Anda di halaman 1dari 37

EKONOMI ISLAM DASAR

DOSEN PENGAMPU:
Dr.ULIL AMRI.LC.M.H.I

DISUSUN OLEH:

CINDY INDRYANI (2130603341)

PRODI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PALEMBANG

2021

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami masih diberi kesehatan dan dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Ekonomi Islam Dasar” tepat pada waktunya. Saya juga
berterima kasih kepada bapak Dr.Ulil Amri.Lc.M.H.I yang memberikan tugas ini
untuk pembelajaran dan penilaian untuk mata kuliah Ekonomi Islam Dasar.

Harapan saya semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan


serta pengalaman dari pembaca. Saya akui bahwa ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Saya menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari dukungan
berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
kepada:

1. Bapak Dr.Ulil Amri.Lc.M.H.I, selaku dosen pengajar kami.

2. Kepada kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini.

3. Dan tidak lupa kepada teman-teman kami tercinta yang telah membantu dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Palembang, 2 Desember 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wakaf adalah ibadah amaliyah ijtimaiyah (ibadah harta untuk kesejahteraan


masyarakat) yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan dari sisi
pembangunan kesejahteraan umat. Namun, manfaat wakaf kurang dapat dirasakan
dan didayagunakan secara optimal untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat
Indonesia. Diantara kendalanya adalah :

a. Wakaf dipahami hanya berbentuk barang yang tidak bergerak, seperti


tanah dan bangunan.

b. Kendala utama pelaksanaan wakaf uang khususnya dalam hal sosialisasi


kepada masyarakat masih belum maksimal.

c. Belum optimalnya lembaga-lembaga pengelola wakaf dalam mengelola


wakaf yang semestinya keberadaannya menjadi faktor penentu dalam pemanfaatan
harta wakaf dan digunakan dalam bentuk produktif, misalnya upaya peningkatan
kegiatan usaha kecil dan lain sebagainya.

Wakaf uang (cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) telah lama dipraktikan di


berbagai negara seperti Malaysia, Bangladesh, Mesir, Kuwait dan negara-negara
Islam di Timur Tengah lainnya. Di Indonesia praktik wakaf uang baru mendapat
dukungan Majelis Ulama Indonesia tahun 2002 seiring dengan dikeluarkan
keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang tanggal 28
Shafar 1423 Hijriah/11 Mei 2002 guna menjawab Surat Direktur Pengembangan
Zakat dan Wakaf Departemen Agama Nomor Dt. III/5/BA.03.2/2772/2002 tanggal
26 April 2002 yang berisi tentang permohonan fatwa tentang wakaf uang.

Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang


Wakaf, Nazhir (pengelola wakaf) adalah pihak yang menerima harta benda wakaf
dari wakaf untuk dikelola dan dikembangan sesuai dengan peruntukkanya. Jadi
dapat. Jadi dapat dikatakan bahwa Nazhir wakaf uang merupakan pihak yang
berkaitan langsung dengan upaya-upaya produktif dari aset wakaf uang.

1
Pemerintah yang semakin memegang teguh akan prinsip-prinsip yang
diterapkan perpajakan western, tidak mampu beralih dan mencari solusi lain
daripada permasalahan tersebut. Dengan keadaan APBN yang porak-poranda,
ternyata konsep Islam mulai banyak diminati masyarakat. Tidak hanya dalam sisi
gaya hidup, pola pikir dan ibadah melainkan mulai merambah keberbagai sistem
pemerintahan. Dan salah satu solusi kesejahteraan masyarakat dari zaman
Rasulullah SAW yaitu wakaf dan zakat, mulai banyak dilirik para publik.
Sehingga, muncul beberapa pendapat akan potensi zakat serta wakaf terutama,
untuk menjadi solusi kebangkitan perekonomian Indonesia.

Wakaf uang yang belum lama ini menimbulkan kontroversi kesahannya,


ternyata sudah pernah diterapkan dari zaman kekhalifahan. Tidak hanya itu,
bahkan wakaf uang konon kabarnya mulai mengalami perkembangan yang tinggi.
Lembaga Keuangan Syariah serta Badan Wakaf Indonesia pun mulai bergerak
aktif dalam penghimpunan wakaf uang tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang disajikan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan wakaf ?

2. Bagaimakah potensi wakaf uang dalam meningkatkan


perekonomian negara melalui instrumen finansial Islam ?

3. Resiko yang terjadi dalam pengelolaan wakaf uang dan bagaiman


solusi penyelesaiannya ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuannya adalah sebagai berikut :

1. Menumbuhkan potensi wakaf uang dalam meningkatkan


perekonomian negara melalui instrumen finansial Islam.

2. Untuk mengetahui program dan keefektifan pengelolaan wakaf


uang yang telah dilakukan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf

1. Pengertian Wakaf Secara Umum

Kata waqaf jamaknya adalah awqaf dan awquf kata yang sama ialah tasbil
dan hubs, kata ini banyak dipakai di Afrika Utara, kadang-kadang mereka
menyebutnya dengan habous. Dari segi bahasa ia berarti menahan (detention).
Pada definisinya yang populer ialah menahankan harta serta membelanjakan
manfaatnya pada jalan Allah atau menahan harat dan mengalirkan hasil atau
buahnya. Menahan harta maksudnya adalah harta itu tidak boleh dijual,
dihibahkan dan tidak boleh dijadikan harta pusaka serta manfaatnya hendaklah
digunakan bagi tujuan mengikuti ketentuan sipewakaf (waqif).

Adapun beberapa rumusan wakaf menrut istilah yang dipaparkan oleh para
ulama yaitu:

a. Definisi wakaf yang dirumuskan mayoritasulama dari kalangan Hanabial


as-Syaibani dan Abu Yusuf, wakaf adalah menahan harta yang dapat
dimanfaatkan dengan tetapnya zat benda yang menghalangi waqif dan lainnya
dari tindakan hukum yang dibolehkan, yang bertujuan untuk kebaikan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

b. Abu Hanifah merumuskan definisi wakaf dengan menahan benda milik


orang yang berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan.

c. Ulama Malikiyah mendefinisikan wakaf adalah menjadikan manfaat harta


waqif berupa sewa ataupun hasilnya seperti dirham (uang) untuk orang-orang
yang berhak dengan sighat tertentu dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
kehendak waqif.

Adapun menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 2004


pasal 1 mendefinisikan wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan
atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan
ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariah.

3
Dengan demikian, secara garis besar wakaf dapat dibagi menjadi 2 kategori:
pertama, direct wakaf dimana aset yang ditahan atau diwakafkan dapat
menhasilkan menfaat, jasa yang kemudian dapat digunakan oleh orang banyak
(beneficiaries) seperti tanah ibadah, sekolah dan lain sebagainya. Kedua, adalah
wakaf investasi (aset yang diwakafkan digunakan untuk investasi). Wakaf aset
ini dikembangkan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dapat dijual untuk
menghasilkan pendapat, dimana pendapat tersebut kemdian digunakan untuk
membangun fasilitas umum seperti masjid atau pusat kegiatan islam lainnya.

B. Dasar Hukum Wakaf

1. Al-Qur’an

Yang artinya :

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan


hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menimbulkan
tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir serats biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi sesiapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S.Al-Baqarah 261)

“Hai orang-orang yang beriman Nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari


hasil usaha kamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu”. (Q.S.Al-Baqarah 267)

“Kamu belum mencapai kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan


sebagian harta yang kau cintai dan apa saja dari sesuatu yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Q.S.Ali-Imran 92)

2. Al-Hadis

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya rasulullah saw bersabda: “apabila anak
adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah
jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kedua
orangtuanya”. (HR.Muslim)

4
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., berkata kepada Rasulullah saw, “saya
mempunyai seratus saham (tanah kebun) di khatbar, belum pernah saya
mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu, saya bermaksd
menyedekahkannya”. Nabi saw berkata: “tahanlah pokoknya dan sedekahkan
buahnya pada sabilillah”. (HR.An-Nasa’I)

Pada tahun 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah mentapkan
Fatwa tentang Wakaf Uang. Isi fatwa tersebut adalah:

a. Wakaf uang (cash wakaf/waqaf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan


seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai.

b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.

c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).

d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibolehkan sacar syar’i.

e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan atau bahkan diwariskan.

C. Wakaf Uang Sebagai Instrumen Ekonomi Islam

Wakaf uang sebagai salah satu instrumen ekonomi islam menawarkan konsep
ekonomi yang berpihak pada sistem ekonomi yang berkeadilan sosial melalui
berbagai pengembangan baik secara kelembagaan maupun secara yuridis, seiring
dengan perkembangan lembaga-lembaga ekonomi Islam di Indonesia. Jika diamati
secara menyeluruh masih terdapat banyak kelemahan yang menjadi sebagian
masyarakat terhadap ekonomi islam dalam praktek, misalnya persoalan mekanisme
birokrasi yang panjang, produk-produk yang terkesan tidak fleksibel, kaku dan lain-
lain (Nurul Hak, 2011 : 61). Sehubung dengan persoalan tersebut, dewasa ini muncul
kembali berbagai usaha untuk mengkaji ulang kegiatan lembaga ekonomi Islam. Hal
ini disebabkan terjadinya krisis perekonomian yang melanda sistem ekonomi yang
ada. Salah satu kajian tersebut menjadikan wakaf sebagai sumber ekonomi yang
sangat strategis dan potensial bagi pengembangan ekonomi Islam.

5
Di Indonesia lembaga yang secara khusus mengelola dan wakaf tunai dan
beroperasi secara nasional itu berupa Badan Wakaf Indonesia (BWI). Tugas lembaga
ini yaitu mengkoordinir nazhir yang sudah ada atau mengelola secara mendiri harta
wakaf yang dipercayakan kepadanya, khususnya wakaf tunai. Hasil dari
pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional dan amanah oleh lembaga
kenazhiran dan BWI sendiri kemudian dipergunakan secara optimal untuk keperluan
sosial. Karena itulah Badan Wakaf Indonesia yang mempunyai fungsi sangat
strategis tersebut diharapkan dapat membantu, baik dan pembinaan maupun
pengawasan terhadap nazhir dalam pengelolaan wakaf secara produktif dan
profesional. Pada dasarnya tujuan pembentukan Badan Wakaf Indonesia yaitu untuk
menyelenggarakan administrasi pengelolaan wakaf secara nasioanal, mengelola harta
wakaf sendiri yang dipercayakan kepadanya yang berkaitan dengan tanah wakaf
produktif dalam rangka sosialisasi kepada umat Islam pada umumnya.

Adapun ketentuan tentang wakaf uang yang dilaksanakan di Indonesia yang


diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu:

1. Waqif diperbolehkan mewakafkan uang melalui Lembaga Keuangan Syariah


yang ditunjuk oleh Menteri.

2. Wakaf yang dilaksanakan oleh Waqif dengan pernyataan kehendak Waqif


yang dilakuukan secara tertulis.

3. Wakaf diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang, dan

4. Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh Lembaga Keuangan


Syariah kepada Waqif dan Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang
kepada Menteri selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak diterbitkannya sertifikat
wakaf uang.

Adapun teknis yang menyangkut wakaf uang yaitu :

1. Waqif wajib hadir di Lembaga Keuangan Syariah sebagai penerima wakaf


uang untuk menyatakan wakaf uangnya. Bila Waqif berhalangan Waqif dapat
menunjuk wakil atau kuasanya.

2. Waqif wajib menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang akan


diwakafkan.

3. Waqif wajib menyerahkan secara tunai ke LKS-PWU, dan

6
4. Waqif wajib mengisi formulir pernyataan kehendaknya yang berfungsi
sebagai AIW.

Wakaf sebagai dana publik, maka dalam pengolaannya harus disadari bahwa
manfaat yang akan diperoleh harus kembali kepada publik. Untuk itu, tidak saja
pengelolaannya yang harus dilakukan secara profesional, melainkan juga
transparansi serta akuntabilitas merupakan faktor yang hars diwujudkan. Oleh sabab
itu, maka Lembaga apapun yang telah memiliki budaya tersebut sesungguhnya
merupakan lembaga yang paling siap di dalam mengemban pengelolaan wakaf tunai.

D. Resiko dan Penyelesaian Dalam Pengelolaan Wakaf Uang

1. Resiko Yang Dialami

Pengelolaan wakaf produktif di bidang pertanian dan perdagangan, tentu


memiliki resiko penyebab kerugian yag spesifik, berbeda dengan pengolaan di
bidang jasa atau investasi pada lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya.
Penyebab-penyebab umum yang dapat diidentifikasikan adalah:

a. Kerugian dari kegiatan usaha pengembangan wakaf itu sendiri.

b. Kerugian dapat timbul karena resiko bisnis maupun finansial.

c. Depresiasi natural. Bangunan yang diwakafkan secara alamiah berkurang


nilainya karena tidak pernah direnovasi, demikian pula wakaf uang dalam bentuk
uang akan tergerus nilainya oleh inflasi.

d. Terjadinya peristiwa-peristiwa foree majeur seperti kecelakaan, bencana


alam, kebakaran ataupun kebanjiran.

e. Kelalaian atau ketidakamanahan nazhir.

2. Pengendalian dan Penyelesaian Resiko

Pada dasarnya langkah penangan resiko ada tiga, yakni:

a. Mengurangi

b. Mengalihkan

c. Menanggung sendiri

7
Dalam pemilihan wakaf produktif, pilihan-pilihan pengalihan resiko ke
pihak lain tidak boleh bertentangan dengan syariah. Bagaimanpun, tidak semua
resiko bisa dialihkan. Resiko-resiko yang tidak dapat dialihkan tersebut mau tak
mau harus ditanggung sendiri kerugiannya. Manajemen resiko yang baik adalah
merencanakan besar resiko yang harus ditanggung sendiri setelah upaya
mengurangi dan mengalihkan resiko dilakukan secara optimal.

Aspek pengendalian resiko, dalam pengelolaan wakaf produktif dimulai


dengan memilih jenis-jenis investasi dan sektor-sektor usaha secara cermat dan
menghindari sektor usaha yang beresiko tinggi. Hal ini terkait dengan kewajiban
nazhir untuk mempertahankan nilai harta benda wakaf sehingga preferensi
terhadap kerugian usaha yang dapat berakibat kepada berkurangnya nilai harta
benda wakaf tergolong rendah. Dalam hal ini nazhir sebaiknya menunjuk pihak
lain selaku fund manager, misalnya pihak perbankan syariah, perusahaan
pengelola investasi syariah dan sebagainya.

Disamping penjaminan terhadap kerugian pengolaan wakaf produktif, salah


satu langkah pengelolaan resiko adalah penangan asuransi. Sudah tentu seluruh
aset fisik kecuali tanah yang diwakafkan oleh waqif wajib diasuransikan
terhadap resiko yang mungkin terjado. Melalui mekanisme asuransi, umat akan
terlindungi dari tindakan tidak profesional atau tidak amanah dari nazhir atau
pengelolaan wakaf produktif yang ditunjuk atau bekerja sama dengan nazhir.

8
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Wakaf uang merupakan salah satu inovasi masyarakat muslim yang perlu
disosialisasikan kepada umat Islam secara menyeluruh. Pemanfaatan wakaf uang
kalau bisa dimaksimalkan akan memberikan kontribusi yang tinggi kepada
masyarakat terutama dalam kegiatan yang bersifat produktif seperti investasi.

Dengan beberapa penerapan prinsip-prinsip yang kuat dan strategis, wakaf uang
akan mudah dipahami oleh publik. Dan dengan demikian, potensi wakaf uang
sebagai instumen finansial Islam akan terealisasi dan disinilah akan terbukti bahwa
wakaf uang tidak hanya berpotensi sebagai instrumen finansial Islam saja melainkan
juga menjadi solusi pengembangan perekonomian negara dan pengentasan
kemiskinan di Indonesia.

9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu isu dalam ekonomi Islam kontemporer yang mendapatkan perhatian
cukup serius adalah zakat dan penghapusan riba. Keduanya mendapatkan porsi lebih
karena dianggap merupakan sentral perekonomian dalam Islam. Zakat adalah salah
satu dari lima rukun Islam dan merupakan fundamental dari sistem ekonomi Islam.
Zakat juga ibadah maliyah al-ijtima’iyyah yang memiliki posisi penting, strategis,
dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan
umat. Sebagai suatu ibadah pokok, keberadaan zakat ma’lum min addin bi al-
dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari
keislaman seseorang (Sanrego dan Ismail, 2015: 290).Sedangkan penghapusan riba
merupakan keniscayaan. Menurut al-Ghazali mempraktekkan riba itu sama artinya
dengan memenjarakan uang sedemikian rupa sehingga uang tidak dapat memainkan
fungsi-fungsi utamanya. Di masyarakat, praktek ini tentu membawa implikasi yang
serius pada terciptanya penipuan, kezaliman, dan ketidakadilan sosio-ekonomi.
Maka, salah satu argumentasi mengapa Islam melarang praktek ekonomi riba ialah
untuk menghilangkan semua ketidakadilan ekonomi tersebut (Hoetoro, 2007: 147).

10
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Zakat

Zakat secara bahasa berarti an-numu wa az-ziyadah (tumbuh dan berkembang).


Kadang-kadang dipakai dengan makna ath-thaharah (suci), al-barakah (berkah).
Zakat dalam pengertian suci, adalah membersihkan diri, jiwa, dan harta. Seseorang
yang mengeluarkan zakat berarti dia telah membersihkan diri dan jiwanya dari
penyakit kikir, membersihkan hartanya dari hak orang lain. Sementara itu, zakat
dalam pengertian berkah adalah sisa harta yang sudah dikeluarkan zakatnya secara
kualitatif akan mendapatkan berkah dan akan berkembang walaupun secara
kuantitatif jumlahnya berkurang (QS. At-Taubah [9]: 103). Dan jika pengertian itu
dihubungkan dengan harta, maka, zakat adalah bagian dari harta yang wajib
diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu,
dengan syarat-syarat tertentu pula agar dapat bertambah karena suci dan berkah
(membawa kebaikan bagi hidup dan kehidupan yang punya) (Sholahuddin, 2014:
265).

Dalam al-Qur‟an terdapat 32 buah kata zakat, bahkan sebanyak 82 kali diulang
sebutannya dengan memakai kata-kata yang sinonim dengannya, yaitu sedekah dan
infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai
keduduakn, fungsi dan peranan yang sangat penting. Dari 32 kata yang terdapat di
dalam al-Qur‟an, 29 kata di antaranya bergandengan dengan kata shalat seperti surah
al-Muzammil [73]: 20, al-Bayyinah [98]: 5; Maryam [19]: 31; al-Baqarah [2]: 43,
83, 227; al-Anbiya [21]: 73, dan al-Maidah [5]: 12,55. Hal ini memberi isyarat
tentang eratnya hubungan antara ibadah zakat dengan ibadah shalat (Qadir, 2007:
43).

Dalam perspektif fiqh, zakat merupakan mengeluarkan bagian tertentu dari harta
tertentu yang telah sampai nisabnya untk orang-orang yang berhak menerimanya
(mustahiq zakat) dengan syarat-syarat tertentu. Orang yang menjadi mustahiq zakat
berdasarkan surah At-Taubah [9] ayat 60 adalah fakir, miskin, amil, para muallaf,
hamba sahaya (riqab), orang-orang yang berhutang (gharimin), fi sabililah, dan para
musafir (ibn sabil) (Rozalinda, 2014: 248-262). Zakat adalah tiang agama setelah

11
syahadat dan shalat, dan telah diwajibkan Allah sejak Nabi Ibrahim a.s dan Nabi-
nabi sesudahnya sampai Nabi Isa a.s, dan Nabi Muhammad SAW (QS. Al-Anbiya‟
[21]: 73, Al-Maidah [5]: 12, Maryam [19]: 55, Maryam [19]: 31, At-Taubah [9]: 60).
Mengingat kedudukan zakat sebagai rukun Islam ketiga dan memiliki dampak sosial
ekonomi yang baik dan efektif. Bahkan, Abu Bakar Shiddiq, khalifah pertama
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, memerangi orangorang yang enggan
membayar zakat (Zuhri, 2000: 9).

Di dalam zakat mengandung aspek moral, sosial, dan ekonomi. Dalam aspek
moral, zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan kelompok orang kaya.
Dalam aspek sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk
menghapuskan kemiskinan dalam masyarakat dengan menyadarkan kelompok kaya
akan tanggungjawab sosial yang mereka miliki. Sementara dalam aspek ekonomi,
zakat mencegah penumpukan kekayaan dalam tangan segelintir orang,
memungkinkan kekayaan utuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar, dan sangat
berbahaya di tangan para pemiliknya. Zakat merupakan sumbangan wajib kaum
muslimin untuk perbendaharaan negara (Mubarak, 2014: 118-119, Huda, dkk, 2015:
10).

B. Sumber-Sumber Zakat

Adapun Sumber- sumber zakat, yaitu:

1. Hewan Ternak

Dalam berbagai hadist dikemukakan bahwa hewan ternak yang wajib


dikeluarkan zakatnya setelah memenehi persyaratan tertentu ada tiga jenis,
yaitu unta, sapi, dan domba atau kambing. Dan para ulama juga telah
bersepakat kewajiban zakat pada tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan domba.
Sedangkan diluar ketiga jenis tersebut, para ulama berbeda pendapat. Abu
Hanifah berpendapat bahwa pada binatang kuda dikenakan kewajiban zakat,
sedangkan Imam Malik dan Imam Safi’I tidak mewajibkannya, kecuali bila
kuda itu diperjualbelikan. Apabila diperhatikan dari dalildalil dalam Al-Qur’an
dan hadist serta pendapat para ulama, dapat disimpulkan bahwa hewan ternak
selain unta, sapi, dan domba, seperti unggas, tidaklah termasuk pada kategori
zakat hewan ternak, melainkan zakat perdagangan.

12
2. Emas dan Pera

Kewajiban mengeluarkan zakat emas dan perak setelah memenuhi


persyaratan tertentu dinyatakan dalam surat AtTaubah ayat 34-35 dan hadist
Nabi riwayat Imam Muslim. Para ulama fiqh telah bersepakat bahwa emas dan
perak wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab dan telah
berlalu satu tahun. Berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Dawud,
nishab zakat emas adalah dua puluh misqal atau dua puluh dinar, sedangkan
nishab zakat perak adalah dua ratus dirham. Dua puluh misqal atau dua puluh
dinar sama dengan delapan puluh lima gram emas. Dua ratus dirham sama
dengan lima ratus sembilan puluh lima gram perak.

3. Perdagangan

Kewajiban zakat pada perdagangan yang telah memenuhi persyaratan


tertentu dilandaskan pada Al-Qur’an Surat AlBaqarah ayat 267 dan hadist nabi
yang diriwayatkan Abu Dawud. Hampir seluruh Ulama bersepakat bahwa
perdagangan itu harus dikeluarkan zakatnya, apabila memenuhi persyaratan
kewajiban zakat. Ada tiga persyaratan utama kewajiban zakat pada
perdagangan, yaitu: Pertama,niat berdagang. Kedua, mencapai nishab. Ketiga,
telah berlalu satu tahun.

4. Hasil Pertanian

Tanaman, tumbuhan, buahbuahan, dan hasil pertanian lainnya yang telah


memenuhi persyaratan telah wajib zakat, harus dikeluarkan zakatnya. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-An’aam ayat 141 dan hadist
Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari. Hadist Nabi telah membedakan
besarnya zakat pertanian dari tanaman yang mempergunakan biaya yang besar
dalam pengairannya, seperti sisitm irigasi, yaitu sebesar lima persen.
Sedangkan yang tidak menggunkannya, zakatnya lebih besar, yaitu sepuluh
persen.

5. Barang Tambang (ma’din) dan Barang Temuan (rikaz).

Yang menjadi dasar diwajibkannya zakat pada temuan dan barang


tambang yaitu sebuah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Sunan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah. Barang tambang wajib dikeluarkan zakatnya yang nishab
nya sama dengan nishab emas dan perak, yaitu 20 misqal emas atau 200 dirham

13
perak dengan kadar zakat sebesar 2,5 persen. Adapun untuk barang temuan
zakat yang wajib dikeluarkan sebesar 20 persen yang harus disimpan di baitul
mal untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.

C. Fungsi-Fungsi Zakat Dalam Meningkatkan Ekonomi

1. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistim perpajakan erat hubungannya dengan


sistim perekonomian. Demikian pula pungutan zakat, ternyata mempunyai
peranan aktif dalam perekonomian. Karena ia merupakan pungutan yang
mendorong kehidupan ekonomi hingga tercipta padanya pengaruhpengaruh
tertentu.

2. Zakat berikut kekayaan yang dipenggalnya dan pembelanjaan hasil pungutan


zakat, khususnya pembelanjaan pada bidang-bidang sosial tertentu dan diketahui
adalah aktif dalam mendistribusikan kembali pendapatan dan kekayaan kepada
masyarakat karena zakat itu dipungut dari orang-orang kaya, diberikan kepada
orang-orang fakir.

3. Pembagian zakat juga memainkan peranan ekonomi yang penting dalam


mendorong peredaran uang dan memperluas arus uang. Karena dengan adanya
zakat, semakin kuatlah daya beli. Dengan demikian, terjadilah pembelanjaan
konsumtif untuk memperoleh barang ataupun jasa. Zakat juga aktif dalam
merealisasikan keseimbangan yang stabil antara arus barang dan arus uang.
Seperti diketahui antara arus barang dan arus uang berjalan dari arah yang
berlawanan yang satu menyempurnakan yang lain. Akan tetapi, dengan adanya
pembagian zakat secara luas, maka dapat meningkatkan pembelanjaan umum
untuk dikonsumsikan pada barang dan jasa. Karena orang-orang fakir dan miskin
yang tidak berpenghasilan sama sekali atau yang paspasan saja, akan mendapat
bantuan pendapatan berupa uang yang kemudian mereka gunakan untuk
memenuhi konsumsi keluarganya dan membeli barang dan jasa yang mereka
butuhkan.

D. Zakat Sebagai Instrumen Finansial Islam

Di dalam zakat mengandung aspek moral, sosial, dan ekonomi. Dalam aspek
moral, zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan kelompok orang kaya.

14
Dalam aspek sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk
menghapuskan kemiskinan dalam masyarakat dengan menyadarkan kelompok kaya
akan tanggungjawab sosial yang mereka miliki. Sementara dalam aspek ekonomi,
zakat mencegah penumpukan kekayaan dalam tangan segelintir orang,
memungkinkan kekayaan utuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar, dan sangat
berbahaya di tangan para pemiliknya. Zakat merupakan sumbangan wajib kaum
muslimin untuk perbendaharaan negara (Mubarak, 2014: 118-119, Huda, dkk, 2015:
10). Zakat disebut pula sebagai salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai
harta yang tidak dimiliki dalam bentuk perekonomian lain, karena sistem
perekonomian di luar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta agar
menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki,
dan dendam (Huda, dkk, 2015: 10). Maka dari itu, Islam menjadikan instrumen zakat
untuk memastikan keseimbangan pendapatan di masyarakat. Hal ini mengingat tidak
semua orang mampu bergelut dalam kancah ekonomi. Dengan kata lain, sudah
menjadi sunatullah jika di dunia ini ada yang kaya dan miskin. Pengeluaran dari
zakat adalah pengeluaran minimal untuk membuat distribusi pendapatan menjadi
lebih merata (Rozalinda, 2014: 249).

Pada sisi lain, kewajiban setiap muslim membayar zakat pada dasarnya agar
terlaksana keadilan sosial (Qadir, 2001: 145). Keadilan sosial dalam Islam
merupakan kemurnian dan realitas ajaran agama. Orang yang menolak prinsip
keadilan sosial ini dianggap sebagai pendusta agama (QS. Al-Ma‟un [107]: 1-7).
Dengan demikian, keadilan sosial dalam Islam merupakan hak dan kewajiban yang
pasti dan penting karena ia merupakan hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT. Ia merupakan hak yang kudus yang harus dilaksanakan seluruh
masyarakat muslim (alKhayyath, t.th: 24). Persoalan keadilan sosial ini akan lebih
jelas bila dikaitakan dengan aspek ekonomi (QS. an-Nahl [16]: 90; An-Nisa [4]: 58,
al-An‟am [6]: 152, al-A‟raf [7]: 28, dan al-Hadid [57]: 25). Menurut Siddiqi zakat
selain harus dilihat sebagai alat manajemen bagi keadilan ekonomi, juga harus
mempertimbangkan apresiasi atau depresiasi terhadap nilai uang yang ditentukan
pasar (Kamil, 2016: 45).

Karena zakat merupakan sumber utama penerimaan negara, namun tidak


dipandang sebagai pajak melainkan lebih sebagai kewajiban agama, yaitu sebagai
salah satu rukun Islam. Karena itulah maka zakat merupakan poros keuangan negara

15
Islam. Zakat bersifat tetap dan para penerimanya juga sudah ditentukan (asnaf
delapan). Zakat tidak menyebabkan terjadinya efek negatif atas motivasi kerja. Justru
zakat menjadi pendorong kerja, karena tak seorangpun ingin menjadi penerima zakat
sehingga ia rajin bekerja agar menjadi orang yang senantiasa membayar zakat. Selain
itu, jika seseorang membiarkan hartanya menganggur, maka ia akan semakin
kehilangan hartanya karena dikurangi dengan pengeluaran zakat tiap tahun. Ia harus
bekerja dan hartanya harus produktif.

16
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Zakat diwajibkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad. Dalil-dalil


yang terdapat dalam Al-Qur’an banyak menggunakan bentuk amar (perintah) atau
intruksi. Tidak hanya sebagai kewajiban kepada Allah yang bernilai ibadah, zakat
juga mempunyai dimensi sosial. Dimana zakat mampu meningkatkan perekonomian
ummat melalui fungsi distribusi kesejahteraannya.

2. secara khusus zakat dapat bermanfaat sebagai instrument untuk meningkatkan


perekonomian ummat, dapat mengurangi penganggguran dan menghapuskan
kemiskinan, karena zakat dapat berperan sebagai distribusi kapital bagi masyarakat.
Dengan pendistribusian zakat dari muzakki kepada mustahiq, berarti terjadi proses
distribusi untuk pemerataan sumber daya ekonomi. Sumber daya dari muzakki
kepada mustahiq akan membantu kehidupan rakyat sehingga mendorong
pertumbuhan dan peningkatan ekonomi.

3. untuk mendorong pemberdayaan zakat lebih maksimal dibutuhkan pelembagaan


zakat khususnya melalui peraturan hukum positif yang dapat di terapkan untuk
menjadi landasan pengelolaan zakat di Indonesia. Kehadiran Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2011 Tentang pengelolaan zakat menjadi instrument penting untuk
mewujudkan cita-cita zakat yang mampu meningkatkan ekonomi ummat.

17
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Riba merupakan haram atau dilarang dalam perbankan syariah. Jika riba dengan
jumlah kecil ataupun besar (ganda) maka dianggap tetap hal atau aktifitas yang tidak
boleh dilakukan, sebab sikap dan perbuatan tersebut bisa merugikan selain itu juga
haram untuk semua kalangan masyarakat. Riba jika dijalankan sendiri ataupun
bekerjasama dengan yang terkait riba, itu hal yang tetap diharamkan bagi umat
muslim.
Di indonesia masih terjadi perselisihan akan ragunya bunga bank apakah
termasuk dalam riba atau tidak, tetapi perselisihan ini sudah disepakati oleh islamic
banker dan ahli fiqih dikalangan dunia. Selain hal tersebut umat islam haru
mempuunyai kepercayaan dan keyakinan dimana sebagai orang muslim jika dalam
bertransaksi harus tidak boleh ada keterlibatan dengan sistem riba. Yang dimaksud
dan transaksi ini yakni bertransaksi uang dimana transfer menggunakan uang dan
disaat transaksi tersebut ada sebuah tambahan. Di indonesia, sejak perbankan syariah
berdiri cukup lama membuat perbankan syariah semakin pesat dikarenakan banyak
perbankan konvensional yang disyariahkan. Perkembangan-perkembangan dari
perbankan syariah ini membuat masyarakat ingin memilih produk perbankan syariah.
Lajunya pertumbuhan ekonomi di Indonesia sekarang menjadi suatu pusat perhatian
dalam sektor industri keuangan . Dari bagian lain wilayah Indonesia, mayoritas
penduduk yang memeluk agama Islam. Dari mayoritas inilah yang mengakibatkan
lajunya perkembangan pola pikir masyarakat akan keinginan yang lebih
mengutamakan memilih perbankan syariah. Tetapi, dari sebagian masyarakat tersebut
juga masih ada belum ada keinginan untuk mengetahui tentang riba dan pengetahuan
akan produk perbankan syariah.

18
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari Bahasa arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-`uluw) dan meningkat (al
irtifa`).1 Sehubungan dengan arti riba dari segi Bahasa tersebut, ada ungkapan orang
Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba fulan `ala fulan idza azada `alaihi
(seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur
tambahan atau disebut liyarbu ma a`thaythum min syai`in lita’khuzu aktsara minhu
(mengambil dari sesuatu yang kamuberikan dengan cara berlebih dari apa yang
diberikan).2
Menurut Wasilul Chair mengutip Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para
ulama` sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman Ketika pinjaman itu
dibayar dalam tenggang waktu tertentu `iwadh (imbalan) adalah riba. Yang dimaksud
dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh
dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba
fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan
komoditi tersebut.3
Dalam pengertian lain secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.4
Secara istilah syar`i menurut A.Hassan, riba adalah suatu tambahan yang diharamkan
didalam urusan pinjam meminjam.5 Menurut Jumhur ulama prinsip utama dalam riba
adalah penambahah, penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. 6
Ada beberapa pendapat lain dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam islam.

1
Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), h. 125.

2
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet. I, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar , 1996), h. 37.
3
Wasilul Chair, Riba Dalam Perspektif Islam Dan Sejarah, Iqtishadia, Vol.1 No. 1 Juni 2014, h.102
4
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 37
5
Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2001.), h .46.
6
Muhammad Syafii Antonio, Bank Islam... h.38

19
Kata riba tidak hanya berhenti kepada arti “kelebihan”. Pengharaman riba dan
penghalalan jual-beli tentunya tidak dilakukan tanpa adanya “sesuatu” yang
membedakannya, dan “sesuatu” itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Sebagaimana dalam firman-Nya Surat Al-Baqarah ayat 275:7

ِ ِ ۗ ِ ِ
ِّ ‫ك بِاَن َُّه ْم قَالُ ْٓوا امَّنَا الَْبْي ُع ِمثْ ُل‬
‫الربٰ و ۘا‬ ِّ ‫اَلَّ ِذيْ َن يَأْ ُكلُ ْو َن‬
َ ‫الربٰوا اَل َي ُق ْو ُم ْو َن ااَّل َك َما َي ُق ْو ُم الَّذ ْي َيتَ َخبَّطُهُ الشَّْي ٰط ُن ِم َن الْ َم سِّ ٰذل‬
ۤ ٰ ِ
‫ك‬َ ‫فَ َواَْم ُره اىَل اللّ ِه ۗ َو َم ْن َع َاد فَاُوٰل ِٕى‬ ۗ َ‫الربٰ و ۗا فَمن ج اۤءه مو ِعظَ ةٌ ِّمن َّربِّه فَ ا ْنَت ٰهى َفلَ ه م ا س ل‬
َ َ ْ َْ َ َ ْ َ ِّ ‫َواَ َح َّل ال ٰلّ هُ الَْبْي َع َو َح َّر َم‬
‫ب النَّا ِر ۚ ُه ْم فِْي َها ٰخلِ ُد ْو َن‬ ُ ‫ص ٰح‬ ْ َ‫ا‬

Artinya : Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka
berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. (Q.S al- Baqarah ayat 275)

B. Jenis-jenis Riba

Secara garis besar riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang
yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an, dan riba jual beli yang
juga telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as- Sunnah.
1. Riba akibat hutang-piutang yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah, yaitu hutang
yangdibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.8
2. Riba akibat jual-beli yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang
ribawi.

7
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011), h. 47.
8
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I, (Jakarta: Tazkia Institute,
1999), h. 77-78.

20
Riba utang piutang terbagi menjadi dua yaitu riba qardh dan riba jahiliyah.
Adapun riba jual beli terbagi menjadi riba fadl dan riba nasi’ah.9
1. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan yang disyaratkan terhadap yang
berhutang.Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi
mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada
Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.
2. Riba jahiliyah
Utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu
membayar utangnya pada waktu yang ditentukan, dan biasa disebut juga dengan
riba yad. Biasanya tambahan ini bertambah sesuai dengan lama waktu si
peminjam dan membayar utangnya.
3. Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang ditukarkan itu termasuk barang ribawi (emas, perak,
gandum, tepung, kurma dan garam). Contohnya tukar menukar emas dengan
emas,perak dengan perak.
4. Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang ditukarkan
dengan jenis barang ribawi lainnya, riba ini muncul karena adanya perbedaan atau
tambahan antara yang diserahkan hari ini dan yang diserahkan kemudian.
Contoh :Seseorang meminjam sekilo gandum dalam jangka waktu tertentu.
Apabila saat pembayaran tiba, pihak yang mempunyai hutang tidak dapat
membayarnya maka ia harus menambah menjadi 1.5 kilo. Yang maksudnya
menambah pembayaran utangnya sesuai dengan pengunduran waktu
pembayaran.10

C. Tahapan Larangan Riba dalam Al- Qur’an

Ada kemiripan antara larangan riba ini dan larangan Allah yang telah digunakan
terhadap minuman keras, perjudian dan juga dalam menghadapi praktek perbudakan.
Oleh karena itu, penelitian tentang metode yang digunakan dalam Al- Qur’an untuk
9
Nurul Huda Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana,
2010), h.192
10
Ahmad Muhammad Al-Assal dan Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 1999).h.91.

21
larangan terhadap minuman keras, perjudian dan juga perbudakan akan memberika
informasi yang berguna untuk memahami metode yang telah digunakan oleh Al-Qur’an
dalam larangan dan penghapusan riba.11 Al-Qur’an membicarakan riba secara bertahap,
diantaranya:
Tahap pertama, sekadar menggambarkan adanya unsur negatif riba.
Tahap kedua, memberikan sinyal atau isyarat tentang keharaman riba.
Tahap ketiga, secara eksplisit menyatakan keharaman salah satu bentuk riba.
Tahap keempat, mengharamkan riba secara total dalam berbagai bentuknya.12
Kronologi analsisnya adalah sebagai berikut:13
1. Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah
dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan
memberikan berkahNya dan melipat gandakan pahalanya. Pada ayat ini tidaklah
menyatakan larangan dan belum mengharamkannya.

ۤ ٰ ٍ ٰ
َ ‫َّاس فَاَل َيْربُ ْوا ِعْن َد اللّ ِه ۚ َو َم ٓا اَٰتْيتُ ْم ِّم ْن َز ٰك وة تُِريْ ُد ْو َن َو ْج هَ اللّ ِه فَاُوٰل ِٕى‬
‫ك ُه ُم‬ ِ ‫َو َم ٓا اَٰتْيتُ ْم ِّم ْن ِّربً ا لَِّي ْربُ َو ۟ا يِف ْٓي اَْم َو ِال الن‬

‫ضعِ ُف ْو َن‬
ْ ‫الْ ُم‬
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah,
maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-
orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. (Q.S.ar- Rum ayat 39).

Ayat tersebut turun ketika Nabi berada di Mekkah, tentang riba yang tidak akan
memberikan tambahan pada harta dan itu berbeda dengan zakat ataupun sedekah yang
akan menambahkan keberkahan pada harta. Sama halnya dijelaskan oleh Mujar Ibnu
Syarif menegaskan bahwa ayat tersebut merupakan bagian dari ayat-ayat Makkiyyah.
Sebagaimana lazim diketahui, pada umumnya ayat-ayat Makiyyah lebih dominan
berbicara mengenai masalah-masalah akidah (theologi). Pembahasan mengenai riba
dalam ayat 39 surah al-Rûm yang termasuk kategori ayat-ayat Makiyyah itu
11
Imran N.Hosein, Larangan Riba dalam Al- Qur’an dan Sunnah, (Malaysia: Ummavision Sdn.Bhd), hlm. 38
12
Ade Dedi Rohayana, “Riba dalam Tinjauan Al- Qur’an”, Religia, Vol.18, No.1, April 2015, hlm. 75
13
Muhammad Syafii Antonio, Bank Islam..., h. 48-50

22
menyimpan sebuah indikasi mengenai betapa urgennya masalah riba ini. Secara
eksplisit ayat tersebut menyatakan bahwa riba tidak berimplikasi pada perolehan
pahala. Berbeda dengan zakat yang bila ditunaikan semata-mata untuk menggapai
ridha Allah, pasti pelakunya akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah
Swt.14

2. Riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk, sebagaimana firman Allah SWT :

ِّ ‫ِّه ْم َع ْن َس بِْي ِل ال ٰلّ ِه َكثِْي ًر ۙا َّواَ ْخ ِذ ِه ُم‬


ُ‫الر ٰب وا َوقَ ْد نُ ُه ْوا َعْن ه‬
ِ ‫ت اُ ِحلَّت هَل م وبِص د‬
َ َ ُْ ْ
ٍ ‫فَبِظُْل ٍم ِّمن الَّ ِذين ه ادوا حَّرمنَ ا علَي ِهم طَيِّٰب‬
ْ ْ َ ْ َ ُْ َ َ ْ َ
‫اط ِل َوۗاَ ْعتَ ْدنَا لِْل ٰك ِف ِريْ َن ِمْن ُه ْم َع َذابًا اَلِْي ًما‬
ِ ‫َّاس بِالْب‬ ِ
َ ِ ‫َواَ ْكل ِه ْم اَْم َو َال الن‬
“Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang
baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi
(orang lain) dari jalan Allah, dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh
mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara
tidak sah (batil). Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab
yang pedih”. (Q.S. an-Nisa ayat 160- 161)

Dalam ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang
melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan bahwa Allah lebih tegas lagi tentang
riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan
bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk
menerima pelarangan riba.Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah
terdapat dalam agama Yahudi.

3. Riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.
Para ahli tafsir berpendapat bahwa mengambil bunga dengan tingkat tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktikkan dalam masa jahiliyah. Allah SWT berfirman :

َ‫ض َعافًا ُّمض َٰع َفةً ۖ َّو َّات ُقوا ال ٰلّهَ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُح ْو ۚن‬ ِّ ‫ٰيآَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْوا اَل تَأْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الر ٰب ٓوا ا‬
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat “
ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. (Q.S al-‘Imran ayat 130)

14
Mujar Ibnu Syarif, Konsep Riba dalam Alqur’an dan Literatur Fiqih, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 2, Juli 2011, h. 295

23
Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa berlipat ganda bukanlah syarat dari
terjadinya riba, namun merupakan praktek pembungaan pada masa itu. Dan maksud
dari ayat diatas adalah tentang kepastian haramnya riba, ketercelaan riba yang
didalamnya terdapat kezaliman sehingga dapat menyebabkan utang semakin
menumpuk dan akhirnya orang yang berutang tidak dapat melunasinya.

4. Allah dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil
dari pinjaman, sebagaiman firmanNya dalam surat al- Baqarah ayat 278-279:

ٍ ‫الربٰ ٓاو اِ ْن ُكْنتُم ُّم ْؤِمنِنْي َ فَ اِ ْن مَّل َت ْفعلُ وا فَ أْذَنُوا حِب َ ر‬


‫ب ِّم َن ال ٰلّ ِه َو َر ُس ْولِ ٖ ۚه‬ ِّ ‫ٰيٓاَيُّ َه ا الَّ ِذيْ َن اٰ َمنُ وا َّات ُق وا ال ٰلّ هَ َوذَ ُر ْوا َم ا بَِق َي ِم َن‬
ْ ْ َْ ْ ْ
‫س اَْم َوالِ ُك ۚ ْم اَل تَظْلِ ُم ْو َن َواَل تُظْلَ ُم ْو َن‬ ِ
ُ ‫َوا ْن ُتْبتُ ْم َفلَ ُك ْم ُرءُ ْو‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak
melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika
kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim
(merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)”. (Q.S. al-Baqarah ayat 278-279)

Ayat ini menjelaskan tentang pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan
mutlak mengharamkannya dalam berbagai bentuknya, dan tidak dibedakan besar
kecilnya.Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat
tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah Swt
dan RasulNya.

Menurut Quraish Shihab, analisis singkat tentang riba yang diharamkan al- Quran
dapat dilihat pada kandungan ayat Ali Imran ayat 130 dan al-Baqarah ayat 278, atau
lebih spesifik lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat- ayat tersebut, yaitu
(a) adh’afan mudha’afah; (b) maa baqiya min al-riba; (c) fa lakum ru’usu amwalikum,
la tazhlimuuna wa la tuzhlamuun.
Dari segi etimologi, kata adh’af adalah bentuk plural dari kata dhi’fu yang berarti
“double atau berlipat kali”. Karena itu, kata adh’afan mudha’afah adalah
pelipatgandaan yang berkali-kali. Kata adh’af yang terdapat dalam firman Allah di

24
atas kedudukannya sebagai hal dari kata riba, dan mudha’afah-nya sebagai sifat
adh’af. Maksud dari firman Allah:

َ‫ض َعافًا ُّمض َٰع َفةً ۖ َّو َّات ُقوا ال ٰلّهَ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح ْو ۚن‬ ِّ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْوا اَل تَأْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الربٰ ٓوا ا‬
Adalah janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda dengan menunda masa
pembayaran hutang yang merupakan pokok harta, tetapi melipatgandakan pokok harta
tersebut, sebagaimama kalian lakukan di masa jahiliyah. Islam melarang perbuatan
tersebut karena mengandung penindasan kepada orang yang sedang kesulitan.
Menurut Ibnu Jarir, maksud firman Allah di atas adalah janganlah kalian
memakan riba setelah masuk Islam, karena Allah telah memberi hidayah kepadamu,
sebagaimana perbuatanmu di masa jahiliyah. Apabila seseorang mempunyai hutang
kepada orang lain, kemudian masa pembayarannya telah tiba (padahal debitor belum
bisa membayar), maka si debitor berkata kepada kreditor: tundalah hutangmu, dan
saya akan menambah hartamu, kemudian keduanya sepakat. Transaksi itu adalah riba
yang berlipat ganda; karena itu, Allah melarang melakukannya saat mereka memeluk
Islam.15
Menurut al-Razi, apabila seseorang berhutang kepada orang lain, misalnya seratus
dirham untuk masa yang ditentukan. Kemudian masa pembayaran pun tiba, padahal si
debitor belum bisa melunasinya, maka si kreditor berkata: tambahlah harta saya, dan
saya akan menambah masa pembayaran. Adakalanya kreditor menjadikannya dua
ratus dirham, kemudian bila masa pembayaran yang kedua tiba, iapun berbuat seperti
semula, dan seterusnya berulang kali. Karena itu, si kreditor mengambil kelipatan-
kelipatan dari yang seratus. Inilah maksud dari firman Allah adh’afan mudha’afah.
Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa sekarang dengan
riba fahisy, yaitu keuntungan yang berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-
lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu
(terjadi) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan
(mengembalikan) 110 atau lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka
itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit. Tetapi, apabila telah tiba
masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan debitor ketika itu telah ada dalam
genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan
sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al- nasi’ah. Ibnu Abbas

15
Ade Dedi Rohayana, “Riba dalam

25
berpendapat bahwa nash al-Qur’an menunjuk kepada riba nasi’ah yang dikenal ketika
itu. Dari urian di atas tampak jelas bahwa riba yang adh’afan mudha’afah (berlipat
ganda) diharamkan oleh Allah, karena riba yang berlipat ganda adalah perbuatan
komunitas jahiliyah. Dalam halini tidak ada kontradiksi pendapat di antara ulama,
apapun mazhab dan alirannya. Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah yang
diharamkan itu hanya penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk
penambahan?
Yang pasti adalah bahwa teks ayat menunjukkan arti adh’afan mudha’afah
(berlipat ganda). Mereka yang berpegang kepada teks tersebut menyatakan bahwa ini
merupakan syarat keharaman. Artinya, kalau tidak berlipat ganda, maka tidak haram.
Pihak lain berpendapat bahwa teks tersebut bukan merupakan syarat, tetapi penjelasan
tentang bentuk riba yang sering dipraktikkan pada masa turunnya al-Quran, sehingga
kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipat gandaan adalah
haram.16
Quraish Shihab berpendapat bahwa untuk menyelesaikan hal ini perlu
diperhatikan ayat yang terakhir turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci
yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh’afan mudha’afah (berlipat ganda)
merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan essensi riba yang
diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga. Disini yang pertama dijadikan
kunci adalah firman Allah wa dzaruu maa baqiya min al-riba (dan tinggalkanlah sisa
riba yang belum dipungut). Pertanyaan yang timbul adalah “apakah kata al- riba yang
berbentuk ma’rifat (definite) ini mengarah kepada riba adh’afan mudha’afah atau
tidak”? Menurut Rasyid Ridha mengarah kepadanya, sedangkan menurut ulama lain
tidak mengarah kepadanya. Kemudian Quraish Shihab membenarkan pendapat
Rasyid Ridha karena didukung oleh riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang
sebab nuzul ayat al-Quran tersebut. Oleh karena itu, tidak tepat mejadikan pengertian
riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali Imran
yang lalu (adh’afan mudha’afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang
mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa riba yang diharamkan al- Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh’afan
mudha’afah atau yang diistilahkan dengan riba nasi’ah. Akan tetapi, Quraish Shihab
menyebutkan kata kunci berikutnya yaitu, fa lakum ruuusu amwalikum. Dalam arti
bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. Jika
16
Ade Dedi Rohayana, “Riba dalam ..., hlm.

26
demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam
kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat- ayat riba ini
tidak dapat dibenarkan. Kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan
atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan al- Quran dengan
turunnya ayat tersebut. Ini berarti kata adh’afan mudha’afah bukan syarat tetapi
sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktikkan. Karena itu,
kata adh’afan mudha’afah tidak penting lagi karena apakah ia syarat atau bukan,
apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang
diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun, kelebihan yang dimaksud adalah
dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya al-Quran dan yang
disyaratkan oleh penutup ayat al-Baqarah ayat 279 tersebut, yaitu laa tazhlimuun wa
laa tuzhlamuun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya).17

D. Riba dalam Prespektif Hadis Nabi

Nabi Muhammad SAW telah menegaskan dengan bahasa yang keras untuk
memperingatkan umat manusia dan juga umat Islam mengenai riba, sebagai berikut :18
Abu Hurairah telah mengatakan bahwa pesuruh Allah bersabda: “Riba terdiri dari
tujuh puluh jenis yang berbeda dan yang paling kurang bahayanya adalah setara
dengan seorang pria menikahi (yaitu melakukan hubungan jenis) dengan ibunya
sendiri” (Ibn Majah, Baihaqi)
Abdullah Ibn Hanzala telah melaporkan bahwa pesuruh Allah bersabda: “satu
dirham (koin perak) riba, yang mana diterimma oleh seseorang sedangkan dia
mengetaui (itu adalah riba), adalah lebih buruk dari melakukan zina sebanyak tiga
puluh enam kali”. (Ahmad) Baihaqi menyampaikannya, dari Ibn Abbas, dengan
tambahan bahwa Nabi beriktnya bersabda: neraka adalah lebih sesuai dari mereka
yang dagingnya dibesarkan dengan apa yang haram.(Ahmad, Ibn Majah)
Abu Hurairah telah melaporkan bahwa Nabi bersabda: “Allah berlaku adil untuk
tidak mengizinkan empat manusia (yaitu empat jenis manusia) memasuki surga atau
untuk merasakan nikmatnya: dia yang sifatnya meminum arak, dia yang mengambil
riba, dia yang mengambil harta anak yatim tanpa hak, dan dia yang tidak
memperdulikan orang tuanya”. (Mustadrak al-Hakim, Kitab Al-Buyu’)

17
Ade Dedi Rohayana, “Riba dalam ..., hlm. 84-85
18
Imran N.Hosein, Larangan..., hlm. 90-91

27
Hadis Nabi Muhammad SAW yang telah kami sebutkan telah menunjukkan
sejauh mana kemurkaan Allah SWT terhadap penindasan yang telah dilakukan oleh
riba. Nabi Muhammad SAW juga menegaskan dinyatakan perang dari Allah SWTdan
rasul-Nya yang berkenaan dengan larangan riba di dalam hadis berikut: Jabir bin
Abdullah telah berkata:”aku mendengar rasul Allah bersabda: jika siapapun dari
kamu tidak meninggalkan muhabarah, ketahuiah dia akan peperangan dari Allah dan
pesuruh-Nya. Zaid bin Tsabit berkata: aku kemudia bertanya” apakah mukhabarah?
Beliau menjawab” ini adalah yang mana kemu memiliki tanah untuk budidaya
dengan setengah, sepertiga atau seperempat (hasilnya untuk kamu)(bahayanya
adalah ia akan membawa, secara muslihatnya, seseorang bekerja sebagai hamba).
(Abu Daud)
Hadis di atas seharusnya membuka mata para pembaca akan bahaya teramat
besar. Ini akan menyebabkan perbudakan. Kebanyakan tanah pertanian di Pakistan
dimiliki oleh tuan tanah yang kaya raya. Mereka mempekerjakan para petani untuk
mengerjakan tanah tersebut dan memastikan para petani tersebut bekerja untuk
mereka dengan gaji yang murah. Mereka menggunakan sistem mukhabarah ini secara
langsung memenjara para petani di dalam sistem kemiskinan yang tetap, itu adalah
riba.19
Didalam hadis dijelaskan bahwa ada beberapa yang tekait dengan orang-orang
yang bertransaksi riba ini akan mendapatkan laknat dari Allah Swt. Makna
terminology dalam al-Qur’an digunakan dalam konteks kaitannya dengan hutang
piutang, lain halnya dengan hadis nabi, meskipun dasar rujukannya berpangkal dari
permasalahan hutang piutang, namun juga dapat berupa pinjaman atau permasalahan
jual beli yang ditangguhkan20. Disamping itu pembicaraan tentang riba dalam hadis
nabi juga berkaitan dengan bentuk-bentuk jual beli tertentu yang dipraktekkan pada
masa pra Islam. Diantara hadis-hadis yang menerangkan tentang riba yang berkaitan
dengan jual beli yaitu:21
Diriwayatkan oleh Abu said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda janganlah
kalian menjual emas dengan emas kecuali yang sama beratnya, janganlah kalian
melebihkan sebahagian diatas bagian yang lain, janganlah kalian menjual perak
dengan perak kecuali yang sama beratnya dan janganlah kalian melebihkan

19
Ibid, hlm. 93
20
Idri, Hadis Ekonomi , (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.) h.186.
21
Mardani, Ayat- ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h.135

28
sebahagian diatas bagian yang lain, dan janganlah kalian menjual yang tidak ada
diantara barang-barang itu dengan yang ada. (H.R Bukhari Muslim).
Hadis diatas menjelaskan bahwa jual beli dengan barang- barang yang sejenis seperti
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan
kurma harus dilakukan dengan ukuran, takaran dan timbangan yang sama. Jika jual
beli dilakukan dengan takaran yang berbeda maka dikategorikan riba, kecuali objek
yang diperjualbelikan berbeda. Karena itu tidak boleh jual beli satu dirham dengan
dua dirham dan satu dinar dengan dua dinar, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
Dari Utsman bin Affan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda janganlah kalian
berjual beli satu dinar dengan dua dinar dan satu dirham dengan dua dirham. (H.R
Muslim).
Disamping harus sama kadar, ukuran, atau timbangannya, menurut Rasulullah barang-
barang ribawi itu harus diserahkan secara langsung saat transaksi dilakukan,
sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri. Dan
apabila salah satu sifat barang yang diperjual belikan berubah, misalnya warnanya
kusam karena lama tak terjual dan yang lainnya masih segar, maka jual beli dengan
ukuran yang berbeda diperbolehkan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:22

‫ التمر بالتمر واحلنطة با حلنطة والشعری بالشعری وامللح بامللع مثال‬: ‫عن أىب ھریرة قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬

‫یدا بید فمن زاد أواستزاد فقد أرىب إال مااختلفت ألوانھ رواه مسلم‬

Dari Abu Huraira berkata, Rasulullah Saw bersabda, jual beli kurma dengan kurma,
biji gandum dengan biji gandum, tepung dengan tepung, garam dengan garam harus
sama dan langsung serah terima. Barang siapa yang menambah dan minta
tambahan, maka ia melakukan riba kecuali yang warnanya berbeda. (HR Muslim)
Rasulullah mengutuk dan menganggap sebagai orang tidak waras kepada orang-
orang yang terlibat dalam riba, baik melalui utang piutang, jual beli yang bermaksud
agar hartanya bisa bertambah, orang yang mewakili dalam transaksi riba, menulis atau
menjadi saksinya. Riba dimasukkan sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang
harus dijauhi.Riba disepadankan dengan syirik, sihir, membunuh, makan harta anak
yatim, lari dari peperangan, dan menuduh wanita baik-baik melakukan zina.
Rasulullah Saw bersabda:23

22
Ibid., h.189.
23
Ibid, h.191.

29
Dari Abu Huraira R.A dari nabi Saw bersabda “ Jauhilah tujuh dosa besar!” Para
sahabat bertanya, ‘ Apakah hal itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, menyukutan
Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, makan
riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh wanita baik- baik
melakukan zina.” (H.R Bukhari).

E. Sebab- Sebab Dilarangnya Riba

Baik Al-Quran maupun Hadis nabi mengharamkan riba, bahkan dalam hadis
dijelaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam riba dilaknat oleh Rasulullah.
Larangan tersebut bukan tanpa sebab. Menurut al-Far al-Razi ada beberapa sebab atas
dilarangnya dan diharamkannya riba:24
a. Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta dari orang lain tanpa
ada imbalan. Keuntungan yang akan diperoleh si peminjam bersifat belum pasti, dan
pemungutan tambahan oleh pemberi pinjaman adalah hal yang pasti tanpa risiko.
b. Riba menghalangi pemodal ikut berusaha mencari rezeki, karena ia dengan mudah
membiayai hidupnya dengan bunga saja.
c. Jika riba diperbolehkan, masyarakat akan tidak segan-segan meminjam uang
walaupun dengan bunga yang tinggi, dan ini telah merusak tata hidup tolong menolong.
d. Dengan riba biasanya pemodal semakin kaya dan si peminjam semakin miskin.
e. Larangan riba telah ditetapkan dalam nash.
Seorang pakar hukum Islam, Wahbah al-Zuhaili, secara singkat dan jelas
menyingkap background atau latar belakang keharaman riba. Menurutnya, agama Islam
adalah agama yang menyukai kesungguh- sungguhan dan kerja keras, mendorong
bersedekah dan memberi pinjaman dengan baik, melarang mempersulit keperluan orang
lemah, melarang berbuat sesuatu yang dapat membawa kepada permusuhan, kebencian
dan pertengkaran, melarang dengki, hasud, serakah dan rakus, mengharuskan
mengambil harta dengan jalan halal, tidak menyenangi menumpuk-numpuk harta
kekayaan di tangan kelompok kecil yang akan mempersulit keperluan orang lain dan
mempermainkan perekonomian negara dan masyarakat. Berangkat dari prinsip-prinsip
yang luhur inilah, menurut Wahbah al-Zuhaili, Allah mengharamkan praktik riba,
karena praktik riba akan melahirkan beberapa kerugian sebagai berikut:

24
.Idri,Hadis Ekonomi... h. 195-196

30
1. Riba akan mencetak manusia yang tidak mau berusaha dan bekerja keras,
seperti berdagang, berindustri, bertani dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dituntut oleh
perkembangan zaman, seperti kedokteran, arsitektur, pharmasi, advokat dan lain-
lainya. Riba akan mendorong si pemraktik riba untuk memeras darah sekelompok
orang yang mau berusaha dan bekerja keras. Dia akan mengarungi kehidupan dengan
bersantai-santai karena selalu berharap dari harta yang dipinjamkan yang
mengandung riba tersebut.
2. Riba adalah usaha Cuma-Cuma, padahal syara’ meng- haramkan mengambil
harta secara aniaya dan tanpa haknya, serta melarang orang kuat mempersulit orang
lemah.
3. Riba menanamkan kedengkian ke dalam hati orang-orang fakir atas orang-
orang kaya, melahirkan permusuhan dan kebencian, dan membangkitkan/menyulut
percekcokan dan perselisihan di antara manusia. Ini karena riba akan menghilangkan
sifat kasih sayang dan tolong menolong dan membuat manusia manjadi hambanya
harta. Si pemraktik riba seolah-olah seekor serigala yang akan merampas apa
yangterdapat di dalam sakunya manusia dengan penampilan yang tenang, penuh
tipuan yang jahat, dengan tidak diketahui debitor.
4. Riba akan meretakkan jalinan silaturahmi manusia, menghapus kebaikan di
antara mereka dengan jalan qirad (pinjam meminjam) yang baik, dan akan merampas
harta si fakir dan orang yang sedang dalam keperluan mendesak yang ingin
memperbaiki usaha dan kehidupannya.
Riba akan menghancurkan harga manusia dan melahirkan perselisihan di antara
mereka, selain akan memonopoli perekonomian masyarakat. Dampak negatif yang
khusus adalah lahirnya kehancuran, kefakiran, dan kerugian, karena Allah akan
menghancurkan riba dan menyuburkan sedekah. Kerugiannya tidak hanya bagi si
lintah darat, tetapi juga bagi distributornya. Banyak petani yang terjerat lintah darat
harus menjual tanahtanah milik mereka untuk menutupi hutang yang dipinjamnya
yang mengandung riba. Semua ini karena bertani atau berladang banyak memerlukan
pembiayaan, padahal usahanya itu sangat rentan terkena hama, kekeringan, dan
paceklik.
Sangat jelas apa yang disampaikan oleh Wahbah al-Zuhail bahwa praktik riba
merupakan perbuatan yang sudah pasti mendatangkan kerusakan, baik bagi pelakunya
terlebih lagi bagi korbannya. Dampak buruk praktik riba juga sudah sangat jelas
disampaikan Allah di dalam al-Quran, sebagaimana dapat dilihat pada ayat-ayat riba

31
tersebut di atas. Padahal sudah disepakati ulama bahwa tujuan dasar dari
diturunkannya agama Islam adalah untuk mendatangkan kebaikan dan meniadakan
kerusakan. Oleh karena itu, latar belakang Islam mengharamkan riba karena akibat
buruk yang ditimbulkan oleh praktik riba, yaitu dapat merusak tatanan sosial-
kemasyarakatan.25

BAB III

PENUTUP
25
Ade Dedi Rohayana, “Riba dalam ..., hlm. 79-8

32
Kesimpulan
Dari urain di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riba merupakan kegiatan
eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas. Masalah mengharamkan
transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendholimi orang lain
dan adanya unsur ketidakadilan (unjustice). Para ulama sepakat dan menyatakan
dengan tegas tentang pelarangan riba. Secara garis besar riba riba ada dua yaitu: riba
akibat hutang piutang dan riba akibat jual beli.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di
tengahtengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu
disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang
sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat
dalamempat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat
pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat
Al- Rumadalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama
yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39 dan ayat yang menegaskannya
adalah surat Al-baqarah ayat 278-279. Bagi yang melakukan riba telah melakukan
kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka
akan diperangi oleh Allah SWT dan RasulNya. Rasulullah mengutuk dan
menganggap sebagai orang tidak waras kepada orang- orang yang terlibat dalam riba,
baik melalui utang piutang, jual beli yang bermaksud agar hartanya bisa bertambah,
orang yang mewakili dalam transaksi riba, menulis atau menjadi saksinya. Riba
dimasukkan sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dijauhi.Riba
disepadankan dengan syirik, sihir, membunuh, makan harta anak yatim, lari dari
peperangan, dan menuduh wanita baik-baik melakukan zina.

DAFTAR PUSTAKA

33
Abdurrahman Kasdi, Potensi Ekonomi dalam Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia,
Jurnal Equilibrium, Vol.2, No.1, Juni 2014.
Ahmad Furqon, Analisis Praktek Perwakafan Uang pada Lembaga Keuangan
Syari’ah, Journal Walisongo, Volume 19, Nomor 1, Semarang, IAIN
Walisongo, Mei 2011.
Antonio,Muhammad Syafii, bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001
Antonio,Muhammad Syafi'I. Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet.
I, Jakarta: Tazkia Institute, 1999
Al-Assal, Dr. Ahmad Muhammad dan Dr. Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Prinsip
dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999
Mardani, Ayat- ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta: Rajawali Press, 2014
Hadi,Abu Sura'i Abdul, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, Surabaya:
al-Ikhlas, 1993
Harahap, Syabirin, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 2001
Hatta, Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011
Heykal, Nurul Huda Mohammad, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan teoritis dan
Praktis, Jakarta : Kencana, 201
Hosein, Imran N., Larangan Riba dalam Al- Qur’an dan Sunnah, Malaysia:
Ummavision Sdn.Bhd
Idri, Hadis Ekonomi , Jakarta: Prenadamedia Group, 2015
Nasution, Khoiruddin, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 1996
Rohayana, Ade Dedi., 2015, “Riba dalam Tinjauan Al-Qur’an”, Religia, Vol.18,
No.1
H. Hikmat Kurnia dan H.A. Hidayat, 2008, Panduan Pintar Zakat, Jakarta, Qultum
Media
Didin Hafidhuddin, 2008, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani

34

Anda mungkin juga menyukai