Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KONSEP UMUM FIQIH MUNAKAHAT


Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu dan Dipresentasikan

Pada Mata Kuliah Fiqih Tafsir Ahkam 3 Di Semester 5-D

Dosen Pengampu :

Zainul Mustofa, M.Pd.I

Disusun Oleh :
Deden Wisnu Rakil Saputra

PRODI S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
AL URWATUL WUTSQO – JOMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji dan syukur kami ungkapkan kepada Allah swt atas segala rahmat dan hidayah
yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita, sehingga makalah ini dapat Saya selesaikan,yang
membahas tentang Peradilan Islam.
Selanjutnya, Shalawat dan salam kami sanjungkan kepada Rasulullah SAW dan para
sahabat beliau yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam penuh ilmu
pengetahuan.
Saya berterima kasih kepada dosen pembimbing Zainul Mustofa, M.Pd.I selaku
dosen mata kuliah ”Fiqih (Tafsir Ahkam) 3” yang telah memberikan tugas ini.
Semoga makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita tentang “

JOMBANG, 16 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................i

Daftar Isi.........................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1

C. Tujuan..................................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Munakahat.........................................................................................2
B. Perceraian............................................................................................................3
C. Tujuan Pernikahan...............................................................................................3
D. Macam macam pernikahan sebelum islam ( Jahiliyah )......................................3

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fiqih Munakahat adalah aturan hukum tentang pernikahan (mulai dari aqad
nikah hingga aturan tentang berumah tangga). Fiqih Munakahat meliputi uraian ketentuan
tentang, antar lain: syarat-rukun nikah, perjanjian nikah, hak dan kewajiban suami istri,
dan putusnya Pernikahan serta akibat hukumnya.

Berbicara masalah pernikahan ,pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan


suci. Untuk itu, menikah tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena ini merupakan
bentuk ibadah terpanjang dan selayaknya dapat dijaga hingga maut memisahkan.

Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua insan untuk membangun biduk
rumah tangga saja. Pernikahan adalah ibadah yang penting dan sakral dalam ajaran
Islam. Pernikahan merupakan ikatan atau kesepakatan janji yang dilaksanakan dua orang
untuk meresmikan hubungan Pernikahan. Dalam bahasa Arab, pernikahan berasal dari
kata al-nikah yang memiliki arti watha’ yakni jimak atau hubungan seksual. Selain itu,
kata al-nikah juga memiliki makna akad yang berarti ikatan atau kesepakatan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Munakahat ?
2. Apa itu perceraian ?
3. Apa saja macam macam pernikahan sebelum islam ?

C. TUJUAN
1. Agar Mengetahui Apa Pengertian Dan Dasar Hukum Pernikahan ?
2. Agar Mengetahui Apa itu perceraian ?
3. Agar Mengetahui Apa saja macam macam pernikahan sebelum islam ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Munakahat
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi mempunyai arti majazi
(mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan
seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. (Hanafi). Fiqih
munakahat terdiri dari dua kata, yaitu fiqih dan munakahat. Berikut penjelasan dari fiqih,
munakahat.

1. Fiqih

Fiqih adalah salah satu termasuk dalam bahasa arab yang terpakai dalam
bahasa sehari-hari orang arab dan ditemukan pula dalam Al-Qur’an, yang secara
etimologi berarti“paham”. Dalam mengartikan fiqih secara etimologi terdapat
beberapa rumusan yang meskipun berbeda namun saling melengkapi. Dalam definisi
ini “fiqih diibaratkan” dengan “ilmu” karena memang dia merupakan satu bentuk dari
ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dengan prinsip dan metodologinya. Dalam
literatur berbahasa Indonesia fiqih itu biasa disebut Hukum Islam yang secara definitif
diartikan dengan: “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu ilahi dan penjelasanya
dalam sunah Nabi tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
mengikat untuk semua yang beragama Islam”. Dengan pengertian ini fiqih itu
mengikat untuk semua ummat Islam dalam arti merupakan kewajiban umat Islam
untuk mengamalkanya. Mengamalkanya merupakan suatu perbuatan ibadah dan
melanggarnya merupakan pelanggaran terhadap pedoman yang telah ditetapkan oleh
Allah.

2. Munakahat

Kata “munakahat” termasuk yang terdapat dalam bahasa Arab yang berasal
dari akar kata na-ka-ha, yang dalam bahasa Indonesia kawin atau perkawinan. Kata
kawin adalah terjemahan dari kata nikah dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi
berarti mengawini, dan menikahkan sama dengan mengawinkan yang berarti
menjadikan bersuami. Dengan demikian istilah pernikahan mempunyai arti yang sama
dengan perkawinan. Dalam fiqih Islam perkataan yang sering dipakai dalam nikah
atau zawaj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin.
Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki adalah bersenggama (wathi’) sedang
pengertian majazinya adalah akad. Kedua pengertian tersebut diperselisihkan oleh
kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut berimplikasi pada penetapan hukum
peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil perzinaan.

16 Abdur Rahman Ghazali 2008 fiqih munakahat, (jakarta:kencana)

3. Hukum melakukan perkawinan

Asal hukum melakukan perkawinan itu menurut pendapat sebagian besar para
fuqaha (para sarjana Islam) adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan) hal ini
didasarkan kepada: A. Q. IV: 1 Garis Hukum b Berbaktilah kamu kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta untuk menjadi pasangan hidup. َBَّ ‫رب ان ً َس إ ِم ْعنَا ِن ُ ِ نَادي ِل ِإلی َم‬
‫ِ َ ْن ُم ِ نَادیا ی ُوا ْم ْ أ ِ ُك ِآمن ّ َّ ِ َرب َّنَا َآم ب ن َ ا ب َنَا ِف ْر َر ف ُوب َنَا ن َ ْ اغ ل ّ ْر ف‬

Artinya: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada
iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka Kamipun beriman. Ya Tuhan
Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami kesalahan-
kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.(QS. Ali
Imran 3; Ayat 193)

7 https://yuliantihome.wordpress.com>2011 diakses hari rabu 2/08/2017, 16:02 WIB

a. Jangan kamu nikahi perempuan yang bersuami (poliandri)


ْ ُ‫م ْح َص ُ نَات ّ ِم َن ِ َساء َوال َّ الن َ َك ْت َم إ‬

‫ا اء َ ُكم َوأ َ ذ ْ أ ُوا ْمَو ب ِال ُكم ِ تَبْتَغ ِ َ ین َ م ْح‬tt‫ك ِكتَ ّ� ُ ِح َّل َ ن ِل ُكم َو َر ْ ل َّم‬tt‫ل ْم َ ُ ْی‬tt‫ل ُ ُ ْكم أ ِ َیْم َ اب ان َع‬tt‫ا ِال َ َم‬
‫ِصن َغ َیْر أ ُّ ِ ِح َ ین َما ُم ِھ ُم َساف َ ْعت َ ْمت َ ْ است ُ َّن ُھ َّن ِ ف ُوھ َآت ُ ُج َور ب ِ ْمن ُھ َّن ف ً أ َ ِر َ یضة َ ال ِ َیما م َ ُ یْك‬
ِ ً ۲٤َ﴿ ‫ُج َ نَاح ْم َو ف ُ َعل ف َ ْ ِعد َ یض ِة ِ تَ ِھ َر َ اضیْت َ ِر ب ِمن ب ِ ال َّن ْف ّ� َك َ ان َ إ ً َح ِكیما‬
‫﴾علیما‬
Artinya: dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(QS. Annisa Ayat 24)

b. Dihalalkan bagi kamu menikahi perempuan selain yang telah nyata nyata
Artinya: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anakanakmu yang
perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak- anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An-Nisa
Ayat 23)

Asal hukum melakukan nikah (perkawinan) yang mubah (ibahah) tersebut dapat berubah-
ubah berdasarkan sebab-sebab (‘illahnya) kausanya, dapat beralih menjadi makruh, sunat,
wajib dan haram

a. Hukumnya Menjadi Makruh, berdasarkan ‘Illahnya (sebab-sebabnya yang khusus)

Seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar


untuk nikah, walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup
sehingga kalau dia kawin hanya aka membawa kesengsaraan hidup istri dan anak-
anaknya, maka makruhlah baginya untuk kawin. Tetapi andai kata dia kawin juga
tidak berdosa atau tidak pula berpahala sedangkan apabila dia tidak menikah dengan
pertimbangan kemaslahatan itu tadi maka dia mendapat pahala. Ditinjau dari sudut
wanita yang telah wajar untuk kawin (nikah) tetapi ia meragukan dirinya akan akan
mampu mematuhi dan menaati suaminya dan mendidik anak-anaknya, maka makruh
baginya untuk menikah. Makruh menikahi pria yang belum mampu mendirikan
rumah tangga dan belum mempunyai niat untuk kehendak untuk nikah.

B. Perceraian
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Perceraian berasal daria kata cerai, yang berarti pisah dan talak, sedangkan
kata talak sama dengan cerai, kata mentalak berarti menceraikan16. Dengan
pengertian ini berarti kata talak sama artinya dengan cerai atau menceraikan, istilah
kata talak dan cerai inipun dalam bahasa Indonesia sudah umum dipakai oleh
masyarakat kita dengan arti yang sama. Menurut hukum Islam talak dapat berarti:

a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatannya dengan


ucapan tertentu.

b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.

c. Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang


sepandan dengan itu.

Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai beberapa macam hukum sesuai
dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga tersebut, adakalanya wajib, mubah,
makruh, dan haram. Adapun penjelasan secara terperinci mengenai hukum talak ini: 18

a. Wajib, suami menjatuhkan talak kepada isterinya apabila ada kasus:

1. Syiqaq, yaitu pertengkaran yang tidak dapat diselesaikan oleh siapapun.

2. Suami tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin kepada istri, begitupun
sebaliknya.

3. Suami bersumpah li’an kepada isterinya yaitu tidak mau jimak (bersetubuh)
dengan isterinya.

16W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum, Op.,Cit, h. .200

17Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bina Cipta, 1996), h.73.

18Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 252
b. Sunnah, apabila isteri tidak dapat menjaga kehormatannya dan tidak dapat
menjalankan perintah-perintah agama walaupun sudah berulang kali diperingatkan
tetapi tidak ada perubahan sama sekali.

c. Mubah, yaitu apabila suami ada kebutuhan isteri kurang tanggap atau pergaulan
mereka kurang harmonis.

d. Makruh, yaitu jika suami menjatuhkan talak kepada isteri yang saleh dan berakhlak
yang baik, karena hal demikian bisa mengakibatkan isteri dan anaknya terlantar dan
akan menimbulkan kemudaratan.

e. Haram, yaitu suami yang mentalak isterinya dalam keadaan haid atau isteri sudah
suci tetapi sudah dicampuri lagi oleh suaminya19

2. Rukun dan Syarat Perceraian


Terdapat beberapa rukun yang harus ada serta beberapa syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat terjadinya perceraian, yaitu:

a. Suami yang sah akad nikah dengan isterinya, disamping itu suami dalam keadaan:

1. Baligh, sebagai suatu perbuatan hukum, perceraian tidak sah dilakukan oleh orang
yang belum baligh

2. Berakal sehat, selain sudah baligh suami yang akan menceraikan isterinya juga
harus mempunyai akal yang sehat.

9Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, op.cit, h. 208.

4. Atas kemauan sendiri, perceraian yang dilakukan karena adanya paksaan dari
orang lain bukan atas dasar atas kemauan dan kesadarannya sendiri adalah
perceraian yang tidak sah.

3. Bentuk-bentuk Perceraian
Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami ruju’ kembali kepada
isterinya setelah ditalak, maka perceraian ini ada dua bentuk, yaitu:

a. Talak raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya sebagai talak
satu atau talak dua. Tetapi apabila isterinya berstatus masih dalam iddah talak raj’i, maka
suami boleh rujuk kepada isterinya tanpa akad nikah yang baru, mahar yang baru, bahkan
menurut Imam Malik tidak perlu memberikan persaksian.

20Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), jilid VII, h. 364.

21M. Noor Matdawam, Pernikahan, Kawin Antar Agama, Keluarga Berencana, Ditinjau dari Hukum Islam dan Peratura
Pemerintah RI, (Yogyakarta: Bina Karier, 1990), h.64.

22Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam, op.cit, h. 168

b. Talak ba’in, talak ba’in ialah talak yang berakibat hilangnya hak mantan suami
untuk kembali kepada isterinya baik dalam masa iddah atau setelah habis masa iddahnya,
kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru. Talak ba’in ini dibagi menjadidua macam,
yaitu Talak ba’in sugra dan kubro.

Talak ba’in sugra adalah talak yang kurang dari tiga dan menghilangkan kepemilikan
suami terhadap istri, tetapi tidak menghilangi kehalalannya untuk kembali menikah.
Sedangkan Talak ba’in kubro yaitu talak ketiga dan menghilangkan kepemilikan suami
terhadap istri serta menghilangi kehalalannya untuk kembali menikah, kecuali mantan istri
menikah kembali

23Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), h.176

C. Tujuan Pernikahan

yang pertama disebutkan surat ar-Rum [3] ayat 21 adalah sakinah (litaskunu) yakni
diam atau tenang setelah sebelumnya goncang. Pernikahan dapat melahirkan ketenangan
batin dan ketenteraman baik dari segi fisik maupun psikologis.

Tujuan Menikah dalam Islam Menurut Alquran dan Hadis :

Dalam agama Islam, pernikahan merupakan ibadah yang mulia dan suci. Untuk itu,
menikah tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah
terpanjang dan selayaknya dapat dijaga hingga maut memisahkan.
Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua insan untuk membangun biduk
rumah tangga saja. Ada beberapa tujuan pernikahan yang seharusnya dipahami oleh umat
Muslim. Berdasarkan Alquran dan hadis Nabi, inilah tujuan menikah dalam Islam.

1. Menjalankan perintah Allah

Tujuan menikah dalam Islam yang utama ialah untuk menjalankan perintah Allah.
Dalam Alquran surat An Nuur ayat 32, Allah memerintahkan hamba-Nya agar menikah dan
tak mengkhawatirkan soal rezeki sebab Allah akan mencukupkannya.

ِ ‫َوأَن ِكحُوا ْاألَيَا َمى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َمآئِ ُك ْم إِن يَ ُكونُوا فُقَ َرآ َء يُ ْغنِ ِه ُم هللاُ ِمن فَضْ لِ ِه َوهللاُ َو‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  (QS. An Nuur: 32)

2. Menyempurnakan separuh agama

Salah satu keutamaan menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama. Mengapa
demikian? Para ulama menjelaskan bahwa yang umumnya merusak agama seseorang adalah
kemaluan dan perutnya. Nikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan
kemaluan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

ِ َّ‫ فَ ْليَت‬، ‫إِ َذا تَزَ َّو َج ال َع ْب ُد فَقَ ْد َك َّم َل نَصْ فَ ال ِّد ْي ِن‬
ِ ْ‫ق هللاَ فِي النِّص‬
‫ف البَاقِي‬

"Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya,


bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi)

3. Melaksanakan sunnah Rasul

Tujuan menikah dalam Islam adalah untuk menjauhkan diri dari zina. Selain itu, menikah
merupakan perintah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah. Dengan menikah, artinya kita
telah melaksanakan salah satu sunnah Rasul. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata
Rasulullah bersabda:

َ ‫نَّتِي فَلَي‬t‫نَّتِ ْي فَ َم ْن لَ ْم يَعْمَلْ بِ ُس‬t‫ “النِّكَا ُح ِم ْن ُس‬:‫لَّ َم‬t‫ ِه َو َس‬t‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬
‫وا فَإِنِّي‬tt‫ْس ِمنِّي َوتَ َز َّو ُج‬ َ ِ ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هَّللا‬:‫ت‬ ْ َ‫ع َْن عَائِ َشةَ قَال‬
‫صيَ ِام فَإ ِ َّن الصَّوْ َم لَهُ ِو َجا ٌء” رواه ابن ماجه‬ ِّ ‫ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ْم اأْل ُ َم َم َو َم ْن َكانَ َذا طَوْ ٍل فَ ْليَ ْن ِكحْ َو َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد فَ َعلَ ْي ِه بِال‬
"Menikah itu termasuk dari sunnahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia
tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat-
umat yang lainnya, siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan siapa yang
tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu tameng
baginya.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam ajaran Islam, secara umum setiap muslim disunahkan untuk melaksanakan
pernikahan. Namun hukum menikah ini nantinya bersifat tentatif sesuai kondisi masing-
masing individu. Oleh karena itu, bagi seorang muslim sebaiknya ia mengevaluasi dirinya
berdasarkan norma tersebut tentang apakah ia sudah layak untuk menikah atau belum agar
tidak terjadi problem-problem di kemudian hari.

Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

ُ‫ ْو ِم فَإِنَّه‬F ‫الص‬
َّ ِ‫ستَ ِط ْع فَ َعلَ ْي ِه ب‬
ْ َ‫ َو َمنْ لَ ْم ي‬،‫ج‬ َ ‫ص ِر َوأَ ْح‬
ِ ‫صنُ لِ ْلفَ ْر‬ ُّ ‫ فَإِنَّهُ أَ َغ‬،‫ستَطَا َع ِم ْن ُك ُم ا ْلبَا َءةَ فَ ْليَتَ َز َّو ْج‬
َ َ‫ض لِ ْلب‬ ْ ‫ب َم ِن ا‬
ِ ‫شبَا‬
َّ ‫ش َر ال‬
َ ‫يَا َم ْع‬

‫لَهُ ِو َجا ٌء‬.

Artinya:

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka
menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena
shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

D. Bentuk Pernikahan pada Zaman Jahiliyah


Selain mengokohkan bangunan tauhid, Islam juga hadir menyempurnakan ajaran-
ajaran umat sebelumnya sekaligus menghapus tradisi-tradisi buruk mereka. Salah satunya
adalah tradisi buruk dalam pernikahan masyarakat jahiliyah. Lantas seperti apakah tradisi dan
praktik pernikahan di zaman jelang Nabi diutus itu?  Dalam al-Hawi al-Kabir, al-Mawardi
menuturkan, ada empat bentuk pernikahan pada zaman jahiliyah, yakni: (1) pernikahan al-
wilâdah, (2) pernikahan al-istibdhâ‘, (3) pernikahan al-rahth, dan (4) pernikahan al-râyah
(lihat: al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr, jilid 9, hal.
Keempat bentuk pernikahan ini berdasarkan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan al-
ِ َّ‫ فَنِكَا ٌح ِم ْنهَا نِكَا ُح الن‬:‫أَ َّن النِّكَا َح فِي ال َجا ِهلِيَّ ِة كَانَ َعلَى أَرْ بَعَ ِة أَ ْنحَ ا ٍء‬ 
Bukhari dalam Shahîh-nya.  ‫اس اليَوْ َم‬
Artinya, “Sesungguhnya pernikahan pada zaman jahiliyah ada empat bentuk. Satu bentuk di
antaranya adalah pernikahan seperti orang-orang sekarang,” (HR al-Bukhari).  Pertama,
pernikahan al-wilâdah. Dalam pernikahan ini, seorang laki-laki atau seorang pemuda datang
kepada orang tua sang gadis untuk melamarnya. Kemudian ia menikahinya disertai dengan
maharnya.
Ini merupakan pernikahan yang dibenarkan karena bertujuan untuk mendapatkan
keturunan. Dan pernikahan ini pula yang pernah disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam salah satu haditsnya,
“Aku dilahirkan dari sebuah pernikahan (yang dibenarkan), bukan dari perzinaan.”
Karena memang Allah senantiasa mengantarkan bakal nabi-Nya dari tulang rusuk yang
cerdas kepada rahim yang bersih (lihat: al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr, jilid 9, hal. 6). 
Kedua, pernikahan al-istibdhâ‘. Dalam pernikahan ini, seorang suami meminta istrinya
pergi kepada laki-laki terpandang dan meminta dicampurinya. Setelah itu, si suami
menjauhinya dan tidak menyentuhnya lagi hingga terlihat hamil oleh laki-laki tersebut. Hal
itu dilakukan semata karena menginginkan keturunan yang bagus dan luhur. 
Ketiga, pernikahan al-rahth. Dalam pernikahan ini, sekelompok laki-laki—kurang dari
sepuluh orang—bersama-sama menikahi satu orang perempuan dan mencampurinya. Setelah
hamil dan melahirkan, si perempuan mengirim utusan kepada mereka. Tak ada satu pun di
antara mereka yang menolak datang dan berkumpul. Di hadapan mereka, si perempuan
mengatakan, “Kalian tahu apa yang terjadi di antara kalian denganku. Kini aku telah
melahirkan. Dan ini adalah anakmu, hai fulan (sambil menyebut namanya).” Si perempuan
menasabkan anaknya kepada seorang laki-laki dan laki-laki itu tidak bisa menolaknya. 
Keempat, pernikahan al-râyah. Dalam pernikahan ini, sejumlah laki-laki datang ke tempat
para perempuan sundal. Sebagai tandanya, perempuan-perempuan itu menancapkan bendera
(al-râyah) di depan pintu rumah mereka. Sehingga, siapa pun laki-laki yang melintas dan
menginginkannya, tinggal masuk ke dalam rumah. Jika salah seorang perempuan itu hamil
dan melahirkan, para laki-laki tadi akan dikumpulkan. Mereka akan membiarkan seorang
qa’if, seorang yang pandai mengamati tanda-tanda anak (dari turunan siapa). Setelah itu, sang
qa’if akan menasabkan anak tersebut kepada seorang laki-laki yang juga disetujui si
perempuan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bisa menolak anak tersebut.

Di penghujung hadits itu, ‘Aisyah menyatakan:


َ ‫الجا ِهلِيَّ ِة ُكلَّهُ إِاَّل ِن َك‬
ِ ‫اح النَّا‬
‫س اليَ ْو َم‬ َ ‫اح‬ َ ‫سلَّ َم ِب‬
َ ‫ َه َد َم نِ َك‬،ِّ‫الحق‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫فلَ َّما بُ ِع َث ُم َح َّم ٌد‬
Artinya, “Ketika diutus membawa kebenaran, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
membatalkan semua pernikahan jahiliyah itu kecuali pernikahan seperti yang dilakukan
orang-orang sekarang.”  Tiga bentuk terakhir dari pernikahan di atas kemudian diharamkan
dalam syariat Islam. Hanya saja, dalam al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
ditambahkan satu bentuk lagi pernikahan yang diharamkan dalam syariat, yaitu pernikahan
syighar, yakni seorang laki-laki menikahkan putri atau saudari perempuannya dengan laki-
laki lain, dengan tujuan agar dirinya bisa menikahi putri laki-laki lain tersebut tanpa mahar
(lihat: Tim Kementerian Perwakafan dan Urusan Keislaman, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah [Darus Salasil: Kuwait], 1427 H, cetakan kedua, jilid 41, 326).  Demikianlah
bentuk-bentuk pernikahan pada zaman jahiliyah. Semoga menjadi pelajaran bagi kita semua
sekaligus bisa menjauhi praktik-praktik pernikahan ala jahiliyah yang diharamkan syariat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebuah pernikahan bukan hanya persoalan menyatukan dua insan dan dua hati,
melainkan juga persoalan menunaikan tujuan pernikahan itu sendiri, yakni menyempurnakan
agama, melaksanakan titah ilahi serta sunah nabi dalam rangka menjaga keturunan, meraih
kebahagiaan, dan lain sebagainya. Tujuan pernikahan ini penting untuk ditegaskan agar setiap
pasangan bisa mengingatnya dan mewujudkannya.

Dalam ajaran Islam, secara umum setiap muslim disunahkan untuk melaksanakan
pernikahan. Namun hukum menikah ini nantinya bersifat tentatif sesuai kondisi masing-
masing individu. Oleh karena itu, bagi seorang muslim sebaiknya ia mengevaluasi dirinya
berdasarkan norma tersebut tentang apakah ia sudah layak untuk menikah atau belum agar
tidak terjadi problem-problem di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

16 Abdur Rahman Ghazali 2008 fiqih munakahat, (jakarta:kencana)

16W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum, Op.,Cit, h. .200

17Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di


Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta, 1996), h.73.

18Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 252

20Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), jilid VII, h.
364.

21M. Noor Matdawam, Pernikahan, Kawin Antar Agama, Keluarga Berencana, Ditinjau dari Hukum
Islam dan Peratura Pemerintah RI, (Yogyakarta: Bina Karier, 1990), h.64.

22Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam, op.cit, h. 168

23Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), h.176

al-Mawardi, al-Hâwî al-Kabîr, jilid 9, hal. 6). 


[Darus Salasil: Kuwait], 1427 H, cetakan kedua, jilid 41, 326).
7 https://yuliantihome.wordpress.com>2011 diakses hari rabu 2/08/2017, 16:02 WIB

Anda mungkin juga menyukai