Anda di halaman 1dari 2

Anak merupakan aset bangsa dan masyarakat yang merupakan generasi penerus yang

memiliki cita-cita dan harapan kedepan untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu sudah
sepatutnya bahwa anak-anak harus mendapatkan perlindungan orang tua, keluarga,
masyarakat dan negara.
Kekerasan seksual tidak dapat didefinisikan dalam arti sempit saja yakni suatu tindakan yang
hanya bersifat fisik, namun meliputi banyak aspek perilaku lainnya, misalnya berupa
penganiayaan psikologis dan penghinaan, sehingga ketika berbicara masalah kekerasan
seksual haruslah menyentuh pada inti kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya tertuju pada
perilaku yang keras dan menekan.
Kalau kekerasan seksual hanya diartikan sempit pada perilaku yang keras dan menekan,
janganlah heran apabila banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak lepas dari
tuntutan pengadilan.
Hukum di tuntut untuk dapat memberikan perhatian yang khusus bagi kepentingan anak,
dalam hal ini dapat menanggulangi tindak kekerasan seksual yang banyak dialami oleh anak-
anak Indonesia.
Agar dapat berjalan dengan baik maka perlu dilakukannya penegakkan hukum bagi pelaku
tindak kekerasan seksual sehingga dapat memberikan efek jera dan meminimalisir tindak
kekerasan seksual terhadap anak-anak. Penegakkan hukum merupakan kebijakan dalam hal
penanggulangan kejahatan, dalam hal ini dimaksudkan tentang tindak kekerasan seksual.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan, sudah sepantasnya pelaku
tindak kejahatan seksual dijatuhi sanksi pidana dan sanksi sosial sekaligus.
"Daripada menyuntik predator berulang kali sebatas untuk mematikan berahi, lebih baik
berikan satu injeksi yang membuat predator mati, yaitu sanksi pidana maksimal," ujar Reza
dalam keterangan tertulis, Kamis (26/5/2016).
Dia menambahkan untuk sanksi sosial bersifat pemberatan yang dapat dilakukan adalah
pemberian rajah pada bagian tubuh yang terbuka pada predator seksual.

Reza juga menyatakan variasi lain adalah mengeluarkan public notice (atau nota publik),
terutama terkait predator yang tidak lama lagi akan mengakhiri masa hukumannya.
Foto dan ciri-ciri si predator seksual, jumlah korbannya, serta waktu kejadian dapat
disebarluaskan melalui poster, media massa, dan media sosial.

Pada public notice itu dicantumkan pula nomor hotline yang dapat dihubungi masyarakat
sewaktu-waktu si predator menampilkan gelagat mencurigakan atau mengkhawatirkan.
"Nantinya polisi pun bisa menunjuk personelnya yang secara khusus bertugas sebagai
pemantau si predator sekaligus sebagai pihak penghubung dengan masyarakat," ungkap dia.
Reza melanjutkan tujuan sanksi sosial semacam itu adalah membangun kesadaran yang
mendalam di masyarakat, tak terkecuali anak-anak. Sehingga, andai tidak mungkin
menghukum predator selama-lamanya di dalam penjara, paling tidak upaya proteksi bagi
masyarakat dapat diperkuat.
para pelaku juga dikenakan sanksi sosial berupa penyebaran indentitas. Sebelumnya,
penyebaran identitas pelaku disebutkan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa telah
berhasil menekan pelaku kejahatan seksual di sejumlah negara, satu di antaranya adalah di
Swedia.
Pelaku juga dipasangkan alat deteksi khusus untuk melacak keberadaannya. Adapun isi
ganjaran tersebut tertuang dalam ayat 6 dan ayat 7. "(6) Selain dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku."

Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara
seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara, dan minimal 10 tahun penjara. Perppu juga
mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta
pemasangan alat deteksi elektronik.
Hukuman tambahan ini menyasar pelaku kejahatan seksual berulang, beramai-ramai, dan
paedofil atau terhadap anak di bawah umur. Perppu itu nantinya disampaikan ke DPR untuk
dikaji kembali.
Di sisi lain, para pelaku kejahatan seksual (pemerkosaan) di beberapa kasus pelakunya adalah
anak-anak, seperti kejadian di atas, bahkan kesadisan sang pelaku yang masih anak-anak
yang dalam UU SPPA disebut dengan "anak yang berkonflik dengan hukum yang
menekankan penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif" melebihi kesadisan orang
dewasa.
Pertanyaannya apakah "PANTAS" pelaku-pelaku kejahatan kekerasan seksual yang
pelakunya adalah anak diberlakukan penyelesaian dengan pendekatan "KEADILAN
RESTORATIF", hal tersebut menjadi pemikiran bagi kita semua, terutama kepada
Pemerintah dan DPR selaku lembaga yang diberikan amanat oleh negara untuk membuat
regulasi, untuk mengkaji kembali UU SPPA, karena menurut pandangan penulis bahwa
disatu sisi UU SPPA terlalu banyak memberikan perlakukan khusus kepada anak sebagai
pelaku sedangkan UU Perlindungan Anak ingin memberikan perlindungan yang maksimal
kepada anak yang menjadi korban terutama korban kekerasan seksual dengan hukuman yang
seberat-beratnya.
Dengan demikian mereka yang melakukan tindak kekerasan seksual diberikan sanksi
(hukuman) pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai bentuk kebijakkan
hukum atas kejahatan yang dilakukannya. Tingkah laku manusia yang jahat , immoril, dan
antisosial itu membuat masyarakat marah dan menimbulkan kejengkelan di kalangan
masyarakat dan sangat merugikan umum.

Anda mungkin juga menyukai