif lebih besar. Dengan pekerjaan yang
baik serta gaji dan penghasilan besar, sangat logis bila para sarjana mempunyai
tabungan yang besar pula. Keempat, jenis pekerjaan dan tempat bekerja yang baik.
Bagi lulusan perguruan tinggi relatif mudah mendapatkan pekerjaan yang baik dan
tempat bekerja yang comfortable. Kelima, mobilitas individual. Para lulusan
perguruan tinggi lebih mampu bertukar jenis pekerjaan. Dengan bekal keahlian
yang memadai dan kompetensi yang mumpuni, para sarjana lebih mudah
memperoleh pekerjaan baru atau berpindah profesi bahkan untuk bidang keahlian
yang berlainan sekalipun.

Itulah parameter kualitatif yang lazim digunakan untuk mengukur keuntungan


ekonomi pendidikan tinggi. Parameter kualitatif itu bisa dikonversi secara kuantitatif
dengan menggunakan metode cost-benefit analysis. Metode analisis ini melihat
perbedaan antara private and social rates of return lulusan perguruan tinggi,
sehingga bisa diketahui berapa besar tingkat kemanfaatan ekonomi pendidikan
tinggi baik bagi individu maupun masyarakat.

Metode analisis ini bisa dijadikan dasar bagi pemerintah untuk berinvestasi di
level pendidikan tinggi. Studi mutakhir yang dilakukan oleh dua ahli ekonomi
konsultan Bank Dunia, Psacharopoulos dan Patrinos, Returns to Investment in

13
Education (2002), membuat perbandingan antara private and social rates of
return pada jenjang pendidikan tinggi di lima kawasan. Hasil studi itu dengan jelas
menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan antara private rate of return dan
social rate of return di seluruh kawasan.

Perbandingan masing-masing kawasan adalah:

(i) Asia: 18,2 persen dan 11,0 persen,


(ii) Eropa/Timur Tengah/Afrika Utara: 18,8 persen dan 9,9 persen,
(iii) Amerika Latin/Karibia: 19,5 persen dan 12,3 persen,
(iv) Negara-negara OECD: 11,6 persen dan 8,5 persen, dan
(v) Sub-Sahara Afrika: 27,8 persen dan 10,3 persen.
Adapun rata-rata Dunia sebesar 19,0 persen dan 10,8 persen.

Data di atas secara terang-benderang menggambarkan betapa nilai


kemanfaatan ekonomi pendidikan tinggi yang diperoleh orang per orang (individual)
itu lebih besar dibandingkan masyarakat luas (publik). Bila pemerintah berinvestasi
di jenjang pendidikan tinggi, maka yang akan memperoleh manfaat ekonomi hanya
kelompok masyarakat tertentu saja.

Temuan studi ini bisa ditafsirkan, bila dana publik dalam jumlah besar
digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi, maka yang paling beruntung justru
lapisan masyarakat kelas menengah ke atas. Bagi penganut mazhab Marxian, ini
jelas akan melenggangkan struktur kemampuan sosial dan menghambat mobilitas
vertikal masyarakat kelas bawah.

Dalam perspektif demikian, sejatinya arah kebijakan BHMN bisa dikatakan on


the right track. Bagi orang kaya harus membayar lebih mahal untuk bisa kuliah di
universitas terbaik itu. Namun, pemerintah dan universitas harus membuat
kebijakan affirmative action guna melindungi dan memberi kesempatan bagi orang
miskin yang berprestasi, untuk bisa kuliah di perguruan tinggi.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai suatu


invertasi diharapkan mampu menjadi instrumen yang dapat meningkatkan
petumbuhan dan nilai ekonomi suatu bangsa. Walaupun memang diakui bahwa
kuantitas masyarakat yang dapat mengecap pendidikan tinggi jumlahnya masih
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pendidikan dasar dan menengah.

Kualitas manusia yang tangguh, andal dan unggul harus dipersiapkan oleh
pendidikan, sebab menunjang terhadap perikehidupan yang sedang ditempuh.
Kualitas unggul dalam proses pendidikan ini, selain memiliki karakteristik abadi
seperti ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, budi pekerti yang
luhur, harus ditambah dengan keuletan, kegigihan, daya saing, kemandirian,
keberanian memecahkan masalah dan menghadapi realitas serta rajin dan bekerja
keras juga berdisiplin tinggi.

Kita perlu membenahi pendidikan tinggi di Indonesia guna merespons dinamika


perkembangan global, yang menempatkan perguruan tinggi (PT) sebagai salah
satu institusi penggerak kemajuan ekonomi. Untuk itu, kita harus merumuskan
strategi baru dalam pengembangan PT guna menjawab tantangan masa depan
saat perkembangan ekonomi justru lebih banyak didorong institusi Perguruan
Tinggi.

3.1 DAFTAR PUSTAKA

https://mulyawans.blogspot.com/2009/07/nilai-ekonomi-pendidikan-tinggi.html

https://www.academia.edu/12737875/PENDIDIKAN_SEBAGAI_INVESTASI

Bramley, Peter. 1991. Evaluating Training Effectiveness. London. The McGraw-


Hill Training Series.

Cheng, Yin Cheong. 1996. School Effectiveness and School-Based Management:


A Mechanism for Development. Washington D.C: The Palmer Press.

15

Anda mungkin juga menyukai