Anda di halaman 1dari 49

ADAB/AKHLAK DALAM ISLAM

Pentingnya Adab

adab (‫)ادب‬ dalam bahasa arab artinya budi pekerti, tata krama, atau sopan santun. arti
adab secara keseluruhan yaitu segala bentuk sikap, prilaku atau tata cara hidup yang
mencerminkan nilai sopan santun, kehalusan, kebaikan, budi pekerti atau akhlak. orang yang
beradab adalah orang yang selalu menjalani hidupnya dengan aturan atau tata cara.
Adab adalah norma atau aturan mengenai sopan santun yang didasarkan atas aturan
agama, terutama Agama Islam. Norma tentang adab ini digunakan dalam pergaulan
antarmanusia, antartetangga, dan antarkaum. Sebutan orang beradab sesungguhnya berarti
bahwa orang itu mengetahui aturan tentang adab atau sopan santun yang ditentukan dalam
agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, kata beradab dan tidak beradab dikaitkan
dari segi kesopanan secara umum dan tidak khusus digabungkan dalam agama Islam.

Islam menaruh perhatian yang sangat tinggi akan adab. Tidak mengherankan jika para ulama
dahulu menasehati para penuntut ilmu untuk belajar adab sebelum belajar yang lainnya.
Seorang muslim hendaknya selalu menjaga adab dan menghiasi dirinya dengan akhlak yang
mulia dalam berinteraksi dengan siapapun.  Akhlak yang mulia menjadi tolok ukur kebaikan
seseorang. Rasulullah bersabda

‫ار ُك ْم أَحْ َسنَ ُك ْم أَ ْخالَقًا‬


ِ َ‫إِ َّن ِم ْن ِخي‬

“Sesungguhnya di antara yang terbaik dari kalian adalah yang paling mulia akhlaknya.”
(HR. Bukhari no. 3559 dan Muslim no. 2321).

Memperbaiki akhlak manusia adalah satu misi utama diutusnya nabi Muhammad. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad /318, dishahihkan Albani). Akhlak yang baik
menjadi salah satu penyebab utama masuk surga. Saat ditanya tentang amalan yang paling
banyak menyebabkan masuk surga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
“Ketaqwaan pada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 2004, Albani mengatakan
sanadnya hasan)

ADAB TERHADAP ALLAH

Firman Allah dalam surat An Nahl ayat 18 yang artinya :

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. An-Nahl :18)

Adab yang paling utama yang harus kita jaga adalah adab terhadap Sang Khaliq yaitu
Allah yang telah menciptakan dan mengatur alam semesta.   Yang tak pernah berhenti dalam
mengurus, mengatur dan memberikan nikmat yang begitu besar kepada hambaNya. Sungguh
aneh jika seseorang menjaga adab dengan sesama makhluk tetapi dia tidak peduli dengan
adabnya terhadap Dzat yang telah menciptakan dirinya. Diantara adab kepada Allah adalah
beribadah kepadaNya dan mensyukuri nikmatNya. Allah telah memberi kita berbagai
kenikmatan maka sudah selayaknya kita mensyukuri, ini adalah bagian dari adab.

Allah berfirman,

ِ ‫َو َما بِ ُكم ِّمن نِّ ْع َم ٍة فَ ِمنَ هّللا‬

“Dan apa saja ni’mat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl:
53)

Perumpamaan yang indah dari Allah, sebagaimana Allah telah memberikan teladan
dan memenuhi adabNya sebagai Rabb, dengan kasih sayangnya memberikan keluasan nikmat
dan keberkahan bagi hambanya, kalaupun hambaNya tak juga memiki adab, Allah masih
memberikan kesempatan baginya untuk bertaubat sebagaimana Allah Maha Pengampun atas
segala dosa, selagi nyawa masih dikandung badan. Begitu dalam Allah memberikan
keteladan dalam beradab dan hanya orang-orang beriman dan berakallah yang akan mampu
memahami adab dan kasih sayang Allah terhadap hambaNya.

Allah tidak menuntut bahwa manusia harus beradab kepadaNya, karena beradab atau
tidaknya manusia, tidak akan pernah mengurangi keMaha Agungan Allah SWT. Namun adab
kepada Allah inilah yang akan membawa manusia kepada keselamatan di dunia maupun
diakhirat.

Sebagaimana tujuan Allah dalam menciptakan manusia adalah supaya manusia


memiliki adab kepada Allah Ta’ala. FirmanNya dalam surat Ad Dzariyat ayat 56, :

Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepadaKu.” (Ad Dzariyat : 56)

Dengan menyadari bahwa, :

1. Hanya kepada Allah tempat bergantung dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Orang-orang beriman meyakini bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu termasuk
diri seseorang Allah memegang ubun-ubunnya, Ketika kita tidak mempunyai tempat
mengadu atau tempat menyelamatkan diri kecuali kepada Allah semata. Kemudian kita
menghadap kepada Allah, menjatuhkan diri di kepada-Nya, menyerahkan seluruh persoalan
kepada-Nya dan bertawakal kepada-Nya.

Inilah adab seorang mukmin terhadap Rabb dan Penciptanya. Karena tidaklah pantas jika
seorang menuju kepada pihak yang tidak bisa memberikan perlindungan, bergantung kepada
pihak yang tidak mempunyai kekuasaan, dan menyerahkan diri kepada pihak yang tidak
mempunyai daya dan upaya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Hud ayat 56,


“Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-alah yang memegang ubun-ubunnya”.
(QS. Hud: 56)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat adz-Dzariyat ayat ke-50,

“Maka segeralah kembali kepada mentaati Allah, sesungguhnya aku pemberi peringatan
yang nyata dari Allah untuk kalian”. (QS. adz-Dzariyat ayat: 50)

Kemudian dalam surat al-Ma’idah ayat 23 Allah berfirman yang artinya,

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang
yang beriman”. (QS. al-Ma’idah: 23)

2. Mengetahui keluasan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, serta senantiasa mengharap dan
tidak berputus asa dari rahmat-Nya.

Orang-orang beriman melihat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala dalam semua urusan,


rahmat kepada semua makhluk-Nya, kemudian sang hamba ingin mendapatkan tambahan
rahmat Allah, tunduk kepada-Nya dengan ketundukan dan doa yang ikhlas, bertawwasul
kepada Allah dengan perkataan yang baik dan amal perbuatan yang benar.

Inilah etika seorang mukmin terhadap Allah Ta’ala, sebab merasa putus asa dari
mendapatkan rahmat yang meliputi segala hak, putus asa dari kebaikan yang mencakup
semua makhluk, dan putus asa dari kebaikan Allah Yang Mengatur alam raya.

Banyak sekali firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menunjukkan akan keluasan
rahmat-Nya. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-A’raf ayat
156,

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu”. (QS. al-A’raf: 156)

Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat asy-Syuuro ayat 19,

“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki kepada yang di
kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. asy-Syuura: 19)

Bahkan Allah melarang kita untuk berputus asa terhadap rahmat-Nya. Allah ta’ala berfirman,

“Dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. Ali Imran: 139)

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang semisal dalam maknanya.

Dari kefahaman ini akan melahirkan sikap berupa :

1. Ibadah

Ibadah adalah melaksanakan semua perintahNya. Baik berupa ibadah wajib maupun
sunnah dan sesuai dengan syariat. Ibadah merupakan bukti kesungguhan seorang muslim
dalam mencari ridha Allah Subhanahu wata’ala dalam setiap perbuatannya yang sesuai
dengan syariat Islam.

Allah berfirman dalam surat Ad Dzariyat ayat 56, :

Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepadaKu.” (Ad Dzariyat : 56)

Amirul mukmini Abu Hafsh Umar bin Khattab ra, Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung kepada niatnya dan akan mendapatkan
balasan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barang siapa berhijrah karena Allah dan
RasulNya maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Dan barang siapa hijrah karena dunia
yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.”
(Muttafaq’alaih)

Abu Huraira ra. berkata Rasulullah SAW, Allah SWT berfirman, : “Barang siapa memusihi
waliKu, maka Aku nyatakan perang terhadapnya. Tidaklah hambaKu mendekatiKu dengan
sesuatu yang Kucinta daripada apa yang telah Aku wajibkan. HambaKU tidak henti hentinya
mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah sunnah hingga Aku mencintakinya. Aku menjadi
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatan yang ia gunakan
untuk melihat, menjadi tangan yang ia gunakan untuk menggenggam dan menjadi kaki yang
ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepadaKu, pasti Kuberi, dab jika memohon
perlindunganKu, pasti Kulindungi.” (HR. Bukari)

2. Taat.

Tugas seorang hamba pada RabbNya adalah taat. Taat bisa dilakukan dengan mengikuti
semua perintahnya dan menjauhi semua laranganNya.

Firman Allah SWT

Artinya,: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Hud :112)

3. Malu

Malu di sini artinya akhlak yang timbul dari keengganan melakukan perbuatan buruk,
menolak segala hal yang tak pantas dilakukan, tidak memamerkan maksiat serta merasa
bersalah bila tak memenuhi hak orang sebagaimana mestinya.

Dari Imam bin Hushain ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Malu takkan berakibat
lain selain kebaikan.” (Muttafaq’alaih)

4. Mensyukuri nikmat.

Cara mensyukuri nikmat yang benar adalah kepada yang memberi nikmat, bukan kepada
nikmat itu sendiri. Bersyukur bisa dilakukan dengan hati, mulut atau anggota badan yang
lain.
Dalam Al Qur’an disebutkan, “ Bila kalian bersyukur akan Kutambah nikmatKu.” (QS
Ibrahim:7)

Ungkapan syukur adalah dengan pemikiran yang baik, ucapan-ucapan yang baik, bertambah
keimanan dengan ibadah-ibadah yang bertambah dan lebih berkualitas.

5. Pasrah kepada Allah dan Ridha terhadap takdirNya serta sabar atas ujianNya

Dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman, “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar, yaitu bila mereka ditimpa musibah mereka mengucapkan ,”Innalillahi wainna ilaihi
raaji’uun (Kami hanyalah milik Allah dan hanya kepadaNyalah kami kembali.” (QS Al
Baqarah :156)

Kesabaran adalah bentuk keyakinan bahwa semua yang ada dan terjadi di dunia ini
datangnya dari Allah, dengan Maha Pengasih dan Maha PenyayangNya, Allah tidak akan
pernah mendzolimi hambanya. Adanya musibah bisa jadi karena kesalahan dan kelalaian
manusia sehingga Allah memberikan peringatan, agar manusia menyadari kesalahan dan
segera bertaubat, atau bisa jadi juga iniadalah ujian dari Allah. Firman Allah, :

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah
beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?”” (Al Ankabut 29:2)

Hal yang paling utama dalam menghadapi musibah adalah berprasangka baik kepada Allah

ADAB TERHADAP AL-QUR’AN

Seorang Mukmin meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalam (perkataan; ucapan) Allah
subhana wata’ala . Huruf dan maknanya bukanlah makhluk, serta diturunkan oleh malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’an adalah sebaik-baik dan
sebenar-benar perkataan, tidak ada kedustaan padanya, baik pada saat diturunkan maupun
sesudahnya. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Qur’an, maka perkataannya benar; dan
barangsiapa menghukumi dengannya, maka hukumnya adil. Barangsiapa mengikutinya, ia
akan menuntun menuju surga, dan barangsiapa membelakanginya, ia akan menyeretnya
menuju neraka.

Oleh karena itu, seorang Muslim yang baik selalu beradab terhadap al-Qur’an dengan adab-
adab yang utama, di antaranya:

1. Iman kepada Al Qur’an

Ini adalah adab dan kewajiban terbesar. Beriman kepada al-Qur’an artinya meyakini segala
beritanya, mentaati segala perintahnya, dan meninggalkan segala larangannya. Allah Azza wa
Jalla berfirman:

‫ ِه‬lِ‫رْ بِاهَّلل ِ َو َماَل ئِ َكت‬llُ‫ ُل ۚ َو َم ْن يَ ْكف‬l‫ب الَّ ِذي أَ ْن َز َل ِم ْن قَ ْب‬ ِ ‫ب الَّ ِذي نَ َّز َل َعلَ ٰى َرسُولِ ِه َو ْال ِكتَا‬
ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا آ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َو ْال ِكتَا‬
‫ضاَل بَ ِعيدًا‬‫اًل‬ َ ‫ض َّل‬ ‫آْل‬ ْ
َ ‫َوكتبِ ِه َو ُر ُسلِ ِه َواليَوْ ِم ا ِخ ِر فَقَ ْد‬ ُ ُ
“Hai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-
Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (an-
Nisa’ 4:136)

Ini adalah perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk meluruskan iman
mereka, yaitu dengan keikhlasan dan kejujuran, menjauhi perkara-perkara yang merusakkan,
dan bertaubat dari segala hal yang mengurangi keimanan. Demikian juga agar mereka
meningkatkan ilmu dan amal. Jika setiap syariat yang tertuju kepada seorang mukmin, maka
adabnya adalah memahami, meyakini dan menjalankannya.

2. Tilawah (Qiroatul Qur’an)

Sesungguhnya membaca al-Qur’an merupakan salah satu bentuk ibadah yang mulia.
Banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits shahîh yang menunjukkan hal ini. Namun banyak
umat Islam saat ini yang lalai dengan ibadah ini, baik karena sibuk dengan urusan dunia,
karena lupa, atau lainnya. Ketika seseorang mendapatkan kiriman surat dari saudaranya,
kawannya, keluarganya, atau siapapun dia akan bersegera membukanya karena ingin
mengetahui isinya. Namun, terkadang seorang Muslim tidak tergerak untuk membaca surat-
surat al-Qur’an yang datang dari penciptanya, padahal surat-surat al-Qur’an itu semata-mata
adalah untuk kebaikan dan keselamatannya.

Sebagian orang membaca al-Qur’an, tetapi dengan tergesa-gesa atau dengan cara yang cepat.
Padahal Allah Ta’ala telah memerintahkan kita agar membaca al-Qur’an dengan tartîl
(perlahan-lahan). Allah SWT berfirman:

‫َو َرتِّ ِل ْالقُرْ آنَ تَرْ تِياًل‬

Dan bacalah al-Qur`an itu dengan perlahan-lahan. (al-Muzammil 73:4)

Selain itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk senantiasa giat
membaca al-Qur’an dan menerangkan keutamaannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫ف‬ ٌ ْ‫ف َوالَ ٌم َحر‬


ٌ ْ‫ف َو ِمي ٌم َحر‬ ٌ ِ‫ف َولَ ِك ْن أَل‬
ٌ ْ‫ف َحر‬ ٌ ْ‫ب هَّللا ِ فَلَهُ بِ ِه َح َسنَةٌ َو ْال َح َسنَةُ بِ َع ْش ِر أَ ْمثَالِهَا الَ أَقُو ُل الم َحر‬
ِ ‫َم ْن قَ َرأَ َحرْ فًا ِم ْن ِكتَا‬

“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka dia mendapatkan satu kebaikan
dengannya. Dan satu kebaikan itu (dibalas) sepuluh lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lâm
mîm satu huruf. Tetapi alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf.”

Mungkin banyak di antara kita telah mengetahui pahala membaca al-Qur’an ini. Tapi
terkadang berat untuk mengamalkan. Beratnya membaca Al Qur’an bisa jadi karena
kemaksiatan yang kita lakukan menghalangi kita untuk berinteraksi dengan kalam suci ini.

Demikian juga dianjurkan untuk membaca al-Qur’an dengan berjama’ah, yaitu satu orang
membaca sedangkan yang lain mendengarkan, sebagaimana kebiasaan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ ةُ َو َحفَّ ْتهُ ُم‬l‫يَ ْتهُ ُم الرَّحْ َم‬l‫ ِكينَةُ َوغ َِش‬l‫الس‬ ْ َ‫ َزل‬lَ‫ونَهُ بَ ْينَهُ ْم إِالَّ ن‬l‫َاب هَّللا ِ َويَتَدَا َر ُس‬
َّ ‫ت َعلَ ْي ِه ُم‬ َ ‫ت هَّللا ِ يَ ْتلُونَ ِكت‬ ٍ ‫َو َما اجْ تَ َم َع قَوْ ٌم فِي بَ ْي‬
ِ ‫ت ِم ْن بُيُو‬
ْ ‫هَّللا‬ َ ُ
ُ‫ال َمالَئِ َكة َوذ َك َرهُ ُم ُ فِي َم ْن ِعن َده‬ ْ

“Tidaklah ada sekelompok orang yang berkumpul di dalam satu rumah di antara rumah-
rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan belajar bersama di antara mereka,
melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi
mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapanNya”.

Adab ketika membaca Al Qur’an :

a. niat Ikhlas dan menjadi orang yang bertaqwa.

“Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” (Al Baqoroh : 282)

b. Membaca dalam keadaan bersuci (Berwudhu)

Adab seorang muslim saat membaca Al Qur’an adalah dalam keadaan bersuci

c. Bersiwak sebelum membaca Al Qur’an

“Dahulu apabila Nabi bangun dimalam hari, maka beliau menggosok mulut beliau
dengan siwak.” (HR. Bukhori dan Muslim)

d. Membaca ta’awudz sebelum membaca kitab suci Al Qur’an

Allah berfirman,”Jika Engkau hendak membaca Al Qur’an maka mintalah


perlindungan kepada Alah dari Syaithan yang terkutuk.” (An Nahl : 98)

e. Posisi membaca Al Qur’an yang benar

Memilih tempat yang tenang saat baca Al Qur’an. Menghadap kiblat ketika membaca
Al-Qur’an. Duduk ketika itu dalam keadaan sakinah dan penuh ketenangan

f. Tartil (Perlahan lahan) ketika tilawah Al Qur’an

Al Muzammil : 4 “Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan
perlahan lahan.”

g. Bacaan Mad diperhatikan

Anas pernah ditanya, “Bagaimana cara bacaNabi ?” Maka dia menjawab,”Beliau


membaca dengan memanjangkan, beliau membaca “Bismillahirrahmannirrahim”
Beliau memnjangkan Bismillaah, memeanjangkan ar rahmaan dan arrohiim.” (HR.
Bukhori)

h. Membaguskan suara bacaan Al Qur’an.

“Hiasilah (perindahlah) suara kalian dalam membaca Al Qur’an.” (HR. abu Daud
Ibnu Majah)
i. Bersujud saat membaca ayat assajadah

j. Tidak memotong motong bacaan

Seoranag tabiin Nafi’meriwayatkan , “bahwa Ibnu Umar apabila membaca Al


Qur’anmaka beliau tidak akan berbicara hingga beliau selesai darinya. “ (HR.
Bukhori)

k. Memulai ayat yang sesuai, jika berada ditengan surat.

“Disunnahkan bagi orang yang membaca Al Qur’an, apabila ia mulai ditengah surat,
hendaklah dia memulainya dari awal kalam, dimana antar satu dengan lainnya saling
berkaitan.”

l. Merenungi juga termasuk adab membaca Al Qur’an

“Maka tidaklah mereka menghayati (mendalami) Al Qur’an ? Sekiranya (Al Qur’an)


itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan
didalamnya.” (QS An Nisa :82)

m. Berinteraksi dengan Al Qur’an

Surat As Shad :29

n. Menangis saat membacanya

RiwayatAbdullah bin Asy Syikhkhir, Rasulullah SAW bersabda, “Aku datang kepada
Nabi ketika beliau sedang sholat dan di dada beliau(terdengar) gejolak seperti (suara)
gejolak air (yang mendidih) di panci, yakni menangis.” (HR. Annasai, Abu Dawud
dan Ahmad)

o. Mengeraskan suara bacaan Qur’an

p. Membaca Tasbih

q. Etika ketika berhenti membaca Al Qur’an

“Apabila salah seorang dari kalian sholat dimalam hari, lalu bacaan Al Qur’annya
menjaditidak jelas dilidahnya, lalu dia tidak mengetahui(lagi) apa yang dibacanya,
maka hendaklah dia berbaring (istrahat).” (HR. Muslim)

r. Boleh membawa Al Qur’an disaku baju

s. Makruh mencium AL Qur’an

t. Mengamalkan AL Qur’an setelah membacanya.

u. Mengingat atau murojaah Al Qur’an

v. Menyimak dengan baik


“ Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu
mendapatkan rahmat.” Al’Araf :204

3. Mempelajari, tadabbur (Memperhatikan) dan mengajarkan serta menghafalkannya

Sesungguhnya Allah SWT menurunkan al-Qur’an antara lain dengan hikmah agar manusia
memperhatikan ayat-ayatnya, menyimpulkan ilmunya, merenungkan rahasianyadan
mengamalkannya.

Allah berfirman:

ِ ‫ك لِيَ َّدبَّرُوا آيَاتِ ِه َولِيَتَ َذ َّك َر أُولُو اأْل َ ْلبَا‬


‫ب‬ ٌ ‫ار‬ َ ‫ِكتَابٌ أَ ْنزَ ْلنَاهُ إِلَ ْي‬
َ َ‫ك ُمب‬

“Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran.” (Shad 38:29)

Syaikh As-Sa’di berkata: “Ini menunjukkan bahwa seukuran fikiran dan akal seseorang, dia
akan medapatkan pelajaran dan manfaat dengan kitab (al-Qur’an) ini”.

Bahkan Allah menantang orang-orang kafir untuk mencari-cari kesalahan al-Qur’an, jika
mereka meragukan bahwa al-Qur’an datang dari sisi Allah Ta’ala.

ْ ‫أَفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ْالقُرْ آنَ ۚ َولَوْ َكانَ ِم ْن ِع ْن ِد َغي ِْر هَّللا ِ لَ َو َجدُوا فِي ِه‬
‫اختِاَل فًا َكثِيرًا‬

“Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`ân? kalau kiranya al-Qur`an itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-
Nisa’ 4:82)

Oleh karena itu, Nabi SAW menyampaikan bahwa sebaik-baik orang dari umat ini adalah
orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Sebagaimana disebutkan di dalam
hadits :

ُ‫ال َخ ْي ُر ُك ْم َم ْن تَ َعلَّ َم ْالقُرْ آنَ َو َعلَّ َمه‬


َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ‫ع َْن ع ُْث َمانَ َر‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬

Dari Utsman, Nabi bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’ân
dan mengajarkannya”.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Ini adalah sifat orang-orang Mukmin yang mengikuti para Rasul.
Mereka adalah orang-orang yang sempurna pada diri mereka dan menyempurnakan orang
lain. Dan itu menggabungkan kebaikan untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Ini kebalikan
sifat orang-orang kafir yang banyak berbuat kezhaliman. Mereka tidak memberikan manfaat
kepada orang lain dan tidak membiarkan orang lain mendapatkan manfaat. Mereka melarang
manusia mengikuti al-Qur’an dan mereka sendiri mendustakan dan menjauhinya.”
Mempelajari dan mengajarkan Al Qur’an adalah semulia-mulia perbuatan. Karena dengan
inilah syariat Allah tetap dapat diterima luas, ditegakkan dimuka bumi dan memberikan
keselamatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Beberapa keutamaan diantaranya :

a. Menjadi keluarga Allah di dunia

Hadist Rasulullah SAW,:

“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga diantara manusia, para sahabat bertanya,


“siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Para alhi Al Qur’an,
Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan Allah.”(HR. Ahmad)

b. Lebih diutamakan untuk dihormati dan didahulukan

“Yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling banyak hafalannya.”(HR.
Muslim)

c. Dimuliakan oleh Allah

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah menghormati orang tua yang muslim,


penghafal Al Qur’an yang tidak melampaui batas (didalam memahami dan
mengamalkannya) dan tidak menjauhinya (enggan membaca dan mengamalkannya)
dan penguasa yang adil.” (HR.Abu Daud)

d. Mendapat syafaat dari Al Qur’an

“Penghafal Al Qur’an akan datang pada hari kiamat dan Al Qur’an berkata, “Wahai
Tuhanku, bebaskanlah dia. Kemudian orang itu dipakaikan mahkota karamah
(kehormatan). Al Qura’an kembali meminta : “Wahai Tuhanku, ridhailah dia, maka
Allah meridoinya. Dan diperintahkankepada orang itu, bacalah dan teruslah
naiki(derajat-derajat syurga). Dan Allah menambahkan dari setiap ayat yang
dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan .”(HR.Tirmidzi)

e. Termasuk sebaik-baik manusia

”Sebaik-baik orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhori)

f. Orang lain boleh iri padanya

“ Tidak boleh seseorang berkeinginan kecuali dalam dua perkara, meginginkan


seseorang yang diajarkan oleh Allah kepadanya Al Qur’an kemudian ia membacanya
sepanjang malam dan siang, sehingga tetangganya mendengar bacaannya, kemudian
ia berkata, “Andai aku diberi sebagaimana si fulan diberi, sehingga aku dapat berbuat
sebagaimana si fulan berbuat.” (HR. Bukhori)

g. Mampu menyelamatkan orang tua

Rasulullah SAW bersabda, “ pada hari kiamat nanti, Al Qur’an akan menemui
penghafalnya ketika penghafal itu keluar dari kuburnya. Al Qur’an akan berwujud
seseorang dan ia bertanya kepada penghafalnya, “apakah anda mengenalku ?”
penghafal tadi menjawab, “saya tidak mengenalmu,” Al Qur’an berkata, “saya adlah
kawanmu, Al Qur’an yang membuatmu kehausan detengah hari yang panas dan yang
membuatmu tidak tidur pada malam hari.

Sesungguhnya setia pedagang akan mendapat keuntungan dibelakang dagangannya


dan kamu pada hari ini dibelakang semua dagangan.” Maka penghafal Al Qur’an tadi
diberi kekuasaan ditangan kanannya dan diberi kekuasaan ditangan kirinya, serta
diatas kepalanya dipasangkan mahkota perkasa.

Sedang kedua orang tuanya diberi pakaian baru lagi bagus yang harganya tidak dapat
dibayar oleh penghuni dunia keseluruhannnya. Kedua orang tuanya itu lalu bertanya,
“Kenapa kami diberi dengan pakaian begini ?” kemudian dijawab, “karena anakmu
hafal Al Qur’an.” Kemudian kepada penghafalAl Qur’an tadi diperintahkan, “bacalah
dan naiklah ketingkat-tingkat syurga dan kamar-kamarnya.” Maka iapun terus naik
selagi ia tetap membaca, baik bacaan itu cepat ataupun perlahan (tartil).”

4. Ittiba’ (mengikuti)

Setiap orang sangat membutuhkan rahmat Allah SWT. Mengikuti al-Qur’an itulah cara
mendapatkan rahmat Allah Ta’ala , sebagaimana firman-Nya:

ٌ ‫َو ٰهَ َذا ِكتَابٌ أَ ْنزَ ْلنَاهُ ُمبَا َر‬


َ‫ك فَاتَّبِعُوهُ َواتَّقُوا لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬

“Dan al-Qur`an itu adalah kitab yang Kami turunkan, yang diberkati, maka ikutilah ia dan
bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (al-An’am 6:155)

Allah telah menjanjikan kebaikan yang besar bagi orang yang mengikuti kitab-Nya.

FirmanNya :

‫ضلُّ َواَل يَ ْشقَ ٰى‬ َ ‫فَإ ِ َّما يَأْتِيَنَّ ُك ْم ِمنِّي هُدًى فَ َم ِن اتَّبَ َع هُدَا‬
ِ َ‫ي فَاَل ي‬

“Jika datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikut petunjuk-Ku, ia
tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha 20: 123)

Sebaliknya, Allah Azza wa Jalla juga memberi ancaman berat bagi orang yang berpaling dari
kitab-Nya:

َ lَ‫يرًا ق‬l‫ص‬
‫ال‬l ِ َ‫ت ب‬ ُ ‫ ْد ُك ْن‬lَ‫رْ تَنِي أَ ْع َم ٰى َوق‬l‫ا َل َربِّ لِ َم َح َش‬llَ‫ض ْن ًكا َونَحْ ُش ُرهُ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة أَ ْع َم ٰى ق‬ َ ً‫ض ع َْن ِذ ْك ِري فَإ ِ َّن لَهُ َم ِعي َشة‬ َ ‫َو َم ْن أَ ْع َر‬
‫ت َربِّ ِه ۚ َولَ َع َذابُ اآْل ِخ َر ِة أَ َش ُّد َوأَ ْبقَ ٰى‬
ِ ‫ك نَجْ ِزي َم ْن أَ ْس َرفَ َولَ ْم ي ُْؤ ِم ْن بِآيَا‬ ٰ ٰ
َ ِ‫ك آيَاتُنَا فَنَ ِسيتَهَا ۖ َو َك َذلِكَ ْاليَوْ َم تُ ْن َس ٰى َو َك َذل‬ َ ِ‫َك ٰ َذل‬
َ ‫ك أَتَ ْت‬

“Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan


yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.. Ya
Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku
dahulunya adalah seorang yang melihat?. Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat
Kami, namun kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan
demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-
ayat Rabbnya. Sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Thaha
20:124-127)

5. Berhukum dengan Al Qur’an

Sesungguhnya kewajiban pemimpin umat adalah menghukumi rakyat dengan hukum Allah
Azza wa Jalla , yaitu berdasarkan al-Qur’an dan Hadist. Dan kewajiban rakyat adalah
berhukum kepada hukum Allah. Oleh karena itulah Allah mencela dengan keras orang-orang
yang ingin berhakim kepada hukum yang bertentangan dengan hukum Allah.

Allah berfirman:

‫ رُوا أَ ْن‬l‫ ْد أُ ِم‬lَ‫ت َوق‬


ِ ‫ ا َك ُموا إِلَى الطَّا ُغو‬l‫ ُدونَ أَ ْن يَتَ َح‬l‫ك ي ُِري‬ ُ َ l‫أَلَ ْم تَ َر إِلَى الَّ ِذينَ يَ ْز ُع ُمونَ أَنَّهُ ْم آ َمنُوا بِ َما أُ ْن ِز َل إِلَ ْي‬
ِ l‫ا أ ْن‬ll‫ك َو َم‬
َ lِ‫ز َل ِم ْن قَ ْبل‬l
َ ‫ضلَّهُ ْم‬
‫ضاَل اًل بَ ِعيدًا‬ ِ ُ‫يَ ْكفُرُوا بِ ِه َوي ُِري ُد ال َّش ْيطَانُ أَ ْن ي‬

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?
Mereka hendak berhakim kepada thsghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-
jauhnya.” (an-Nisa’ 4:60)

Allah juga berfirman:

‫ق ۖ فَاَل‬ ْ ِ‫ َّز ٌل ِم ْن َربِّكَ ب‬lَ‫ونَ أَنَّهُ ُمن‬l‫اب يَ ْعلَ ُم‬lَ


ِّ ‫ال َح‬l َ ‫اهُ ُم ْال ِكت‬lَ‫اًل ۚ َوالَّ ِذينَ آتَ ْين‬l‫ص‬ َ ‫زَ َل إِلَ ْي ُك ُم ْال ِكت‬l‫أَفَ َغ ْي َر هَّللا ِ أَ ْبتَ ِغي َح َك ًما َوهُ َو الَّ ِذي أَ ْن‬
َّ َ‫اب ُمف‬lَ
َ‫تَ ُكون ََّن ِمنَ ْال ُم ْمت َِرين‬

“Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan
kitab (al-Qur’an) kepada kamu dengan terperinci. Orang-orang yang telah Kami datangkan
kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Rabbmu
dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (al-
An’am 6:114)

Allah juga berfirman:

‫ص ْدقًا َو َع ْداًل ۚ اَل ُمبَد َِّل لِ َكلِ َماتِ ِه ۚ َوه َُو ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم‬ ْ ‫َوتَ َّم‬
ُ ‫ت َكلِ َم‬
ِ َ‫ت َربِّك‬

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’ân), sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.” (al-An’am 6:115)

Yang dimaksud ” benar”, adalah kebenaran dalam berita-beritanya, dan ”adil”, di dalam
hukum-hukumnya. Allah juga berfirman:

َ‫أَفَ ُح ْك َم ْال َجا ِهلِيَّ ِة يَ ْب ُغونَ ۚ َو َم ْن أَحْ َسنُ ِمنَ هَّللا ِ ُح ْك ًما لِقَوْ ٍم يُوقِنُون‬

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah 5:50)
6. Meyakini Al Qur’an sebagai satu-satunya pedoman

Allah SWT yang menurunkan kitab al-Qur’an, memiliki sifat-sifat sempurna. Oleh karena itu,
kitab suci-Nya juga sempurna, sehingga cukup dijadikan sebagai pedoman untuk meraih
kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat. Demikian juga al-Qur’an cukup sebagai bukti
kebenaran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah kepada seluruh manusia dan jin. Allah
berfirman:

َ ِ‫َاب يُ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ِه ْم ۚ إِ َّن فِي ٰ َذل‬


َ‫ك لَ َرحْ َمةً َو ِذ ْك َر ٰى ِلقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫أَ َولَ ْم يَ ْكفِ ِه ْم أَنَّا أَ ْن َز ْلنَا َعلَ ْي‬

“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-
kitab (al –Qur`an) sedang ia (al-Qur’an) dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam
(al-Qur`an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.”
(al-‘Ankabut 29: 51)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Tidakkah mencukupi bagi mereka sebuah ayat
(tanda kebenaran) bahwa Kami telah menurunkan kepadamu (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ) sebuah kitab yang agung, yang di dalamnya terdapat berita orang-orang sebelum
mereka, berita orang-orang setelah mereka, dan hukum apa yang ada di antara mereka,
padahal engkau adalah seorang laki-laki yang ummi (buta huruf), tidak dapat membaca dan
menulis, juga tidak pernah bergaul dengan seorang pun dari ahli kitab, kemudian engkau
datang kepada mereka dengan membawa berita-berita yang ada di dalam lembaran-lembaran
suci zaman dahulu, dengan menjelaskan kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan
padanya, dan dengan membawa kebenaran yang nyata, gamblang, dan terang?.”

Karena wahyu Allah sudah mencukupi sebagai pedoman, maka Allah Azza wa Jalla
melarang manusia mengikuti pemimpin-pemimpin yang bertentangan dengan wahyu-Nya,
Dia berfirman:

َ‫اتَّبِعُوا َما أُ ْن ِز َل ِإلَ ْي ُك ْم ِم ْن َربِّ ُك ْم َواَل تَتَّبِعُوا ِم ْن دُونِ ِه أَوْ لِيَا َء ۗ قَلِياًل َما تَ َذ َّكرُون‬

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya).” (al-A’raf 7:3]

Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dengan keras kepada Umar
bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu , ketika dia datang membawa naskah kitab Taurat dan
membacanya di hadapan beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ضلَ ْلتُ ْم ع َْن َس َوا ِء ال َّسبِي ِل َولَوْ َكانَ َحيًّا َوأَ ْد َر‬
‫ك نُبُ َّوتِي الَ تَّبَ َعنِ ْي‬ َ َ‫َوالَّ ِذي نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه لَوْ بَدَا لَ ُك ْم ُمو َسى فَاتَّبَ ْعتُ ُموهُ َوتَ َر ْكتُ ُموْ نِ ْي ل‬

Demi (Allah) yang jiwaku di tangan-Nya. Seandainya Musa muncul kepada kamu, lalu kamu
mengikutinya, dan kamu meninggalkan aku, sungguh kamu tersesat dari jalan yang lurus.
Seandainya Musa hidup dan mendapati kenabianku, dia pasti mengikuti aku. (HR. Ad-
Dârimi, no. 435; semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, al-Baihaqi, dan
Ibnu Abi ‘Ashim. Syaikh al-Albâni menghasankannya di dalam Irwa`ul Ghalîl, no. 1589)
Inilah di antara adab-adab orang beriman terhadap kitab suci al-Qur’an. Semoga Allah Azza
wa Jalla selalu membimbing kita untuk meraih ilmu yang bermanfaat dan mampu
mengamalkannya. Al-hamdulillâhi rabbil ‘âlamîn.

ADAB TERHADAP RASULULLAH

Seorang Muslim berkewajiban bersikap santun dengan sempurna terhadap Rasulullah


Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., karena alasan-alasan berikut:
1. Sesungguhnya Allah Ta‘ala mewajibkan semua kaum Muslimin, laki-laki dan wanita
untuk bersikap santun terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Itu dengan
ketegasan firman-firman Allah seperti berikut,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya." (Al-
Hujurat: 1).

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari
suara nabi. Dan janganganlah kalian berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana
kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala)
amalan kalian sedangkan kalian tidak menyadari." (Al-Hujurat: 2).

"Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah


orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan
dan pahala yang besar." (Al-Hujurat: 3).

"Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar kebanyakan mereka
tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka
sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Al-Hujurat: 4-5).

"Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul diantara kalian seperti panggilan sebagian
kalian kepada sebagian yang lain." (An-Nuur: 63).

"Sesungguhnya yang sebenar-benar orang Mukmin ialah orang orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu
urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum
meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad),
mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila
mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang
kamu kehendaki di antara mereka." (An-Nuur: 62).

"Hai orang-orang beriman, apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul,
hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.
Yang demikian itu lebih baik bagi kalian dan lebih bersih jika kalian tidak memperoleh (yang
akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(Al-Mujadilah: 12).
2. Sesungguhnya Allah Ta'ala mewajibkan kaum Mukminin taat kepada Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. dan mencintainya, seperti firman-firman Nya berikut ini,

"Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul." (Muhammad:
33).

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa adzab yang pedih." (Al-Nuur: 63).

"Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya
bagi kalian maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya." (Al-Hasyr: 7).

"Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian'." (Ali Imran: 31).

Jadi, orang yang wajib ditaati dan tidak boleh ditentang itu harus disikapi dengan etis
(santun) dalam semua kondisi.

3. Allah SWT telah memilih Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. dan menjadikannya
sebagai imam (pemimpin) dan hakim. Hal ini terlihat dalam banyak firman-firman-Nya,
seperti dalam firman-firman-Nya berikut,

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,


supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu."
(An-Nisa': 105).

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka." (Al-Maidah: 49).

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya." (An-Nisa': 65).

"Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah." (Al-Ahzab: 21).

Jadi bersikap etis (santun) terhadap pemimpin dan hakim itu diwajibkan Syariat, akal dan
logika sehat.

4. Allah Ta‘ala mewajibkan kaum Muslimin mencintai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa


Sallam. melalui sabda-sabda beliau, misalnya sabda beliau,
"Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, salah seorang dan kalian tidak beriman
hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, ayahnya, dan seluruh manusia." (Muttafaq
Alaih).

Jadi, orang yang wajib dicintai itu wajib disikapi dengan etis (santun).

5. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diberi Allah, pemberian khusus berupa keindahan
pisik, akhlak, kesempurnaan diri, manusia yang paling tampan, dan paling sempurna sedunia.
Orang yang keadaannya seperti itu, bagaimana tidak diwajibkan bersikap etis (santun)
terhadapnya?

Inilah sebagian alasan kenapa kita harus bersikap etis (santun) terhadap Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., di samping alasan-alasan lain.

Dengan inilah adab-adab terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. adalah sebagai
berikut:

1. Taat kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., menapaktilasi jejaknya, dan meniti
jalannya dalam seluruh jalan dunia dan akhirat.

2. Cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., hormat kepadanya, dan


pengagungan kepadanya harus didahulukan daripada cinta, hormat dan pengagungan
kepada orang lain.

3. Mencintai siapa saja yang dicintai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., memusuhi
siapa saja yang dimusuhi beliau, ridha dengan apa saja yang diridhoinya, dan marah
kepada apa yang dimarahi beliau.

4. Mengagungkan nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., menghormatinya ketika


namanya disebutkan, senantiasa bershalawat dan salam untuknya, dan menghormati
seluruh kelebihannya.

5. Membenarkan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. tentang


persoalan dunia, dan masalah-masalah ghaib di kehidupan dunia atau kehidupan akhirat.

6. Menghidupkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., memenangkan


syariatnya, menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiat-wasiatnya.

7. Merendahkan suara di kuburannya, dan di masjidnya bagi orang yang mendapatkan


kehormatan bisa menziarahi kuburannya.

8. Mencintai orang-orang shalih, loyal kepada mereka karena kecintaan Rasulullah


Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. kepada mereka, marah kepada orang-orang fasik, dan
memusuhi mereka, karena kemarahan beliau kepada mereka.

9. Marah ketika nama dan prilaku Rasulullah dilecehkan, dihinakan dan dipermainkan

Inilah sebagian bentuk adab terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Setiap
Muslim harus berusaha keras melaksanakan adab-adab tersebut dengan sempurna dan
menjaganya dengan sempurna pula, karena kesempurnaan dirinya sangat terkait dengan
pelaksanaan adab tersebut dan kebahagiannya sangat tergantung kepadanya. Kita memohon
kepada Allah Ta'ala agar Dia memberi bimbingan kepada kita, sehingga kita dapat beradab
terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., menjadikan kita sebagai pengikut-
pengikutnya, pembela-pembelanya, kita diberi karunia berupa ketaatan kepadanya, dan kita
tidak diharamkan atas syafa'atnya, ya Allah, kabulkanlah!

ADAB TERHADAP ORANG TUA DAN GURU

Firman Allah dalam Al-Qur’an: Q.S. Al-Isra’ (17) : 23 ً‫ا‬yang arrtinya: “Dan Tuhanmu telah
memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik
kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah
kepada keduanya perkataan yang baik.”

Sabda Rasulullah SAW, artinya: “Tidak termasuk umatku orang-orang yang tidak
memuliakan orang yang lebih tua dari kami, menyayangi yang lebih muda dari kami, dan
tidak mengetahui hak seorang ulama.” HR. Ahmad.

Beberapa bentuk adab terhadap orang tua dan guru

1. Patuh terhadap perintah orangtua dan guru. Sebagai seorang anak dan siswa hendaklah
kita selalu tunduk dan patuh kepada perintah kedua orangtua dan guru dalam segala hal
yang baik-baik, dalam setiap hal yang tidak bertentangan dengan perintah Allah swt, dan
perintah itu tidak melebihi batas kemampuannya untuk dilaksanakan, jika terjadi seperti
ini, seorang anak harus mencoba semampunya. Jika terpaksa harus menolak, maka cara
menolaknya tetap harus dengan menjunjung kesopanan dengan memohon maaf dan
memberikan alternatif lain yang sesuai dengan kemampuanya.

2. Tidak berkata kasar terhadap orangtua dan guru. Kita dilarang berkata kasar dan
membentak orangtua dan guru yang dapat menyakiti hati mereka misalnya berkata hus, ah,
dan kata-kata sejenisnya yang termasuk ungkapan yang tidak baik.

3. Mendengarkan kata-kata orang tua. Setiap kali orang tua berbicara, anak harus
mendengarkan dengan baik terutama ketika orang tua berbicara serius memberikan
nasihat. Jika anak bermaksud memotong pembicaraan, sebaiknya memohon ijin terlebih
dahulu. Jika memotong saja sebaiknya meminta ijin, maka sangat tidak sopan ketika anak
meminta orang tua berhenti berbicara hanya karena tidak menyukai nasihatnya. 

4. berdiri ketika mereka berdiri. Bila orang tua berdiri, anak sebaiknya juga berdiri. Hal ini
tidak hanya merupakan sopan santun, tetapi juga menunjukkan kesiapan anak memberikan
bantuan sewaktu-waktu diperlukan, diminta atau tidak. Demikian pula jika orang tua
duduk sebaiknya anak juga duduk kecuali sudah tidak tersedia kursi lagi yang bisa
diduduki. Berusaha melakukan hal-hal yang dapat menyenangkan hati dan mendatangkan
ridha orangtua dan guru.
5. Memenuhi panggilan mereka. Anak harus segera menjawab panggilan orang tua begitu
mendengar suara orang tua memanggilnya. Dalam hal anak sedang melaksanakan shalat
(shalat sunnah), ia boleh membatalkan shalatnya untuk segera memenuhi panggilannya.
Jika orang tua memanggil anak untuk pulang dan menemuinya, anak harus segera
mengusahakannya begitu ada kesempatan tanpa menunda-nunda. 

6. Merendah kepada mereka dengan penuh sayang dan tidak menyusahkan mereka dengan
pemaksaan. Seorang anak sealim dan sepintar apapun tetap harus ta’zim kepada orang tua.
Ia harus menyayangi orang tua meskipun dahulu mungkin mereka kurang bisa memenuhi
keinginan-keinginannya. Seorang anak harus mengerti keadaan orang tua baik yang
menyangkut kekuatan fisik, kesehatan, keuangan, dan sebagainya sehingga tidak menuntut
sesuatu yang di luar kemampuannya. Dengan cara seperti ini anak tidak menyusahkan
orang tua.  
7. Tidak mudah merasa capek dalam berbuat baik kepada mereka, dan tidak sungkan
melaksanakan perintah-perintahnya. Seorang anak harus selalu mengerti bahwa dahulu
orang tua mengasuh dan membesarkannya tanpa kenal lelah dan selalu menyayangi. Untuk
itu seorang anak harus selalu berusaha menyenangkan hati orang tua dengan melaksanakan
apa yang menjadi perintahnya.

8. Tidak memandang mereka dengan rasa curiga dan tidak membangkang perintah mereka.
Seorang anak harus selalu berprasangka baik kepada orang tua. Jika memang ada sesuatu
yang perlu ditanyakan, anak tentu boleh menanyakannya dengan kalimat pertanyaan yang
baik dan tidak menunjukkan rasa curiga. Selain itu anak tidak boleh membangkang
perintah-perintahnya sebab mematuhi orang tua hukumnya wajib. 

9. Berusa menolong, menjaga dan merawatnya ketika usianya telah senja. Dapat kita
meneladani kisah Uwais Al Qorni dalam berbakti kepada orang tua.

10. Tersenyum ketika berpapasan dengan orang tua atau guru. Hadits, Tabassumuka fii wajhi
akhiika shodaqoh .. Senyummu dihadapan saudaramu adalah sedekah.

11. Selalu mendo’akan orangtua dan guru. Hendaknya kita selalu mendo’akan orangtua dan
guru sebagai salah satu wujud terima kasih kita kepada mereka.

Beberapa hikmah adab terhadap orang tua dan guru

1. Mendapatkan Ilmu yang Bermanfaat. Seorang bijak berkata: “Ilmu yang bermanfaat
adalah cahaya, dengan ilmu, akhlak, adab, dan ibadah seseorang bertambah baik.”
2. Dimudahkan dalam setiap urusan dan diluaskan rezeki, Dalam menjalani kehidupan di
dunia setiap manusia pasti memiliki urusan atau masalah yang harus diselesaikan dan
berbakti kepada orangtua dan guru merupakan salah satu jalan agar dimudahkan oleh
Allah swt. dalam meyelesaikan setiap urusan, diluaskan rezeki, dan dikaruniai umur yang
panjang.
3. Dimasukkan ke dalam Surga oleh Allah SWT. Surga merupakan tempat kesudahan yang
abadi yang diinginkan oleh seluruh umat manusia, dan surga dapat dicapai salah satunya
dengan jalan berbakti kepada orangtua dan guru.
adab di atas adalah minimal dan harus diketahui dan dilaksanakan oleh anak. Semakin
dewasa usia seorang anak, semakin besar tuntutan kepadanya untuk memperhatikan dan
mengamalkan adab itu. Intinya seorang anak tidak bebas bersikap apa saja kepada orang tua. 
Demikiamlah Imam al-Ghazali memberikan petunjuk tentang adab anak kepada orang tua
untuk diamalkan dengan sebaik-baiknya. 

“Berbaktilah kepada orang tua selagi mereka ada, karena saat mereka tiada
sungguh hanya sesal yang ada.”

ADAB PERGAULAN DENGAN TEMAN SEBAYA

Selaku makhluk sosial, kita tentu tidak akan hidup hanya seorang diri saja. Kita
membutuhkan orang lain ataupun teman dalam hidup kita. Namun, dalam mencari teman kita
harus selektif dan hati-hati. Tidak semua orang harus kita jadikan teman, dan setelah kita
mendapatkannya, kita tidaklah asal-asalan di dalam bergaul dengannya.
1.    Carilah Teman Yang Baik
Dalam mencari teman, carilah teman yang selalu mengingatkan kita dalam kebaikan,
yang bisa menuntun kita menuju jalan-Nya. Karena teman yang baik bisa menjadi syafa’at
bagi kita pada hari kiamat kelak.
2.    Adab Berinteraksi
Ketika kita bertemu dengan seorang Muslim hendaklah kita mengucapkan salam
walaupun kita tidak mengenalnya, dan berilah senyuman karena senyuman itu sebagian dari
ibadah. Dan juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam berintraksi dengan teman
sebaya, di antaranya :
a.    Menyikapi Teman Sebagai Saudara
Karena umat Muslim itu ibarat satu tubuh, jika ada organ tubuh kita yang tersakiti maka
anggota yang lain juga ikut merasakannya. Sebagaimana hendaknya kaum Muslimin, jika
saudaranya yang satu iman sedang tersakiti, maka kaum Muslimin yang lainnya akan
merasakan sakit tersebut.
Jika teman kita sedang kesulitan maka kita pun harus membantunya, dan selalu
menemaninya baik dikala susah maupun senang.
b.    Saling Menghormati dan Menghargai
Kaum Muslimin adalah seluruhnya sama, yang membedakan mereka hanyalah kadar
iman dan takwa masing-masing. Namun, antara satu dengan yang lainnya haruslah
menciptakan rasa hormat dan saling menghargai antara satu dengan yang lain. Yang muda
menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda. Jika terdapat perbedaan
pendapat antara satu dengan yang lainnya, hendaknya disikapi dengan rasa lapang dada dan
saling menghargai pendapat. Sebab satiap orang memiliki pemikiran berbeda-beda. Dan juga
tidak semua yang akan menolong kita adalah berasal dari orang-orang yang memiliki
kedudukan atau kekayaan. Bisa jadi kita dibantu oleh saudara kita yang miskin dan tidak
memiliki pangkat. Sebagaimana sabda Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Artinya : "Tiadalah kamu mendapat pertolongan dan rezeki, kecuali dari orang-orang lemah
dari kalangan kamu". (HR. Bukhari)
Dari sini jangan sampai kita meremehkan dan tidak menjunjung kehormatan saudara
kita. Sebab sebagaimana yang disebutkan tadi, semua kaum Muslimin itu sama.
c.    Bersikap Amanah (dapat dipercaya) dan Jujur
Apabila teman memberikan amanah terhadap kita, kita harus bisa menjaganya dan
berlaku jujur karena kepercayaan mahal harganya. Jika sebuah kepercayaan sudah kita
ingkari maka kepercayaan untuk kedua kalinya tidak akan sama.
d.    Berprasangka Baik
Sebagai kaum Muslimin, hendaknya kita mengedepankan perasangka baik terhadap
saudara kita. Jangan sampai kita mudah su’u dzan (buruk sangka) terhadap kawan atau
saudara kita. Sebab Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
َّ
‫الظن أكذبُ الحديث‬ َّ ‫والظن‬
‫فإن‬ َّ ‫إياكم‬
Artinya : “Jauhilah dari kalian perasangka buruk, sebab perasangka buruk adalah sedusta-
dustanya perkataan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
e.   Niat Untuk Berteman Bukan Untuk Memanfaatkan
Sering kita temui dari banyak teman yang hanya memanfaatkan temannya saja. Padahal
tujuan utama dari berteman adalah agar kita mendapatkan tempat tatkala kita sendiri dan
sedang mendapat kesulitan.
Lihatlah temanmu disaat kamu sedang tertimpa kesulitan, maka kamu akan tahu mana
temanmu yang sejati dan mana temanmu yang pengkianat. Teman sejati akan menemani kita
dikala suka maupun duka. Namun, pengkhianat hanya ada janji belaka, tatkala kesukaran
terjadi ia akan melupakan janjinya.
f. Mengalah Untuk Memulai Pembicaraan
Hendaknya kita mempersilahkan dia untuk memulai berbicara, sebab kita yang
memiliki satu lisan dan dua telinga, menunjukkan agar kita banyak mendengar dan sedikit
berbicara.
Namun apabila teman kita pendiam maka hendaklah kita yang memulai pembicaraan
tersebut, agar suasana tidak membosankan ( Boring ). Dan agar tetap terjalin kebersamaan.
g.   Saling Bekerjasama, Tolong-menolong, dan Melindungi
Artinya : ”Allah akan slalu menolong hambanya selama hamba itu mau menolong
saudaranya... .”(HR. Muslim)
ِ ‫اإل ْث ِم َو ْال ُع ْد َو‬
‫ان‬ ِ ‫َو تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْالبِ ِّر َو التَّ ْق َوى َو الَ تَ َعا َونُوْ ا َعلَى‬
Artinya : “Saling tolong-menolonglah kamu di dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah
saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Qs. Al-Maidah : 2)
g.  Saling Menasehati
َّ ‫اصوْ ا بِال‬
‫صب ِْر‬ ِّ ‫اصوْ ا بِ ْال َح‬
َ ‫ق َوت ََو‬ ِ ‫إِال الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
َ ‫ت َوت ََو‬
Artinya : “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
(QS. Al-Ashr : 3)
h.   Tidak Mencela dan tidak memanggilnya dengan panggilan yang buruk
Artinya : “... Cukup seseorang dikatakan jahat apabila ia menghina saudaranya yang Muslim,
diharamkan bagi setiap Muslim atas Muslim lainnya dari darahnya, hartanya, dan
kehormatannya.” (HR. Muslim)
Artinya : “Seorang mu’min bukanlah orang yang suka mencela, tidak suka melaknat, tidak
berbuat keji dan tidak berkata kotor.” ( HR Ahmad dan At-Tirmidzi )
i.    Tidak menggunjing (menyebarkan aib dan kekurangannya)
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena
sebagian prasangka itu adalah dosa. Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan orang
lain, dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lainnya, apakah salah
seorang di antara kalian suka memakan bangkai saudaranya yang sudah mati ? Tentu kalian
tidak menyukainya. Bertaqwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat
lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurot : 12)
j.   Tidak saling mendengki, tidak saling menipu, dan tidak saling membenci
‫الَ تَ َحا َس ُدوْ ا َو الَ تَنَا َج ُشوْ ا َو الَ تَبَا َغضُوْ ا َو الَ تَدَابَرُوْ ا‬
Artinya : ”Janganlah kalian saling mendengki, jangan saling menipu, jangan saling membenci
dan jangan saling membelakangi!” (HR. Ahmad dan Muslim)
k.  Tidak saling mendzalimi
“Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang dzalim.” (Hud : 18)
“Dan Allah tidak menyukai orang yang dzalim.” (Ali Imran : 57, 140 dan Asy Syura 40)
“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi
neraka jahannam.” (Al Jinn : 15)
“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang dzalim dan tidak ada baginya seorang
penolong yang diterima (pertolongannya). (Ghofir :18)‫ا‬
l.     Jangan Kau Biarkan Ia Selama Tiga Hari
‫ق ثَالَثَ ِة أَي ٍَّام‬
َ ْ‫الَ يَ ِحلُّ لِ ُم ْسلِ ٍم أَ ْن يَ ْه ُج َر أَخَ اهُ فَو‬
Artinya : “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga
hari.” (HR Ahmad, Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
m. Tidak bersikap berlebihan terhadap lawan jenis dan bukan mahram.
n. Berpakaian sesuai adab. Untuk laki-laki berpakaian sopan dan wanita memenuhi adab
berpakaian sesuai aturan Islam yang mengatur adab tentang berpakaian.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang Mukmin untuk mendiamkan saudaranya yang
mukmin di atas tiga hari, jika telah lewat tiga hari lalu saling bertemu, kemudian salah
satunya mengucapkan salam kepadanya. Jika ia menjawabnya maka mereka berdua mendapat
pahala, namun jika ia tidak menjawabnya, maka yang Muslim telah lepas dari dosa akibat
mendiamkan, dan dosa kembali kepada yang tidak menjawab.” (HR. Al-Baihaqi).
Adab ukhwah keutamaan

Adab terhadap Diri Sendiri

Orang Muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia dan akhirat sangat


ditentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya, perbaikan, dan penyucian dirinya.
Selain itu, ia meyakini bahwa kecelakaan dirinya sangat ditentukan oleh sejauh mana
kerusakan dirinya, pengotorannya. Itu semua karena dalil-dalil berikut,

Firman Allah Ta‘ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menjiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10).

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri


terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak
(pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum, demikianlah Kami memberi
pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar tidur
dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka), demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang orang yang zhalim. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan
sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya.” (Al-A’raaf: 40-42).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shallih dan nasihat-menasihati supaya
mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3).

Sabda Rasulullah saw., “Semua dan kalian masuk surga, kecuali orang-orang yang tidak
mau.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang tidak mau masuk surga, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. bersada, “Barangsiapa taat kepadaku, ia masuk surga. Dan barangsiapa
bermaksiat kepadaku, ia tidak mau (masuk surga).” (HR Bukhari).

“Semua manusia beramal, dan menjual dirinya memperbaiki dirinya, atau


membinasakannya.” (HR Muslim).

Orang Muslim meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya, dan
menyucikannya ialah iman yang baik, dan amal shalih. Ia juga meyakini, bahwa sesuatu yang
mengotori dirinya, dan merusaknya ialah keburukan, kekafiran dan kemaksiatan, berdasarkan
dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada sebagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang
baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.” (Huud: 114).

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka.” (Al-Muthaffifin: 14).

Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jika seorang Mukmin mengerjakan dosa, maka ada
noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, berhenti (dari dosa tersebut), dan beristighfar,
maka hatinya bersih. Jika dosanya bertambah, bertambah pula noda hitamnya, hingga
menutupi hatinya.” (HR An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini
hasan shahih).

Noda hitam tersebut tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Ta‘ala dalam surat
Al-Muthaffifin di atas.

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan tindaklanjutilah kesalahan
dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, serta bergaulah
dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).

Oleh karena itulah, orang Muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya,
dan membersihkannya. Sebab, ia orang yang paling layak membinanya, kemudian ia
memperbaikinya dengan adab-adab yang membersihkannya, dan membersihkan kotoran-
kotorannya. Ia menjauhkan diri dan apa saja yang mengotorinya, dan merusaknya seperti
keyakinan-keyakinan yang rusak, ucapan-ucapan yang rusak, dan amal perbuatan yang rusak.
Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya setiap saat, membawanya kepada
perbuatan-perbuatan yang baik, mendorongnya kepada ketaatan, menjauhkannya dari segala
keburukan dan kerusakan.
Dalam memperbaiki dirinya, membinanya, dan membersihkannya, orang Muslim menempuh
jalan-jalan berikut:

Taubat
Yang dimaksud dengan taubat di sini ialah melepaskan diri dan semua dosa dan
kemaksiatan, menyesali semua dosa-dosa masa lalunya. dan bertekat tidak kembali kepada
dosa di sisa-sisa umurnya. Itu semua karena dalil-dalil berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-
benarnya, mudah-mudahan Tuhan kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian, dan
memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At Tahrim:
8).

“Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian
beruntung.” (An-Nuur: 31).

“Hai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam sehari
sebanyak seratus kali.” (HR Muslim).

“Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dan barat, maka Allah menerima
taubatnya.” (HR Muslim).

“Sesungguhnya Allah membuka Tangan-Nya dengan taubat bagi orang yang berbuat salah
di malam hari hingga siang hari, dan bagi orang yang berbuat salah di siang hari hingga
malam hari, hingga matahari terbit dari barat.” (HR Muslim).

“Allah lebih berbahagia dengan taubat (kembalinya) hamba-Nya daripada seseorang di


tempat sepi dan rawan bahaya dengan hewan kendaraan yang memuat makanan dan
minumannya, kemudian ia tidur. Ketika ia bangun, hewan kendaraannya hilang. Ia pun
mencarinya hingga ia kehausan. Ia berkata, ‘Aku akan kembali ke tempatku semula, hingga
aku mati.’ Kemudian ia letakkan kepalanya di atas lengannya untuk mati. Ketika ia bangun,
temyata hewan kendaraannya ada di sisinya lengkap dengan makanan dan minumannya.
Jadi, Allah lebih berbahagia dengan taubat (kembalinya) hamba yang Mukmin dan
(kebahagiaan) orang tersebut dengan (kembalinya) hewan kendaraan dan bekalnya.”
(Muttafaq Alaih).

Diriwayatkan, bahwa para malaikat rnengucapkan ucapan selamat kepada Nabi Adam atas
taubatnya, karena Allah menerima taubatnya. (Al-Ghazali dalam Ihya'-nya).

Muraqabah

Maksudnya, orang Muslim mengkondisikan dirinya merasa diawasi Allah Ta ‘ala di setiap
waktu hingga akhir kehidupannya, bahwa Allah Ta‘ala melihatnya, mengetahui rahasia-
rahasianya, memperhatikan semua amal perbuatannya, mengamatinya, dan mengamati apa
saja yang dikerjakan oleh semua jiwa. Dengan cara seperti itu, diri orang Mukmin selalu
merasakan keagungan Allah Ta ‘ala dan kesempumaan-Nya, tentram ketika ingat nama-Nya,
merasakan ketentraman ketika taat kepada-Nya, ingin bertetanggaan dengan-Nya, datang
menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya.

Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi wajah dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus?” (An-Nisa’: 125).

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya Ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Luqman:
22).

Itulah intisari seruan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 235).

Atau dalam firman-Nya, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca
suatu ayat dari Al-Qur ‘an dan kalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami
menjadi saksi atasmu pada waktu kalian melakukannya.” (Yunus: 22).

Atau dalam sabda Rasulullah saw., “Sembahlah Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika
engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Muttafaq Alaih).

Jalan itulah yang dilalui para pendahulu kita.. Mereka membawa diri mereka kepadanya
hingga akhir hayat mereka, dan mereka berhasil mencapai derajat muqarra bin (hamba-hamba
yang dekat dengan Allah).

Bukti-bukti berikut bersaksi untuk mereka:

1. Ditanyakan kepada Al-Junaid, “Bagaimana kiat menahan pandangan?” Al-Junaid, “Yaitu


pengetahuanmu, bahwa pandangan Dzat yang melihatmu itu lebih dahulu dan lebih cepat
daripada penglihatanmu kepada sesuatu yang engkau lihat.”

2. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Hendaklah engkau merasa diawasi oleh Dzat yang mengetahui
apa saja yang ada padamu. Hendaklah engkau berharap kepada Dzat yang memenuhi
(harapanmu). Dan hendaklah engkau takut kepada Dzat yang memiliki hukuman.”

3. Ibnu Al-Mubarak berkata kepada seseorang, “Hai si Fulan, hendaklah engkau merasa
diawasi Allah.” Orang tersebut bertanya kepada Ibnu Al-Mubarak tentang apa yang dimaksud
dengan pengawasan Allah, kemudian Ibnu Al-Mubarak menjawab, “Jadilah engkau seperti
orang yang bisa melihat Allah selama-lamanya.”

4. Abdullah bin Dinar berkata, “Pada suatu hari, aku pergi ke Makkah bersama Umar bin
Khaththab. Di salah satu jalan, kami berhenti untuk istirahat, tiba-tiba salah seorang
penggembala turun kepada kami dari gunung. Umar bin Khaththab bertanya kepada
penggembala tersebut, ‘Hai penggembala, juallah seekor kambingmu kepada kami.’
Penggembala tersebut berkata, ‘Kambing-kambing ini bukan milikku, namun milik
majikanku.’ Umar bin Khaththab berkata, ‘Katakan saja kepada majikanmu, bahwa
kambingnya dimakan serigala.’ Penggembala yang budak tersebut berkata, ‘Kalau begitu, di
mana Allah?’ Umar bin Khaththab menangis, kemudian ia pergi ke majikan penggembala
tersebut, lalu membeli budak tersebut, dan memerdekakannya.”

Muhasabah (Evaluasi)
Karena orang Muslim siang-malam bekerja untuk kebahagiaannya di akhirat, kemuliaan dari
Allah Ta‘ala, keridhaan-Nya, dan karena dunia adalah tempat beramal, maka ia harus melihat
ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan pedagang kepada modal bisnisnya, ia melihat
ibadah-ibadah sunnah seperti penglihatan pedagang terhadap keuntungan bisnisnya, dan
melihat kemaksiatan dan dosa sebagai kerugian dalam dunia bisnis. Kemudian ia berduaan
dengan dirinya sesaat di akhir harinya guna mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap
dirinya atas amal perbuatannya sepanjang siang harinya.

Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, ia mencela dirinya, dan
memarahinya, kemudian memaksanya melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu
juga jika ibadah-ibadah wajib tersebut termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga, dan jika
ibadah ibadah wajib tersebut tidak termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga maka ia harus
memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah.

Jika ia melihat dirinya kurang dalam mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka ia mengganti
kekurangannya dan memaksa dirinya melakukannya. Jika ia melihat kerugian karena ia
mengerjakan dosa, maka ia beristighfar, menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan amal
shalih yang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.

Inilah yang dimaksud dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah salah satu cara
perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan pembersihannya, berdasarkan dalil-
dalil berikut:

1. Firman Allah Ta‘ala, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan.” (Al-Hasyr: 18).

“Hendaklah setiap diri memperhatikan” adalah perintah untuk mengadakan muhasabah


(evaluasi) terhadap diri atas apa yang diperbuatnya untuk menyongsong hari esok.

2. Firman Allah Ta‘ala, “Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nuur: 31).

3. Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah, dan beristightighfar
kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam satu hari.” (Diriwayatkan Muslim).

4. Umar bin Khattab ra berkata, “Evaluasilah (hisablah) diri kalian, sebelum kalian
dievaluasi.”

Yang semakna dengannya ialah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dengan sanad yang
baik dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda,

“Orang cerdas ialah yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian,
sedang orang lemah ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan
berkhayal kosong kepada Allah.”

5. Adalah Umar bin Khaththab ra, jika waktu malam telah tiba, ia memukul kedua kakinya
dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang telah engkau kerjakan siang tadi?”
6. Adalah Thalhah r.a. jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia tidak bisa menghadiri
shalat jama’ah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk Allah Ta’ala dari perkebunannya. Ini
tidak lain adalah muhasabah darinya terhadap dirinya, dan kemarahannya terhadap dirinya.

7. Dikisahkan bahwa Al-Ahnaf bin Qais mendekat ke lampu, kemudian ia meletakkan jari-
jarinya di dalamnya hingga merasakan panasnya, sambil berkata, “Hai Al-Ahnaf, apa yang
mendorongmu mengerjakan ini dan itu pada hari ini? Apa yang mendorongmu mengerjakan
ini dan itu pada hari ini?”

8. Dikisahkan bahwa salah seorang dari orang-orang shalih berjihad, tiba-tiba terlihat olehnya
seorang wanita, dan ia pun melihatnya, kemudian mengangkat tangannya, menampar
matanya, dan mencukilnya, sambil berkata, “Sesungguhnya melihat kepada sesuatu yang
merugikanmu.”

9. Salah seorang dari orang shalih berjalan melewati rumah, kemudian ia berkata, “Kapan
rumah ini dibangun?” Usai berkata seperti itu, ia sadar, dan buru-buru berkata kepada dirinya,
“Engkau menanyakan sesuatu yang tidak ada kaitan denganmu. Aku pasti menghukummu
dengan berpuasa setahun.” Ia pun berpuasa selama setahun.

10. Dikisahkan bahwa salah seorang dari orang shalih pergi ke padang pasir yang panas,
kemudian ia berguling-guling di atasnya, sambil berkata, “Diriku, rasakan ini dan Neraka
Jahannam itu lebih panas dari panas padang pasir ini. Engkau busuk di malam hari dan
pengangguran di siang hari.”

11. Salah seorang dari orang shalih menghadapkan penglihatannya ke atap rumah, tiba-tiba ia
melihat seorang wanita, dan ia pun melihat kepadanya. Kemudian ia menghukum dirinya
dengan tidak melihat ke langit selagi ia hidup.

Begitulah, orang orang shalih mengevaluasi diri mereka atas ketidakseriusannya,


memarahinya atas kelalaiannya, mewajibkannya bertakwa, dan melarangnya mengikuti hawa
nafsu, karena mengikuti firman Allah Ta’ala,

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dan
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’ at:
40-41).

Mujahadah (Perjuangan)

Orang Muslim mengetahui bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang ada dalam dirinya,
bahwa watak hawa nafsu adalah condong kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan
memerintahkan kepada keburukan seperti dikatakan Zulaikha dalam Al-Qur’an,

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf: 53).

Selain itu, watak hawa nafsu ialah senang malas-malasan, santai, dan menganggur, serta larut
dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan dan kebinasaannya.
Jika orang Muslim mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri untuk berjuang melawan
hawa nafsunya, mengumumkan perang, mengangkat senjata untuk melawannya, dan bertekat
mengatasi seluruh perjuangannya melawan hawa nafsu, dan menantang syahwatnya. Jika
hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya
menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius dalam ketaatan dan
kebaikan, maka ia menghukumnya dan memarahinya, kemudian ia mewajibkannya
mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan
dan ia tinggalkan. Ia bawa dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya menjadi
tentram, bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap
hawa nafsu (diri).

Allah Ta‘ala berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keriadhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69).

Ketika orang Muslim berjuang melawan dirinya agar menjadi baik, bersih, suci, tentram,
berhak mendapatkan kemuliaan Allah Ta‘ala, dan keridhaan-Nya, maka ia mengetahui bahwa
ini adalah jalan orang-orang shalih dan orang-orang yang jujur, kemudian ia berjalan di atas
jalan tersebut karena ingin meniru mereka dan menapaktilasi jejak-jejak mereka. Rasulullah
saw. saja melakukan qiyamul lail hingga kedua kakinya bengkak. Tentang hal tersebut,
Rasulullah saw. pernah ditanya, kemudian beliau menjawab, “Apakah aku tidak boleh
menjadi hamba yang bersyukur?” (Diriwayatkan Muslim).

Adakah mujahadah yang lebih tinggi dari mujahadah Rasulullah saw. di atas? Demi Allah,
tidak ada.
Ali bin Abu Thalib ra tentang sahabat-sahabat Rasulullah saw., “Demi Allah, aku melihat
Rasulullah saw. dan aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan mereka. Pada pagi hari,
rambut mereka kusut, berdebu, dan pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk sujud,
dan berdiri shalat, membaca Kitabullah, dan istirahat di antara kaki mereka dengan kening
mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang sebagaimana pohon bergoyang
ketika tertiup angin. Mata mereka bercucuran dengan airmata hingga pakaian mereka basah
kuyup.”

Abu Ad-Darda’ ra “Tanpa tiga hal, aku tidak tertarik hidup, meskipun sehari saja, yaitu haus
untuk Allah di siang hari yang panas, sujud untuk-Nya di pertengahan malam, dan duduk
dengan orang-orang yang memilih ucapan-ucapan yang bagus, sebagaimana buah-buahan
yang bagus dipilih.”

Umar bin Khaththab ra memarahi dirinya karena’ ia ketinggalan shalat Ashar berjama’ah,
kemudian bersedekah dengan area tanahnya yang harganya kira-kira dua ratus dirham.

Jika Abdullah bin Umar ra ketinggalan shalat jama’ah, ia menghidupkan (tidak tidur untuk
ibadah) malam harinya. Pada suatu hari, ia menunda shalat Maghrib hingga dua bintang
terbit, kemudian ia memerdekakan dua budaknya.

Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang dikira manusia
sakit, padahal mereka tidak sakit.” Itu tidak lain adalah pengaruh mujahadah mereka terhadap
dirinya.
Rasulullah saw. bersabda, “Manusia terbaik ialah orang yang panjang umurnya, dan baik
amal perbuatannya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kannya).
Uwais Al-Qarni Rahimahullah berkata, “Malam mi adalah malam ruku’.” Kemudian ia
hidupkan seluruh malam tersebut dengan ruku’. Pada malam berikutnya, ia berkata, “Malam
ini adalah malam sujud.” Ia pun menghidupkan seluruh malam tersebut dengan sujud.

Tsabit Al-Bunani Rahimahullah berkata, “Aku pernah bertemu dengan orang-orang dimana
salah seorang dari mereka shalat, kemudian ia tidak bisa pergi ke tempat tidurnya kecuali
dengan merangkak. Salah seorang dan mereka qiyamul lail hingga kedua kakinya bengkak
karena terlalu lama berdiri. Keseriusan mereka dalam ibadah sampai pada tarap jika
dikatakan kepada mereka bahwa kiamat akan terjadi besok, maka mereka tidak akan
menambah ibadahnya. Jika musim dingin tiba, ia berdiri di atap rumah agar ia diterpa hawa
dingin sehingga tidak bisa tidur. Jika musim panas tiba, maka ia berdiri di bawah atap rumah,
agar panas matahari membuatnya tidak bisa tidur. Salah seorang dan mereka meninggal dunia
dalam keadaan sujud.”

Istri Masruq Rahimahullah berkata, “Masruq tidak ditemui, kecuali kedua betisnya bengkak
karena saking lamanya qiyamul lail. Demi Allah, pada suatu kesempatan, saya berdiri di
belakangnya ketika ia berdiri qiyam ullail, kemudian aku menangis karena iba terhadapnya.”

Jika salah seorang telah berumur empat puluh tahun, maka ia melipat kasurnya, dan tidak
pernah lagi tidur di atasnya.

Dikisahkan bahwa salah seorang istri yang bernama Ajrah yang telah buta berdoa dengan
suara yang memilukan jika waktu sahur telah tiba, “Ya Allah, kepada-Mu orang-orang ahli
ibadah mengarungi kegelapan malam untuk berlomba kepada rahmat-Mu, dan karunia
ampunan-Mu. Ya Allah, dengan-Mu, aku meminta kepada-Mu, dan tidak kepada selain-Mu,
hendaknya Engkau menjadikanku orang terdepan di rombongan orang-orang as-sabiqun
(orang-orang yang cepat kepada kebaikan), mengangkat-Ku di sisi-Mu di 'illiyyin di derajat
makhluk-makhluk yang didekatkan kepada-Mu, dan menyusulkan kepada hamba-hamba-Mu
yang shalih. Engkau Dzat yang paling penyayang, Dzat yang paling agung dan Dzat yang
paling mulia, wahai Dzat yang paling mulia.” Usai berdoa seperti itu, ia sujud. Ia tidak henti-
hentinya berdoa, dan menangis hingga waktu shalat Shubuh tiba.

ADAB BERMEDSOS

Di zaman ini, kehidupan manusia hampir tidak pernah lepas dari sosial media
(sosmed). Hidup tanpa sosmed di dunia yang cangggih ini bagaikan makan sayur tanpa
garam. Keakraban dengan sosmed inilah yang mendorong seseorang selalu memperbaharui
status di akun yang mereka punya, untuk setiap keadaan dan peristiwa yang dialami,
dibagikannya pada orang seluruh dunia melalui sosmed.

Ketenaran sosmed di zaman kita ini telah di kabarkan oleh hamba Allah yang paling benar
ucapannya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengabarkan dalam hadits
riwayat Imam Ahmad, bahwasanya diantara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah dzuhurul
qalam (tersebarnya pena/tulisan). Ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pena
tersebut adalah tersebarnya tulisan-tulisan di media komunikasi (sosmed) secara masif.

Perkataan Rasul sekitar 15 abad yang lalu telah terbukti, dimana sosmed kini menjamur dan
menghabitat pada sebagian besar penduduk dunia. Maka sepantasnya bagi setiap muslim
yang mau berpikir dan merenungkan faidah dari hadist tersebut akan merasakan
bertambahnya keimanan dalam dadanya.

Ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang sosmed dan itu terbukti di
zaman ini, maka benar pula sabda Beliau mengenai adanya siksa kubur, adanya fitnah kubur,
adanya pertanyaan kubur, adanya hari kebangkitan dan adanya hari pembalasan, maka semua
itu akan terjadi, karena setiap ucapan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wahyu,
sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS. An Najm : 1-4, yang artinya “Demi bintang
ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat tidak pula keliru, dan tidaklah yang ia
ucapkan itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan padanya”.

Oleh karena itu, sudah semestinya dengan keberadaan sosmed ini kita menjadi lebih beriman
dan taat pada Allah dan RasulNya, karena setiap yang dikabarkan oleh Allah dan RasulNya
adalah benar dan pasti terjadi.

Sosmed merupakan media yang dapat membuat kita mendapat siksa kubur/nikmat kubur.
Sosmed pulalah yang yang menjadi wasilah/media untuk memasukkan kita ke neraka atau ke
surga, ia bagaikan pedang bermata dua. Barangsiapa tak pandai mengambil manfaatnya
pastilah ia akan terbunuh karenanya. Maka dari itu, seorang muslim yang di zaman ini tidak
pernah bisa lepas dengan sosmed harus mengetahui adab-adab dalam menggunakan sosmed,
diantaranya :

1. Mengingat bahwa islam menuntut kita membagi waktu dengan proporsional. Tidak ada
yang melarang penggunaan sosmed, namun kita harus menjaga diri agar tidak terjerumus
terlalu dalam ke dalam kelalaian memanfaatkan waktu.

Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa ada seorang sahabat, yang selalu berpuasa di siang
hari, dan selalu qiyamul lail dari ba’da isya’ hingga menjelang subuh, kabar ini sampai pada
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,  maka Beliau menasihatinya,

“Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau
penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

Jika qiyamul lail saja tidak bisa melegitimasi penelantaran hak, maka apalagi dengan
kesibukan berinteraksi dengan gadget?

Dari Abu Barzah Al-Aslami, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫الَ تَ ُزو ُل قَ َد َما َع ْب ٍد يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َحتَّى يُسْأ َ َل ع َْن ُع ْم ِر ِه فِي َما أَ ْفنَاهُ َوع َْن ِع ْل ِم ِه فِي َما فَ َع َل َوع َْن َمالِ ِه ِم ْن أَ ْينَ ا ْكتَ َسبَهُ َوفِي َما أَ ْنفَقَهُ َوع َْن‬
ُ‫ِج ْس ِم ِه فِي َما أَ ْبالَه‬

“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya
mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3)
hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di
manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi).

Tak mengapa kita mempunyai beberapa grup dalam suatu akun sosmed, asalkan kita pastikan
ada manfaatnya. Namun jika grup-grup tersebut hanya melenakan, membuat kita lalai dengan
sholat, dengan tilawah dan dalam memenuhi hak-hak diri dan orang lain maka evaluasilah
manfaat akun tersebut bagi diri kita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , dia berkata:
“Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِم ْن ُح ْس ِن إِ ْسالَ ِم ْال َمرْ ِء تَرْ ُكهُ َما الَ يَ ْعنِ ْي ِه‬

‘Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak
bermanfaat baginya’.” (Hadits hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi).

Salah satu tanda Allah berpaling dari kita adalah Allah biarkan kita sibuk mengurusi hal-hal
yang tidak bermanfaat untuk kita. Kita tidak diberi taufiq dan hidayah untuk melakukan
kebaikan.

Terdapat suatu kisah inspiratif, suatu hari Imam Malik ditanya, “Berapa umurmu wahai
Imam?”. Imam Malik pun menjawab dengan tegas, “uruslah dirimu sendiri!”. Lihat
bagaimanakah kesungguhan Imam Malik dalam menjaga waktu. Beliau tidak mau menjawab
pertanyaan yang tidak ada manfaat akhiratnya, tidak mengandung ilmu.

Dan kisah ini juga mengajarkan pada kita untuk tidak over kepo terhadap kehidupan orang
lain. Masih banyak aib kita yang perlu diperbaiki, masih teramat sedikit ilmu dan amal yang
kita gunakan sebagai bekal. Bagi seorang muslim, waktu itu sangatlah mahal, sehingga
muslim yang baik keislamannya akan meninggalkan kegiatan di sosmed yang hanya sekedar
like dan dislike, tanpa menebar faedah dan kebaikan. Maka mari kita bagi waktu kita dengan
bijak, agar hisab Allah pada waktu kita lebih ringan.

“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-
sungguh (urusan) yang lain.” QS Alam Nasyrah 94:7)

2. Menanamkan kuat-kuat dibenak kita bahwa setiap postingan, komen, copas, dan share kita
di sosmed akan dihisab, semuanya dan tak ada yang terluput olehNya. Karena Allah
mempunyai malaikat yang ditugaskan untuk selalu mencatat setiap perbuatan kita. Allah
Ta’ala berfirman dalam Q.S Qaf : 18

‫َّما يَ ْلفِظُ ِمن قَوْ ٍل إِاَّل لَ َد ْي ِه َرقِيبٌ َعتِي ٌد‬

 “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir”.

Kontrol jari kita agar tidak terlalu mudah memposting, berkomentar, copy-paste, dan
menshare, dan diam adalah salah satu cara terampuh untuk mengontrolnya.  Karena jari di
dunia sosmed bagaikan lisan di dunia nyata.

Dari Abdullah bin ‘Amr ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫ْال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه َو ْال ُمهَا ِج ُر َم ْن هَ َج َر َما نَهَى هَّللا ُ َع ْنه‬
“Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari
gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang
meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari).

Ini zaman ynag penuh fitnah, semakin banyak komen, maka semakin lama hisab kita di
akhirat kelak. Dan semakin banyak aktif tanpa manfaat, maka akan semakin banyak
pertanyaan Allah pada kita. Semakin banyak teman yang menerima berbagai bentuk tulisan
kita di sosmed, dan tulisan tersebut adalah tulisan yang salah, maka kelak semua teman kita
akan menyalahkan kita ketika di akhirat.

3. Ketika kita akan masuk dunia sosmed, maka jangan lupa pasang niat. Niatkan semua
karena Allah, niatkan untuk menjalin tali silaturahmi, niatkan untuk berbagi faedah yang
disampaikan oleh para ustadz.

Kaidah fikih mengatakan,

ِ َ‫الو ِس ْيلَةُ لَهَا أَحْ َكا ُم ال َمق‬


‫اص ِد‬ َ

“Hukum sarana itu tergantung pada tujuannya.”

Jika tujuan menggunakan sosmed adalah untuk menebar manfaat dan dakwah, maka
penggunaan sosmed yang semacam ini akan berpahala.

Akan tetapi jika penggunaan sosmed hanya untuk ikut-ikutan tanpa ada unsur taqarrub
(mendekatkan diri pada Allah), tanpa ada amal sholeh, maka semua itu kelak akan
memperpanjang waktu hisab kita.

Mari kita gunakan segala kemampuan yang kita miliki untuk berbuat kebaikan semaksimal
mungkin, karena Allah memudahkan hambaNya beramal sebagaimana Allah mengaruniakan
rizki pada hambaNya, dengan cara yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk selalu mengoreksi niat kita, karena Allah atau tidak.
Karena setiap perbuatan itu tergantung dari niatnya. Jika niat kita ikhlas, maka sosmed akan
menjadi lumbung pahala buat kita, namun jika niat kita salah, maka bersiaplah dengan
hisabNya.

4. Hak berbicara itu ada ketika kita telah memenuhi 3 syarat, yaitu :

a. Niat harus karena Allah, sebagaimana hadits yang telah masyhur di tengah-tengah kita,
bahwa innamal ‘amalu bin niyati…. (semua amal tergantung pada niatnya).

b. Menyampaikan informasi dengan benar, baik dari sisi kandungan isinya, maupun dari cara
penyampaiannya. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Al-Israa’ : 53

ٰ ِ ‫إِ َّن ال َّشي ْٰطنَ َكانَ لِإْل‬   ۚ ‫غ بَ ْينَهُ ْم‬


‫نس ِن َع ُد ًّوا ُّمبِينًا‬ ۟ ُ‫َوقُل لِّ ِعبَا ِدى يَقُول‬
ُ َ‫إِ َّن ال َّشي ْٰطنَ يَنز‬   ۚ ُ‫وا الَّتِى ِه َى أَحْ َسن‬

“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan


yang paling baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara
mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.
Karena di sosmed kita tidak dapat memberikan intonasi bicara, ekspresi kita pun terbatas.
Tidak setiap ekspresi tergambarkan oleh emoticon dalam sosmed, sehingga hal ini sangat
rawan terjadi perselisihan dan salah paham.

Ketika kita akan membicarakan hal yang sensitif, lebih baik gunakan komunikasi langsung,
dan seandainya terpaksa menggunakan sosmed, maka sampaikan dengan adab yang benar
dan perkataan terbaik.

Diantaranya memulai dengan basmalah, shalawat pada Rasul, lalu salam, karena orang yang
melakukan ini berarti ia mempunyai niatan baik ketika ingin mengajak kita berbicara.
Sehingga kita pun harus pasang hati untuk selalu berhusnudzon atas setiap berita yang akan
disampaikan.

Oleh karena itu, selayaknya seseorang mempelajari ilmu berkomunikasi ala Nabi sebelum ia
menggunakan sosmed. Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Ali Imran : 159

    ُ‫اعْف‬llَ‫ ف‬   ۖ     َ‫ك‬llِ‫ َحوْ ل‬   ‫ ِم ْن‬   ‫وا‬ ۟ ُّ‫ اَل نفَض‬   ‫ب‬ ِ ‫ ْالقَ ْل‬   َ‫ َغلِيظ‬   ‫ فَظًّا‬    َ‫ ُكنت‬     ْ‫ َولَو‬   ۖ    ‫ لَهُ ْم‬    َ‫ لِنت‬   ِ ‫ هَّللا‬    َ‫ ِّمن‬   ‫ َرحْ َم ٍة‬   ‫فَبِ َما‬
ِ l‫ اأْل َ ْم‬   ‫ فِى‬   ‫اورْ هُ ْم‬
    ُّ‫ يُ ِحب‬   َ ‫ هَّللا‬   ‫ إِ َّن‬   ۚ    ِ ‫ هَّللا‬   ‫ َعلَى‬    ْ‫ فَتَ َو َّكل‬    َ‫زَ ْمت‬ll‫ َع‬   ‫إ ِ َذا‬l َ‫ ف‬   ۖ    ‫ر‬l ِ l ‫ َو َش‬   ‫ لَهُ ْم‬    ْ‫تَ ْغفِر‬l ‫اس‬
ْ ‫ َو‬   ‫َع ْنهُ ْم‬
ِّ ْ
َ‫ال ُمت ََوكلِين‬

Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Maka jangan sampai dakwah ini tercemar gara-gara sikap kita. Selain itu, juga harus benar
dari segi kandungannya, yakni dengan mengcrosscheck setiap informasi yang didapat, jangan
asal copas dan share.

Karena setiap orang yang membaca berita akan mempunyai beberapa pendapat, dan pendapat
ini lah yang akan mendatangkan perpecahan ketika suatu berita disebarkan dengan ada
tambah-tambahan yang keliru karena bersal dari  pendapat penulis semata.

Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S Al Hujurat : 6

   ‫ َما‬   ‫ َعلَ ٰى‬   ‫ُوا‬ ۟ ‫ فَتُصْ بح‬   ‫ ب َج ٰهلَ ٍة‬   ‫ قَوْ ۢ ًما‬   ‫ُوا‬
۟ ‫صيب‬
ِ ُ‫ ت‬   ‫ أَن‬   ‫ فَتَبَيَّنُ ٓو ۟ا‬   ٍ ‫ بِنَبَإ‬   ‫ق‬
ٌ ۢ ‫ فَا ِس‬   ‫ َجٓا َء ُك ْم‬   ‫ إِن‬   ‫ َءا َمنُ ٓو ۟ا‬    َ‫الَّ ِذين‬    ‫ٰيٓأَيُّهَا‬
ِ ِ
َ‫ ٰن ِد ِمين‬   ‫فَ َع ْلتُ ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu. “

Syaikh Sholeh Al-Ruhaili mengatakan, terdapat 2 makna “fasik” dalam ayat diatas, yaitu :

1. sumber berita/orang yang menyebarkan beritanya yang fasik, dan


2. beritanya yang disampaikan merupakan berita kefasikan, dimana berita kefasikan ini
bisa dibawa oleh orang soleh sekalipun, karena orang sholeh pun manusia, tempat
salah dan lupa.

Bisa saja seseorang itu terlupa akan nama tokoh dalam berita tersebut, sehingga ia salah
dalam menyebutkan namanya. Bisa pula orang yang menyampaikan berita pada kita benar-
benar orang yang terpercaya dari segi kekuatan ingatan dan kesholehan, namun bukankah
masih mungkin terjadi kefasikan dari penyampai berita sebelumnya?

Tidak semua orang sholeh itu selektif dalam menerima berita, maka tidak ada alasan untuk
tidak crosscheck berita. Namun ketika kita tidak bisa melakukannya, maka berita tersebut
jangan dipercaya, jangan disebar, cukup dijadikan pengetahuan angin lalu. Karena sekali lagi,
klarifikasi di dunia sosmed itu berat. Belum tentu orang yang telah membaca berita fasik
tersebut membaca pula hasil klarifikasinya.

c. Efek yang ditimbulkan dari disampaikannya berita tersebut adalah efek yang positif, atau
bisa menekan kemudhorotan saat itu. Walaupun berita tersebut benar, ketika disampaikan
pada kondisi yang salah maka akan memperburuk keadaan. Kaidah fikih mengatakan
“Apabila suatu kerusakan berhadapan dengan suatu kemaslahatan, maka secara umum,
menolak kerusakan itu lebih didahulukan (kecuali jika kerusakan itu tidak dominan). Karena
sesungguhnya perhatian pembuat syari’at terhadap perkara yang dilarang itu lebih keras
daripada terhadap perkara yang diperintahkan. (Al-Asybaah wan Nazhaa`ir).

5. Mampu membedakan ranah publik dan ranah pribadi.

6. Tidak semua yang kita dengar harus kita sampaikan. Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda, dari Hafshah radhiyallahu ‘anha :

َ ‫َكفَى بِ ْال َمرْ ء َك ِذبًا أَ ْن يُ َحد‬


‫ِّث بِ ُكلِّ َما َس ِم َع‬

“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta bila menceritakan segala hal yang ia dengar.”
[HR. Muslim].

7. Hindari ghibah dan fitnah di sosmed. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim,
dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda mengenai
definisi ghibah dan dusta/bustan/fitnah. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam menjelaskan
bahwa ghibah adalah menceritakan keburukan saudaramu, meskipun keburukan/aib itu
memang benar adanya. Sedangkan dusta/bustan/fitnah adalah menceritakan keburukan/aib
yang tidak ada pada saudaramu. bahaya ghibah ini luar biasa.

Muamalah
Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari
segi istilah.
 
Menurut Bahasa, Muamalah berasal dari kata ‘amala – yu’amili – mu’amalah‘ sama dengan
wazan : fa’ala – yufa’ilu – mufa’alat, artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling
mengamalkan.
 
Menurut Istilah, pengertian muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai
berikut :
a. Pengertian Muamalah menurut Al Dimyati adalah menghasilkan duniawi, supaya menjadi
sebab suksesnya masalah “ukhrawi”.
b. Menurut Muhammad Yusuf Musa, Pengertian Muamalah adalah peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh Allah yang harus diikuti dan ditaati oleh setiap manusia dalam hidup
bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
c. Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur suatu hubungan
manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
 
 
Dari pengertian arti luas tersebut diatas, kiranya kita dapat mengetahui bahwa muamalah
yaitu suatu aturan (hukum) Allah yang mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan
duniawi dalam pergaulan sosial. Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit adalah :
a. Menurut Hudlari Byk, Pengertian Muamalah ialah semua akad yang membolehkan
manusia saling menukar untuk mendapatkan manfaatnya.
b. Menurut Idris Ahmad, Pengertian Muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur
hubungan antar manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan ataupun
memperoleh alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang baik.
c. Pengertian Muamalah Menurut Rasyid Ridha adalah tukar-menukar suatu barang ataupun
sesuatu yang dapat bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
 
 
Dari pandangan di atas, kiranya dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqh muamalah
dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia dlam kaitannya dengan cara meperoleh dan mengembangkan harta
benda.
 
Perbedaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan pengertian dalam arti luas adalah
dalam cakupannya. Muamalah dalam arti luas, mencakup masalah waris, misalnya padahal
masalah waris dewasa ini telah diatur dalam disiplin ilmu itu tersendiri, yaitu dalam fiqh
muwaris (tirkah), karena masalah waris telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, maka
dalam muamalah pengertian sempit tidak termasuk di dalamnya. Persamaan pengertian
muamalah dalam arti sempit dan dalam arti luas ialah sama-sama mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam kaitan dengan pemutaran harta.
 
Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan
kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang
komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat
diimplementasikan dalam setiap masa.

Di antara kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut :

1.  Hukum asal dalam muamalat adalah mubah


2.  Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan

4.  Menetapkan harga yang kompetitif

5.  Meninggalkan intervensi yang dilarang

6.  Menghindari eksploitasi

7.  Memberikan toleransi

8.  Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah

Sedangkan menurut Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-Maliyah al-
Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:

1. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh beberapa nash
(QS. An-Nisa`: 29),  (QS. Al-Baqarah: 188, 275)

2. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu model/jenis
muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati adanya nash shahih yang
melarangnya, atau model/jenis muamalah itu bertentangan dengan prinsip muamalah Islam.
Dasarnya adalah firman Allah dalam (QS. Yunus: 59).

3. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut artinya tetap,
konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip Islam baik dalam hal akidah,
ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan
pun.
Namun demikian, dalam tataran praktis, Islam—khususnya dalam muamalah—bersifat
murunah. Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip yang tsubut.

 4. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah (alasan
disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah adalah menjaga
dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah kembali kepada hifzhulmaal
(penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu dharuriyatul khamsah (dharurat yang lima).
Sedangkan berbagai akad—seperti jual beli, sewa menyewa, dlsb.—disyariatkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia dan menyingkirkan kesulitan dari mereka.

Bertolak dari sini, banyak hukum muamalah yang berjalan seiring dengan maslahat yang
dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika maslahatnya berubah, atau maslahatnya
hilang, maka hukum muamalah itu pun berubah. Al-'Izz bin 'Abdussalam menyatakan,
"Setiap aktivitas
yang tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas itu hukumnya batal." Dengan bahasa
yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz.. Asy-Syathibiy berkata,
"Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu yang mu'tabar (diakui)
menurut syariat."
Konsep Aqad Fiqih Ekonomi (Muamalah)

Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-
transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama
dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek
berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan
sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus
berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:

Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi
pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat
dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui akad
mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui akad musyaraka. Kerjasama dalam
perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas
tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas
akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapatjan bagi hasil
(keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.

Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan
asset. Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi
menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang
wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan
mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:

1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa
dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.

2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.

3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama


dengan kesepakatan menerima (kabul).

Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi
pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi
adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya,
jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.

Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat
juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat
dibedakan kedalam:

1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas keberadaannya atau segera
dapat diperoleh manfaatnya.

2. obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu
transaksi yang tidak tunai.

Secara garis besar aqad dalam fiqih muamalah adalah sebagai berikut :
1. Aqad mudharaba ( Kerjasama Bagi Hasil )

   Pengertian

Salah satu bentuk kerjasama anatara pemilik modal dengan seseorang, yang pakar dalam
berdagang, di dalam fiqh islam disebut dengan mudharobah, yang oleh ulama fiqh Hijaz
menyebutnya dengan qiradh.

Secara termonologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharobah atau qiradh dengan:

‫أﻥ يد فع ا لما لك إلى العا مل ما ال يتجر فيه و يكو ن الر بح مشتر كا‬

Pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan,


sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan
bersama.

Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan itu, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh
pemilik modal. Definisinya ini menunjukan bahwa yang diserahkan kepada pekerja (pakar
dagang) itu adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.

II.           Hukum Mudharobah dan dasar hukumnya

Akad mudharobah dibolehkan dalam islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara
pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutarkan uang. Banyak di antara pemilik
modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak
pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas
dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk
saling bekerja sama antara pemilik modal dengan seseorang yang terampil dalam mengelola
dan memproduktifkan modal itu.

Alasan yang dikemukakan para ulama fiqh tentang keboleh-an bentuk kerja sama ini adalah
firman Allah dalam surat al-Muzzammil, 73: 20 yang berbunyi:

...‫و ا خر و ن يضر بو ن فى ا أل ر ض يبتغو ن من فضل ا هلل‬

…dan sebagian mereka berjalan di buki mencari karunia Allah…

Dan surat al-Baqarah, 2: 198 berikut:

‫ ليس عليكم جنا ح أ ن تبتغوا فضال من ربكم‬...

   Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…

   Kedua ayat di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara
bekerja sama mencari rezeki yang ditebarkan Allah di atas bumi. Kemudian sabda Rasulullah
SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh ‘Abbas ibn
‘Abd al-Muthalib yang artinya:

   Tuhan kami ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang
yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharobah, dia mengemukakan syarat
bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-
lembah, dan tidak boleh diberikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan.
Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat
yang dikemukakan ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan
Rasul membolehkannya. (HR ath-Thabrani).

III.        Rukun dan Syarat mudharabah

Terdapat perbedaan pandangan ulama Hanafiyah jumhur ulama dalam menetapkan rukun
akad mudharabah. Ulama Hanafiyah, menyatakan  bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan
qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama ada tiga, yaitu :

1.      Orang yang berakad ( shahibul maal dan pengelola )

2.      Modal, pekerjaan, dan keuntungan

3.      Shigat ( ijab qabul)

Adapun syarat – syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama
di atas adalah:

a.       Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang mengerti hukum
dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola
modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syarat – syarat seorang wakil juga
berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.

b.      Yang terkait dengan modal, disyaratkan:

(1) berbentuk uang,

(2) jelas jumlahnya,

(3) tunai,

(4) diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal.

Oleh sebab itu, jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama fiqh tidak dibolehkan, karena
sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian halnya juga dengan utang, tidak boleh
dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik
modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang
sebagiannya oleh pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama
Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan tetapi, ulama
Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal
tidak menganggu kelancaran usaha itu.

c.       Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas
dan bagian masing – masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah,
sepertiga, atau seperempat. Aqpabila pembagian keuntungan tidak jelas, menurut ulama
Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya apabila pemilik modal mensyaratkan
bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah, syarat seperti ini batal dan
kerugiaan tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.

Atas dasar syarat – syarat di atas, ulama Hanafiyah membagi bentuk akad mudharabah
kepada dua bentuk, yaitu mudharabah shahihah ( mudharabah yang sah ) dan mudharabah
fasidah ( mudharabah yang rusak ). Jika mudharabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid,
menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, pekerja hanya berhak menerima upah
kerja sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pedagang di daerah itu, sedangkan seluruh
keuntungan menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam
mudharabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudharabah shahihah, dalam artian
bahwa ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.

IV.        Macam-macam Mudharabah

Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan pemilik modal dengan pekerja, para ulama fikih
membagi akad mudharabah kepada dua bentuk, yaitu mudharabah muthlaqah (penyerahan
modal secara mutlak, tanpa syarat dan batasan) dan mudharabah muqqayadah (penyerahan
modal dengan syarat dan batasan tertentu). Dalam mudharabah muthlaqah, pekerja diberi
kebebasan untuk mengelola modal itu selama profitable. Sedangkan, dalam mudharabah
muqayyadah, pekerja mengikuti ketentuan-ketentuan yang diajukan oleh pemilik modal.
Misalnya, pemberi modal menentukan barang dagangan, lokasi bisnis dan suppliernya.

   Jika suatu akad mudharabah telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka mempunyai akibat
sebagai berikut :

1. Modal ditangan pekerja berstatus amanah, dan posisinya sama dengan posisi seorang
wakil dalam jual beli. Pekerja berhak atas bagian keuntungan yang dihasilkan.
2. Apabila akad ini berbentuk mudharabah muthlaqah, pekerja bebas mengelola modal
selama profitable.
3. Jika kerja sama itu menghasilkan keuntungan, maka pemilik modal mendapatkan
keuntungan an modalnya, tetapi jika tidak menghasilkan keuntungan, pemilik modal
tidak mendapatkan apa-apa.

2. Aqad musyarakah

I.              Pengertian

Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan
yang lainnya, sehingga sulit dibedakan . Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerja sama
dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan
perserikatan dagang.

Secara terminologi, ada beberapa definisi asy-syirkah yang dikemukakan oleh para ulama
fiqh. Pertama dikemukakan oleh ulama Malikiyah. Menurut mereka, asy-syirkah adalah :

‫إ ذ ن فى الصرف لهما مع أ نفسهما فى مال لهما‬

Suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap
harta mereka.
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Menurut mereka,
asy-syirkah adalah :

‫ثبو ت الحق فى شيئ إل ثنين فأ كثر على جهة الشيوع‬

Hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.

Pada dasarnya definisi – definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas hanya berbeda
secara redaksioanl, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan
kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad
asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak
bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai
dengan persetujuan yang disepakati.

II.           Dasar hukum asy-syirkah

Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah
dalam surat an-Nisa’, 4: 12 yang berbunyi :

...‫فهم شر كا ء فى الثلث‬...

...maka mereka berserikat dalam sepertiga harta...

Ayat ini menurut mereka berbicara tentang perserikatan harta dalam pembagian warisan.
Dalam ayat lain Allah berfirman :

‫و إن كثيرا من الخلطاء ليبغى بعضهم على بعض إال اﻟﺫ ين امنوا وعملوا لصا لحا ت وقليل ما هم‬...

  ...sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang – orang beriman dan mengerjakan
amal – amal saleh; dan amat sedikit mereka ini...

Atas dasar ayat dan hadis di atas para ulama fiqh menyatakan bahwa akad asy-syirkah
mempunyai landasan yang kuat dalam agama Islam.

III.        Macam – macam asy-Syirkah

Para ulam fiqh membagi asy-syirkah ke dalam dua bentuk, yaitu; 1) syirkah al-Amlak
( perserikatan dalam pemilikan ). (2) Syirkah al-‘Uquq ( perserikatan berdasarkan suatu
akad ).

1.      Syirkah al-Amlak

Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah dua orang atau lebih memiliki harta
bersama tanpa melalui atau didahului oleh akad asy-syirkah. Asy-syirkah dalam kategori ini,
selanjutnya mereka bagi pula menjadi dua bentuk, yaitu:

a.       Syirkah ikhtiar ( perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat ), yaitu
perserikatan yang muncul akibat tindakan hokum orang yang berserikat, seperti dua orang
sepakat membeli sebuah barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat, atau wakaf dari
orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, hibah, wasiat, awakaf itu dan
menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama
atau yang dihibahkan, diwakafkan, atau yang diwariskan orang itu menjadi harta serikat bagi
mereka berdua.

b.      Syirkah jabar ( perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang
yang berserikat ), yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebihehendak
dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari seorang yang wafat. Harta itu
menjadi milik bersama orang – orang yang menerima warisan itu.

    Dalam kedua bentuk syirkah al-Amlak, menurut para pakar fiqh, status harta masing-
masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri
secar hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus
ada izin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang
yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak ini dibahas oleh
para ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah dan wakaf.

2.      Syirkah al-Uquq

Syirkah dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk
mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya. Terdapat perbedaan
pendapat para ulam fiqh tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk ke dalam syirkah
al-‘uquq.

Ulama Hanabilah membaginya ke dalam lima bentuk, yaitu :

a.       Syirkah al-‘inan ( penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak
selalu sama jumlahnya ).

b.      Syirkah al-mufawadhah ( perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerjasama
yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungannya dibagi
rata ).

c.       Syirkah al-abdan ( perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama ).

d.      Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).

e.       Syirkah al-mudharabah ( bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang
punya kepakaran dagang, dan keuntungannya dibagi bersama)

Ulama Malikiyah dan dan Syafi’iyah membaginya ke dalam empat bentuk :

a.       Syirkah al-‘inan.

b.      Syirkah al-mufawadhah.

c.       Syirkah al-abdan.

d.      Syirkah al-wujuh.


Ulama Hanafiyah membagi syirkah ke dalam tiga bentuk yaitu :

a.       Syirkah al-anwal ( perserikatan dalam modal/harta ).

b.      Syirkah al-a’mal ( perserikatan dalam kerja ).

c.       Syirkah al-wujuh ( perserikatan tanpa modal ).

IV.        Syarat – syarat asy-syirkah

Perserikatan ke dalam dua bentuknya di atas, yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-‘uquq
mempunyai syarat – syarat umum, yaitu:

a.       Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu pihak
jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak lain. Dianggap
sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.

b.      Persentase pembagian keuntungan untuk masing – masing pihak yang berserikat
dijelaskan ketika berlangsungnya akad.

c.       Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.

V.           Rukun – rukun Musyarakah

a.       Para pihak yang bersyirkah.

b.      Porsi kerjasama.

c.       Proyek/usaha ( masyru’ ).

d.      Ijab qabul ( sighat ).

e.       Nisbah bagi hasil.

3. Aqad Muzara’ah

I.              Pengertian

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik tanah
dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminology fiqh terdapat beberapa definisi al-
muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.

Ulama Malikiyah mendefinisikan dengan:

‫الشر كة فى الزرع‬

Perserikatan dalam pertanian.


Menurut ulama Hanabilah mendefinisikan dengan:

‫د فع األرض إلى من يزر عها أو يعمل عليها واﻠﺯرع بينهما‬

Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi
berdua.

Kedua definisi ini dalam Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”  Penduduk Irak
menyebutnya “al-Mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam
berasal dari pemilik tanah. Imam asy-Syafi’iyah mendefinisikan al-mukhabarah dengan:

‫عمل األرض ببعض ما يخرج منها واﻟﺒﻨ ر من العا مل‬

Pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.

Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedang
dalam al-muzara’ah bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

II.           Hukum Akad al-muzara’ah

Dalam membahas hukum al-muzara’ah terjadi perbedaan pendapat para ulama. Imam Abu
Hanifah ( 80-150 H/699-767 M ) dan Zufar ibn Huzail ( 728-774 M ), pakar fiqh Hanafi,
berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah
dengan bagi hasil, seperti seperempat dan setengah, hukumnya batal.

Alasan Imam Abu Hanifah dan Zufair ibn Huzail adalah sebuah hadis berikut:

‫أن رسو ل هللا عليه وسلم نهى عن المهخا برة‬.

﴿‫﴾رواه مسلم عن جا بر بن عبد هللا‬

Rasulallah saw yang melarang melakukan al-mukhabarah. ( HR Muslim dari Jabir ibn
Abdillah ).

Al-Mukhabarah dalam sabda Rasulallah itu adalah al-muzara’ah, sekalipun dalam al-
mukhabarah bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.

Dalam riwayat Sabit ibn adh-Dhahhak dikatakan:

‫أن رسول هللا صلى هللا عليه و سلم نهى عن المزرعة‬.

﴿‫﴾رواه مسلم عن ثا بت بن الضحا ك‬

Rasulallah melarang al-muzara’ah ( HR Muslim ).

III.        Rukun al-Muzara’ah

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan syarat
yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut mereka
adalah:

a.       Pemilik tanah.

b.      Petani penggarap.

c.       Obyek al-muzara’ah.

d.      Ijab dan qabul.

IV.        Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut orang
yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah yang dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan
yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.

Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga sesuai dengan
kebiasaan tanah itu—benih yang ditanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat
yang menyangkut tanah pertanian adalah:

a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika
tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak dimungkinkan untuk dijadikan
tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.

b.      Batas-batas tanah itu jelas.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan
bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen adalah sebagai berikut:

a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihaki harus jelas.

b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada
pengkhususan.

c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari
awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari, dan penentuanya tidak boleh
berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk pekerja, atau satu
karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah jumlah itu atau dapat juga
jauh melampaui kumlah itu.

V.           Akibat akad al-Muzara’ah

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah
memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:

a.       Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan pertanian
itu.
b.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman,
ditanggung oleh petani dan pemilik tanh sesuai dengan prosentase bagian masing-masing.

Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

4. Aqad ijarah

Pengertian Ijarah                                            

      Menurut etimologi, ijarah adalah : menjual manfaat . demikian pula artinya menurut
etimologi syarat . untuk lebih jelasnya, dibawah ini dikmukakan beberapa definisi ijarah
menurut pendapat beberapa ulama fiqih.

a). Ulama hanafiah artinya akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.

b). Ulama Asy-Syafi’iyah artinya akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud
tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolhan dengan penganti tertentu.

c). Ulama Malikiah dan Hanabilah artinya: Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah
dalam waktu tertentu dengan pengganti.

      Ada yang menerjemahkan sebagai upah mengupah. Menurut penulis keduanya benar,
sebab penulis membagi ijarah menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda.

2. Syarat Ijarah

a)      Syarat terjadinya akad

Syarat ini berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad. Syarat ini sering disebut
“inqad..menurut Ulama Hanafiah ,’aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7
tahun), serta tidak syaratkan tidak baliq. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri,
akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah, tetapi bergantung atas keridhoan walinya.

b)      Syarat pelaksanaan Ijarah (An-Nafadz)

Agar izarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh Aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh 
untuk akad (ahliah).

c)      Syarat sah Ijarah

      Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan aqid (orang yang aqad), ma’qud’alaih (barang
yang menjadi objek akad), ujrah (upah) dan zat akad (nafs Al-‘Akad), yaitu :

*  Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad.

*  Ma’qud ‘alaih bermamfaat dengan jelas.

*  Ma;qud ‘alaih harus memenuhi secara syara.


*  Kemamfaatan benda dibolehkan menurut syara tidak menyewa untuk pekerjaan         yang
di wajibkan kepadanya.

*  Tidak mengambil manfaat bagi diri orang disewa. Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan
keadaan yang umum.

d)     Syarat barang sewaan.

e)      Syarat ujrah.

*  Berupa harta tetap yang dapat diketahui.

*  Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk
ditempati dengan menempati rumah tersebut.

f)       Syarat yang kembali pada rukun akad.

g)      Syarat kelaziman

Ø  Ma’qud ‘alaih terhindar dari cacat.

Ø  Tidak ada ujur yang dapat membatahkan akad.

3.   Rukun Ijarah

            Menurut Ulama hanafiah, rukun Ijarah adalah Ijab dan Qobul, antara lain dengan
menggunakan kalimat al-ijarah, alistigfar, al-ikhtiar, dan al-ikra. Menurut Jumhur Ulama,
rukun Ijarah ada 4, yaitu: Aqid, Shighat akad, Ujrah (upah), Manfaat.

4. Sifat dan Hukum Ijarah                             

1.      Sifat Ijarah

Menurut ulama hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah
SWT :   yang boleh dibatalkan, pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya bukan didasarkan
pada pemenuhan akad.

2.       Hukum Ijarah

Hukum ijarah sahih adalah tetapnya kemamfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi
pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih sebab ijarah termasuk jual beli
pertukaran hanya saja dengan kemamfaatan. Hukum ijarah rusak, menurut ulama hanafiyah,
jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja
dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad, ini bila kerusakan tersebut terjadi pada
syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidakmemberi tahukan jenis
pekerjaan perjanjiannya upah harus diberikan semestinya.

5. Pembagian dan Hukum Ijarah


Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa dan ijarah atas pekerjaan
atau upah mengupah.

a.       Hukum Sewa-menyewa

Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah kamar, dan lain-lain, tetapi, dilarang
ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.

Ø  Ketetapan hokum akad dalam ijarah

Ø  Cara memanpaatkan barang sewaan.

Ø  Perbaikan barang sewaan.

Ø  Kewajiban penyewa setelah hais masa sewa

b.  hukum upah-mengupah

            Upah mengupah atau ijrah ‘ala al’a’mal yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam
beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah dan lain-lain. Ijarah ‘alal-a’mal
terbagi dua yaitu:

Ø  Ijarah khusus

            Ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang   bekerjatidak
boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberikan upah.

Ø  Ijarah musytarik

            Ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama. Hukumnya
dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.

 
Ruang Lingkup Fiqh Muamalah, sesuai dengan pembagian muamalah maka ruang lingkup
fiqh muamalah juga terbagi dua. Ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah adalah ijab
dan kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban,
kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber
dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaan harta dalam hidup bermasyarakat.
Ruang lingkup pembahasan madiyah ialah masalah

1. jual beli(al-bai’ al-tijarah)


2. gadai (ar-rahn)
3. jaminan dan tanggungan (kafalan dan dlaman)
4. pemindahan utang (hiwalah)
5. jatuh bangkrut (taflis)
6. batasan bertindak (al-hajru)
7. perseroan atau perkongsian (al-syirkah)
8. persoalan harta dan tenaga (al-mudharabah)
9. sewa-menyewa (al-ijarah)
10. pemberian hak guna pakai (al-‘ariyah)
11. barang titipan (al-wadit’ah)
12. barang temuan (al-luqathah)
13. garapan tanah (al-mujara’ah)
14. sewa-menyewa tanah (al-mukharabah)
15. upah (ujrat al ‘amal)
16. gugatan (al-syuf’ah)
17. sayembara (al-ji’alah)
18. pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
19. pemberian (al-hibbah)
20. pembebasan (al-ibra)
21. damai (al-shulhu)
22. mu’ashirah (muhaditsah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah-
masalah baru lainnya.
 
Mubayyidh, Said Muhammad, 2006. Adab harian Muslim.Jakarta Timur : Hanif Press

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdatul Ulama (UNU)
Surakarta. 

Suhendi Hendi, 2014. Fiqh Muamalah. Rajawali Pers : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai