a. Ciri khas penelitian budaya 1. Penelitian dapat mengikuti paradigma Kualititatif dan kuantitatif Penelitian budaya sebenernya bisa mengikuti paradigma kualitatif dan kuantitatif. Keduanya sama-sama mampu menjelaskan dan atau memahami fenomena budaya. Namun demikian peneliti budaya selama ini justru memilih paradigma penelitian kualitatif. Jika kodrat budaya itu dipaksakan menggunakan paradigma kuantitatif, dimungkinkan ada hal- hal yang tak terangkat. Oleh karena itu, meskipun tidak menolak penelitian kuantitatif, penelitian budaya cenderung ke arah kualitatif. Penelitian kuantitatif yang menggunakan hitungan-hitungan pun boleh dimanfaatkan bagi peneliti budaya, tentu dengan syarat tertentu. Peneliti budaya yang rupa-rupanya kurang menyukai penelitian kuantitatif, lebih di dorong oleh kodrat budaya itu sendiri. Oleh karena itu, fenomena budaya biasanya juga berpa kasus-kasus unik yang kurang memungkinkan diterapkannya penelitian kuantitatif (Endraswara, 2003) B. Konsep Dasar Penelitian Budaya 1. Logika dan Kebenaran Salah satu cibiran terhadap penelitian budaya, adalah tentang ihwal kebenearan. Penelitian budaya yang sering dimanfaatkan penalaran subyektif dan paradigma kualitatif, mengakibatkan pada pemojokkan dan penilaian yang naif terhadap hasil kajuan. Yakni, penelitian budaya diisnyalir kurang memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran penelitian budaya dianggap terlalu mengada-ada, mencari-cari dan khayal. Namun, penelitian budaya seyogyanya juga berusaha keras untuk meyakinkan orang lain bahwa kajian budaya tetap memiliki kadar logika dan kebenaran. Kalaupun masih tetap ada ejekan-ejekan tentang hal ini, mustinya diterima saja sebagai cambuk agar peneliti budaya mampu membuktikan diri secara akurat. Sesungguhnya, logika dan kebenaran dalam peneliti budaya, juga tidak berbeda dengan penelitian lain. Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Memang harus diakui bahwa ada bermacam-macam logika untuk mencari kebenaran, namun tidak semuanya releva bagi penelitian kebudayaan. Macam-macam logika itu adalah: (a) logika formil, artinya upaya pencarian kebenaran dengan mencari relasi antar proposisi, dengan tujuan untuk generalisasi, hal ini jelas kurang relevan bagi penelitian budaya. Karena, penelitian budaya tak memburu generalisasi, melainkan transferabilitas; (b) logika matematik, artinya pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil, logika semacam ini didukung oleh rerata yang pasti dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika ini pun hanya berlaku bagi peneliti budaya yang menganut paham positivistik. Peneliti serupa amat jarang dalam kancah penelitian budaya; (c) logika reflektif, yaitu cara berpikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan dan penjabaran. Tentunya, logika ini berlangsung cepat kilat dan bisa memanfaatkan daya intuisi yang tinggi; (d) logika kualitatif, artinya pencarian kebenaran didasarkan papaparan deskriptif data di lapangan, kualitas kebenaran didasarkan pada realita yang ada; (e) logika linguistik, artinya pencarian kebenaran beradasarkan pemaknaan bahasa, logika ini sering diminati oleh peneliti budaya tafsir (Endraswawra, 2003). Perkembangan penelitian budaya yang ke arah postmodernisme telah meninggalkan permainan logika tradisi, dan ingin mencari kebeneran baru yang lebih orisini. Kendati pendapat semacam ini dalam penelitian budaya belum banyak dikembangkan, namum beberapa penelitian telah mencoba mengarah ke sana. Dalam kaitan ini kebenaran yang dilandasi argumen, imajinasi, dan common sense (akal sehat) akan dianut oleh kaum postmodernisme. Menurut peneliti budaya postmodernisme, kebenaran bersifat plural dan bebas. Dalam mencari suatu kebenaran dari pengetahuan dapat diketemukan melalui proses-proses kebenaran non ilmiah maupun kebenaran ilmiah. Progres kebenaran non ilmiah meliputi: a. Akal sehat Akal sehat menurut Counaut yang dikutip kerlinger (1973 dalam nuryandi, 2014) adalah serangkaian konsep dan bagan yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan. Konsep adalah pertanyaan abtraksi yang digeneralisasikan dan hal-hal khusus. Bagan konsep adalah seerangkat konsep yang dirangkakan dengan dalil-dalil hipotesis dan teori walaupun akal sehat yang berupa konsep dan bagan konsep itu dapat menunjukan hal yang benar, namun dapat juga menyesatkan. b. Pendekatan Intuitif Dalam pendekatan intuitif orang menentukan pendapat mengenai sesuatu hal yang berdasarkan atas “pengetahuan” yang langsung atau didapat dengan cepat melalui proses yang tidak disadari atau tidak dipikirkan terlebih dahulu. dengan intuitif orang memberi penilaian tanpa didahului kesatuan renungan, sehingga pencapaian pengetahuan tersebut kebenarannya sukar untuk dipercaya. Metode yang biasa dipakai dalam hal ini adalah apriori (nuryandi, 2014). c. Prasangka Penemuan pengetahuan yang dilakukan melalui akal sehat kebanyakan diwarnai oleh kepentingan orang yang melakukannya. Hal ini menyebabkan akal sehat mudah berubah prasangka. Orang sering tidak mampu mengendalkan keadaan yang juga dapat terjadi pada keadaan yang lain. Dengan akal sehat orang cenderung ke arah perbuatan generalisasi yang terlalu dipaksakan, sehingga hal itu menjadi suatu prasangka (nuryandi, 2014).. d. Penemuan kebetulan dan coba-coba Penemuan secara kebetulan dan coba-coba banyak diantaranya yang sangat berguna. Penemuan secara kebetulan diperoleh tanpa direncana, tidak pasti, dan melalui langkah-langkah yang sistematik dan terkendali. Misalnya, seorang anak terkurung dalam kamar sedangkan pintunya terkunci, ia bingung dan kebetulan ia melihat jendela kamar tdak dikunci ia kemudian keluar kamar melalui jendela (nuryandi, 2014).. e. Pendekeatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis Otoritas ilmiah biasanya dapat diperoleh seseorang yang telah menempuh pendidikan formal tinggi, misalnya Doktor atau seseorang yang mempunyai pengalaman profesional atau kerja ilmiah dalam suatu bidang cukup banyak, pendapat mereka biasanya sering diterima tanpa harus diuji, karena dipandang benar apa yang meraka katakan. Namum, pendapat otoritas ilmiah tidak selamanya benar, bila pendapat otoritas ilmiah tidak didasarkan pada hasil penelitian, namun hanya didasarkan pada pikiran logis semata (nuryandi, 2014).. f. Wahyu Kebenaran berdasarkan wahyu bukanlah disebabkan oleh penalaran manusia, tetapi diturunkan oleh Allah SWT kepada para rosul dan nabi. Model-model penemuan kebenaran ini pada umumnya dilakukan pada kelompok yang memegang teguh ajaran agamanya, namun dewasa ini sudah banyak ditinggalkan .
Faktor-faktor geografis sebagai penentu bentuk kebudayaan
a. Kondisi Geografis Wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang dipisahkan oleh selat dan laut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kondisi tersebut melahirkan keanekaragaman bahasa, suku, agama, dan kebudayaan. Keragaman tersebut menjadi kekhasan dan daya tarik tersendiri bagi pihak-pihak luar serta memperkaya kebudayaan nasional. Keanekaragaman ini dapat menjadi sumber penerimaan negara andalan melalui industri pariwisata. Keadaan geografis Indonesia dapat menjadi suatu kekuatan dan kesempatan bagi perkembangan perekonomian kita, dan sebaliknya dapat menjadi kelemahan dan ancaman bagi perekonomian kita. Jika sumber daya yang ada di setiap pulau hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat saja. Dampak positif dari letak geografis Indonesia ini tentu sangat menguntungkan dalam pertumbuhan ekonomi terutama jika dimanfaatkan sebagai lalu lintas perdagangan. Namun karena letak geografis Indonesia yang strategis pula, sejak dulu Indonesia menjadi arena perebutan pengaruh pihak asing. Demikian pula juga jika masih banyak pihak luar yang secara ilegal mengambil kekayaan alam Indonesia di berbagai kepulauan, yang secara geografis memang sulit untuk dilakukan pengawasan seperti biasa. Dengan demikian dituntut koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengamankan kepulauan Indonesia tersebut dari pihak-pihak yang tidak berhak mendapatkannya. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan tambang dan seperti telah sejarah buktikan, salah satu jenis tambang kita, yakni minyak bumi pernah menjadikan negara Indonesia memperoleh dana pembangunan yang sangat besar, sehingga pada saat itu target pertumbuhan ekonomi kita berani ditetapkan sebesar 7,5 % ( masa Repelita II ). Meskipun saat ini minyak bumi tidak lagi menjadi primadona dan andalan komoditi ekspor Indonesia, namun Indonesia masih banyak memiliki hasil tambang yang dapat menggantikan peran minyak bumi sebagai salah satu sumber devisa negara. Selain minyak bumi Indonesia juga memiliki hasil tambang lain seperti biji besi, timah, tembaga, batu bara, gas bumi dan lain-lain. b. Konsep Daerah Kebudayaan Daerah kebudayaan adalah penggolongan dengan memasukkan beberapa kebudayaan yang masing-masing berbeda ke dalam satu golongan, berdasarkan persamaan sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ciri-ciri tersebut tidak hanya berupa unsur-unsur kebendaan seperti alat berburu, alat bertani, senjata, alat transportasi, dan bentuk ornamen, tetapi juga unsur-unsur yang lebih abstrak seperti sistem organisasi sosial, dasar mata pencaharian hidup, sistem perekonomian, upacara keagamaan, dan unsur cara berpikir. Daerah Kebudayaan merupakan suatu penggolongan yang dilakukan oleh para ahli antropolo dari berbagai macam suku bangsa yang beragam kebudayaannya. konsep daearah kebudayaan sebenarnya merupakan bentuk penggolongan yang mengkelaskan beragam suku bangsa yang tersebar di daearah atau benua besar kedalam suatu golongan-golongan bedasarkan persamaan unsur kebudayaan. c. Konsep Suku Bangsa Suku bangsa menurut Koentjaraningrat (1989:154) merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Definisi ini cenderung memberi batas yang "padu" seperti pengertian M. Tumin (1964) mengenai kelompok etnik dalam Dictionary of Social Science. Di sini Tumin lebih menekankan pada adanya unsur etnik bawaan (ethnic traits) yang diperoleh lewat sosialisasi sebagai dasar pengakuan diri, karena menurut Tumin kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang berada dalam sebuah sistem sosial dan kebudayaan yang lebih besar dan mendasarkan pengelompokan diri mereka pada status sosial khusus karena suatu penurunan ciri etnik bawaan yang dianggap ada. Hal ini berbeda dengan definisi Theodorson dan Theodorson (1941) dalam Modern Dictionaty of Sociology. Menurut mereka kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang memiliki tradisi kebudayaan dan rasa identitas yang sama sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar. Tampaknya pengertian ini dekat sekali dengan pandangan bahwa suku bangsa tidak lain paroh dari suatu bangsa yang memiliki identitas yang sama dan diakui oleh orang luar. Tokoh antropologi yang terkenal dengan konsep tentang organisasi tak berwujud (invisible organizations), Abner Cohen (1976) dalam bukunya Two Dimension of Man, beranggapan bahwa kelompok etnik adalah suatu kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti negara. Kesamaan pemikiran ketiga tokoh asing di atas adalah tentang kedudukan suku bangsa yang harus dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar. Di Indonesia pengakuan kesukubangsaan berdasarkan pandangan ini akan lebih mudah kita peroleh dari suku- suku bangsa yang sudah terintegrasi secara sadar ke dalam bangsa Indonesia Di dalarn interaksi antara sesama bangsa Indonesia itulah mereka melihat perbedaan dan kesamaan identitas suku bangsanya dengan suku bangsa lain. Pengertian ini memungkinkan kita menggolongkan pula suatu kesatuan sosial dan kebudayaan tertentu ke dalam urutan tingkat suku bangsa atau sub-suku bangsa (sub-kelompok etnik). Pertanyaan paling dasar biasanya ditujukan kepada bagaimana menentukan suatu standar pengukuran kesukubangsaan. Berdasarkan pendapat Tumin (1964) identitas kesukubangsaan itu antara lain dapat dicirikan oleh adanya unsur-unsur suku bangsa bawaan (ethnic traits), yaitu natalitas (kelahiran) atau hubungan darah, kesamaan bahasa, kesamaan adat istiadat, kesamaan kepercayaan (religi), kesamaan mitologi dan ikatan totemisme. Mattulada, seorang ahli antropologi yang mendalami masalah suku bangsa Kalili di Sulawesi Tengah, mengajukan lima ciri pengelompokan pada suku bangsa ini (Mattulada, 1989). Pertama, adanya komunikasi antara sesama mereka, yaitu bahasa atau dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara mereka. Kedua, pola-pola sosial - kebudayaan yang menumbuhkan perilaku yang dinilai sebagai bagian dari kehidupan adat istiadat (termasuk cita-cita dan ideologi) yang dihormati bersama. Ketiga, adanya perasaan keterikatan antara satu dengan yang lainnya sebagai suatu kelompok, dan yang menimbulkan rasa kebersamaan di antara mereka. Keempat, adanya kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli, terutama dalam menghadapi kelompok lain pada berbagai kejadian sosial-kebudayaan. Kelima, adanya perasaan keterikatan dalam kelompok karena hubungan kekerabatan, genealogis, dan ikatan kesadaran teritorial di antara mereka. Jika setiap suku bangsa dicirikan oleh bahasa etnik yang mereka pakai, maka para ahli linguistik mencatat lebih dari lima ratus bahasa etnik di Indonesia (Grimes, 1984). Sementara itu penekanan ciri kesukubangsaan yang bukan hanya pada bahasa etnik dapat menyajikan jumlah suku bangsa yang lebih banyak lagi, karena dua atau lebih suku bangsa yang berbeda bisa menggunakan satu bahasa yang sama. Seperti bahasa Sunda yang dipakai bukan hanya oleh orang Sunda Priangan, tetapi juga oleh orang Baduy, Banten, Cirebon, Naga, dan sebagainya. Seperti juga bahasa Melayu yang dipakai oleh puluhan suku bangsa. Anggapan sebagian ahli bahwa nama suku bangsa belum tentu sama dengan nama bahasa etnik perlu mendapat perhatian. Umumnya suku-suku bangsa di Indonesia dicirikan dan dinamakan dengan nama bahasa etniknya. Akan tetapi dalam banyak kasus nama suku bangsa dapat berbeda dengan nama bahasa etniknya. Suku bangsa Belu dan Dagada di Timor Timur, misalnya, masing-masing memakai bahasa Tetun dan Fataluku, namun pada masa sekarang nama bahasa etnik tersebut sering menjadi sebutan bagi masing-masing kelompok. Orang Toraja di Sulawesi Selatan memakai bahasa yang dianggap sebagai salah satu dialek dari bahasa Loinang, tapi pada masa sekarang orang hanya tahu bahwa bahasa Toraja adalah bahasa suku bangsa Toraja. Suku bangsa Batak terbagi-bagi ke dalam beberapa sub-suku bangsa karena perbedaan dialek dan unsur kebudayaan tertentu dalam pola kebudayaannya, tetapi dalam hal-hal tertentu batas- batas kesukubangsaan tersebut hilang dan mereka muncul dari identitas Batak yang sama. Kompleksitas ciri-ciri etnik inilah yang antara lain mendorong Barth (1969) memandang perlu adanya perhatian terhadap batas-batas kesuku-bangsaan sebagai sesuatu yang bisa bersifat elastis, sesuai dengan kepentingan dan kondisi sosial. Identitas Kesukubangsaan Istilah suku bangsa mungkin mulai banyak dipakai di Indonesia sejak tahun enam puluhan, terutama untuk melengkapi istilah "suku" yang digunakan untuk menyebut kesatuan hidup dengan ciri-ciri kebudayaan tertentu. Istilah ini menjadi penting artinya untuk menutupi ruang kosong yang ditinggalkan oleh kesatuan- kesatuan hidup yang semula dikenal sebagai "bangsa", yaitu ketika "bangsa Indonesia" muncul sebagai suatu kesatuan hidup pengisi negara Indonesia. Dengan demikian posisi "bangsa" yang semula dimiliki oleh orang Aceh, Batak, Minang-kabau, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Ambon dan sebagainya beralih menjadi "paroh-paroh bangsa", atau lebih tepat lagi "suku-suku bangsa" di Indonesia. Kemunculan ciri-ciri kehidupan sosial-kebudayaan yang menekankan adanya identitas kesukubangsaan di lingkungan sosial yang lebih besar tersebut sesuai dengan pendapat Theodorson dan Theodorson (1941), bahwa ini merupakan " bagian dari kelompok masyarakat yang lebih besar"; pendapat Tumin (1964): " berada dalam sebuah sistem sosial yang lebih besar"; pendapat Cohen (1976): " membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, dan saling berintcraksi dalam suatu kerangka sistem sosial bersama seperti negara". Sehingga sesuai dengan pandangan Brunner (1974), bahwa peranan kesuku-bangsaan makin aktif dan menonjol ketika hubungan sosial antar suku bangsa itu makin meningkat dalam interaksi suatu bangsa dari sebuah negara seperti Indonesia sekarang. Pembentukan negara dan bangsa Indonesia tidak menjadikan masing-masing suku bangsa itu menjadi punah atau tenggelam, karena masing-masing masih tetap mempertahankan identitas kesukubangsaan tertentu dalam rangka interaksi mereka dalam lingkungan kesatuan hidup yang lebih luas. Sejak awal kenyataan tersebut sudah disadari oleh bangsa Indonesia, sehingga diungkapkan dalam motto kesatuan bhinneka tunggal ika. Jika identitas kebangsaan ditentukan oleh adanya nusa, bangsa, dan bahasa kesatuan, maka pada tingkat kesuku- bangsaan juga dituntut adanya keterikatan emosional seseorang dengan daerah asal dirinya atau kelompoknya, dengan kesatuan sosial yang memberinya kedudukan sosial dasar, dan dengan bahasa etnik yang menjadi alat komunikasi utama dalam kelompok etniknya. DAFTAR PUSTAKA
Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Nuryandi. 2014. Penemuan Kebenaran Non ilmiah. http://www.nuryandi.com/2014/05/cara-penemuan-kebenaran-non- ilmiah.html?m=1. Diakses pada tanggal 11 maret 2017 pukul 10.12 WIB. https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep_daerah_kebudayaan. Diakses pada tanggal 11 maret 2017 pukul 11.53 WIB. http://ensiklopedisukubangsa.blogspot.co.id/2016/07/konsep-suku-bangsa- di-indonesia.html. Diakses pada tanggal 11 maret 2017 pukul 12.00 WIB.