akibat infeksi SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome- Corona Virus-2). Pada
Desember 2019 kasus pertama COVID-19 dilaporkan terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei,
China. Awalnya terkait dengan wabah pneumonia atipikal dari Pasar Grosir Makanan Laut di
kota Wuhan,China, dimana makanan laut, kelawar, ayam, burung pegar dan hewan lainnya
ditempatkan. Sehingga diasumsikan sebagai penyakit zoonosis. Sejak 18 Desember 2019
sampai dengan 28 Desember 2019 , lima pasien telah dirawat di rumah sakit dengan Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan satu dari pasien tersebut meninggal. Cina
mengidentifkasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru
coronavirus atau novel coronavirus (NCP) jenis betacoronavirus tipe baru sehingga diberi
nama 2019 novel Coronavirus (2019-nCoV). Pada 2 Januari 2020, 41 pasien yang di rawat di
rumah sakit terkonfirmasi secara laboratorium positif COVID-19 dan kurang dari setengah
dari pasien tersebut memiliki penyakit penyerta termasuk diabetes, hipertensi dan penyakit
kardiovaskular. Pasien ini diduga terkena infeksi di rumah sakit (nosokomial), sehingga
disimpulkan bahwa COVID-19 menyebar dari pasien yang terinfeksi di berbagai bagian
rumah sakit melalui mekanisme yang tidak diketahui. Selain itu, hanya pasien yang memiliki
gejala klinis yang dilakukan pemeriksaan, sehingga kemungkinan terjadi penyebaran
penyakit namun tidak menimbulkan gejala klinis. Pada tanggal 11 Februari 2020, WHO
memberi nama virus baru tersebut Severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS-
CoV-2) dan nama penyakitnya sebagai Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Penelitian
lebih lanjut mengatakan bahwa penyakit ini menyebar langsung dari manusia ke manusia
melalui aerosolisai. Pada 22 Januari 2020 terdapat total kasus 571 yang dilaporkan pada 25
provinsi (distrik dan kota) di China. Komisi Kesehatan Nasional China melaporkan 17 kasus
kematian pada 22 Januari 2020. Pada 25 Januari 2020 sebanyak 1975 kasus terkonfirmasi
positif COVID-19 di daratan China dengan total 56 kematian. Laporan lain mengatakan
bahwa pada 24 Januari 2020, kasus positif COVID-19 sebanyak 5502 kasus. Pada 30 Januari
2020, 7734 kasus telah dikonfirmasi di Tiongkok dan 90 kasus lainnya juga telah dilaporkan
dari sejumlah negara termasuk Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka,
Kamboja, Jepang, Singapura, Republik Korea, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Filipina,
India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman, dengan tingkat kematian kasus
menjadi 2,2%. Semenjak itu, penyakit ini dengan cepat menyebar ke 188 negara, dan
dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO pada tanggal 11 Maret 2020. Indonesia merupakan
cluster bagi penyakit menular, mulai dari difteri dan influenza hingga malaria. Pada 2 Maret
2020, dua orang di Indonesia terkonfirmasi positif COVID-19. Pada 21 Mei 2020 terjadi
peningkatan 973 kasus baru, dengan total kasus positif mencapai 20,162 kasus.
Perburukan pada COVID-19 selain karena adanya badai sitokin dan kerusakan organ
paru, juga disebabkan karena adanya penyakit penyerta (komorbid) dan karena adanya
keadaan immunocompromised. Penyakit penyerta yang memperburuk keadaan COVID-19
antara lain adalah asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan penyakit interstitial
paru. Selain itu, penyakit komirbit yang paling mematikan adalah Fibrosis Paru Idiopatik,
dimana penyakit ini menyebabkan fungsi paru menurun dan menyebabkan kegagalan
pernapasan. Fibrosis paru dapat berkembang setelah peradangan kronis atau proses
fibroproliferasi primer, seperti pada fibrosis paru idiopatik (IPF). Fibrosis paru adalah salah
satu gejala sisa ARDS. Data menunjukkan bahwa sekitar 40% pasien COVID-19 berisiko
ARDS, dan 20% kasus ARDS berat. Penyakit paru interstitium ireversibel fibrotik progresif
ditandai dengan penurunan fungsi paru, meningkatnya fibrosis pada CT scan, gejala dan
kualitas hidup yang memburuk. Dalam studi tindak lanjut awal pasien dengan SARS, 15
(62%) dari 24 pasien memiliki bukti CT fibrosis paru pada 37 hari pasca perawatan dari
rumah sakit. Kondisi paru restriktif serupa dapat ditemukan pada pneumonitis
hipersensitivitas, penyakit autoimun, dan penyakit paru interstitium yang diinduksi oleh obat.
Pasien yang membutuhkan rawat inap di ICU dengan SARS memiliki fungsi paru yang
secara signifikan terbatas pada 6 bulan setelah onset penyakit dibandingkan dengan 6 bulan
setelah perawatan bangsal. Kelainan paru restriktif dapat memengaruhi gangguan toleransi
aktivitas dan kualitas hidup penderita yang buruk setelah masa penyembuhan sehingga
pasien yang terinfeksi COVID-19 dan mengalami gejala ARDS kemudian sembuh
menunjukkan adanya perubahan dari faal paru serta gambaran radiologis. Perlu adanya
penelitian mengenai hubungan faal paru terhadap derajat keparahan saat terinfeksi COVID-
19 di Indonesia, khususnya di Sumatera Barat masih belum banyak dilakukan. Hal tersebut
yang mendasari perlu dilakukannya penelitian untuk melihat hubungan gambaran faal paru
pasien paska COVID-19 yang dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri dengan derajat
keparahan penyakit pada pasien COVID-19 di RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Epidemiologi
Provinsi di Indonesia yang memiliki kasus COVID-19 terbanyak adalah DKI Jakarta
(246.303 kasus), Jawa Barat (123.048 kasus), Jawa Tengah (113.489 kasus), Jawa Timur
(105.261 kasus) dan Sulawesi Selatan (44.478 kasus). Jika dilihat dari sebaran menurut jenis
kelamin, per tanggal 23 Januari 2021, Perempuan sebanyak 50,4% dan Laki-laki sebanyak
49,6% yang positif COVID-19. Sedangkan jika dilihat dari kelompok umur, pasien positif
COVID-19 paling banyak pada usia 31-45 tahun (30,1%), pasien yang sembuh juga berkisar
pada rentang usia yang sama (30.8%) dan kasus meninggal paling banyak terjadi pada
rentang usia 60 tahun (45,9%).
Gambar 3. Persebaran Kasus COVID-19 menurut Jenis Kelamin di Indonesia (per tanggal 23 Januari 2021)
Gambar 4. Persebaran Kasus COVID-19 menurut usia di Indonesia (per tanggal 23 Januari 2021)