Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Perkembangan Orkestra di Indonesia

Hadirnya musik orkestra di Indonesia disebabkan oleh adanya kontak dengan bangsa-bangsa
Barat. Pengaruh Barat dalam hal seni telah banyak terjadi seperti yang diungkapkan oleh RM.
Soedarsono berikut ini:

Pengaruh Barat (Eropa) yang berawal sejak datangnya para pedagang Portugis, yang
kemudian disusul oleh hadirnya orang-orang Belanda pada akhir abad XVI, sampai sekarang
bisa kita saksikan dalam berbagai bentuk seni (Soedarsono, 2002: 61).

Kontak awal musik Barat di pulau Jawa dapat diamati dari uraian Sumarsam yang
menyebutkan adanya pelaut-pelaut Eropa yang merapat di pulau Jawa berikut ini:

Pengenalan musik Eropa yang paling awal di Jawa dapat ditelusuri akarnya dari musik yang
dibawa oleh pelayar-pelayar kapal yang singgah di pulau Jawa pada abad XVI. Francis Drake
adalah contohnya, mendarat di pantai selatan Jawa, ia menuliskan dalam buku perjalanannya
bahwa musisi kapal memainkan musik untuk seorang raja (atau penguasa setempat), lalu
seorang raja membalas dengan permainan musiknya. Tidak ada identifikasi musik lokal ini,
apakah gamelan atau ansambel musik yang lain. Musisi kapal terdiri dari 1 pemain trumpet
dan empat orang (kemungkinan pemain gesek). Trumpet adalah instrumen penting di kapal,
untuk tanda-tanda penghormatan. Tahap kedua adalah musik yang dibawa oleh pedagang-
pedagang Portugis . Musik mereka dibawa dan dimainkan oleh budak-budak mereka yang
terdiri dari orang-orang India, Afrika dan Asia Tenggara (Sumarsam, 2003: 94).

Musik Barat juga mengalami perkembangan di lingkungan keraton, sebagaimana


dikemukakan Soedarsono dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi di
bawah ini:

Pengaruh Barat terhadap musik sangat menonjol. Di istana-istana Jawa Tengah (termasuk
Daerah Istimewa Yogyakarta), musik Barat juga menyusup ke ansambel gamelan. Dalam
beberapa komposisi gending atau lagu yang mengiringi tari putri bedaya dan serimpi dari
keraton Yogyakarta, menyusup beberapa instrumen musik Barat, seperti genderang,
trombone, terompet, dan kadang-kadang juga klarinet (Soedarsono, 2002: 61-62).
Pertunjukan musik di Keraton Yogyakarta mengalami kemajuan pesat pada masa
pemerintahan Sultan HB VIII (1921-1939), dengan kehadiran Walter Spies pada akhir
November 1923. Spies mempunyai peran yang sangat besar terhadap perkembangan
kehidupan musikal di Yogyakarta. Spies mendapat pekerjaan tetap sebagai instruktur musik
dan dirigen Kraton Orkest Jogja dengan gaji 100 founsterling per bulan (John Stewell 1980:
21). Selain Kraton Orkest Jogja terdapat pula Orkes Societet de Vereeniging yang didirikan
oleh tahun 1822 oleh pengusaha perkebunan di Yogjakarta. Orkes ini dipimpin oleh Attilio
Genocchi dari Italia dan Carl Gotsch dari Austria (Butenweg 1966: 139-152).
Perkembangan musik orkestra di Indonesia memang mengalami masa pasang-surut, pada
tahun 50-an di Jakarta pernah menjadi jaman keemasan musik orkestra, namun sayang tidak
ada bukti-bukti rekaman maupun catatan fisik tentang musik orkestra tersebut, seperti yang
pernah diutarakan oleh conductor Twilite Orchestra Addie MS dalam pengantar buku Twilite
Orchestra yang ditulis oleh Ninok Leksono (2004). Atas dasar kenyataan inilah Twilite
Orchestra mendapat inspirasi untuk segera membuat album rekaman dan buku tentang
perjalanan Twilite Orchestra selama sepuluh tahun sejak berdirinya.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 membuat keterpurukan di sana-sini,
termasuk kelangsungan hidup musik orkestra. Pada waktu itu Twilite Orkestra tercatat hanya
melakukan konser sekali saja yaitu di Gedung Teater Tanah Airku, TMII, padahal pada
tahun-tahun sebelumnya mampu menggelar konser sebanyak lima kali dalam setahun.Seiring
dengan perkembangan politik dan ekonomi yang semakin membaik, keadaan musik orkestra
juga mengalami pertumbuhan kembali. Beberapa grup orkestra yang lain seperti Nusantara
Symphony Orkestra (NSO) yang dikoordinasi oleh Miranda Goeltom hadir di tengah
masyarakat dengan membawakan repertoar musik klasik Barat, mulai dari komposisi karya
Bach, Mozart dan sebagainya.

Kekayaan suara yang dimiliki orkestra membuat Addie MS tergerak untuk mensosialisasikan
musik simfonik ke kalangan masyarakat yang lebih luas, karena ada anggapan bahwa musik
orkestra identik dengan musik yang hanya dikonsumsi oleh kalangan atas saja. Twilite
Orchestra berusaha menjembatani apresiasi masyarakat menengah ke bawah tentang musik
orkestra dengan menggelar konser-konser di tempat umum seperti di mall, mengunjungi
sekolah-sekolah, kampus-kampus seperti di ITB (Bandung), UGM (Jogjakarta), dan ITS
(Surabaya). Dalam program mengunjungi sekolah-sekolah, para siswa diperkenalkan dengan
alat-alat musik orkestra, seperti biola, cello, contrabass, flute dan sebagainya. Mereka juga
diajarkan secara singkat bagaimana teknik memainkan alat-alat musik tersebut.

Anda mungkin juga menyukai