Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Ilmu
Hadits
Oleh : Kelompok 4
2021/2022
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan, kesempatan dan kekuatan kepada penulis sehinnga penulis dapat
mencurahkan tenaga dan fikirannya dalam menyusun sebuah makalah.
Para pembaca yang budiman dan di rahmati oleh Allah, makalah ini penulis
susun dalam rangka memenuhi salah satu tugas terstruktur dalam mata kuliah ILMU
HADITS yang berjudul “SEJARAH KODIFIKASI HADITS”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena
keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat penulis harapkan dari
para pembaca.
Atas perhatian dan segala saran yang tercurah, penulis mengucapkan terima
kasih. Semoga makalah ini bermanfaat dan bernilai guna bagi para pembaca terutama
bagi penulis sendiri. Amiin.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..............................................................................................7
B. Krtik dan saran .........................................................................................8
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada abad pertama Hijriah belum ada yang dinamakan kodifikasi hadits, para
sahabat dekat sudah mendapatkan hadis dari Rasulullah yaitu dengan mendengarkan
apa yang dikatakannya, perbuatannya, serta menanyakannya langsung kepada
Rasulullah.Pada masa itu pula sahabat dan tabi‟in sudah melakukan penulisan hadits
tapi hadits-hadits tersebut belum ditulis atau dibukukan secara resmi. Barulah pada
awal abad ke-2 Hijriah Proses kodifikasi hadis telah resmi diinstruksikan oleh
Khalifah Umar ibn „Abd al-Aziz yang memiliki sejarah panjang dan tantangan yang
berliku-liku hingga saat ini. Maka dari itulah makalah ini disusun. Disamping itu
adalah untuk memenuhi tugas kelompok dalam mata kuliah ilmu Hadits.
B. Rumusan Masalah
1. Apa sejarah Pengkodifikasian Hadits ?
2. Bagaimana proses kodifikasi hadits pada abad ke II H
3. Bagaimana proses kodifikasi hadits pada abad ke III H
4. Bagaimana proses kodifikasi hadits pada abad ke IV & VH sampai sekarang
C. Tujuan penulisan makalah
1. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi Hadits.
2. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi hadits abad ke II
3. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi hadits pada abad ke III
4. Untuk mengetahui sejarah kodifikasi hadits pada abad ke IV & VH sampai
sekarang
1
BAB II
PEMBAHASAN
At Tadwin atau Kodifikasi hadits menurut bahasa adalah pendewanan hadits atau
pembukuan hadits. Sedangkan menurut terminologi artinya pengumpulan dan
penyusunan hadits yang secara resmi didasarkan perintah khalifah dengan
melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakuan
secara peseorangan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya. Sebagaimana Al-
Qur‟an, hadits juga mengalami proses panjang dalam pembukuannya.
Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis pada periode ini adalah
pembukuan hadis secara resmi yang diabadikan dalam bentuk tulisan atas perintah
seorang pemimpin kepala Negara dengan melibatkan orang-orang yang mempunyai
keahlian dibidangnya. Tidak seperti kodifikasi yang terjadi pada masa Rasulullah
Saw yang dilakukan secara individu atau untuk kepentingan pribadi.
2
B. PEMBUKUAN HADIS PADA ABAD II,III,IV,DAN V H
1. Pembukuan Hadis Pada Abad II H
Secara garis besar, pola penyusunan kitab Hadis yang berkembang pada kurun
waktu abad II H sampai dengan abad IV H dapat dipolakan menjadi empat bentuk
metode penulisan kitab Hadis, yaitu: sunan, mushannaf, jâmi„, dan musnad. Tiga
model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah yang sama yaitu
mengakomodasi kepentingan fikih yang memang menjadi kebutuhan dan lebih dapat
diterima masyarakat Islam pada umumnya. Munculnya kitabkitab Hadis yang
bercorak fiqhî mulai abad II H yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi
pertanda menguatnya pengarusutamaan fikih yang terjadi di kalangan masyarakat
Islam pada saat itu. AlKattânî menyebutkan bahwa sunan adalah kitab Hadis yang
disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya,
terdapat beberapa Hadis yang dinilai mawqûf di dalam kitab-kitab sunan) tidak
memuat riwayat-riwayat yang dinilai mawqûf.
3
Dengan demikian karya ulama pada periode ini masih bercampur aduk rata hadis
dengan fatwa sahabat dan tabi‟in, bahwa kitab-kitab hadis karya ulama-ulama pada
masa ini belum dipiah-pilahantara hadis marfu‟ mauquf, dan maqthu‟, dan diantara
hadis shahih, hasan dan dha‟if.
Pada abad II H ini pula mulai diadakan pemisahan antara hadis tafsir dan hadis
padaumumnya, juga pemisahan hadis sirah dan magaziy.
Abad ke III merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H
kegiatan pentashihan hadis Nabi mulai dilakukan dengan sistematis, yakni
pembukuan hadis yang semata-mata hadis Nabi saa, tidak dicampuri dengan fatwa
sahabat atau thabi‟in. ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah ishaq ibnu
rahawaih. Kemudian dilanjutkan oleh alBukhari, Muslim, Abu Dawud, alTurmudzi,
alNas‟I, Ibnu majah dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka terciptalah
pula syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat,
kediaman, masa dan lain-lain.
Pada masa penyeleksian atau penyaringan hadis ini terjadi pada zaman
pemerintahan Bani Abbasiyah, yakni pada masa tadwin belum bisa memisahkan
hadis mauquf dan maqtu‟ dan hadis marfu‟. Mereka kemudian membuat kaidah-
kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah hadis itu shahih atau dhaif. Para
perawipun tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diselidiki kejujurannya,
kehafalannya dan lain sebagainya. Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan
khalifah Alma‟mun sampai pada awal pemerintahan khalifah Almuqtadir dari
kekhalifahan dinasti abbasuyah. Pada masa ini para ulama memusatkan perhatian
mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadis Nabi Saw
sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadis yang semakin marak.
4
3. Pembukuan Hadis Pada Abad IV dan V H Sampai Sekarang
Perkembangan studi hadits sempat terkendala sejak tahun 656 H hingga 911
H, karena diakibatkan oleh kejumudan umat Islam hingga waktu itu, sampai akhirnya
perkembangan hadis tahun 656 H hingga 911 H mengalami perkembangan kembali
5
dan sudah sampai menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya serta menyusun
kitab-kitab takhrij. Melihat perkembangan Hadits di era sebelumnya yang tidak
begitu signifikan, maka perkembangan hadits mulai di galakan kembali oleh para
ilmuwan hadits dengan sebuah kemasan menarik, hal inilah yang membuat para
ilmuan hadits ingin memasukan kajian hadits dalam era digital hal ini guna
mengembangkan studi hadits di era yang sudah memasuki globalisasi, dengan
mengembangkan keberadaan internet maka tampak hadits akan terlihat menarik, hal
ini sebagaimana melihat manfaat internet yang dapat mempermudah tata kerja dan
mempercepat suatu proses suatu pekerjaan, sehingga segala sesuatu dapat ditemukan
dengan cara praktis dan cepat. Hal ini, juga telah terdahulu dijelaskan oleh
Muhammad alfatih Suryadilaga, Menurutnya memasuki era kekinian, disaat
peradaban manusia sudah berkembang semakin pesat. Mencermati ungkapan seorang
akademi hadits yang produktif di era pasca milenium tersebut, maka sudah sepatutnya
kita sebagai regenarasi selanjutnya memanfaatkan era global dengan kajian hadits.
Adapun para ulama hadis Indonesia pada paruh pertama abad ke- 20, menurut
catatan Daud Rasyid Harun, seorang doktor alumni Timur Tengah, bahwa para ulama
hadis Indonesia pada masa kurun awal itu banyak sekali, tercatat sebanyak 69 orang.
Namun Daud Rasyid tidak menjelaskan secara langsung batasan apa yang dipakainya
sehingga seorang ulama itu termasuk ahli hadis. Barang kali Daud Rasyid memakai
batasan yang paling umum tentang kriteria ulama tempo dulu, yang biasanya
keluasan ilmunya sangat mumpuni, yang hampir saja menguasai berbagai cabang
keilmuan Islam yang sangat banyak itu.Misalnya seorang ulama Indonesia tempo
dulu itu bukan saja ahli tafsir dan fiqh, tetapi dia juga sangat menguasai hadis,
walaupun tidak menyebarkan pengetahuannya itu melalui buku-buku yang ditulisnya,
sehingga tercatatlah para ulama ahli hadis di Indonesia sebanyak itu.
Karena melihat perkembangan hadits sendiri yang sekarang sudah ber era
digital maka sudah semestinya kita harus mengetahui bagaimana cara memanfaatkan
hal itu, terlebih para akademi-akademisi tersebut sudah sebegitu bersemangat
mengembangkan kajian hadits di era digital ini. Peran kita sebagai regenerasi
hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya guna mengembangkan hirroh
kajian hadits menuju era ke-emasan kembali.
6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara garis besar, pola penyusunan kitab Hadis yang berkembang pada kurun
waktu abad II H sampai dengan abad IV H dapat dipolakan menjadi empat bentuk
metode penulisan kitab Hadis, yaitu: sunan, mushannaf, jâmi„, dan musnad. Tiga
model yang pertama pada hakikatnya berada pada wilayah yang sama yaitu
mengakomodasi kepentingan fikih yang memang menjadi kebutuhan dan lebih dapat
diterima masyarakat Islam pada umumnya. Munculnya kitabkitab Hadis yang
bercorak fiqhî mulai abad II H yang kemudian dikenal dengan sebutan sunan menjadi
pertanda menguatnya pengarusutamaan fikih yang terjadi di kalangan masyarakat
Islam pada saat itu. AlKattânî menyebutkan bahwa sunan adalah kitab Hadis yang
disusun berdasarkan urutan tema-tema fikih dan (secara umum karena faktanya,
terdapat beberapa Hadis yang dinilai mawqûf di dalam kitab-kitab sunan) tidak
memuat riwayat-riwayat yang dinilai mawqûf.
Abad ke III merupakan abad didalam periode ke lima. Maka abad ke III H
kegiatan pentashihan hadis Nabi mulai dilakukan dengan sistematis, yakni
pembukuan hadis yang semata-mata hadis Nabi saw, tidak dicampuri dengan fatwa
sahabat atau thabi‟in. ulama yang mempelopori kegiatan ini adalah ishaq ibnu
rahawaih. Kemudian dilanjutkan oleh alBukhari, Muslim, Abu Dawud, alTurmudzi,
alNas‟I, Ibnu majah dan lain-lain. Dari usaha penyelesian tersebut maka terciptalah
pula syarat-syarat perawai yang terdiri dari berbagai segi, yakni keadilan, tempat,
kediaman, masa dan lain-lain.
Setelah berakhirnya kodifkasi hadis pada masa atba‟ atba‟ al tabi‟in proses
pengumpulan hadis masih terus berlanjut. Paling tidak abad IV hingga abad V , di
kalangan orang-orang yang bermadhhab Aswaja, telah disusun beragam kitab hadis
dengan metode dan materi yang beragam. Karena melihat perkembangan hadits
sendiri yang sekarang sudah ber era digital maka sudah semestinya kita harus
7
mengetahui bagaimana cara memanfaatkan hal itu, terlebih para akademi-akademisi
tersebut sudah sebegitu bersemangat mengembangkan kajian hadits di era digital ini.
Peran kita sebagai regenerasi hanyalah memaksimal mungkin dan mengembangkanya
guna mengembangkan hirroh kajian hadits menuju era ke-emasan kembali.
8
DAFTAR PUSTAKA
9
Moh. Muhtador, „SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN
PENDEKATAN SYARAH HADIS‟, Studi Hadis, 2.2 (2016),
hlm. 243
file:///F:/3130-10266-1-SM.pdf
Rusli, Muhammad, and Nazar Husain Hpw, „Problematika Dan Solusi Masa
Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’, 17.1 (2013)
Zuliyanti Anik, Astutik wuri, Dkk, „Proses Kodifikasi Hadits‟, 2015, hlm. 4
10