Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH DOSEN PENGAMPU

Hukum Perkawinan di Indonesia Abdul Kadir Syukur, Lc. M.Ag

Putusnya Perkawinan

Disusun Oleh: Kelompok 6

Ahmad Rasyid : 180102010129

Husnul Khatimah : 180102010026

Norman Maulana : 180102010024

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI

FAKULTAS SYARIAH

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

TAHUN AKADEMIK 2020/2021


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan
karuniaNya kepada kita semua dan tidak lupa pula sholawat serta salam kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Putusnya Perkawinan”. Adapun penyusunan makalah ini untuk memenuhi nilai tugas dalam
mata kuliah Hukum Perkawinan di Indonesia. Kami berharap dengan adanya makalah ini
dapat menambah wawasan kita semua dan bisa dijadikan tolak ukur pencapaian pemahaman
khususnya didalam pembahasan hukum perkawinan di Indonesia
Kami menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini, Karena itu
saya sangat menginginkan pendapat serta saran dari para pembaca makalah ini sehingga
dapat menyempurnakan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu selama
proses penyusunan makalah ini.

Banjarbaru, 18 Maret 2021

Kelompok 6 sdsdd

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................
C. Tujuan Masalah .................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................
A. Pengertian putusnya perkawinan ........................................................................
B. Macam-macam perceraian .................................................................................
C. Akibat hukum perceraian ...................................................................................
D. Keabsahan perceraian dalam kajian positif hukum Indonesia .............................
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN .............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam
ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidan) untuk
menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan
merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya, tujuan perkawinan
diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk
suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan, kenyamanan bagi suami istri serta
anggota keluarga. Islam dengan segala kesempurnaanya memandang perkawinan adalah
suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena Islam memandang perkawinan
merupakan kebutuhan dasar manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan
perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan. Di samping itu perkawinan adalah
merupakan sarana yang terbaik untuk mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia,
dari padanya dapat diharapkan untuk melestarikan proses historis keberadaan manusia
dalam kehidupan di dunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai unit
kecil sebagai bagian dari kehidupan dalam masyarakat. Keluarga dimulai dari dua sosok
manusia yakni seorang suami dan seorang istri, mereka berdua merupakan batu pertama
bagi pembentukan sebuah mahligai keluarga atau mereka merupakan tanah tempat
tumbuh, berkembang dan berbuah pohon keluarga. Kalau tanahnya bagus tentu pohon
yang tumbuh disitu akan tumbuh, berkembang dan berbuah bagus pula.
Putusnya perkawinan adalah terputusnya ikatan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita. Putusnya ikatan tersebut dapat diakibatkan oleh salah seorang
diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah
seorang diantara keduanya sudah pergi meninggalkan kediamannya sehingga pengadilan
menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.
Adat mayoritas masyarakat Indonesia yang dinamakan putusnya perkawinan
adalah ketika suami mengucapkan kata talak, mereka menganggap bahwa hal tersebut
sebagai tanda bahwa ikatan perkawinan telah putus, akan tetapi sesungguhnya di
Indonesia sendiri sudah memiliki peraturan sendiri tentang perceraian, bahwa perceraian
baru dianggap putus setelah diputus di hadapan Pengadilan Agama.

1
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab VIII tentang Putusnya
Perkawinan serta akibatnya, dijelaskan oleh pasal 38. Untuk membahas lebih jelas dan
mudah dipahami maka pada makalah ini kami membahas mengenai putusnya perkawinan
berserta hal-hal yang memiliki kaitan dengan bahasan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan?
2. Apa saja macam-macam perceraian?
3. Bagaimana akibat hokum perceraian?
4. Bagaimana keabsahan perceraian dalam kajian hukum positif Indonesia?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian putusnya perkawinan
2. Untuk mengetahui macam-macam perceraian
3. Untuk mengetahui akibat hukum perceraian
4. Untuk mengetahui keabsahan perceraian dalam kajian hukum positif Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
2
A. Pengertian Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang sering digunakan dalam
Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan berakhirnya hubungan perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang selama hidup menjadi sepasang
suami istri. Istilah yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah
perceraian.
Perceraian menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara
suami dan istri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau
memutuskan hubungan sebagai suami istri”. Menurut KUH Perdata pasal 207 perceraian
merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu
pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-
undang. Sementara pengetian perceraian tida dijumpai sama sekali dalam undang-undang
perkawinan begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksanannya.
Meskipun tidak terdapat suatu pengertian secara otentik tentang perceraian, tidak
berarti bahwa masalah percerain ini tidak diatur sama sekali di dalam undang-undang
perkawinan. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, pengaturan masalah perceraian
menduduki tempat terbesar. Hal ini lebih jelas lagi apabila kita melihat peraturan-
peraturan pelaksanaannya. Beberapa sarjana juga memberikan rumusan atau definisi dari
perceraian itu sendiri angtara lain:
a. Menurut subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.1
b. Menurut R. Soetojo Prawiriharmidjojo dan Azis Saefuddin, perceraian
berlainaan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tepat
tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik
dari suami maupun dari istri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu
berdasar pada perselisihan antara suami dan istri.2
c. Menurut P.N.H Simanjuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan
karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu
pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.3

1
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), hlm 23
2
R. Seoetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung:Alumni,
1986), hlm 109
3
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pustaka Djambatan, 2007), hlm
53

3
Islam sendiri telah memberikan penjelasan dan definisi bahwa perceraian menurut
ahli fikih disebut talak atau furqoh. Talak diambil dari ‫ اطﻠﻖ‬artinya melepaskan atau
meninggalkan . sedangkan dalam istilah syara’, talak adalah melepaskan ikatan
perkawinan atau rusaknya hubungan perkawinan.4 Perceraian mendapatkan awal “per”
dan akhiran “an” yang mempunyai fungsi sebagai pembentuk kata benda abstrak,
kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan perceraian. Berikut
beberapa rumusan yang diberikan oleh ahli fikih tentang definisi talak diantara sebagai
berikut:
a. Dahlan Ihdami, memberikan pengertian sebagai berikut: lafadz talak berarti
melepaskan ikatan, yaitu putusnya ikatan perkawibab dengan ucapan lafadz
yang khusus, seperti talak dan kinayah (sindiran) dengan niat talak
b. Sayyid Sabiq, memberikan pengertian sebagai berikut: lafadz talak diambil dari
kata itlak artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah
syara’, talak artinya melepaskan ikatam perkawinan atau mengakhiri sebuah
hubungan perkawinan.
c. Zainuddin bin Abdul Aziz, memberikan pengertian perceraian sebagai berikut:
talak menurut bahasa adalah melepaskan sebuah ikatan, sedangkan dalam istilah
syara’ talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan kata-
kata.
Pengertian perceraian sendiri dalam KHI secara jelas ditegaskan dalam pasal 117
yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Berdasarkan uraian di atas
tersebut dapatlah diperoleh pemahaman bahwa perceraian adalah putusnya ikatan
perkawinan antara suami istri yang sah dengan menggunakan lafadz talak atau
semisalnya.
Undang-undang perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian,
karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Dengan maksud untuk mempersukar terjadinya perceraian maka ditentukan melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bagi suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukum
sebagai suami istri.

4
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, hlm 81-83

4
B. Macam-Macam Putusnya Perkawinan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 38 bab VII dan Kompilasi
Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan dapat putus sebagaimana berikut
1. Putusnya Hubungan perkawinan
a. Pasal 113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena :
1) Kematian
2) Perceraian, dan
3) Atas putusan pengadilan
b. Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan :
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama,setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dantidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
c. Pasal 114 KHI menyatakan :
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena
talak atau berdasarkan gugatan cerai.
Putusnya perkawinan dalam hal ini adalah berakhirnya hubungan suami istri.
Putusnya perkawinan dalam hal ini ada 4 kemungkinan, yaitu:
A. Kematian, merupakan putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui
matinya salah seorang suami atau istri.
B. Perceraian dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Talak, secara bahasa berarti melepas tali, melepaskan, membebaskan, dan
menceraikan. Menurut syara’ melepas tali nikah dengan lafal talak atau
semacamnya. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah melepaskan ikatan
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.5
Menurut Subekti, perceraian merupakan salah satu peristiwa yang
dapat terjadi dalam suatu perkawinan, perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan dari pihak suami dalam
perkawinan. Jadi perceraian atau talak adalah putusnya tali suatu pernikahan
antara suami dan istri atas kehendak suami oleh suatu alasan tertentu dengan
lafal talak atau semacamnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat 5 jenis talak antara lain; talak
raj’i, talak ba’in sughraa, talak ba’in kubro, talak sunny dan talak bid’i.

5
Ibid, 145

5
a. Dalam Pasal 118 KHI, Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana
suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.
b. Di Pasal 119 KHI, talak ba`in shughraa adalah talak yang tidak boleh
dirujuk kembali tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam iddah.
c. Di Pasal 120 KHI, talak ba`in kubraa adalah talak yang tidak dapat dirujuk
kembali, karena terjadi untuk ketiga kalinya kecuali bekas isteri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan
telah habis masa iddahnya.
d. Di Pasal 121 KHI, talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak
yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut.
e. Didalam Pasal 122 KHI yaitu talak bid`I adalah talak yang dilarang karena
talak ini dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau dalam
keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
2. Khulu, yaitu putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat
sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak
berkehendak untuk itu. Pemisahan antara suami istri ini dilakukan dengan
pengganti atau yang disebut (iwadh) yang kembali kearah suami dengan lafal
talak atau khulu.
a. Pasal 124 dalam KHI memuat :
Khuluk harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116
KHI.
Alasan –alasan perceraian yang dimaksud, tercantum dalam pasal 116
KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, antara lain :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
yang diluar kemampuanya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.

6
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Pemeliharaan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
3. Putusan Pengadilan atau kehendak hakim
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan terjadi karena pembatalan
perkawinan dengan demikian perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi
dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan. Putusnya
perkawinan atas keputusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya
permohonan dari salah satu pihak atau istri atau para anggota keluarga. Putusan
pengadilan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah sumber hukum terpenting setelah peraturan perundang-undangan, dalam
hal ini Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya yang memuat
ketentuan imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Ini berarti bahwa tidak ada perceraian jika tidak
ada putusan pengadilan. Sebaliknya, tidak ada putusan pengadilan jika tidak ada
perkara perceraian.
C. Akibat Hukum Perceraian
1. Akibat Talak Raj’i
Talak Raj’i melarang mantan suami untuk berkumpul dengan mantan istrinya,
sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan),
serta tidak mempengaruhi hunungannya yang halal (kecuali persetubuhan).
Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak menimbulkan
akibat-akibat hukum yang lain, selama masih dalam masa idah istrinya. Segala
akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa idah dan jika tidak ada rujuk.
Apabila masa idah telah habis maka tidak boleh rujuk. Artinya, perempuan itu
telah tertalak ba’in. jika ia menggauli istrinya berarti telah rujuk.

7
2. Akibat Talak Ba’in Sugra
Talak ba’in sugra ialah memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan
istri setelah kata talak diucapkan. Karena ikatan perkawinan telah putusm maka
istrinya kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh karena itu, ia tidak boleh
bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi sampai menyetubuhinya.
Apabila ia baru menalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa dua kali
talak setelah rujuk dan jika sudah dua kali talak, maka ia hanya berhak atas satu
kali lagi talak setelah rujuk.
3. Akibat Talak Ba’in Kubra
Hukum Talak ba’in kubra sama dengan talak ba’in sugra yaitu memutuskan
hubungan tali perkawinan antara suami dan istri. Tetapi, ba’in kubra tidak
menghalalkan bekas suami merujuk kembali bekas istri, kecuali sesudah ia
menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya (telah
bersenggama), tanpa ada niat tahlil.
Perempuan yang menjalani talak ba’in, jika dia tidak hamil hanya memperoleh
tempat tinggal. Tetapi jika dia hamil maka ia juga berhak mendapatkan nafkah.
Perempuan yang menjalani iddah wafat, ia tidak berhak sama sekali untuk
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari mantan suaminya karena ia dan anak
(yang dikandungnya) adalah pewaris yang berhak dapat harta pustaka dari
almarhum suaminya itu.
Perempuan yang di talak suaminya sebelum dikumpuli (qabla dukhul) tidak
memiliki iddah, tetapi berhak memperoleh pemberian.
4. Akibat Hukum Fasakh
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh
talak. sebab, talak ada talak ba’in dan talak raj’i. talak raj’i tidak mengakhiri
ikatan suami istri dengan seketika. Sedangkan talak ba’in mengakhirinya seketika
itu juga.
Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena
adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka hal itu mengakhiri ikatan
pernikahan seketika itu.
5. Akibat Khulu’
Dalam hal akibat khulu’, terdapat persoalan apakah perempuan yang
menerima khulu’ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam Malik berpendapat
bahwa khulu’ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya

8
bersambung. Sedangkan Imam Hanafi mengatakan bahwa khulu’ dapat diikuti
dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan
dengan segera atau tidak.
Persoalan lain ialah, jumhur fukaha telah sepakat bahwa suami yang
menjatuhkan khulu’ tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali
pendapat yang diriwayatkan dari Sa’id Al-Sayyab dan Ibnu Syihab, keduanya
mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan tebusan yang telah diambil dari
istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujukannya itu.
6. Akibat sumpah li’an
Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan menekan perasaan, baik
bagi suami maupun bagi istri yang sedang dalam perkara li’an ini bahkan dapat
memengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka berada dalam
ketenangan berfikir. Hal ini tidak lain adalah:
a. Karena bilangan sumpah li’an
b. Karena dilaksanakan di tempat yang paling mulia yaitu masjid. Kalo di
Mekkah diadakan di antara hajar aswad dan rukun yamani. Di madinah di
dekat mimbar Rasulullah. Dan kalau di Negara lain diadakan di dalam masjid
jami’ dekat mimbar.
c. Karena dilaksanakan di waktu yang paling penting, yaitu waktu ashar setelah
shalat.
d. Karena sumpah itu dilakukan di hadapan jamaah (manusia banyak) sekurang-
kurangnya berjumlah 4 orang.
Disamping itu, pengaruh lain akibat li’an ini terjadinya perceraian antara
suami istri. Bagi suami, istrinya menjadi haram untuk dirinya selamanya. Dia tidak
boleh rujuk atau menikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan anak
yang dikandungnya, maka anak itu di hukumi bukan termasuk keturunan
suaminya.
Akibat li’an dari segi hukum adalah:
a. Had zina gugur
b. Had zina berlalu
c. Suami istri bercerai untuk selamanya
d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami bahwa dia tidak mencampuri
istrinya

9
e. Bila ada anak setelah pernyataan li’an itu tidak dapat diakui oleh suami
sebagai anaknya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVII dijelaskan tentang akibat putusnya
perkawinan sebagai berikut.
Bagian Kesatu
Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda kecuali bekas istri tersebut belum dicampuri,
b. Memberi nafkah, tempat tinggal, dan pakaian kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil,
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya atau separuhnya apabila
qabla al-dukhul,
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun.
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam
iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam iddah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan
dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila nusyuz.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu iddah,
kecuali qabla al-dukhul. Dan perkawinannya putus bukan karena kematian.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla al-dukhul,
waktu tunggu ditetapkan 130 hari.

10
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai dengan
melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian sedangkan janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian,
sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al-dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak
jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu
dihitung sejak kematian suami.
5. Waktu tunggu istri yang pernah haid, sedangkan pada waktu menjalani iddah
tidak haid karena menyusui maka iddahnya 3 kali waktu suci.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya
selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid
kembali maka iddahnya menjadi 3 kali suci.
Pasal 154
Apabila istri tertalak raj’i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh
suaminya maka iddahnya berubah menjadi 4 bulan 10 hari terhitung saat matinya
bekas suami.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’, fasakh, dan li’an
berlaku iddah talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian:
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu.
b. Ayah

11
c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah.
d. Saudara perempuan dari anaj yang bersangkutan
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah dan ibunya.
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, pengadilan agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).
5. Apabila terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan
agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
6. Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah
biaya banyak untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
Pasal 157
Harta dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal (96), (97).
Bagian Keempat
Mut’ah
Pasal 158
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul.
b. Perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.
Pasal 160
Besarnya Mut’ah disesuaikan dengan keputusan dan kemampuan suami.
Bagian Kelima
Akibat Khulu’
Pasal 161

12
Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan talak dapat dirujuk.
Bagian Keenam
Akibat Li’an
Pasal 162
Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang
dikandung dinisbahkan kepada ibunya, sedangkan suami terbatas dari kewajiban
memberi nafkah.6
D. Keabsahan Perceraian Dalam Kajian Hukum Positif di Indonesia
Dalam kajian hukum positif Indonesia secara umum mengenai putusnya hubungan
perkawinan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan membagi
sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang
tercantum dalam pasal 38 atau dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113, perkawinan
dapat putus karena adanya hal-hal sebagai berikut:
1. Kematian
2. Perceraian
a. Perceraian karena talak
Permohonan cerai talak dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan berikut ini:
1. Istri melalaikan kewajibannya sebagaimana terdapat pada UU No.1/1974.
Pasal 34 ayat (3) dan Kompilasi Hukum Islam pasal 77 ayat (5)
2. Istri berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sulit atau tidak dapat disembuhkan seperti yang tercantum dalam PP.
No.9/1975. Pasal 19 huruf a dan 116 huruf a
3. Istri meninggalkan suami selama 2 tahun berturur-turut tanpa izin suami
dan tanpa alasan yang sah seperti terdapat dalam PP No.9/1975. Pasal 19
huruf b dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116 huruf b
4. Istri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih terdapat dalam PP. No.
9/1975. Pasal 19 huruf c dan Kompilasi Hukum Islam pasal 116 huruf c
5. Istri melakukan kekejaman atau penganiayaan yang membahayakan pihak
lain tercantum dalam PP. No.9/1975. Pasal 19 (d) dan Kompilasi Hukum
Islam pasal 116 (d)

6
Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Depok: Rajawali Pers), h.
307-325.

13
6. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri karena cacat
badan atau peyakit sebagaimana tercantum dalam PP. No. 9/1975 pasal 19
(e) dan Kompilasi Hukum Islam pasal 166 (e)
7. Terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami istri
yang tidak dapat didamaikan lagi. Tercantum dalam PP. No. 9/1975 pasal
19 (f) dan Kompilasi Hukum Islam pasal 166 (f)
8. Istri murtad, terdapat da;a, Kompilasi Hukum Islam pasal 116 (b)
9. Syiqaq, dengan syarat harus mendengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami-istri.
Seperti terdapat dalam UU. No. 7/1989. Pasal 76 ayat (1-2)
10. Li’an, terdapat dalam UU No. 7/1989. Pasal 87 ayat (1-2) dan pasal 88
ayat (1-2) serta dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 125-128
b. Perceraian karena gugatan
Cerai gugat menurut UU No.7/1989 pasal 73 ayat (1) adalah gugatan
perceraian yang diajukan istri atau kuasanya kepada pengadilan daerah
setempat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
tinggal bersama tanpa izin tergugat. Dalam menurut KHI pasal 132 ayat (1)
gugatan cerai adalah gugatan yang diajukan oleh istri atau kuasanya pada
pengadilan Agama setempat kecuali si istri meninggalkan tempat tinggal
bersama tanpa izin suami.
c. Putusan pengadilan
Pada dasarnya putusan sidang biasa menjadi alasan bubarnya suatu
perkawinan apabila dilandasi adanya suatu kemaslahatan yang haruus dituju
dan ditegakkan.

14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Putusnya perkawinan merupakan istilah hukum yang sering digunakan dalam
Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan berakhirnya hubungan perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang selama hidup menjadi sepasang
suami istri. Istilah yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah
perceraian.
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 38 bab VII dan Kompilasi Hukum
Islam menegaskan bahwa perkawinan dapat putus sebagaimana berikut:
1) Kematian
2) Perceraian, dan
3) Atas putusan pengadilan
3. Akibat hukum dari perceraian tersebut tergantung daripada sebab perceraian apakah
perceraian tersebut disebabkan oleh talak (talak raj’i, talak Ba’in Sugra, talak Ba’in
Kubra), hukum Fasakh, Khulu, Li’an
4. Dalam kajian hukum positif Indonesia secara umum mengenai putusnya hubungan
perkawinan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan membagi
sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang
tercantum dalam pasal 38 atau dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113.

15
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohamidjojo R. Seoetojo dan Safioedin Azis. 1986. Hukum Orang dan Keluarga,
Bandung:Alumni

Simanjuntak P.N.H. 2007. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Pustaka


Djambatan

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,

Subekti. 1985. Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa

Tihami & Sahrani Sohari. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Depok: Rajawali
Pers

16

Anda mungkin juga menyukai