Anda di halaman 1dari 11

MATERI V

METODOLOGI PENELITIAN GEOGRAFI BUDAYA

1. Karakteristik Penelitian Geografi Budaya


a. Ciri khas penelitian budaya
1. Penelitian dapat mengikuti paradigma Kualititatif dan kuantitatif
Penelitian budaya sebenernya bisa mengikuti paradigma kualitatif dan
kuantitatif. Keduanya sama-sama mampu menjelaskan dan atau
memahami fenomena budaya. Namun demikian peneliti budaya selama ini
justru memilih paradigma penelitian kualitatif. Jika kodrat budaya itu
dipaksakan menggunakan paradigma kuantitatif, dimungkinkan ada hal-
hal yang tak terangkat. Oleh karena itu, meskipun tidak menolak penelitian
kuantitatif, penelitian budaya cenderung ke arah kualitatif. Penelitian
kuantitatif yang menggunakan hitungan-hitungan pun boleh dimanfaatkan
bagi peneliti budaya, tentu dengan syarat tertentu. Peneliti budaya yang
rupa-rupanya kurang menyukai penelitian kuantitatif, lebih di dorong oleh
kodrat budaya itu sendiri. Oleh karena itu, fenomena budaya biasanya juga
berpa kasus-kasus unik yang kurang memungkinkan diterapkannya
penelitian kuantitatif (Endraswara, 2003)
B. Konsep Dasar Penelitian Budaya
1. Logika dan Kebenaran
Salah satu cibiran terhadap penelitian budaya, adalah tentang ihwal
kebenearan. Penelitian budaya yang sering dimanfaatkan penalaran
subyektif dan paradigma kualitatif, mengakibatkan pada pemojokkan dan
penilaian yang naif terhadap hasil kajuan. Yakni, penelitian budaya
diisnyalir kurang memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran
penelitian budaya dianggap terlalu mengada-ada, mencari-cari dan khayal.
Namun, penelitian budaya seyogyanya juga berusaha keras untuk
meyakinkan orang lain bahwa kajian budaya tetap memiliki kadar logika
dan kebenaran. Kalaupun masih tetap ada ejekan-ejekan tentang hal ini,
mustinya diterima saja sebagai cambuk agar peneliti budaya mampu
membuktikan diri secara akurat.
Sesungguhnya, logika dan kebenaran dalam peneliti budaya, juga
tidak berbeda dengan penelitian lain. Logika tetap menjadi wahana untuk
mencari kebenaran. Memang harus diakui bahwa ada bermacam-macam
logika untuk mencari kebenaran, namun tidak semuanya releva bagi
penelitian kebudayaan. Macam-macam logika itu adalah: (a) logika formil,
artinya upaya pencarian kebenaran dengan mencari relasi antar proposisi,
dengan tujuan untuk generalisasi, hal ini jelas kurang relevan bagi
penelitian budaya. Karena, penelitian budaya tak memburu generalisasi,
melainkan transferabilitas; (b) logika matematik, artinya pencarian
kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil,
logika semacam ini didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan
logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika ini
pun hanya berlaku bagi peneliti budaya yang menganut paham positivistik.
Peneliti serupa amat jarang dalam kancah penelitian budaya; (c) logika
reflektif, yaitu cara berpikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan
dan penjabaran. Tentunya, logika ini berlangsung cepat kilat dan bisa
memanfaatkan daya intuisi yang tinggi; (d) logika kualitatif, artinya
pencarian kebenaran didasarkan papaparan deskriptif data di lapangan,
kualitas kebenaran didasarkan pada realita yang ada; (e) logika linguistik,
artinya pencarian kebenaran beradasarkan pemaknaan bahasa, logika ini
sering diminati oleh peneliti budaya tafsir (Endraswawra, 2003).
Perkembangan penelitian budaya yang ke arah postmodernisme
telah meninggalkan permainan logika tradisi, dan ingin mencari kebeneran
baru yang lebih orisini. Kendati pendapat semacam ini dalam penelitian
budaya belum banyak dikembangkan, namum beberapa penelitian telah
mencoba mengarah ke sana. Dalam kaitan ini kebenaran yang dilandasi
argumen, imajinasi, dan common sense (akal sehat) akan dianut oleh kaum
postmodernisme. Menurut peneliti budaya postmodernisme, kebenaran
bersifat plural dan bebas.
Dalam mencari suatu kebenaran dari pengetahuan dapat
diketemukan melalui proses-proses kebenaran non ilmiah maupun
kebenaran ilmiah. Progres kebenaran non ilmiah meliputi:
a. Akal sehat
Akal sehat menurut Counaut yang dikutip kerlinger (1973
dalam nuryandi, 2014) adalah serangkaian konsep dan bagan yang
memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan. Konsep
adalah pertanyaan abtraksi yang digeneralisasikan dan hal-hal
khusus. Bagan konsep adalah seerangkat konsep yang dirangkakan
dengan dalil-dalil hipotesis dan teori walaupun akal sehat yang
berupa konsep dan bagan konsep itu dapat menunjukan hal yang
benar, namun dapat juga menyesatkan.
b. Pendekatan Intuitif
Dalam pendekatan intuitif orang menentukan pendapat
mengenai sesuatu hal yang berdasarkan atas “pengetahuan” yang
langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tidak
disadari atau tidak dipikirkan terlebih dahulu. dengan intuitif orang
memberi penilaian tanpa didahului kesatuan renungan, sehingga
pencapaian pengetahuan tersebut kebenarannya sukar untuk
dipercaya. Metode yang biasa dipakai dalam hal ini adalah apriori
(nuryandi, 2014).
c. Prasangka
Penemuan pengetahuan yang dilakukan melalui akal sehat
kebanyakan diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya.
Hal ini menyebabkan akal sehat mudah berubah prasangka. Orang
sering tidak mampu mengendalkan keadaan yang juga dapat terjadi
pada keadaan yang lain. Dengan akal sehat orang cenderung ke
arah perbuatan generalisasi yang terlalu dipaksakan, sehingga hal
itu menjadi suatu prasangka (nuryandi, 2014)..
d. Penemuan kebetulan dan coba-coba
Penemuan secara kebetulan dan coba-coba banyak diantaranya
yang sangat berguna. Penemuan secara kebetulan diperoleh tanpa
direncana, tidak pasti, dan melalui langkah-langkah yang
sistematik dan terkendali. Misalnya, seorang anak terkurung dalam
kamar sedangkan pintunya terkunci, ia bingung dan kebetulan ia
melihat jendela kamar tdak dikunci ia kemudian keluar kamar
melalui jendela (nuryandi, 2014)..
e. Pendekeatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis
Otoritas ilmiah biasanya dapat diperoleh seseorang yang telah
menempuh pendidikan formal tinggi, misalnya Doktor atau
seseorang yang mempunyai pengalaman profesional atau kerja
ilmiah dalam suatu bidang cukup banyak, pendapat mereka
biasanya sering diterima tanpa harus diuji, karena dipandang benar
apa yang meraka katakan. Namum, pendapat otoritas ilmiah tidak
selamanya benar, bila pendapat otoritas ilmiah tidak didasarkan
pada hasil penelitian, namun hanya didasarkan pada pikiran logis
semata (nuryandi, 2014)..
f. Wahyu
Kebenaran berdasarkan wahyu bukanlah disebabkan oleh
penalaran manusia, tetapi diturunkan oleh Allah SWT kepada para
rosul dan nabi. Model-model penemuan kebenaran ini pada
umumnya dilakukan pada kelompok yang memegang teguh ajaran
agamanya, namun dewasa ini sudah banyak ditinggalkan .

Faktor-faktor geografis sebagai penentu bentuk kebudayaan


a. Kondisi Geografis
Wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang
dipisahkan oleh selat dan laut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Kondisi tersebut melahirkan keanekaragaman bahasa,
suku, agama, dan kebudayaan. Keragaman tersebut menjadi kekhasan
dan daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak luar serta memperkaya
kebudayaan nasional. Keanekaragaman ini dapat menjadi sumber
penerimaan negara andalan melalui industri pariwisata. Keadaan
geografis Indonesia dapat menjadi suatu kekuatan dan kesempatan
bagi perkembangan perekonomian kita, dan sebaliknya dapat menjadi
kelemahan dan ancaman bagi perekonomian kita. Jika sumber daya
yang ada di setiap pulau hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat
saja. Dampak positif dari letak geografis Indonesia ini tentu sangat
menguntungkan dalam pertumbuhan ekonomi terutama jika
dimanfaatkan sebagai lalu lintas perdagangan. Namun karena letak
geografis Indonesia yang strategis pula, sejak dulu Indonesia menjadi
arena perebutan pengaruh pihak asing. Demikian pula juga jika masih
banyak pihak luar yang secara ilegal mengambil kekayaan alam
Indonesia di berbagai kepulauan, yang secara geografis memang sulit
untuk dilakukan pengawasan seperti biasa. Dengan demikian dituntut
koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengamankan kepulauan
Indonesia tersebut dari pihak-pihak yang tidak berhak
mendapatkannya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan
tambang dan seperti telah sejarah buktikan, salah satu jenis tambang
kita, yakni minyak bumi pernah menjadikan negara Indonesia
memperoleh dana pembangunan yang sangat besar, sehingga pada saat
itu target pertumbuhan ekonomi kita berani ditetapkan sebesar 7,5 %
( masa Repelita II ). Meskipun saat ini minyak bumi tidak lagi menjadi
primadona dan andalan komoditi ekspor Indonesia, namun Indonesia
masih banyak memiliki hasil tambang yang dapat menggantikan peran
minyak bumi sebagai salah satu sumber devisa negara. Selain minyak
bumi Indonesia juga memiliki hasil tambang lain seperti biji besi,
timah, tembaga, batu bara, gas bumi dan lain-lain.
b. Konsep Daerah Kebudayaan
Daerah kebudayaan adalah penggolongan dengan memasukkan
beberapa kebudayaan yang masing-masing berbeda ke dalam satu
golongan, berdasarkan persamaan sejumlah ciri mencolok dalam
kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ciri-ciri tersebut tidak hanya berupa
unsur-unsur kebendaan seperti alat berburu, alat bertani, senjata, alat
transportasi, dan bentuk ornamen, tetapi juga unsur-unsur yang lebih
abstrak seperti sistem organisasi sosial, dasar mata pencaharian hidup,
sistem perekonomian, upacara keagamaan, dan unsur cara berpikir.
Daerah Kebudayaan merupakan suatu penggolongan yang
dilakukan oleh para ahli antropolo dari berbagai macam suku bangsa
yang beragam kebudayaannya. konsep daearah kebudayaan sebenarnya
merupakan bentuk penggolongan yang mengkelaskan beragam suku
bangsa yang tersebar di daearah atau benua besar kedalam suatu
golongan-golongan bedasarkan persamaan unsur kebudayaan.
c. Konsep Suku Bangsa
Suku bangsa menurut Koentjaraningrat (1989:154) merupakan
kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem
interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya
kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya
serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
Definisi ini cenderung memberi batas yang "padu" seperti
pengertian M. Tumin (1964) mengenai kelompok etnik dalam
Dictionary of Social Science. Di sini Tumin lebih menekankan pada
adanya unsur etnik bawaan (ethnic traits) yang diperoleh lewat
sosialisasi sebagai dasar pengakuan diri, karena menurut Tumin
kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang berada dalam
sebuah sistem sosial dan kebudayaan yang lebih besar dan
mendasarkan pengelompokan diri mereka pada status sosial khusus
karena suatu penurunan ciri etnik bawaan yang dianggap ada.
Hal ini berbeda dengan definisi Theodorson dan Theodorson
(1941) dalam Modern Dictionaty of Sociology. Menurut mereka
kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang memiliki tradisi
kebudayaan dan rasa identitas yang sama sebagai bagian dari
kelompok masyarakat yang lebih besar. Tampaknya pengertian ini
dekat sekali dengan pandangan bahwa suku bangsa tidak lain paroh
dari suatu bangsa yang memiliki identitas yang sama dan diakui oleh
orang luar.
Tokoh antropologi yang terkenal dengan konsep tentang
organisasi tak berwujud (invisible organizations), Abner Cohen (1976)
dalam bukunya Two Dimension of Man, beranggapan bahwa
kelompok etnik adalah suatu kesatuan orang-orang yang secara
bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau
kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang
lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial
bersama, seperti negara.
Kesamaan pemikiran ketiga tokoh asing di atas adalah tentang
kedudukan suku bangsa yang harus dilihat sebagai bagian dari sistem
sosial yang lebih besar. Di Indonesia pengakuan kesukubangsaan
berdasarkan pandangan ini akan lebih mudah kita peroleh dari suku-
suku bangsa yang sudah terintegrasi secara sadar ke dalam bangsa
Indonesia Di dalarn interaksi antara sesama bangsa Indonesia itulah
mereka melihat perbedaan dan kesamaan identitas suku bangsanya
dengan suku bangsa lain. Pengertian ini memungkinkan kita
menggolongkan pula suatu kesatuan sosial dan kebudayaan tertentu ke
dalam urutan tingkat suku bangsa atau sub-suku bangsa (sub-kelompok
etnik). Pertanyaan paling dasar biasanya ditujukan kepada bagaimana
menentukan suatu standar pengukuran kesukubangsaan. Berdasarkan
pendapat Tumin (1964) identitas kesukubangsaan itu antara lain dapat
dicirikan oleh adanya unsur-unsur suku bangsa bawaan (ethnic traits),
yaitu natalitas (kelahiran) atau hubungan darah, kesamaan bahasa,
kesamaan adat istiadat, kesamaan kepercayaan (religi), kesamaan
mitologi dan ikatan totemisme. Mattulada, seorang ahli antropologi
yang mendalami masalah suku bangsa Kalili di Sulawesi Tengah,
mengajukan lima ciri pengelompokan pada suku bangsa ini
(Mattulada, 1989).
Pertama, adanya komunikasi antara sesama mereka, yaitu
bahasa atau dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di
antara mereka. Kedua, pola-pola sosial - kebudayaan yang
menumbuhkan perilaku yang dinilai sebagai bagian dari kehidupan
adat istiadat (termasuk cita-cita dan ideologi) yang dihormati bersama.
Ketiga, adanya perasaan keterikatan antara satu dengan yang lainnya
sebagai suatu kelompok, dan yang menimbulkan rasa kebersamaan di
antara mereka. Keempat, adanya kecenderungan menggolongkan diri
ke dalam kelompok asli, terutama dalam menghadapi kelompok lain
pada berbagai kejadian sosial-kebudayaan. Kelima, adanya perasaan
keterikatan dalam kelompok karena hubungan kekerabatan,
genealogis, dan ikatan kesadaran teritorial di antara mereka.
Jika setiap suku bangsa dicirikan oleh bahasa etnik yang
mereka pakai, maka para ahli linguistik mencatat lebih dari lima ratus
bahasa etnik di Indonesia (Grimes, 1984). Sementara itu penekanan
ciri kesukubangsaan yang bukan hanya pada bahasa etnik dapat
menyajikan jumlah suku bangsa yang lebih banyak lagi, karena dua
atau lebih suku bangsa yang berbeda bisa menggunakan satu bahasa
yang sama.
Seperti bahasa Sunda yang dipakai bukan hanya oleh orang
Sunda Priangan, tetapi juga oleh orang Baduy, Banten, Cirebon, Naga,
dan sebagainya. Seperti juga bahasa Melayu yang dipakai oleh puluhan
suku bangsa. Anggapan sebagian ahli bahwa nama suku bangsa belum
tentu sama dengan nama bahasa etnik perlu mendapat perhatian.
Umumnya suku-suku bangsa di Indonesia dicirikan dan dinamakan
dengan nama bahasa etniknya. Akan tetapi dalam banyak kasus nama
suku bangsa dapat berbeda dengan nama bahasa etniknya. Suku bangsa
Belu dan Dagada di Timor Timur, misalnya, masing-masing memakai
bahasa Tetun dan Fataluku, namun pada masa sekarang nama bahasa
etnik tersebut sering menjadi sebutan bagi masing-masing kelompok.
Orang Toraja di Sulawesi Selatan memakai bahasa yang
dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Loinang, tapi pada masa
sekarang orang hanya tahu bahwa bahasa Toraja adalah bahasa suku
bangsa Toraja. Suku bangsa Batak terbagi-bagi ke dalam beberapa
sub-suku bangsa karena perbedaan dialek dan unsur kebudayaan
tertentu dalam pola kebudayaannya, tetapi dalam hal-hal tertentu batas-
batas kesukubangsaan tersebut hilang dan mereka muncul dari
identitas Batak yang sama. Kompleksitas ciri-ciri etnik inilah yang
antara lain mendorong Barth (1969) memandang perlu adanya
perhatian terhadap batas-batas kesuku-bangsaan sebagai sesuatu yang
bisa bersifat elastis, sesuai dengan kepentingan dan kondisi sosial.
Identitas Kesukubangsaan Istilah suku bangsa mungkin mulai
banyak dipakai di Indonesia sejak tahun enam puluhan, terutama untuk
melengkapi istilah "suku" yang digunakan untuk menyebut kesatuan
hidup dengan ciri-ciri kebudayaan tertentu. Istilah ini menjadi penting
artinya untuk menutupi ruang kosong yang ditinggalkan oleh kesatuan-
kesatuan hidup yang semula dikenal sebagai "bangsa", yaitu ketika
"bangsa Indonesia" muncul sebagai suatu kesatuan hidup pengisi
negara Indonesia.
Dengan demikian posisi "bangsa" yang semula dimiliki oleh
orang Aceh, Batak, Minang-kabau, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Ambon
dan sebagainya beralih menjadi "paroh-paroh bangsa", atau lebih tepat
lagi "suku-suku bangsa" di Indonesia. Kemunculan ciri-ciri kehidupan
sosial-kebudayaan yang menekankan adanya identitas kesukubangsaan
di lingkungan sosial yang lebih besar tersebut sesuai dengan pendapat
Theodorson dan Theodorson (1941), bahwa ini merupakan " bagian
dari kelompok masyarakat yang lebih besar"; pendapat Tumin (1964):
" berada dalam sebuah sistem sosial yang lebih besar"; pendapat
Cohen (1976): " membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih
besar, dan saling berintcraksi dalam suatu kerangka sistem sosial
bersama seperti negara". Sehingga sesuai dengan pandangan Brunner
(1974), bahwa peranan kesuku-bangsaan makin aktif dan menonjol
ketika hubungan sosial antar suku bangsa itu makin meningkat dalam
interaksi suatu bangsa dari sebuah negara seperti Indonesia sekarang.
Pembentukan negara dan bangsa Indonesia tidak menjadikan
masing-masing suku bangsa itu menjadi punah atau tenggelam, karena
masing-masing masih tetap mempertahankan identitas kesukubangsaan
tertentu dalam rangka interaksi mereka dalam lingkungan kesatuan
hidup yang lebih luas. Sejak awal kenyataan tersebut sudah disadari
oleh bangsa Indonesia, sehingga diungkapkan dalam motto kesatuan
bhinneka tunggal ika. Jika identitas kebangsaan ditentukan oleh
adanya nusa, bangsa, dan bahasa kesatuan, maka pada tingkat kesuku-
bangsaan juga dituntut adanya keterikatan emosional seseorang dengan
daerah asal dirinya atau kelompoknya, dengan kesatuan sosial yang
memberinya kedudukan sosial dasar, dan dengan bahasa etnik yang
menjadi alat komunikasi utama dalam kelompok etniknya.
DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan.


Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Nuryandi. 2014. Penemuan Kebenaran Non ilmiah.
http://www.nuryandi.com/2014/05/cara-penemuan-kebenaran-non-
ilmiah.html?m=1. Diakses pada tanggal 11 maret 2017 pukul 10.12
WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep_daerah_kebudayaan. Diakses pada
tanggal 11 maret 2017 pukul 11.53 WIB.
http://ensiklopedisukubangsa.blogspot.co.id/2016/07/konsep-suku-bangsa-
di-indonesia.html. Diakses pada tanggal 11 maret 2017 pukul 12.00
WIB.

Anda mungkin juga menyukai