Anda di halaman 1dari 7

strategi pemeblajaran anak

Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer (sementara)
dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporer meliputi: anak-anak
yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan (anjal),
anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta
anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK
permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis,
ADHD (Attention Deficiency and Hiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak
berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain. Untuk menangani ABK tersebut dalam
setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan strategi khusus. Pendidikan
inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian
mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah
pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan
hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam
pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial,
kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan
anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah
pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses
pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan
belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien.
strategi pembelajaran antara lain: 1) Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi
yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktf; 2) Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu
strategi pembelajaran ekspositorik dan heuristic; 3) Berdasarkan pengaturan guru yaitu
strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu; 4) Berdasarkan jumlah siswa yaitu
strategi klasikal, kelompok kecil dan individual; 5) Beradsarkan interaksi guru dan siswa
yaitu strategi tatap muka, dan melalui media. Selain strategi yang telah disebutkan di atas,
ada strategi lain yang dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan
modifikasi perilaku. Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain: strategi
deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual, kooperatif dan
modifikasi perilaku. Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita Strategi pembelajaran anak
tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak
tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar
anak tunagrahita antara lain: Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan, Strategi
kooperatif, Strategi modifikasi tingkah laku. Strategi pembelajaran bagi anak tunadaksa
Strategi yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian tempat
pendidikan, sebagai berikut: 1) Pendidikan integrasi; 2) Pendidikan segresi; 3) Penataan
lingkungan belajar Kauffman (1985) mengemukakan model-model pendekatan sebagai
berikut; 1) Model biogenetic; 2) Model behavioral/tingkah laku; 3) Model psikodinamika; 4)
Model ekologis; 5) Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery dan
remedial teaching; 6) Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai dengan
tingkat kesalahan; 7) Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi yang
sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret dan tingkat abstrak.
Strategi pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak berbakat akan mendorong anak
tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam meneentukan strategi
pembelajaran adalah: 1) Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat
kompleksitas; 2) Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata tetapi juga
mengembangkan kecerdasan emosional; 3) Berorientasi pada modifikasi proses, content dan
produk. Model-model layanan yang bias diberikan pada anak berbakat yaitu model layanan
perkembangan kognitifafektif, nilai, moral, kreativitas dan bidang khusus.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkebuthan khusus dididik bersama-sama anak lainnya
(reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, anak
berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler
untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Pendidikan inklusif diharapkan dapat
memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus selama ini.

Selain itu, Indonesia yang memiliki semboyan bhinneka tunggal ika yang bermakna berbeda-
beda atau beragam tetapi tetap satu. Keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan
khusus merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras,
bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah dapat
ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak memisahkan
peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya,
atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus terus diwujudkan dalam sistem pendidikan.
Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta
didik yang beragam, , sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh 5
dengan semangat toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.

Menurut saya hubungan sekolah ramah anak dengan sekolah inklusi yaitu sekolah ramah
anak (SRA) memiliki kemudahan desain lingkungan yang inklusif ramah anak, termasuk
kemudahan bagi ABK dan penyandang disabilitas pada umumnya.

Selain itu, terdapat prinsip-prinsip SRA pada pengembangan aksesibilitas sarana dan
prasarana dalam layanan Pendidikan inklusif yang ramah anak.

Ketujuh prinsif tersebut adalah sebagai berikut :

Prinsip 1 : dapat digunakan oleh semua orang. Sebuah desain harus dapat digunakan dan
bermanfaat bagi semua orang termasuk penyandang disabilitas.

Prinsip 2 : fleksibel dalam penggunaannya. Sebuah desain harus dapat mengakomodir


beragam pilihan kenyamanan dan kebutuhan dalam penggunaannya.

Prinsip 3 : mudah digunakan. Sebuah desain harus mudah untuk dipahami bagi semua
pengguna sebagai individu yang memiliki latar belakang pengalaman, pengetahuan,
kemampuan bahasa, dan tingkat pemusatan konsentrasi yang berbeda-beda.

Prinsip 4 : informasi penggunaan yang jelas. Sebuah disain harus dapat memberikan
informasi yang diperlukan secara jelas bagi para penggunanya yang memiliki perbedaan pada
tingkat fungsi dan kondisi alat indera.

Prinsip 5 : toleransi untuk kesalahan. Sebuah desain harus meminimalisir tingkat bahaya dan
konsekuensi kerugian yang ditimbulkan jika terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam
penggunaannya.

Prinsip 6 : tidak memerlukan banyak tenaga fisik dalam penggunaannya.Sebuah disain harus
dapat digunakan secara efisien, nyaman, dan tidak menyebabkan kelelahan pada
penggunanya.

Prinsip 7 : ukuran dan ruang yang tepat. Ukuran dan lebar yang sesuai dalam sebuah disain
ditujukan untuk memberikan kemudahan bagi penggunanya dalam menjangkau, mendekati,
mengembangkan, dan menggunakan terkait dengan ukuran, postur, dan kemampuan
mobilitas pengguna yang berbeda-beda.
1. kegiatan mengenal yang bersifat kasar= identifikasi

Dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus dilakukan untuk
keperluan: penjaringan (screening); pengalihtanganan (referal); dan klasifikasi. Penjaringan
dilakukan terhadap semua anak dikelas. Pada tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak-anak
mana yang menunjukan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anakanak mana yang
mengalami kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong Anak Berkebutuhan Khusus.
Dengan alat identifikasi ini guru, orang tua, maupun tenaga profesional terkait, dapat melakukan
kegiatan penjaringan secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih
lanjut. Berdasarkan gejala-gejala yang dtemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok.

Pertama, ada anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung
ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai.

Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referral) seperti psikolog, dokter,
orthopedagog (ahli PLB), dan atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru. Proses perujukan
anak oleh guru ke tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak yang
bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga profesional tersebut tidak
tersedia dapat diminintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus
(Guru PLB) atau Konselor.

Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah
dirujuk ke tenaga profesional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat
diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga profesional ditemukan
maslaah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus,
dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan.
Jadi guru tidak mengobati dan atau memberi therapy sendiri, melainkan menfasilitasi dan
meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan
membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila
tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan
penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan khusus. Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana Anak Berkebutuhan
Khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti
pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.

Assesmen dilakukan setelah dilakukan proses indetifikasi kepada peserta didik. Asesmen
dipergunakan sebagai dasar pembuatan program bagi peserta didik. Namun sebelum
pembuatan program bagi peserta didik dituangkan dahulu dalam planning matrix untuk
mengetahui baseline peserta didik. Setelah dilakukan assesmen maka dilanjutkan dengan
planning matrix. Planning matrix merupakan simpulan dari hasil asesmen. Planning matrix
adalah mapping deskripsi tentang kondisi ABK secara individu yang menggambarkan tentang
kondisi aktual hambatan karakteristiknya, dampak, strategi layanan dan media yang
diperlukan dalam intervensi.

Prosedur Pengembangan Planning Matrix 

1. Mengkategorikan data hasil asesmen berdasarkan jenis hambatan/ kelaianan peserta


didik berkebutuhan khusus.
2. Membuat tabel mapping peserta didik berkebutuhan khusus berdasarkan jenis
hambatan/kelainannya sesuai dengan temuan asesmen.
3. Menuangkan temuan kondisi aktual karakteristik peserta didik berkebutuhan
khusus pada tabel mapping yang telah dibuat.
4. Menganalisis dampak temuan kondisi aktual peserta didik berkebutuhan khusus dan
dituang pada tabel yang telah dibuat.
5. Menganalisis strategi layanan pada setiap temuan kondisi aktual peserta didik
berkebutuhan khusus dan dituangkan pada tabel yang telah dibuat.
6. Menganalisis skala prioritas layanan berdasarkan berat ringannnya dampak yang telah
dituangkan pada tabel tersebut.

Setiap anak hakekatnya berbeda satu dengan yang lainnya, baik kemampuan di bidang akademik
maupun di bidang nonakademik. Kenyataan ini mengharuskan pendidik dalam mengembangkan
kurikulum perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan peserta didik. Kurikulum yang digunakan
di sekolah inklusif tentu tidak hanya kurikulum umum/reguler. Karena kurikulum regular hanya
cocok untuk anak normal dan memiliki kemampuan homogen. Bagi ABK di sekolah inklusif
seharusnya menggunakan kurikulum khusus yang telah disesuaikan dengan kebutuhan individual
peserta didik ABK. Kurikulum khusus yang seharusnya ada di sekolah-sekolah inklusif dimaksud
sampai sekarang belum ada.

Dengan dikembangkannya “model modifikasi kurikulum untuk sekolah inklusif berbasis kebutuhan
individual peserta didik” diharapkan dapat mengisi kekosongan kurikulum khusus di sekolah reguler
serta mengatasi hambatan implementasi pendidikan inklusif di Indonesia.

Sistem dalam sistem pendidikan (sistem pembelajaran). Bila ada perubahan pada salah satu
subsistem (komponen) maka menuntut perubahan/penyesuaian komponen lainnya. Dalam hal ini,
bila dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input siswa, yakni tidak hanya menampung anak
normal tetapi juga ABK maka menuntut penyesuaian (modifikasi) kurikulum (bahan ajar), peran serta
guru, sarana-prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan, dan kegiatan belajar-
mengajar. Implikasinya, bahwa pendidikan inklusif akan sangat sulit diimplementasikan manakala
komponen-komponen tersebut di atas tidak dilakukan modifikasi. Komponen pendidikan yang paling
berat merasakan adalah komponen tenaga pendidik atau guru. Guru akan sangat sulit melaksanakan
pembelajaran yang bermutu apabila kurikulum tidak dilakukan modifikasi, demikian juga komponen
yang lain perlu diadakan penyesuaian. Mengapa guru yang paling terbebani?. Hal ini karena guru di
sekolah umum tidak dididik dan dipersiapkan untuk melaksanakan pendidikan bagi anak normal.
Sementara itu, di sekolah inklusif dengan kehadiran ABK maka guru akan mengalami kesulitan.
Kesulitan itu akan dapat dieliminasi manakala guru dibantu dengan dipersiapkan kurikulum khusus
bagi ABK, baik ABK tingkat ringan ataupun ABK tingkat sedang.

Guru pembimbing khusus yang ditugaskan langsung atau ditunjuk untuk melaksanakan tugasnya
sebagai guru pembimbing khusus. Terdapat beberapa tugas bagi guru pembimbing khusus
diantaranya, menyelenggarakan administrasi, asesmen, menyusun Program Pendidikan Inklusi,
pengadaan dan pengelolaan alat bantu ajar, pembinaan anak berkebutuhan khusus, memodifikasi
kurikulum, konseling keluarga, pengembangan pendidikan inklusif, dan menjalin hubungan dengan
pihak-pihak pelaksanaan pendidikan inklusif (Rudiyati, 2005:25).

Hal ini juga tercantum dalam PP 17 tahun 2010 Pasal (j) menjelaskan bahwa guru pembimbing
khusus sebagai pendidik pofesional memiliki tugas dan fungsi membimbing, mengajar, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik berkelainan pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan,
dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah, merencang
dan melaksanakan program kekhususan, melakukan proses identifikasi, asesmen dan menyusun PPI,
melakukan modifikasi kurikulum bersama guru kelas atau guru mata pelajaran, melakukan evaluasi
dan tindak lanjut, membuat program dan perkembangan peserta didik berkebutuhan khusus. Tugas-
tugas inilah yang perlu dilaksanakan oleh guru pembimbing khusus untuk memberikan suatu
pelayanan yang optimal bagi peserta didiknya di sekolah inklusif.

Anda mungkin juga menyukai