Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MK KEWARGANEGARAAN

MENCEGAH RADIKALISME DIKALANGAN PEMUDA

TUGAS INDIVIDU

Disusun Oleh :

Benita Rika Hawani


202010235021

DOSEN PENGAJAR :

Roland H SH, MKn

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA
RAYA 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Di
dalam makalah ini terdapat penjelasan tentang peran Pancasila dan pendidikan
kewarganegaraan dalam rangka membendung/mencegah radikalisme dibidang agama,
politik, sosial, dan pertahanan keamanan dikalangan pemuda, dengan itu diharapkan
para pembaca dapat memahami dan dapat menjadikan makalah ini sebagai pedoman.
Semoga kami dapat memberikan sedikit pengetahuan. Dan kami berharap seluruh
generasi muda Indonesia menjadi penerus bangsa yang berwawasan luas dan siap
bersaing di negara lain. Dan makalah ini dapat selesai sesuai dengan rencana berkat
bantuan dari semua pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak
secara langsung sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Tidak lupa saran dan kritik yang bersifat membangun agar pekerjaan yang kami
buat dapat berguna dimasa mendatang.

Bekasi, 26 Oktober 2021

Benita Rika Hawani


KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang.......................................................................................................1
2. Rumusan Masalah..................................................................................................1
3. Tujuan....................................................................................................................1
4. Manfaat..................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI

1. Makna Radikalisme...............................................................................................2

BAB III PEMBAHASAN

1. Pengertian Radikalisme.........................................................................................2
2. Kemunculan Radikalisme......................................................................................3
3. Fakta-fakta Aksi Kekerasan dan Implikasinya Dalam Masyarakat.......................4
4. Peran Ideologi Pancasila Untuk Membentengi Diri dari Radikalisme..................4
5. Membentengi Pemuda dari Radikalisme...............................................................6

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan............................................................................................................7
2. Saran......................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kita mengenal Indonesia sebagai negara pluralis, di mana kemajemukan hadir dan
berkembang di dalamnya. Sebut saja, suku, ras, budaya, bahkan agama. Kemajemukan
yang terjadi di Indonesia pun tidak terlepas dari kemajuan di berbagai bidang ilmu yang
menyentuh berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kemajemukan itu telah
membawa akibat yaitu adanya perjumpaan yang semakin intensif antar kelompok-
kelompok manusia. Salah satunya adalah pergesekan yang seringkali terjadi di antara
agama-agama yang berbeda. Ketika keyakinan terhadap suatu agama itu cenderung
dimutlakkan maka akan sangat berpotensi pada timbulnya pergesekan atau ketegangan.
Apabila hal itu tidak segera diatasi maka semakin lama akan terjadi benturan yang
mengakibatkan terpecah belahnya serta perusakan-perusakan kehidupan manusia serta
mengancam kemajemukan yang telah ada. Ketika memfokuskan pada agama, maka
sesungguhnya ada fenomena yang menarik dalam hubungan antar umat beragama di
Indonesia.
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia.
Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu
kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok-
kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan
sekaligus juga heterogen “aneka ragam” (Kusumohamidjojo, 2000:45)”. Sebagai negara
yang plural dan heterogen, Indonesia memiliki potensi kekayaan multi etnis, multi
kultur, dan multi agama yang kesemuanya merupakan potensi untuk membangun negara
multikultur yang besar “multikultural nation- state”.Berdasarkan data sensus
Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape,
Institute of Southeast Asian Studies.
Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin dari uraian tersebut diikat dalam
prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita kenal dengan semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” yang mengandung makna meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi
terintegrasi dalam kesatuan. Kemajemukan yang terintegrasi dalam kesatuan merupakan
keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Bersatu dalam perbedaan harus disadari oleh
setiap orang sebagai suatu kekuatan dan kerukunan beragama, berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, kemajemukan terkadang membawa berbagai persoalan dan potensi konflik
yang berujung pada perpecahan. Pada dasarnya, bukan hal yang mudah mempersatukan
suatu keragaman tanpa didukung oleh kesadaran masyarakat multikultural.
Fenomena menarik karena sebagian besar masyarakat Indonesia senantiasa
mengkondisikan dirinya dalam hubungan mayoritas-minoritas, apalagi ketika hal itu
dikaitkan dengan urusan agama. Hal itu sudah terbukti dalam sejarah perjalanan bangsa
yang panjang serta pengalaman-pengalaman konkrit yang hadir dalam realitas
masyarakat Indonesia. Realitas itu nampak kembali melalui peristiwa-peristiwa
kemanusiaan yang kini tengah dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi fenomena sekaligus bukti
nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun dihilangkan. Radikalisme
keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi
kekerasan dan teror. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi dan energi
kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama
sekali tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog
telah digelar untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai dari pencarian sebab hingga
sampai pada penawaran solusi, namun tidak juga kunjung memperlihatkan adanya suatu
titik terang.
Fenomena tindak radikalisme dalam agama memang bisa dipahami secara
beragam, namun secara esensial, radikalisme agama umumnya memang selalu dikaitkan
dengan pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok
agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu.
Dengan demikian, adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya
menyebabkan konsep dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik.
Apalagi realitas yang saat ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sangat mendukung dan semakin memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka kami merumuskan beberapa
pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Menelaah kembali makna radikalisme.
2. Mengetahui cara pencegahan radikalisme di kalangan pemuda
3. Kemunculan radikalisme dan factor-faktor multidemonsional yang
mengintegrasi dengan aksi kekerasan
4. Seberapa penting pengetahuan tentang radikalisme
1.3 Tujuan
Tujuan kami menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Pancasila, dan juga untuk berbagi pengetahuan tentang betapa pentingnya
mengetahui dan mencegah radikalisme di kalangan anak muda.
1.4 Manfaat
Melalui makalah ini kami berharap agar pembaca:
1. Dapat memahami arti radikalisme.
2. Memahami pengertian dan dapat mencegah radikalisme.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Makna Radikalisme

Kata radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang
artinya akar (pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah
mengetahuinya dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas kembali,
berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman, dan
makna-makna lainnya. Kata ini dapat dikembangkan menjadi kata radikal, yang berarti
lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang berpikir radikal
pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam, layaknya akar tadi, serta
keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya. Memang terkesan tidak umum, hal
inilah yang menimbulkan kesan menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan
sufiks –isme sendiri memberikan makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah
faham, dan keyakinan atau ajaran. Penggunaannya juga sering disambungkan dengan
suatu aliran atau kepercayaan tertentu.

Radikalisme merupakan salah satu paham yang berkembang di masyarakat


yang menuntut adanya perubahan dengan jalan kekerasan. Jika ditinjau dari sudut
pandang keagamaan, radikalisme dapat diartikan sebagai sifat fanatisme yang sangat
tinggi terhadap agama yang berakibat terhadap sikap penganutnya yang menggunakan
kekerasan dalam mengajak orang yang berbeda paham untuk sejalan dengan paham
yang mereka anut. Meningkatnya radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi
fenomena sekaligus bukti nyata yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun
dihilangkan. Radikalisme keagamaan semakin meningkat di Indonesia ini ditandai
dengan berbagai aksi kekerasan dan teror. Aksi teror tersebut telah menyedot banyak
potensi dan energi kemanusian serta telah merenggut hak hidup orang banyak termasuk
orang yang sama sekali tidak mengerti permasalahan ini. Salah satu bentuk radikalisme
yang mengatasnamakan agama adalah adanya organisasi garis keras seperti Al Qaeda,
dan ISIS.
Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher memberikan
komentarnya tentang radikalisme bemakna positif, yang memiliki makna tajdid
(pembaharuan) dan islah (peerbaikan), suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Hingga
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara para pemikir radikal sebagai seorang
pendukung reformasi jangka panjang.
Dari sini, dapat dikembangkan telisik makna radikalissme, yaitu pandangan / cara
berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan perdamaian
lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya dapat hidup rukun
dan tenteram.
Namun demikian, dalam perkembangannya pemahaman terhadap radikalisme itu
sendiri mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut pandang yang
digunakan, masyarakat umum hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal
lakukan (dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak pernah berusaha mencari apa yang
sebenarnya mereka cari (perbaikan). Hal serupapun dilakukan oleh pihak pemerintah,
hingga praktis pendiskriminasian terhadap paham yang satu ini tak dapat dielakkan.
3.1 Pengertian Radikalisme
B B III
A PEMBAHASAN

Radikalisme dalam artian bahasa berarti paham atau aliran yang mengingikan
perubahan atau pembaharuan social dan politikdengan cara kekerasan atau drastis.
Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam
mengusung perubahan. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti
dari perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan.
Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan
sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam
merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari
perdamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik.
Dawinsha mengemukakan defenisi radikalisme menyamakannya dengan
teroris.Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya.
Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut.
defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa radiklisme itu mengandung sikap jiwa yang
membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan
kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan
bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.

3.2 Kemunculan Radikalisme

Kata radikal itu sendiri berasal dari bahasa latin radix yang berarti akar (pohon)
Dan fundamentalisme bermakna dasar dan inti, fundamentalisme islam dengan
demikian adalah dasar dan inti ajaran islam. Gerakan ini dapat berada di wilayah
akademik, politis, bahkan ekonomis. Fundamentalis dengan radikal memang saling
berkaitan, keduanya memiliki kesamaan arti yang sama-sama bermakna inti, kelompok
radikalisme muncul dengan di landaskan fundamentalis.
Sesungguhnya, sejarah munculnya fundamentalisme apabila di lacak secara
akademis baru tumbuh sekitar abad ke-19 dan terus mengemuka sampai sekarang.
Dalam
tradisi barat sekuler hal ini di tandai keberhasilan industrialisasi pada hal-hal positive di
satu sisi tetapi negative disisi yang lain. Apa yang negative, yaitu munculnya perasaan
kekosongan jiwa, kemurungan hati, kehampaan, dan ketidakstabilan perasaan.
Iwan gunawan menyebutkan zaman fundamentalisme dengan istilah zaman ironi,
dimana sikap yang di tonjolkan adalah sedih melihat teman senang dan merasa senang
melihat teman sedih.
Sesungguhnya, sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok
fundamentalisme dalam islam lebih di rujuk karena dua factor, yaitu:
1. Faktor internal
Faktor internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam melakukan
“perlawanan” itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan
maupun teks “cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme
islam” yang merebak hampir di seluruh kawasan islam (termasuk indonesia) juga
menggunakan teks- teks keislaman (Alquran, hadits dan classical sources- kitab kuning)
sebagai basis legitimasi teologis, karena memang teks tersebut secara tekstual ada yang
mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini. Seperti ayat-ayat
yang menunjukkan perintah untuk berperang seperti; Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
Keadaan tunduk. (Q.S. Attaubah: 29).
Menurut gerakan radikalisme hal ini adalah sebagai pelopor bentuk tindak
kekerasan dengan dalih menjalankan syari’at , bentuk memerangi kepada orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan lain sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok
fundamentalis dengan bentuk radikal juga sering kali menafsirkan teks-teks keislaman
menurut “cita rasa” mereka sendiri tanpa memperhatikan kontekstualisasi dan aspek
aspek historisitas dari teks itu, akibatnya banyak fatwa yang bertentangan dengan hak-
hak kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris islam sebagai
agama pembebas manusia dari belenggu hegemoni. Teks-teks keislaman yang sering
kali di tafsirkan secara bias itu adalah tentang perbudakan, status non muslim dan
kedudukan perempuan.
Faktor internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang
mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam
internasional” sehingga pelampiasannya dengan cara anarkis, mengebom fasilitas publik
dan terorisme.
Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor
sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan
yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor
emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut). Hal ini terjadi pada
peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel terhadap Palestina, kejadian
ini memicu adanya sikap radikal di kalangan umat islam terhadap Israel, yakni
menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat beroperasi dalam hal ekspor
dan impor.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal terdiri dari beberapa sebab di antaranya : Pertama, dari aspek
ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai
fundamental islam. Itu artinya, rezim di negara-negara islam gagal menjalankan nilai-
nilai idealistik islam. Rezim-rezim itu bukan menjadi pelayan rakyat, sebaliknya
berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan menyengsarakan rakyat. penjajahan Barat
yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan, terutama setelah
ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang. Satu ideologi yang
kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”. industrialisasi dan
ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara berperang inilah yang
sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran fundamentalisme islam.
Karena itu, fundamentalisme dalam islam bukan lahir karena romantisme tanah (seperti
Yahudi), romantisme teks (seperti kaum bibliolatery), maupun melawan industrialisasi
(seperti kristen eropa). Selebihnya, ia hadir karena kesadaran akan pentingnya realisasi
pesan- pesan idealistik islam yang tak dijalankan oleh para rezim-rezim penguasa dan
baru berkelit dengan faktor-faktor eksternal yaitu ketidakadilan global.

Kedua, faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang
mendominasi kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh
besar yang harus dihilangkan dari bumi.
Ketiga, faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan
masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya
radikalisme di kalangan umat islam.

3.3 Fakta-Fakta Aksi Kekerasan dan Implikasinya Dalam Masyarakat

Berbicara tentang radikalisme, lebih-lebih fundamentalisme, tak mungkin


menafikan adanya aksi-aksi yang memang berasaskan kekerasan, pemankasaan, bahkan
pembinasaan. Salah satunya adalah Pemboman-pemboman yang dilakukan di Paris
oleh kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai islam bersenjata telah
memperburuk ketegangan-ketegangan di Prancis dan menambah jumlah dukungan
untuk mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai dengan budaya Prancis, entah
itu budaya yahudi- kristen atau budaya sekuler, dan apabila muslim dapat menjadi
warga negara Prancis yang sejati dan loyal. Penasehat menteri dalam negeri tentang
imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini, memang benar-benar terdapat ancaman Islam di
Prancis itu adalah bagian dari gelombang besar fundamentalisme muslim dunia.
Di tengah-tengah perdebatan Prancis terhadap suatu kecenderungan untuk melihat
islam sebagai agama asing, menempatkannya sebagai agama yang bertolak belakang
dengan tradisi Yahudi-Kristen. Sementara banyak orang menekankan proses asimilasi
yang menyisakan hanya sedikit ruang untuk pendekatan multikultural, sebagian yang
lain berpendapat bahwa muslim harus diizinkan untuk mengembangkan identitas
muslim Prancis yang khas yang mencampur antara nilai-nilai asli ke-Prancis-an, dengan
akidah dan nilai-nilai islam.
Realita lain yang dikenal sebagai awal berkibarnya bendera perang terhadap
terorisme oleh AS, yaitu peristiwa 11 September yang merontokkan Gedung WTC dan
Pentagon merupakan tamparan berat buat AS. Maka agar tidak kehilangan muka di
dunia internasional,rezim ini segera melancarkan “aksi balasan” dengan menjadikan
Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya (maaf kambing hitamnya!).
Jika benar “benturan peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi
AS (dan Inggris) ke Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat Kristiani.
Faktanya ribuan rakyat (entah Kristen atau bukan) di berbagai belahan dunia Barat
justru menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab ini. Begitu
ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut mengutuknya. Meskipun
reaksi
di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak simpati terhadap peristiwa 11
September itu. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, rakyat di sana tidak pernah
menikmati kemajuan sekalipun sumber daya alam mereka yang sudah habis dikuras.
China juga bersikap kurang lebih sama dengan Amerika Latin ini. Pasalnya mereka
justru menganggap adalah AS sendiri yang bersikap hostile karena surplus perdagangan
bilateral memang berada di pihak China. Akhirnya China, oleh AS, justru dianggap
sebagai pesaing strategis ketimbang mitra strategis dalam ekonomi.

3.4 Peran Ideologi Pancasila Untuk Membentengi Diri Dari Radikalisme

Pancasila yang notabene merupakan pegangan hidup Bangsa Indonesia kini mulai
terkikis seiring pesatnya perkembangan Teknologi dan kuatnya arus Informasi di Era
Globalisasi saat ini. Pemerintah juga sekarang ini tengah sibuk terhadap masyarakat
yang bepergian ke Syria terkait ISIS. Padahahal seharusnya jika nilai-nilai Pancasila ini
diserap baik oleh Bangsa Indonesia maka tidak perlu takut terhadap faham-faham
Radikalisme seperti ISIS, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat
fleksibel terhadap perkembangan zaman namun tetap memiliki Ciri khas tersendiri.
Pancasila diera globalisasi merupakan tantangan baru bangsa ini. Arus informasi
yang semakin cepat sehingga paham-paham dunia barat USA dan Eropa sangat mudah
diakses oleh masyarakat Indonesia. Liberalisme yang dianut oleh dunia barat kini
merambat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai dampak negative globalisasi.
Ideologi Pancasila sebenarnya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman, hanya saja nilai-nilai yang terkandung didalamnya tidak terjiwai oleh
masyarakat Indonesia itu sendiri. Sehingga Paham Riberalis dan Radikalis bisa dengan
mudahnya menembus pemikiran bangsa ini. Banyak yang berpandangan bahwa
Pancasila identik dengan Orde baru (Orba), maka setelah runtuhnya Orba nilai luhur
Pancasila juga ikut runtuh.
Padahal Pancasila sebagai idiologi bangsa ini sangatlah penting difahami dan
dijiwai. Sebab nilai-nilai yang secara tersirat maupun tersurat memiliki tujuan yang
mulia dan dapat membawa bangsa ini kedalam peradaban yang baik. Ketika kita mampu
menjiwai Pancasila, tidak perlu takut dengan faham radikal dan riberal yang meracuni
pemikiran kita. Sebab Pancasila telah merumuskan nilainya sendiri mengenai “MAU
DIBAWA KEMANA BANGSA INI KEDEPANNYA”.
Saat ini MPR tengah sibuk mensosialisasikan 4 Pilar Berkehidupan Berbangsa
dan Bernegara yang mana terdiri dari Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan
NKRI. Ini memang harus ditanamkan sejak dini kepada anak cucu bangsa ini
kedepannya. Dan ini bukan hanya menjadi tugas MPR, tetapi tugas kita bersama selaku
warga Negara yang baik dan menjujung tinggi Idiologi Pancasila.

3.5 Membentengi Pemuda dari Radikalisme

Tak bisa dipungkiri, pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa
depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit
kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksi terorisme mulai
dari Bom Bali- 1, Bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,
hingga aksi penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora,
melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom di JW
Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus SMA.
Fakta di atas diperkuat oleh riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan
Perdamaian (LaKIP). Dalam risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011,
LaKIP menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam
aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Bahkan yang mengejutkan, belasan
siswa menyetujui aksi ekstrem bom bunuh diri tersebut.
Rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi
keprihatinan kita bersama. Banyak faktor yang menyebabkan para pemuda terseret ke
dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang
damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan,
kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai
kearifan lokal oleh arus modernitas negatif. Apapun faktor yang melatari, adalah tugas
kita bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme dan terorisme. Untuk
membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme,
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya pencegahan
melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan dengan
membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan
anti radikal-terorisme
bagi ormas, Training of Trainer (ToT) bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta
sosialiasi kontra radikal terorisme siswa SMA di empat provinsi.
Di bawah ini upaya-upaya kongkrit yang sejatinya ada beberapa hal yang patut
dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan pemuda.
1. Memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan
pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila,
UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan
kewarganegaraan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan
menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti
toleransi antar- umat beragama, kebebasan yang bertanggung jawab, gotong
royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar-warga masyarakat.
2. Mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di
bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan-
kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan
aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari
pengaruh ideologi radikal terorisme.
3. Memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak
mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di
lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesan-
pesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun
ceramah-ceramah keagamaan.
4. Memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari
para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya
yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadi role
model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para pemuda.
Berbagai upaya dan pemikiran di atas penting dan mendesak untuk dilakukan.
Kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum terhadap para pelaku terorisme
semata. Tapi, kita patut bersyukur, upaya-upaya tersebut telah dan sedang dilakukan,
baik pemerintah maupun masyarakat sipil seperi tokoh agama, akademisi, pemuda,
organisasi masyarakat, serta media massa.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan


manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan
secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang
sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep
dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para
pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi kekerasan apabila
terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik.
Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang
transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya menghukum yang sangat
bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.
Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya
pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah
dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun
masyarakat. Pendidikan dan pelajaran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat
formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain
itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan
kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga
diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi
pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas. Karena Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga tidak
patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada
yang namanya radikalisme.
Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri memerintahkan umatnya untuk saling
menghormati dan menyayangi serta bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun
orang itu penganut agama lain.
4.2 Saran
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan
sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari makalah ini masih bersifat umum, oleh
karena itu kami harapkan agar pembaca bisa mencari sumber yang lain guna
membandingkan dengan pembahasan yang kami buat, guna mengoreksi bila terjadi
kelasahan dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kasnawir, Apriawan. “Peran Ideologi Pancasila Untuk membentengi diri dari
Radikalisme”. 2015.
2. Media Pusat, Damai. “Membentengi Pemuda dari Radikalisme dan Terorisme”.
2013.
3. Zacky, “Pengertian Radikalisme”. 2013.
4. Mulyadi.(2017). Peran Pemuda Dalam Mencegah Paham Radikalisme. (Disertai
Doktoral, Universitas PGRI Palembang, 2017) Diakses dari
https://jurnal.univpgri-
palembang.ac.id/index.php/Prosidingpps/article/view/1457

Anda mungkin juga menyukai