Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN

(STUDI PUTUSAN NO.212/PID.B/2018/PN-KBJ)

JURNAL

OLEH:

SARI NATALIA BR SITEPU


150200319

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dosen Pembimbing I: Dr. M. Hamdan, SH., MH.


Dosen Pembimbing II: Dr. M. Ekaputra, SH., M.Hum
Email: sarisitepu29@gmail.com

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
CURRICULUM VITAE

A. DATA PRIBADI

Nama Lengkap Sari Natalia br Sitepu


Jenis Kelamin Perempuan
Tempat, Tanggal Medan, 29 Desember 1996
Lahir
Kewarganegaraan Indonesia
Status Belum Menikah
Identitas NIK KTP
Alamat Domisili Jl. Parang Ras Gg. Sangap
Taras No.10 Padang Bulan,
Medan
Agama Kristen Protestan
Nomor Telepon 085297639523
Email Sarisitepu29@gmail.com

B. PENDIDIKAN FORMAL

Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK


2003-2009 SD Swasta St.Petrus - -
Medan
2009-2012 SMP Swasta Methodist - -
1 Medan
2012-2015 SMA Negeri 5 Medan IPS -
2015-2019 Universitas Sumatera Ilmu Hukum 3,52
Utara

C. DATA ORANG TUA

Nama Ayah/Ibu : Sehatta Sitepu / Rosdiana br Ginting

Pekerjaan : Guru / Wiraswasta

Alamat : Jl. Parang Ras Gg. Sangap Taras No. 10 Padang Bulan
Medan
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN
(Studi Putusan No.212/Pid.B/2018/Pn-Kbj)

ABSTRAK

Sari Natalia Br Sitepu, M. Hamdan, M. Ekaputra

Tindak pidana penggelapan bukanlah tindak pidana baru dalam hukum


Indonesia. Penggelapan dapat dilakukan dengan berbagai modus termasuk
dengan menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya. Tulisan ini membahas
tentang penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh seorang headteller.
Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah pengaturan
hukum tindak pidana penggelapan, pertanggungjawaban pidana dalam tindak
pidana penggelapan dan penerapan hukum terhadap tindak pidana penggelapan
dalam jabatan (analisis putusan No.212/Pid.B/2018/Pn-Kbj). Tujuan dari
penelitian adalah untuk memberi jawaban atas rumusan permasalahan diatas.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data skunder guna
memperoleh yang dibutuhkan yakni meliputi bahan hukum primer, sekunder dan
tersier yang terkait dengan permasalahan. Tindak pidana penggelapan atau
verduistering diatur dalam Bab XXIV (buku II KUHP), terdiri dari 6 pasal (Pasal
372 s/d 377). Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372
KUHP. Rumusan penggelapan yang diberikan Pasal 372 KUHP tidak memberi
arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata
yang sebenarnya, tetapi verduistering dapat diberikan arti secara luas (figurlijk).
Ada beberapa bentuk penggelapan yang diatur oleh KUHP. Pengaturan
mengenai Penggelapan Dalam Jabatan diatur dalam Pasal 374 yaitu
Penggelapan dalam bentuk-bentuk yang diperberat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwasannya dalam penerapan hukum, Penegak Hukum
seharusnya dapat memberikan sanksi yang lebih tepat lagi terhadap perbuatan
terdakwa. Sebagaimana perbuatan Terdakwa telah diatur lebih khusus dalam
Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang dan diancam pidana pencucian uang yang patut diduga
merupakan hasil tindak pidana korupsi, sehingga akan lebih memberi efek jera
bagi si pelaku dan memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Pertatanggungjawaban Pidana, Penggelapan


Dalam Jabatan

*Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,


Medan - Indonesia

i
JURIDICAL REVIEW ON EMBEZZLEMENT CRIMINAL ACT IN OFFICE
(A STUDY ON THE RULING NO.212/PID.B/2018/PN-KBJ)

ABSTRAC

Sari Natalia Br Sitepu, M. Hamdan, M. Ekaputra

The embezzlement is not a new crime in Indonesian law. Embezzlement


can be done in various modes including by abusing the position they have. This
paper discusses embezzlement in office by a headteller. The issues raised in this
study are the legal arrangements for embezzlement, criminal liability in
embezzlement and the application of the law against embezzlement in office
(analysis of decision No.212/Pid.B/2018/Pn-Kbj). The purpose of the research is
to provide answers to the above problem formulations. The research method
used is a type of normative legal research conducted by examining library
materials or secondary data in order to obtain what is needed, which includes
primary, secondary and tertiary legal materials related to the problem. Crimes of
embezzlement or verduistering are regulated in Chapter XXIV (book II of the
Criminal Code), consisting of 6 articles (Articles 372 to 377). Juridical
understanding of embezzlement is contained in article 372 of the Criminal Code.
The embezzlement formula given in Article 372 of the Criminal Code does not
give meaning as making something dark or not bright, as the actual meaning of
the word, but verduistering can be given a broad meaning (figurlijk). There are
several forms of embezzlement that are regulated by the Criminal Code.
Regulations regarding Darkness in Position are regulated in Article 374, namely
Darkening in aggravated forms. The results showed that in applying the law, law
enforcers should be able to provide more appropriate sanctions against the
actions of the accused. As the Defendant's actions have been more specifically
regulated in Article 3 of Law No.8 of 2010 concerning the Prevention and
Eradication of Criminal Acts of Money Laundering and threatened with money
laundering crimes that are reasonably suspected of being the result of criminal
acts of corruption, so that they will be more deterrent for the perpetrators and
fulfill a sense of justice for the victims.

Keywords: Criminal Acts, Criminal Liability, Darkening in Position

*Criminal Law Departement, Faculty of Law, University of North Sumatra, Medan


– Indonesia

ii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan kejahatan sangat penting kiranya untuk dibahas karena

menjadi perhatian terhadap nilai keamanan bagi masyarakat Indonesia.

Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan

masyarakat itu sendiri, karena kejahatan merupakan produk dari masyarakat dan

ini perlu ditanggulangi.1 Banyak fenomena kejahatan yang muncul di berbagai

daerah yang ada di Indonesia yang menjadi polemik bagi semua kalangan

masyarakat. Setiap hari di media massa selalu kita temui bermacam-macam

tindak pidana yang terjadi di negara ini. Kejahatan yang timbul tentunya

dipengaruhi oleh modernisasi yang terjadi di dalam sebuah negara. Modernisasi

terjadi di berbagai bidang kehidupan seiring dengan tuntutan perkembangan

jaman, hal itu membawa masyarakat menuju pada tatanan kehidupan dan gaya

hidup yang serba mudah dan praktis. Modernisasi ini tidak hanya mempengaruhi

dari sisi perubahan tuntutan, akan tetapi berpengaruh pula pada semua bidang

dalam kehidupan manusia terutama dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu faktor

penentu bagi suatu peradaban yang modern. Keberhasilan yang dicapai dalam

bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, akan membawa suatu negara pada

kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Namun sejalan dengan kemajuan

yang telah dicapai, maka secara bersamaan dalam bidang ekonomi, ilmu

pengetahuan dan teknologi, perkembangan tindak pidana pun tidak dapat

disangkal. Sebagaimana dalam negara-negara berkembang, kemajuan di bidang

ekonomi dan iptek selalu diikuti dengan peningkatan kejahatan baru di bidang

ekonomi dan sosial.

1
Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Akademika Presindo, 2000), hal.187

1
Dalam paradigma hukum memandang bahwa pertumbuhan tingkat

kejahatan dengan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai

suatu hubungan yang positif. Hal ini dapat dibuktikan dari pencapaian yang

dialami oleh negara-negara berkembang bahkan di negara maju sekalipun dalam

bidang ekonomi dan iptek akan diikuti dengan kecenderungan peningkatan

penyimpangan maupun kejahatan baru di bidang ekonomi dan sosial.

Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi

mungkin tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan

dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini

nampaknya akan terus berkembang dan tidak akan pernah surut baik dilihat dari

segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan

bagi masyarakat dan pemerintah.2

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu

ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana

akan selalu ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti

halnya dengan musim yang selalu berganti dari tahun ke tahun.

Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak

pernah surut baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini

menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah. Hukum pidana

sebagai alat atau sarana untuk menyelesaikan problematika ini dan diharapkan

mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu, pembangunan hukum

dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan secara terarah dan

terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta

penyusunan perundangan-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna

menjawab semua tantangan perkembangan tindak pidana.

2
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2002), hal.3

2
Dari berbagai macam tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat salah

satunya adalah tindak pidana penggelapan. Dewasa ini, tindak pidana

penggelapan marak terjadi dengan berbagai macam bentuk dan

perkembangannya yang menunjuk pada semakin tingginya tingkat intelektualitas

manusia dari kejahatan penggelapan yang semakin kompleks.

Tindak pidana penggelapan selalu ada di dalam masyarakat, bahkan

cenderung meningkat dan berkembang di dalam masyarakat seiring dengan

kemajuan teknologi dan ekonomi. Tindak pidana penggelapan merupakan suatu

tindak pidana yang berhubungan dengan masalah moral dan suatu kepercayaan

atas kejujuran seseorang. Oleh karena itu, tindak pidana ini pada awalnya

bermula dari adanya suatu kepercayaan pihak kepada pihak yang lainnya, yang

berakhir dengan ketidakjujuran salah satu pihak yaitu pelaku penggelapan.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia, saat ini

lembaga keuangan pun semakin berkembang. Salah satu lembaga keuangan

yang berkembang adalah lembaga bank. Bank adalah lembaga keuangan yang

usaha pokoknya memberi kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan

peredaran uang.3

Masalah paling berat yang dihadapi lembaga bank dan badan pengawas

bank adalah mengawasi atau mengetahui secara cepat kelalaian atau

kesengajaan pengurus bank dan atau pegawai bank dan atau pemegang saham

dan atau pihak terafiliasi dalam melakukan kesalahan atau tindak kejahatan,

misalnya penggelapan yang dilakukan.

Tindak pidana penggelapan dapat dilakukan oleh pihak yang berada di

dalam ataupun di luar lingkungan lembaga bank, namun pada umumnya

dilakukan oleh pihak yang berada di dalam lingkungan lembaga bank,

3
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), hal. 3

3
dikarenakan pada umumnya pihak tersebut memahami mengenai pengendalian

internal dan memiliki kuasa di dalam lembaga di tempat dia bekerja sehingga

bukanlah hal yang sulit untuk melakukan tindak pidana penggelapan. Sistem

yang dimiliki lembaga bank sering disalahgunakan oleh beberapa pihak tertentu

untuk melakukan tindak pidana kejahatan. Setiap institusi apapun juga rentan

akan terjadinya penggelapan. Hal inilah yang akhir-akhir ini dikhawatirkan oleh

manajemen setiap institusi yang ada yaitu timbulnya kecurangan di lingkungan

lembaganya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan

“TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM JABATAN (STUDI PUTUSAN

NO.212/PID.B/2018/PN-KBJ)”.

II. PEMBAHASAN

A. KETENTUAN HUKUM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DALAM

JABATAN

Penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV (Buku II) KUHP, yang

terdiri dari 6 Pasal (372 s/d 377). Beberapa bentuk penggelapan yang diatur

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu :

1. Penggelapan dalam bentuk pokok (Pasal 372)

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki

barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan

hanya ada padanya bukan karena kejahatan dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya

15 kali enam puluh rupiah.”

2. Pasal dalam bentuk-bentuk yang diperberat (Gequalificeerde

Verduistering, Pasal 374 dan 375)

4
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu

karena jabatannya sendiri atau karena pekerjaannya atau karena

mendapat upah uang, dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya lima tahun” dan “Penggelapan yang dilakukan orang kepadanya

terpaksa diberikan untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus,

orang yang menjalankan wasiat, pengurus lembaga derma atau yayasan

terhadap barang yang ada pada mereka karena jabatan mereka tersebut

itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.”

3. Penggelapan ringan (Lichte Verduistering, Pasal 373)

“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372, apabila yang digelapkan

bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, dikenai,

sebagai penggelapan ringan, pidana penjara paling lama tiga bulan atau

denda paling banyak enam puluh rupiah.”

4. Penggelapan dalam kalangan keluarga (Pasal 376)

“Ketentuan Pasal 3674 berlaku bagi kejahatan-kejahatan yang

dirumuskan dalam bab ini.”

Tindak pidana penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 374 KUHP,

yang rumusan aslinya dalam bahasa Belanda berbunyi sebagi berikut: 5

“Verduistering gepleegd door hem die het goed uit hoofed van zijne

persoonlijke dienstbetrekking of zijn beroep of tegen geidelijke vergoeding

4
Pasal 367 berbunyi :
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami
(istri) dari orang yang terkena kejahatan, dan tidak terpisah meja dan tempat tidur
atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu, tidak
mungkin diadakan tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta
kekayaan, atau jika dia keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus,
maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin
diadakan penuntutan, jika ada pengaduan yang terkena kejahatan
(3) Jika menurut lembaga matriarkhal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain
daripada bapak kandungnya, maka aturan tersebut ayat di atas, berlaku juga bagi
orang itu.
5
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta
Kekayaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.133

5
onder zich heft, wordt gestraft met gevangenisstraf van ten hoogste vijf

jaren.”

Artinya :

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang atas benda yang berada

padanya karena hubungan kerja pribadinya atau karena pekerjaannya

atau karena mendapat imbalan uang, dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya lima tahun.”

Penggelapan dalam jabatan ataupun penggelapan karena adanya

hubungan kerja (zijne persoonlijke diensbetrekking) adalah hubungan kerja yang

bukan hubungan kepegawaian negri (ambt), akan tetapi hubungan pekerjaan

antara seorang buruh dengan majikannya, atau seorang karyawan/pelayan

dengan majikannya.6

Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hubungan kerja

adalah pekerjaan yang terjadi karena suatu perjanjian kerja, misalnya pengurus

dari suatu Perseroan Terbatas. Orang yang dapat melakukan penggelapan ini

hanyalah bagi orang yang memiliki kualitas pribadi yang demikian. Hoge Raad

dalam penilaiannya menyatakan bahwa menguasai bagi dirinya karena

hubungan kerja merupakan ketentuan keadaan pribadi seseorang.7

Dari rumusan di atas, apabila kita rinci, maka terdiri dari unsur-unsur

sebagai berikut:

a. Semua unsur penggelapan dalam bentuk pokok (Pasal 372)

b. Unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya benda

dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh:

1) Karena adanya hubungan kerja

2) Karena mata pencaharian, dan

6
Adami Chazawi, Pembelajaran Hukum Pidana bagian 2, (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2005), Op.Cit, hal.86
7
Adami Chazawi, Ibid, mengutip Hoge Raad

6
3) Karena mendapat upah untuk itu.

Adapun penjelasan unsur-unsur dari tindak pidana penggelapan dalam

jabatan yaitu:

a. Perbuatan Memiliki

Zicht toe.igenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki,

menganggap sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak,

atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-

1958 No.308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht toe.igenen dalam

bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat

diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. 8

Memiliki adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang atau lebih

tegas lagi setiap tindakan yang mewujudkan suatu kehendak untuk melakukan

kekuasaan yang nyata dan mutlak atas barang itu, hingga tindakan itu

merupakan perbuatan sebagai pemilik atas barang itu.9 Dalam MvT mengenai

pembentukan Pasal 372 menerangkan bahwa memiliki adalah berupa perbuatan

menguasai suatu benda seolah-olah ia pemilik benda itu. Menurut hukum, hanya

pemilik saja yang dapat melakukan suatu perbuatan terhadap benda miliknya.

Pemilikan itu pada umumnya terdiri atas setiap perbuatan yang

menghapuskan kesempatan untuk memperoleh kembali barang itu oleh pemilik

yang sebenarnya dengan cara-cara seperti menghabiskan, atau

memindahtangankan barang itu, seperti memakan, memakai, menjual,

menghadiahkan, menukar. Dalam hal-hal yang masih dimungkinkan memperoleh

kembali barang itu seperti pinjam-meminjam, menjual dengan hak membeli

kembali termasuk juga dalam pengertian memiliki, bahkan menolak

8
Anhar, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Dengan Pemberatan
Yang Dilakukan Secara Berlanjut, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 1, Vol.2, 2014, hal.3
9
H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), (Bandung: Alumni)
1980. Op.Cit, hal.35

7
pengembalian atau menahan barang itu dengan menyembunyikan sudah dapat

dikatakan sebagai perbuatan memiliki. 10

Dari apa yang disampaikan di atas dapatlah disimpulkan bahwa

perbuatan memiliki ini adalah perbuatan terhadap suatu benda oleh orang yang

seolah-olah pemiliknya, perbuatan mana bertentangan dengan sifat dari hak

yang ada padanya atas benda tersebut.11

Pengertian memiliki pada penggelapan berbeda dengan pengertian

memiliki pada pencurian. Memiliki pada pencurian adalah merupakan unsur

subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi

pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau

perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Dalam pencurian tidak disyaratkan

benar-benar ada wujud dari memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh

unsur kesengajaan sebagai maksud saja berbeda dengan penggelapan yang

merupakan unsur objektif dimana memiliki itu harus mempunyai bentuk atau

wujud, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk

menjadi selesainya penggelapan.12 Pada pencurian, adanya unsur maksud untuk

memiliki sudah tampak dari adanya perbuatan mengambil, oleh karena itu

sebelum kejahatan itu dilakukan, benda tersebut belum ada dalam

kekuasaannya.

Berbeda dengan penggelapan, sebelum penggelapan terjadi, objek

kejahatan telah berada dalam kekuasaannya. Perbuatan memiliki adalah aktif,

jadi harus ada wujud konkretnya. Pada kenyataannya wujud perbuatan memiliki

ada empat kemungkinan, yaitu :13

10
Ibid
11
Adami Chazawi,Op.Cit, hal.73
12
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.71
13
Adami Chazawi, Op Cit, hal.76

8
1. Perbuatan yang wujudnya berupa mengalihkan kekuasaan atas benda
objek penggelapan, atau dengan kata lain perbuatan yang
mengakibatkan beralihnya kekuasaan atas benda ke dalam kekuasaan
orang lain.
2. Perbuatan tidak mengakibatkan beralihnya kekuasaan atas benda objek
kejahatan, akan tetapi mengakibatkan benda menjadi lenyap.
3. Perbuatan memiliki atas benda yang berakibat benda itu berubah
bentuknya atau menjadi benda lain.
4. Perbuatan memiliki yang tidak menimbulkan akibat beralihnya
kekuasaan atau benda, dan juga benda tidak lenyap atau habis, atau
benda tidak menjadi berubah bentuk, melainkan benda digunakan
dengan tanpa hak (melawan hukum).

b. Unsur objek kejahatan sebuah benda

Benda yang menjadi objek penggelapan, dapat ditafsirkan sebagai benda

yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiki terhadap benda yang ada

dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan erat

dengan benda itu yang sebagai indikatornya adalah apabila ia hendak

melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat melakukannya secara

langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya

terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi

pada benda-benda yang tidak berwujud dan tidak tetap.14

c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain

Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah

dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik

suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan

dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan

milik petindak dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan. Orang lain

yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak

menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu melainkan

siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. 15 Arres HR tanggal 1 Mei 1922

dengan tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak

14
Ibid, hal.77
15
H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit, hal.36

9
disyaratkan bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah

cukup terbukti penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji itu di suatu

tempat, diambilnya kemudian timbul niat untuk menjualnya, lalu menjualnya. 16

d. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

Di sini ada 2 unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan

kedua bukan karena kejahatan. Dalam unsur ini pelaku harus sudah menguasai

barang dan barang itu oleh pemiliknya dipercayakan kepada pelaku, hingga

barang ada pada pelaku secara sah bukan karena kejahatan yang dimaksud

dengan pengertian kejahatan tidak diuraikan di dalam KUHP. Di dalam KUHP

hanya terdapat kualifikasi perbuatan mana yang dinyatakan sebagai perbuatan

pidana. Perbuatan pidana ini kemudian dibagi dalam dua klasifikasi, yaitu yang

dinamakan kejahatan dan pelanggaran. Dari segi kriminologi setiap tindakan

atau perbuatan tertentu yang tidak disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai

kejahatan. Jadi setiap perbuatan anti sosial, merugikan, serta meresahkan

masyarakat secara kriminologis dapat dikatakan sebagai kejahatan.

Masyarakatlah yang menilai perbuatan tersebut baik atau buruk.17 Hubungan

yang nyata antara pelaku dan barang diwujudkan dengan barang ada dibawah

kekuasaannya pelaku bukan karena suatu kejahatan, sedangkan pada pencurian

barang ada dalam kekuasaan pelaku karena kejahatan dengan perbuatan

mengambilnya. Unsur ini dapat terdiri atas perbuatan meminjam, menerima

untuk disimpan, menerima untuk dijual, menerima untuk diangkut.

Perihal unsur berada dalam kekuasaannya adalah apabila antara orang

itu dengan benda terdapat hubungan yang sedemikian eratnya, sehingga apabila

ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera

melakukannya secara langsung tanpa terlebih dahulu harus melakukan

16
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.78
17
Made Darma Weda, Kriminologi, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hal.12

10
perbuatan yang lain.18 Di samping itu harus juga diketahui oleh pelaku bahwa

barang yang dikuasainya itu bukan karena kejahatan. Sebagai contoh, jika B

dititipkan sebuah handphone hasil pencurian yang dilakukan oleh A dan B

menjual handphone itu kemudian maka dalam hal ini harus terlebih dahulu dilihat

sikap batin B. Sikap batin yang dimaksud adalah apakah B ketika menjual

handphone hasil pencurian itu sudah mengetahui sebelumnya bahwa handphone

itu adalah hasil pencurian, jika B sudah mengetahui sebelumnya bahwa

handphone itu adalah hasil pencurian, jika B sudah mengetahui sebelumnya

maka B tidak dapat dikatakan melakukan penggelapan, tetapi dapat disebut

melakukan kejahatan penadahan (Pasal 480 KUHP). Namun, apabila B tidak

menyadari hal tersebut maka B barulah dapat dikatakan melakukan

penggelapan, karena B telah dianggap melakukan perbuatan memiliki.

Adapun penjelasan mengenai unsur-unsur yang menyebabkan

memberatkan itu adalah :

a. Hubungan kerja

Hubungan kerja yang bukan hubungan kepegawaian negeri (ambt), akan

tetapi hubungan pekerjaan antara seorang buruh dengan majikannya, atau

seorang karyawan/pelayan dengan majikannya.19

b. Mata pencaharian/ jabatan (beroep)

Selain diterjemahkan dengan mata pencaharian, beroep adakalanya

diterjemahkan sebagai “karena jabatan atau dengan pekerjaan, adalah suatu

mata pencaharian atau jabatan tertentu di mana seseorang itu melakukan

pekerjaan secara terbatas dan tertentu”.20 Dalam hal ini terdakwa melakukan

penggelapan dikarenakan jabatannya di dalam pekerjaaan atau mata

pencahariannya. Menjadi seorang kasir atau bendahara merupakan pekerjaan

18
H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit, hal.36
19
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.86
20
Ibid

11
yang tertentu dan terbatas, ia sebagai pemegang dan pengurus keuangan dari

suatu perusahaan atau jawatan. Ia tidak berfungsi dan bertugas lain di luar

pekerjaan yang menyangkut keuangan. Hubungan antara dia dengan uang yang

diurus dan menjadi tanggung jawabnya adalah berupa hubungan

menguasai/kekuasaan, yang timbul karena adanya jabatannya sebagai

kasir/bendahara. Apabila menyalahgunakan uang yang menjadi tanggung jawab

dan berada dalam pengurusannya itu, misalnya dibelikan sepeda untuk anaknya,

maka di sini telah terjadi penggelapan.21

c. Mendapat upah khusus

Yang dimaksud dari mendapat upah khusus adalah bahwa seseorang

mendapat upah tertentu berhubung dengan ia mendapat suatu kepercayaan

karena suatu perjanjian oleh sebab diserahi suatu benda.

Misalnya pekerja stasiun membawa barang orang penumpang dengan

upah uang, barang itu digelapkannya.22 Barang yang dititipkan tersebut berada

dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, melainkan karena ia mendapat

upah untuk penitipan itu.

Unsur-unsur subjektif, terdiri dari :

a. Unsur kesengajaan

Unsur opzettelijk atau dengan sengaja merupakan satu-satunya unsur

subjektif di dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada

pribadi pelakunya.23 Unsur ini juga merupakan unsur kesalahan dalam

penggelapan. Sebagaimana dalam doktrin, kesalahan terdiri dari 2 bentuk, yakni

kesengajaan dan kelalaian. Dengan sengaja berarti pelaku mengetahui dan

sadar hingga ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Atau dalam arti

lain berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui, mengerti

21
Ibid, hal.88
22
R. Soesilo, Op.Cit, hal. 224
23
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal.113

12
nilai perbuatannya serta sadar akan akibat yang timbul dari perbuatannya itu.

Atau apabila dihubungkan dengan kesengajaan yang terdapat dalam rumusan

tindak pidana seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada

apabila adanya suatu kehendak atau adanya suatu pengetahuan atas suatu

perbuatan atau hal-hal tertentu serta menghendaki dan atau mengetahui atau

menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatannya.

Kesengajaan petindak dalam penggelapan harus dirujukan berdasarkan

unsur-unsur sebagai berikut :24

1. Petindak mengetahui, sadar bahwa perbuatan memiliki benda milik orang


lain yang berada dalam kekuasaannya itu sebagai perbuatan melawan
hukum, suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
atau bertentangan dengan hak milik orang lain.
2. Petindak dengan kesadarannya yang demikian itu menghendaki untuk
melakukan perbuatan memiliki.
3. Petindak mengetahui, menyadari bahwa ia melakukan perbuatan memiliki
itu adalah terhadap suatu benda, yang juga disadarinya bahwa benda itu
adalah milik orang lan sebagian atau seluruhnya.
4. Petindak mengetahui, menyadari bahwa benda milik orang lain itu berada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Jika kehendak dan pengetahuan-pengetahuan terdakwa seperti yang

dimaksud diatas dapat dibuktikan, maka orang baru dapat mengatakan bahwa

terdakwa memang terbukti telah memenuhi unsur dengan sengaja yang terdapat

di dalam rumusan tindak pidana penggelapan sebagaimana yang telah diatur

dalam KUHP.25

b. Unsur melawan hukum

Maksud memiliki dengan melawan hukum artinya bahwa sebelum

bertindak melakukan perbuatan, ia sudah sadar bahwa perbuatan yang

dilakukannya adalah bertentangan dengan hukum. Sedangkan yang dimaksud

dengan melawan hukum, undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih

lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya

24
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.82
25
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Op.Cit, hal.113

13
dari suatu perbuatan teretentu. Di dalam doktrin dikenal ada dua macam

melawan hukum, yaitu melawan hukum formil dan melawan hukum materil.

Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat

tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak oleh sebab dari hukum

tertulis. Sedangkan melawan hukum materil ialah bertentangan dengan asas-

asas hukum di dalam masyarakat, asas mana dapat merupakan hukum tidak

tertulis maupun berbentuk hukum tertulis. 26

Uraian di atas adalah merupakan penjelasan unsur-unsur yang

merupakan penggelapan dalam bentuk pokok. Sedangkan di dalam penggelapan

dengan menggunakan jabatan yang terdapat di dalam Pasal 374 KUHP yang

merupakan bentuk penggelapan yang diperberat maka unsur-unsur penggelapan

dalam bentuk pokok di atas ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan

petindak. Faktor-faktor yang memberatkan petindak didasarkan pada lebih

besarnya kepercayaan yang diberikan pada orang yang menguasai benda yang

digelapkan. Beberapa jenis pemberian kepercayaan dipergunakan sebagai

masalah-masalah yang memberikan penggelapan dalam bentuk pokok, yaitu

hubungan pelaku yang diberi kepercayaan dengan korban yang memberi

kepercayaan.

B. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PENGGELAPAN

Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan

bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan

pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan

suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi

pidana, sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah

dalam melakukan perbuatan ini dia melakukan kesalahan. Sebab asas dalam

26
Adami Chazawi, Op.Cit, hal.15

14
pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : Tiada dipidana jika tidak ada

kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea).27

Berdasarkan asas tersebut di atas tersimpul pendapat bahwa masalah

pertanggungjawaban pidana sangat erat berkaitan dengan kesalahan. Untuk

mementukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai

pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut

pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.28

Kesalahan adalah adanya keadaan psikis tertentu pada orang yang

melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara kadaan tersebut

dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat

dicela karena melakukan perbuatan tadi. 29

Berdasarkan pengertian kesalahan tersebut tersimpul, bahwa untuk

adanya kesalahan harus dipikirkan adanya dua hal di samping melakukan

perbuatan/tindak pidana, yaitu:30

1. Adanya keadaan pyschis (batin) yang tertentu

2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan

perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan dalam

masyarakat.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan

pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat

dipidana.31

Di dalam membahas pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

pidana penggelapan maka terdakwa harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana


27
Moeljatno, Op Cit, hal.165
28
A.Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang :UMM Press, 2004), hal.
74
29
Moeljiatno, Op.Cit, hal.171
30
A. Fuad Usfa dan Tongat, Op.Cit, hal 74-75
31
Moeljatno, Op.Cit, hal.167

15
penggelapan maka dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Adapun unsur –

unsur yang harus dipenuhi yaitu unsur objektif dan subjektif yang telah diuraikan

pada bab sebelumnya. Selain daripada itu, dalam meminta pertanggungjawaban

pidana terhadap pelaku tindak pidana maka terdakwa harus memenuhi unsur-

unsur pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan bertanggung jawab,

adanya kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf.

3. Dalam pertimbangan hakim pada putusan No.212/Pid.B/2018/Pn-Kbj

yang menyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta di persidangan maka

unsur “barangsiapa” adalah subjek hukum orang yang merupakan dader,

pembuat atau pelaku tindak pidana yang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam unsur ini menunjuk

kepada si pelaku dari tindak pidana yakni setiap orang sebagai pelaku

tindak pidana yang berdasarkan fakta-fakta di persidangan adalah

Terdakwa yang identitasnya yang telah disebutkan oleh Penuntut Umum

dalam Surat Dakwaannya yang di persidangan telah dibenarkan oleh

Terdakwa, dalam hal ini maka unsur “barangsiapa” telah terpenuhi secara

sah menurut hukum. Hakim juga berpendapat bahwa Terdakwa mampu

bertanggung jawab, maka Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas

tindak pidana yang didakwakan terhadap diri Terdakwa sehingga ia harus

dijatuhi pidana. Pada pertimbangan selanjutnya, hakim berpendapat

bahwa unsur “penggelapan terhadap barang yang dikuasainya karena

hubungan kerja atau disebut penggelapan dalam jabatan” merupakan

delik berkualifikasi jika dilakukan sebagai beroep (profesi) maksudnya

ialah bahwa pelaku sengaja berbuat yakni sengaja dilakukan dengan cara

melawan hukum (tidak ada izin dari orang yang mempunyainya), ada

padanya bukan karena kejahatan melainkan karena pekerjaan atau

beroep (profesi) orang itu. Atas pertimbangan itu maka unsur ini telah

16
terpenuhi secara sah dan menurut hukum. Dalam pertimbangan hakim

selanjutnya, bahwa dari fakta-fakta hukum yang diperoleh selama

persidangan dalam perkara ini, Majelis Hakim tidak menemukan

keadaan-keadaan yang dapat melepaskan Terdakwa dari

pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau

alasan pemaaf.

Dari uraian di atas, maka hakim berpendapat bahwa Terdakwa telah

memenuhi unsur objektif dan subjektif tindak pidana penggelapan dalam jabatan

serta mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, maka dari itu Terdakwa

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana serta harus dijatuhi pidana sesuai

dengan aturan yang ada.

C. PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PENGGELAPAN DALAM JABATAN

Dalam putusan nomor: 212/Pid.B/2018/PN-Kbj, terdakwa Dian Damayanti

br Sebayang didakwa dengan dakwaan subsidair yaitu tindak pidana

Penggelapan dalam jabatan (dakwaan kesatu) sebagaimana dalam Pasal 374

KUHAP dan dakwaan kedua sebagaimana dalam Pasal 372 KUHAP. Dalam

analisis penulis, terdakwa Dian Damayanti Br. Sebayang dapat diancam pidana

pencucian uang yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana korupsi karena

memenuhi unsur-unsur sebagaimana dalam Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010 yang

menyatakan:

“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,


membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau
surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana
karena tindak pidana Pencucian uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).”

17
Adapun unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010
yaitu:

a. Setiap orang

b. Yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,

mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat

berharga atau perbuatan lain

c. Yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah penulis lakukan pada

bab-bab terdahulu, berikut adalah kesimpulan yang merupakan jawaban

terhadap permasalahan yang ada dalam penulisan ini sebagai berikut:

1. Ketentuan yuridis tindak pidana penggelapan atau verduistering diatur

dalam BAB XXIV (Buku II) KUHP, yaitu Pasal 372 s/d Pasal 377. Secara

khusus penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 374 KUHP yang

berbunyi penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya

terhadap barang disebabkan karena hubungan kerja atau karena

pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun.

2. Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana penggelapan maka

terdakwa harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana penggelapan maka

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Adapun unsur-unsur

pertanggungjawaban pidana yang harus dimiliki oleh pelaku tindak pidana

ialah:

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab

b. Adanya kesalahan

18
c. Tidak adanya alasan pemaaf

3. Dalam penerapan hukumnya, Jaksa Penuntut Umum menjerat terdakwa

dengan Pasal 374 KUHP yaitu Penggelapan Dalam Jabatan, yang mana

terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidananya,

penulis sependapat dengan Majelis Hakim yaitu mengabulkan tuntutan

penuntut umum sehingga Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan dalam

jabatan yang dilakukan oleh orang yang menguasai barang itu karena

ada hubungan kerja secara berlanjut” sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 374 KUHP. Tetapi dalam menjatuhkan pidana penjara yaitu selama

1 (satu) tahun 6 (enam) bulan sebagaimana yang dicantum dalam amar

putusan, penulis tidak sependapat dengan majelis hakim karena

mengingat keadaan yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa telah

mengakibatkan kerugian pada PT. Bank Sumut Cabang Kabanjahe

sebesar Rp.2.995.015.000,00 (dua miliyar sembilan ratus sembilan puluh

lima juta lima belas ribu rupiah), majelis hakim seharusnya dapat

menjatuhkan pidana penjara setidak tidaknya sama dengan tuntutan yang

diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum, yakni selama 3 (tiga) tahun penjara

sehingga akan lebih memberi efek jera bagi si pelaku dan memenuhi rasa

keadilan bagi korban.

E. SARAN

1. Dengan adanya pengaturan hukum tentang penggelapan diharapkan

para penegak hukum, agar setiap pelaku penggelapan dapat

diberikan sanksi yang tegas, yang sesuai dengan pengaturan hukum

yang ada. Sehingga menimbulkan efek jera bagi si pelaku dan juga

bagi masyarakat.

19
2. Dalam meminta pertanggungjawaban terhadap terdakwa, penegak

hokum haruslah menyesuaikan kembali dengan unsur-snsur

pertanggungjawaban pidana, agar para pelaku tindak pidana dapat

dimintai pertanggungjawabannya.

3. Dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana,

diharapkan agar penegak hukum dapat menjatuhkan sanksi yang

sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku, agar

didapatkan sanksi pidana yang tepat dan adil, serta memenuhi rasa

keadilan bagi semua pihak, baik pelaku, korban, maupun masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, H.A.K. Moch. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung,
Alumni, 1980.

Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Harta Benda, Malang, Bayumedia, 2004.

______________. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, Rajawali Pers,


2014.

______________. Pembelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta, RajaGrafindo


Persada, 2005.

Gosita, Arif. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2002.

Lamintang, P.A.F dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap


Harta Kekayaan, Jakarta , Sinar Grafika, 2009.

Marpaung, Leden. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Sinar Grafika,


Jakarta 1991.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2015.

Sunarto, Kumanto. Pengantar Sosiologi, Jakarta, Akademika Presindo, 2000.

Weda, Made Darma. Kriminologi, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1996.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Putusan No.212/Pid.B/2018/Pn-Kbj

Internet

Anhar, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penggelapan Dengan


Pemberatan Yang Dilakukan Secara Berlanjut”, Jurnal Ilmu Hukum Legal
Opinion, Edisi 1, Vol.2, 2014, diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/147080-ID-tinjauan-yuridis-terhadap-
tindak-pidana.pdf, Pada tanggal 11 Maret 2019, Pukul 11.29 WIB.

21

Anda mungkin juga menyukai