Anda di halaman 1dari 30

1

Catatan:
telah dimuat sebagai salah satu bab dalam
buku yang diterbitkan oleh Yayasan Nabil

TIONGHOA DAN SINOLOGI DI INDONESIA

Oleh:
A. Dahana & Johanes Herlijanto

Orang Tionghoa berperan dalam perkembangan Sinologi di Indonesia?


Kalau pun jawabannya ‘ya’, itu tak dapat dianggap sebagai sesuatu
yang mengejutkan. Bukankah Sinologi itu adalah sebuah disiplin yang
mempelajari tentang Cina dan berbagai hal lainnya yang terkait dengan
Negeri Panda tersebut? Dengan demikian, sudah pasti etnik Tionghoa,
yang merupakan keturunan para pendatang dari negeri itu, sangat
berminat untuk terlibat dalam pengembangan disiplin di atas. Apalagi
kelompok etnik tersebut selama ini dikenal sebagai orang-orang yang
tak dapat melepaskan ikatan kebudayaan dengan tanah leluhur mereka.
Jadi, tidak aneh bila mereka ikut serta dalam mengembangkan cabang
ilmu itu.

Cara berpikir seperti di atas memang sarat dengan stereotip yang


dominan mengenai etnik Tionghoa di masa-masa lampau (Lihat Coppel
1983:5-27). Namun, mungkin saja cara pandang tersebut masih terbersit
dalam pikiran seseorang di masa kini bila ia dihadapkan dengan
pertanyaan mengenai peran para Sinolog Tionghoa. Pandangan
semacam itu, selain didasarkan pada asumsi bahwa orang Tionghoa
hanya loyal pada ‘tanah nenek moyang’, juga beranggapan bahwa
Sinologi adalah sebuah cabang ilmu yang dapat diperalat untuk
kepentingan negeri yang menjadi obyek observasinya.
2

Padahal sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan, disiplin ini


justru mengajarkan para peminatnya untuk melakukan kajian secara
kritis terhadap Cina, baik pada aspek sejarah, kebudayaan, maupun
pada perkembangan sosial dan politiknya. Itulah sebabnya disiplin ini
justru sangat bermanfaat bagi bangsa-bangsa yang sedang berurusan
dengan raksasa Asia itu ataupun masyarakatnya, termasuk dengan
komunitas Tionghoa yang berada di perantauan. Ia bahkan sering
dipergunakan oleh mereka yang berkepentingan untuk ‘menaklukkan’
bangsa itu. Kaum misionaris Eropa, pejabat elit kolonial Barat di tanah
jajahan, hingga para sarjana Amerika Serikat di masa Perang Dingin
dan sesudahnya merasa perlu mengembangkan ilmu ini untuk tujuan
mereka masing-masing.

Tradisi Sinologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang wajib


menerapkan cara berpikir kritis itulah yang dibangun di tanah air oleh
para Sinolog Indonesia. Sebagian besar dari mereka yang berperan
mengembangkan kajian ini segera setelah kemerdekaan Indonesia
adalah orang-orang Tionghoa. Partisipasi sarjana Tionghoa itu dapat
ditelusuri bukan hanya dari karya-karya mereka, tetapi juga dari kerja
keras mereka menghasilkan ahli Cina generasi selanjutnya. Bahkan,
sumbangsih mereka terhadap negeri ini dapat terlacak dari anak didik
mereka yang memiliki latar belakang etnik, budaya, dan agama yang
beragam. Sejak era akhir 1960an hingga saat ini, hasil didikan para
Sinolog masa lalu itu bekerja baik di instansi-instansi strategis
pemerintah, akademisi di berbagai perguruan tinggi negeri atau swasta,
maupun sebagai peneliti-peneliti mandiri.

Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri kembali peran para sinolog


berlatar belakang etnis Tionghoa di atas. Upaya penelusuran dimulai
dengan membahas secara sekilas sejarah Sinologi di dunia, termasuk di
3

Indonesia. Pembahasan dilanjutkan dengan membicarakan partisipasi


para ilmuwan Tionghoa dalam pengembangan cabang ilmu ini setelah
berdirinya negara Republik Indonesia. Akhirnya, tulisan ini juga
membahas siapa saja yang menjadi anak didik dari para sarjana
Tionghoa tersebut dan bidang-bidang apa saja yang mereka geluti.
Dengan memperbincangkan hal-hal di atas, kita berharap dapat
mengetahui lebih dalam tentang sumbangsih orang-orang Tionghoa
bagi berdirinya sebuah disiplin yang memiliki manfaat tersendiri bagi
negara dan bangsa Indonesia.

Asal Usul Cabang Ilmu Sinologi

Tradisi Sinologi sebenarnya berasal dari ketertarikan orang-orang


Eropa untuk mengetahui lebih banyak mengenai Cina. Ketertarikan
dunia Barat terhadap Cina sebenarnya telah berlangsung sejak masa
kuno. Orang-orang Roma pada masa kekaisaran bahkan sudah tergila-
gila oleh produk Cina, terutama rempah-rempah dan sutera yang
diekspor ke Eropa melalui rute perdagangan yang masyhur dengan
sebutan "Jalan Sutera". Marco Polo, pengembara asal Venesia pada
akhir abad ke-13 telah membuat orang Eropa terkagum-kagum dengan
cerita perjalanannya di Cina. Uniknya, kisah tersebut justru dituturkan
kepada khalayak kota Genoa ketika Marco sedang menjadi tawanan
akibat perang antara Genoa dan Venesia. Konon, penduduk kota Genoa
yang terpesona oleh cerita tersebut memperlakukan Marco bukan
sebagai layaknya seorang tawanan, tetapi sebagai sahabat (Ross
1994:x). Melihat besarnya minat masyarakat, Marco Polo akhirnya
menuliskan pengalamannya, yang kemudian dituangkan menjadi
sebuah tulisan susastra oleh seorang penulis asal Pisa yang juga
4

menjadi tahana di genoa, yaitu Rustichello (Ross 1994:x). Buku tersebut


dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama The Travels of Marco Polo
(Kisah Perjalanan Marco Polo); sedangkan dalam bahasa Perancis, ia
diberi judul Livre des Merveilles du Monde (Buku Keajaiban Dunia).

Dalam buku tersebut penulis menerangkan tentang geografi,


kehidupan ekonomi, dan sistem politik Cina di bawah pemerintahan
Dinasti Mongol (Yuan, 1271-1368). Dikatakan oleh Marco Polo, situasi
umum di Cina pada akhir abad ke-13 jauh lebih baik daripada keadaan
di Eropa. Selain ukuran wilayahnya yang lebih luas, tingkat peradaban
dan teknologinya pun lebih tinggi. Ketertarikan terus menggelora di
kalangan orang-orang Eropa hingga berabad-abad setelah munculnya
buku Marco Polo di atas. D. E. Mungello, seorang Sinolog, berpendapat
bahwa ketertarikan tersebut muncul dan bertahan karena hingga akhir
abad 18, orang Eropa menganggap bahwa peradaban Cina lebih tinggi
dari pada peradaban mereka sendiri. Oleh karenanya, mereka ingin
meminjam budaya serta pemikiran yang telah berkembang di Cina,
khususnya tradisi filsafat Konfusius (Mungello 2013:91)

Pada saat sebagian besar bangsa Eropa di tempat asal mereka


sedang mengagumi Cina, sekelompok kecil misonaris dari benua
tersebut bergerak memasuki wilayah sang raksasa Asia untuk
memperkenalkan ajaran Kristen kepada penduduknya. Menurut catatan
Mungello, antara abad 15 hingga 18, jumlah misionaris Eropa yang
menjalankan misi di Cina telah mencapai angka beberapa ribu
(Mungello 2013:91). Di antara mereka, yang dikenal sebagai sang pionir
adalah Father Matteo Ricci, seorang Jesuit yang pada tahun 1583
masuk ke Cina bersama seorang misonaris lain bernama Michele
Riggieri. Hingga wafatnya pada tahun 1610, Matteo Ricci tetap tinggal di
negeri tersebut.
5

Selama 27 tahun itu Ricci mencoba menyebarkan agama Kristen


melalui cara adaptasi dengan kebudayaan Cina. Pada awalnya ia dan
Riggierie memilih untuk berpenampilan bagaikan para pendeta Budha,
yakni dengan mencukur rambut dan jenggot, lalu mengenakan jubah
(Liu 2008:446). Namun di kemudian hari, ia menyadari bahwa tradisi
Konfusius lah yang paling dihargai dalam masyarakat Cina (Liu
2008:467). Itulah sebabnya ia kemudian mengubah penampilannya
menjadi seperti seorang sarjana dalam tradisi Konfusianisme (Liu
2008:467-468). Ia juga berusaha memperdalam pengetahuan mengenai
aliran filsafat yang sangat berpengaruh di Cina tersebut.

Upaya adaptasi Mateo Ricci di atas diteladani oleh para misionaris


yang mengikuti jejaknya. Tas dasar alasan itulah mereka harus belajar
bahasa, adat kebiasaan, dan kehidupan beragama orang Cina. Di
Eropa, koleksi tulisan mereka menjadi jembatan penghubung antara
benua tersebut dengan Cina. Banyak intelektual Eropa pada abad ke-
16 berutang budi terhadap tulisan mereka, karena melalui karya-karya
tersebut itulah mereka dapat mengetahui keadaan di Cina tanpa harus
pergi ke sana. Dapat disebut misalnya karya Voltaire, Orphelieu de la
Chine atau Novissima Sinica karya Reibuiz.

Perkembangan Studi Cina pada masa-masa setelah itu juga tak


dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah Cina sejak pertengahan
abad ke-19. Sekitar tahun-tahun 1840an Cina kalah dalam serangkaian
konflik militer yang dikenal dengan nama Perang Candu (Yapian
Zhanzheng) melawan Inggris. Akibatnya, Cina yang selama berabad-
abad sebelumnya menutup diri dari dunia luar dipaksa untuk
menjalankan politik pintu terbuka. Sejak saat itulah penjajahan bangsa
Barat atas Cina dimulai. Akan tetapi, bentuk kolonialisme Barat di Cina
berlainan dengan penjajahan di wilayah Asia lainnya. Alih-alih
6

mempraktekkan penjajahan secara langsung, berbagai kekuatan Barat


di Cina justru mempertahankan eksistensi dinasti terakhir yang
memerintah negeri itu, yaitu Dinasti Qing (Manzu, 1644-1911). Atas
dasar fakta sejarah itulah para sejarawan Marxis Cina menyebut Cina
selama periode antara pertengahan abad ke-19 sampai kira-kira
pertengahan abad ke-20 sebagai periode "setengah feodal setengah
jajahan" (ban fengjian ban zhimindi), atau seperti kata Dr. Sun Yat-sen
sebagai “hipokoloni” atau bangsa yang dijajah tidak hanya oleh satu tapi
oleh banyak bangsa lain.

Bersamaan dengan terbukanya Cina demi perluasan kepentingan


ekonomi Barat, kalangan rohaniawan Barat makin bersemangat untuk
menyebarkan agama Kristen di negeri itu. Walaupun seperti telah
dikatakan di atas para misionaris Kristen sudah datang ke Cina sejak
abad ke-16, upaya untuk menyebarkan agama Kristen secara besar-
besaran baru muncul setelah Cina dipaksa membuka diri terhadap dunia
luar menjelang pertengahan abad ke-19. Oleh karena itu pula para
sejarawan Marxis Cina menyebut agama Kristen sebagai bagian tak
terpisahkan dari proses historis untuk menjadikan Cina tanah jajahan di
bawah telapak kaki berbagai kekuatan kolonialisme-imperialisme Barat.

Untuk melakukan penyebaran agama tentu saja pertama-tama


diperlukan kemahiran berbahasa. Karena itulah orang-orang asing
pertama yang mempelajari Bahasa Cina secara sistematis adalah kaum
rohaniawan atau orang-orang yang punya hubungan dekat dengan
dunia gerejani. Sebagai contoh, Mathew's Chinese-English Dictionary,
salah satu kamus Bahasa Cina-Bahasa Inggris modern pertama yang
terbit pada 1931 ditulis oleh seorang rohaniawan bernama belakang
Mathew. Sampai sekarang karya tersebut masih digunakan sebagai
rujukan untuk menyusun kamus modern.
7

Pada masa-masa kemudian, untuk menarik pengikut, kemahiran


Bahasa Cina saja dirasakan masih belum cukup. Para rohaniawan lalu
menerapkan apa yang telah dilakukan pendahulu mereka, yaitu Matteo
Ricci. Seperti misonaris abad ke-16 tersebut, para rohaniawan Kristen
abad ke-19 pun menggap perlu untuk mengetahui tentang adat-istiadat,
kepercayaan, tradisi, dan agama di negeri itu. Bahkan mereka juga
mempelajari sejarah serta masalah-masalah politik, ekonomi, budaya
kontemporer, dan lain sebagainya. Sejak saat itulah apa yang
dinamakan sebagai tradisi Sinologi mulai muncul. Akan tetapi,
mengingat kegunaannya lebih ditujukan kepada hal-hal praktis, dalam
hal ini untuk keperluan penyebaran agama, mereka yang berkecimpung
dalam disiplin ini terdiri dari orang-orang yang kebanyakan melakukan
studi secara otodidak dan belum mengenal metodologi.

Sampai akhir abad ke-19 Sinologi masih belum terpisahkan secara


nyata dari usaha-usaha misi Kristiani. Ilmu itu baru melepaskan diri dari
berbagai kepentingan gerejani pada sekitar tahun 1900 ketika seorang
sinolog Perancis terkemuka, Edouard Chavannes, memperkenalkan
kuliah-kuliah sejarah Cina di College de France. Sejak saat itu Sinologi
sebagai suatu ilmu tersendiri lambat-laun berkembang dengan
metodologi modern. Pengajar dan mahasiswa yang mengikuti program
itu di dunia Barat diakui sebagai bagian dari kegiatan akademis. Sinologi
sebagai suatu disiplin adalah cabang ilmu yang mengkhususkan diri
pada usaha untuk mempelajari segala sesuatu tentang Cina. Sesuai
dengan zamannya, sasaran Sinologi pada masa awalnya adalah
kebudayaan, sejarah kuno, dan karya-karya klasik Konfusianis dan
aliran filsafat lainnya di Cina. Dalam tradisi Sinologi, filologi sebagai alat
pendekatan tekstual memegang peran penting.
8

Tradisi Sinologi sebagai ilmu yang mempelajari kebudayaan,


sejarah kuno, dan klasika Konfusianis berlangsung terus sampai masa
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Tapi, kemenangan Partai Komunis
Cina (PKC), disusul dengan berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC)
serta mulai berlangsungnya Perang Dingin, telah mengakibatkan
terjadinya perubahan yang cukup monumental dalam dunia Sinologi.
Pada saat itu ada anggapan bahwa Sinologi sebagai suatu cabang ilmu
adalah anarkronistis, atau tidak sesuai lagi dengan zaman. Sementara
Mao Zedong dengan PKC-nya sedang mengadakan perubahan besar
dan bereksperimen dengan sistem komunisme model Cina untuk
memodernkan diri, para sinolog masih saja sibuk memperdebatkan
karya-karya Konfusius dan budaya serta literatur klasik Cina lainnya.
Pada saat yang bersamaan, muncul pula kritik terhadap Sinologi
sebagai suatu disiplin ilmu yang menghasilkan para sarjana yang
generalis. Memang, sesuai dengan nama Sinologi yang kurang lebih
berarti "mempelajari segala sesuatu tentang Cina," sarjana-sarjana yang
dihasilkan oleh cabang ilmu ini pun diharapkan memiliki pengetahuan
yang utuh namun bersifat umum tentang masyarakat dan kebudayaan
Cina. Syarat untuk menjadi seorang sinolog memang berat karena ia
dituntut untuk mengetahui segala hal mulai dari kebudayaan secara
umum, masyarakat, bahasa, adat-istiadat, agama dan kepercayaan,
sampai ke sistem hukum.

Sebagai respons dari kritik seperti di atas, sebagian dari para


sarjana yang memiliki ketertarikan khusus terhadap Cina memilih untuk
mengarahkan fokus penelitian mereka pada masalah-masalah sosial,
ekonomi, dan politik Cina kontemporer. Di antara topik-topik di atas,
tema-tema yang berkaitan dengan perilaku Cina sebagai sebagai
sebuah negara dalam hubungannya dengan negara lain di kawasan
9

Asia Pasifik maupun dunia juga memperoleh perhatian yang sangat


mendalam. Berkaitan dengan berkembangnya fokus pada isu-isu
kontemporer itulah muncul istilah Studi Cina (Chinese Studies), sebuah
terminologi yang selama sekitar lebih dari 40 tahun kemudian lebih
popular ketimbang istilah Sinologi.

Dasawarsa 1950an adalah tahap tinggal landas dalam Studi Cina,


dan mulai saat itulah istilah Studi Cina lebih kerap dipakai daripada
istilah Sinologi. Sinologi lebih diasosiasikan dengan studi Cina klasik.
Sebaliknya Studi Cina (Chinese Studies) lebih mengkhususkan diri
dalam studi Cina modern, terutama periode sejak 1949 setelah RRC
berdiri, dan kaum komunis berkuasa di negeri itu.

Pada tahun-tahun 1950an, Studi Cina modern di dunia Barat,


terutama di Amerika mengalami sebuah lompatan yang spektakuler.
Gejala itu timbul sebagai akibat perkembangan politik dunia pada masa
itu khususnya ketika Perang Dingin tengah berlangsung. Menurut para
penyusun kebijakan di Washington, dan di negara-negara Barat pada
umumnya, tujuan utama blok sosialis yang dimotori Uni Soviet pada
masa itu adalah untuk menyebarkan komunisme ke segenap penjuru
dunia. Pendapat itu dikaitkan dengan sifat komunisme yang dianggap
sebagai ideologi bersifat ekspansionis, yakni ingin mengkomuniskan
dunia. "Teori domino" misalnya, yang diperkenalkan Menteri Luar
Negeri Amerika Serikat mendiang John Foster Dulles, muncul dalam
kurun waktu itu. Teori tersebut berpendapat, apabila kekuasaan di
sebuah negara jatuh ke tangan kaum komunis, maka negara-negara lain
yang berbatasan dengannya akan terancam bagaikan kartu-kartu yang
dimatikan dalam permainan domino. Pengertian Amerika tentang teori
itulah yang menyeretnya ke Perang Korea pada 1950 dan Perang
Vietnam pada pertengahan 1960an.
10

Lalu, apa peran RRC dalam strategi global komunisme menurut


teori itu? Blok komunis pada masa itu masih monolit di bawah komando
Moskow. Itulah yang menimbulkan kecurigaan di kalangan negara-
negara anti-komunis bahwa Cina tak lain dari "agen" Moskow untuk
mengkomuniskan Asia. Persepsi Barat yang mencurigai Cina makin
tebal setelah Perang Korea (1950-1953) pecah. Bahkan sejak itu timbul
pula anggapan bahwa sejalan dengan strategi kaum komunis untuk
menyebarkan komunisme ke seluruh jagat, telah tercipta suatu
"pembagian kerja" antara Beijing dan Moskow. Uni Soviet menggarap
Eropa dan dunia Barat lainnya, sedangkan RRC mendapat bagian untuk
menyebarkan komunisme di Asia. Karena itulah Amerika, demi
menjamin kepentingan nasionalnya, terpanggil untuk menghalangi dan
bahkan berusaha untuk menghentikan sepak terjang Cina di Asia.
Munculnya "politik pembendungan" (containment policy) yang baru
berakhir menjelang dasawarsa 1980an, adalah akibat dari asumsi dan
persepsi tersebut.

Cina pada 1950an adalah negara yang menutup diri dan terisolasi
dari pergaulan internasional. Namun, bahasa, kebudayaan, tulisannya
yang unik, ditambah dengan fakta bahwa ia adalah sebuah negara
komunis, telah menjadikannya sebuah obyek menarik untuk dipelajari.
Studi Cina menjadi alat untuk mengetahui perkembangan politik di
daratan Cina dan untuk mengerti tentang tingkah-lakunya di pentas
dunia. Para ahli Cina diperlukan dalam pemerintahan sebagai analis
untuk mengerti perkembangan di daratan Cina. Tenaga mereka
dibutuhkan antara lain sebagai konsultan dalam menyusun kebijakan
terhadap Cina. Dengan demikian, pengetahuan tentang "masalah Cina"
pada kurun waktu 1950an dan 1960an, di samping untuk memenuhi
kebutuhan praktis dalam penyusunan kebijakan luar negeri dan
11

penyusunan strategi juga muncul sebagai sebuah studi yang dipelajari di


berbagai universitas dan lembaga-lembaga penelitian. Boom dalam
Studi Cina pada 1950an dan 1960an di negara-negara Barat, terutama
Amerika, adalah akibat dari adanya keperluan praktis tersebut.

Sejalan dengan kebutuhan untuk mengetahui perkembangan


dalam negeri Cina setelah 1949, dunia akademis dan universitas di
dunia Barat juga mulai bebenah diri. Mata kuliah bahasa, sejarah dan
politik Cina, dengan menggunakan metode pengajaran modern, mulai
diperkenalkan. Badan-badan swasta dan kemudian disusul oleh
pemerintahan, mulai tertarik dan menyediakan dana bagi
pengembangan studi Cina modern.

Sesuai dengan zamannya, buku-buku dan karya tulis mengenai


Cina yang terbit pada dasawarsa 1950an dan 1960an kebanyakan
bercerita tentang pengalaman-pengalaman pribadi di Cina atau memoar
selama Perang Dunia II dan perang saudara (perebutan kekuasaan
antara kaum komunis dan kaum nasionalis untuk menjadi penguasa
tunggal di Daratan Cina, 1945-1949). Beberapa contoh dapat disebut
antara lain karya ahli Cina terkemuka Doak Barnett, Cina on the Eve of
Communist Takeover, atau karya sinolog Derek Bodde, Peking Diary.
Barnett juga menulis sebuah buku yang bernada Perang Dingin dengan
judul Communist Cina and Asia: A Challenge to American Policy.

Sesuai dengan masa ketika orang begitu takut terhadap ancaman


bahaya kuning (yellow peril) dan komunisme, tidak banyak karya yang
mencoba mengerti atau menggambarkan secara obyektif tentang
perjuangan kaum komunis Cina. Untuk yang disebut belakangan ini
dapat disebut antara lain Red Star Over Cina dan The Other Side of the
River karya Edgar Snow, seorang wartawan dan penulis kiri Amerika
12

yang bersimpati terhadap perjuangan kaum komunis Cina. Ia


mengadakan perjalanan ke wilayah-wilayah yang telah dibebaskan
kaum komunis selama Perang Saudara Cina (1921-1949). Sesuai
dengan profesinya sebagai wartawan, kedua buku Snow itu sifatnya
sangat jurnalistik. Walaupun demikian, buku-buku tersebut telah
menjadi karya klasik dan menjadi rujukan untuk mengetahui
perkembangan komunisme dan kaum komunis di Cina pada 1930an dan
1940an serta tahun-tahun awal RRC. Selain itu patut juga disebut karya
Jack Belden Cina Shakes the World, yang versi bahasa Indonesianya
terbit tahun 1952 di bawah judul Naga Merah, diterjemahkan oleh Mr.
Sumarto Djojodihardjo.

Sebelum Perang Dunia II tidak banyak universitas di Eropa dan


Amerika yang menyelenggarakan Program Studi Cina. Tapi, setelah
Perang Dunia II berakhir, dan terutama setelah RRC berdiri, Studi Cina
mulai berkembang. Dengan bantuan dana pemerintah dan swasta,
program Cina bermunculan di banyak universitas. Pada mulanya, yang
dinamakan Studi Cina hanya terbatas pada kuliah-kuliah kemahiran
bahasa, pelajaran kesusastraan dan sejarah. Lambat laun Studi Cina
modern mulai mempengaruhi bidang-bidang studi lain dalam lingkungan
humaniora, seperti ilmu-ilmu sosial, dan politik.

Bidang-bidang studi itu dengan mudah menerima Studi Cina ke


dalam lingkungan mereka, sedangkan Ilmu politik secara praktis
merangkulnya ke dalam bidang Ilmu Perbandingan Politik (Comparative
Politics). Demikian juga dengan studi hubungan internasional. Yang
agak sukar menyesuaikan diri adalah ilmu ekonomi karena pada waktu
itu tradisi, metodologi, dan model-model dalam ilmu ekonomi hanya
menganalisis sistem ekonomi negara-negara maju atau dengan kata
lain, Negara-negara kapitalis. Akan tetapi, munculnya kasus-kasus
13

ekonomi pembangunan pada tahun-tahun kemudian telah menjadikan


ekonomi Cina yang dianggap unik sebagai salah model untuk
mengembangkan teori dalam ekonomi pembangunan dan ilmu
perbandingan ekonomi.

Perkembangan lebih pesat terjadi pada dasawarsa 1960an. Pada


tahun-tahun itu Studi Cina telah berkembang sedemikian rupa dan
malahan mempengaruhi bidang-bidang lain di luar humaniora dan ilmu-
ilmu sosial dan politik. Munculnya sistem "dokter tanpa alas kaki"
(barefoot doctor) selama masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976),
misalnya telah banyak menarik perhatian para pakar ilmu kesehatan
masyarakat di luar Cina dan itu kemudian dianggap sebagai salah satu
model atau alternatif bagi pemeliharaan kesehatan masyarakat di Dunia
Ketiga. Dalam dasawarsa itu muncul pula karya-karya utama tentang
sistem politik dan kemasyarakatan Cina. Salah satu karya paling
monumental pada masa itu adalah Ideology and Organization in
Communist Cina, yang lahir dari tangan Franz Schurman, yang sampai
kini masih dianggap sebagai karya klasik tentang hubungan antara
politik praktis, ideologi, organisasi negara, dan partai di Cina. A. Doak
Barnett juga menerbitkan buku yang disuntingnya di bawah judul
Chinese Communist Politics in Action, sebuah buku yang membicarakan
tentang tingkah laku politik di Cina.

Seiring dengan modernisasi studi Cina, terjadi pula peningkatan


dalam penerbitan jurnal di bidang itu. Sebelum perang, ada beberapa
jurnal yang diterbitkan oleh American Oriental Society, sebuah
organisasi yang menghimpun para sinolog Amerika. Lalu, ada Institute
of Pacific Relations yang khusus menggarap bidang studi Cina modern.
Kedua organisasi tersebut menerbitkan rangkaian monograf di bawah
nama Pacific Affairs dan Far Eastern Survey. Kemudian muncul lagi
14

jurnal baru dengan nama The Far Eastern Quarterly yang dikeluarkan
The Committee on Far Eastern Studies. Pada tahun 1950an jurnal yang
disebut belakangan itu berganti nama menjadi Journal of Asian Studies.
Penerbitan itu merupakan jurnal ilmiah paling terkemuka di Amerika
untuk studi Asia, termasuk Cina.

Pada tahun 1960an, sejalan dengan makin berkembangnya Studi


Cina modern, di Inggris terbit jurnal khusus yang membicarakan
masalah-masalah Cina modern di bawah nama The Cina Quarterly.
Jurnal ini merupakan jurnal ilmiah yang paling prestisius dalam bidang
studi Cina modern. Dengan adanya modernisasi dan popularisasi Studi
Cina, tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi di Cina, mulai dari
Gerakan Seratus Bunga (Baihua Yundong), Gerakan Anti-Kanan,
Lompatan Jauh ke Muka (Da Yuejin), Revolusi Kebudayaan (Wenhia Da
Geming), Reformasi dan Keterbukaan (Gaige Kaifang), sampai ke
Pembantaian Tiananmen, yang luput dari perhatian orang-orang yang
tertarik pada perkembangan yang terjadi di daratan Cina.

Perkembangan Sinologi di Indonesia

Di Indonesia, kajian mengenai Cina telah berkembang sejak


zaman kolonial, khususnya sejak dasawarsa pertama abad yang lalu.
Pada masa itu, minat terhadap masalah-masalah Cina kontemporer
mulai berkembang, terutama di kalangan orang-orang Tionghoa.
Munculnya minat tersebut dipengaruhi oleh perkembangan politik di
negeri tersebut, khususnya setelah mencuatnya nama dua orang tokoh
politik terkemuka, yaitu Kang Youwei dan Dr. Sun Yat-sen (Sun
Zhongshan). Gagasan kedua pemikir tersebut bergaung hingga ke
masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.
15

Kang Youwei adalah seorang tokoh pembaharu yang pada 1898


terusir dari Cina karena program-program reformasinya (dikenal dalam
sejarah Cina sebagai Reformasi Seratus Hari) digagalkan oleh golongan
konservatif di dalam kalangan keraton kekaisaran Qing. Ia tinggal di
Jepang, dan dalam pengasingannya, mengunjungi berbagai tempat
yang banyak dihuni para perantau Tionghoa (Huaqiao), termasuk yang
ada di Jawa. Kang mengunjungi Batavia pada tahun 1903. Ia turut
berperan dalam membangun pendidikan modern Cina di Indonesia,
yang secara resmi diawali dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Kuan
(THHK) beberapa tahun sebelum kedatangannya. Sebagai contoh, ia
memperkenalkan sebuah sekolah bernama daido gakko (datong
xuexiao, atau sekolah persatuan besar), yang didirikan oleh komunitas
Tionghoa di Yokohama (Kwartanada 2013:34). Atas rekomendasi Kang
Youwei pulalah salah seorang alumni dari sekolah tersebut, yaitu Lim
Vie Yie, diundang ke Batavia untuk menjadi kepala sekolah THHK
(Kwartanada 2013:34). Sun Yat-sen adalah bapak revolusi Cina dan
orang yang memperkenalkan nasionalisme kepada bangsa Cina baik
yang berdiam di Cina maupun yang tinggal di luar negeri mereka. Ia
secara berkala mengunjungi masyarakat perantauan Tionghoa di Asia
Tenggara untuk mencari dukungan bagi kegiatan partai politiknya (Reid
2010:64).

Pengaruh kedua tokoh besar dalam sejarah modern Cina itu


menimbulkan minat di kalangan etnik Cina di Indonesia, terutama
kalangan kaum terpelajarnya, terhadap perkembangan-perkembangan
kontemporer di bidang ekonomi, politik, dan sosial di daratan Cina. Pada
akhir dekade pertama abad yang lalu, di Batavia berdirilah asosiasi yang
menamakan dirinya Soe Po Sia (Shubaoshe, secara harfiah berarti
Ruang Baca). Asosiasi ini merupakan tempat berhimpunnya golongan
16

muda etnik Tionghoa yang mengadakan diskusi-diskusi tentang segala


perkembangan yang terjadi di Cina, khususnya berkaitan dengan
revolusi (Williams 1960:104). Asosiasi Soe Po Sia pertama didirikan
pada tahun 1909 dan beberapa tahun kemudian, 52 Soe Po Sia telah
terbentuk di seluruh Nusantara (Williams 1960:104). Fromberg, seorang
sarjana ilmu sosial berkebangsaan Belanda juga memimpin kelompok-
kelompok diskusi para pelajar dan mahasiswa Cina yang membicarakan
tentang segala perkembangan yang tengah terjadi di Cina. Organisasi
inilah, yang bersama dengan sianghwee (shanghui atau Kamar Dagang)
berjasa menyebarkan nasionalisme di kalangan masyarakat lokal Cina.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian juga mendirikan sebuah


badan yang diberi nama Kantoor voor Chineesche Zaken (Kantor
Urusan Cina). Badan yang pembentukannya telah dipersiapkan sejak
paruh kedua abad ke 19 itu bertugas antara lain sebagai pemberi saran
kepada pemerintah kolonial dalam berhubungan dengan masyarakat
Cina (Lohanda 2002:212). Maklumlah, pemerintah jajahan menerapkan
berbagai peraturan dan pembatasan terhadap gerak-gerik masyarakat
Cina di Hindia-Belanda atau nama Indonesia selama dalam
cengkeraman kaum kolonial Belanda. Di dalam organisasi itu
dipekerjakan para sinolog yang umumnya berkebangsaan Belanda dan
lulusan universitas di Negeri Belanda. Mereka itulah yang menjadi otak
di belakang segala kebijakan pemerintah dalam berhubungan dengan
masyarakat Cina lokal. Dapatlah dikatakan bahwa mereka itulah yang
menjadi cikal-bakal munculnya studi yang lebih sistematis mengenai
masyarakat dan kebudayaan Cina di Indonesia.

Timbulnya Sinologi di Indonesia sebagai suatu kegiatan akademik


barulah terjadi setelah Perang Dunia II berakhir. Pada 1947 dua sarjana
hukum Belanda, Prof. Dr. Van der Valk dan Dr. Mr. Meyer, mendirikan
17

Sinologische Instituut (Lembaga Sinologi). Meskipun berlatar belakang


pendidikan hukum, kedua ilmuwan ini selain sangat fasih berbahasa
Tionghoa, juga memiliki pengetahuan yang sangat mendalam mengenai
sejarah dan budaya Cina (Lihat Li 1994:70). Sesuai dengan namanya,
lembaga yang mereka dirikan itu bertujuan mendidik ahli-ahli Cina
dalam tradisi Sinologi. Dengan dibantu oleh seorang sinolog Belanda
lainnya, Dr. R.P Kramers, Lembaga Sinologi mulai menciptakan
generasi pertama sinolog Indonesia yang kebanyakan berlatar belakang
etnik Tionghoa (Lihat Li 1994:83). Di antara mereka, terdapat nama-
nama seperti Sie Ing Djiang, Li Chuan Siu, Tan Lan Hiang, dan Tan Ngo
An (Li 1994:85). Sebagian dari para mahasiswa generasi pertama itu di
kemudian hari mengabdi pada almamater mereka, setidaknya untuk
sementara waktu. Li Chuan Siu, misalnya, menyumbangkan tenaganya
sebagai pengajar dan penerjemah pada jurusan Sinologi Universitas
Indonesia sebelum akhirnya memutuskan untuk berkarir di negeri jiran
(Singapura, dan kemudian, Australia).

Sejak tahun-tahun awal dasawarsa 1950-an, seiring dengan


berdirinya Universitas Indonesia, lembaga Sinologi seperti yang disebut
di atas telah digabungkan ke dalam lingkungan Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. Belakangan lembaga tersebut dikenal dengan
nama Jurusan Bahasa dan Sastra Tionghoa. Jurusan tersebut adalah
satu-satunya lembaga pendidikan milik pemerintah yang mendidik para
mahasiswa untuk menjadi ahli Cina. Pada tahun-tahun kemudian
namanya berubah lagi menjadi Jurusan Sastra Tionghoa. Belakangan,
setelah pemerintah Orde Baru berkuasa, institusi ini berganti nama
menjadi Jurusan Asia Timur Seksi Cina. Pemilihan penggunaan nama
‘Cina’ sebagai pengganti dari istilah ‘Tionghoa’ atau ‘Tiongkok’ ini
merupakan akibat dari kebijakan Orde Baru yang tak menyukai segala
18

hal yang berbau Cina serta segala kebijakan lain yang sekarang
dianggap diskriminatif terhadap golongan Tionghoa. Selanjutnya,
dengan adanya penataan kembali organisasi Fakultas Sastra (kini
namanya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia
pada 1984, namanya berubah lagi menjadi Program Studi Cina, yang
bernaung di bawah Jurusan Asia Timur.

Jurusan yang sekarang namanya Program Studi Cina seperti yang


dikatakan di atas mulai memasuki zaman modern pada paruh kedua
dasawarsa 1950-an, ketika ada sejumlah petugas belajar yang dikirim
oleh Departemen Luar Negeri dan Angkatan Darat mendaftar untuk
menjadi mahasiswa. Ketika itu hubungan diplomatik dengan RRC baru
saja dibuka dan pemerintah memerlukan personil yang dapat berbahasa
Cina dan mengetahui tentang sistem politik dan kemasyarakatan Cina
untuk mengisi posisi-posisi pada Kedutaan Besar Indonesia di Peking.
Setelah memperoleh gelar sarjana muda dan sarjana, sebagian besar
dari para petugas belajar itu ditempatkan di Beijing sebagai diplomat
dan sebagai atase militer. Sejak tahun 1950-an itulah Jurusan Tionghoa
mempunyai dua program: program pertama mengikuti pola klasik
dengan titik berat pada penelaahan teks-teks Konfusianis, dan program
kedua yang menitikberatkan pada upaya untuk mengisi kebutuhan
praktis akan ahli-ahli Cina modern yang akan bekerja di sektor
pemerintahan.

Peran Sinolog Tionghoa

Sebagaimana dipaparkan di atas, hingga awal tahun 1950-an,


Sinologi di Indonesia masih sepenuhnya bergantung pada para ilmuwan
Belanda. Indonesia dapat dikatakan baru memiliki sinolog non Belanda
menjelang pertengahan dasawarsa di atas, ketika sekelompok
19

mahasiswa Tionghoa berhasil memperoleh gelar sarjana muda dan


sarjana sastra (doktorandus) dalam bidang Sinologi. Agaknya hal inilah
yang menyebabkan pemerintah Indonesia merasa perlu untuk
mendatangkan seorang sinolog Indonesia yang pada tahun 1949 telah
berhasil mempertahankan gelar doktornya di Universitas Leiden,
Belanda. Beliau adalah almarhum Prof. Dr. Tjan Tjoe Som.

Pak Som, demikian ia dikenal oleh para muridnya, adalah seorang


Tionghoa Muslim kelahiran Solo 1903. Pada tahun 1935, beliau
berangkat ke Negeri Belanda untuk menuntut ilmu dalam bidang
Sinologi. Di negeri tersebut, ia belajar di bawah bimbingan seorang
Sinolog Belanda kenamaaan saat itu, Profesor Duyvendak. Pak Som,
demikianlah panggilan beliau di kalangan para mahasiswanya, berhasil
mempertahankan disertasinya berjudul Po Hu T’ung pada tahun 1949.
Setahun kemudian, beliau ditunjuk sebagai Profesor dalam bidang
filsafat Cina, sebuah jabatan yang baru saja diciptakan di Universitas
Leiden. Namun baru saja jabatan itu diembannya selama kurang lebih 2
tahun, Prof Tjan diundang buat kembali ke Indonesia untuk menjabat
sebagai Profesor Sinologi. Meski sempat dibujuk untuk bertahan oleh
para koleganya, beliau akhirnya memutuskan untuk meninggalkan
Leiden dan berkarir di Universitas Indonesia (Dahana 2012:1186-9).

Kedatangan Prof. Dr. Tjan Tjoe Som yang merupakan seorang


ahli Cina dalam tradisi Sinologi lulusan negeri Belanda semakin
memperkuat program sinologi di Universitas Indonesia. Di bawah
pimpinan Prof. Tjan inilah modernisasi program studi dilaksanakan
antara lain dengan menekankan pada kemahiran berbahasa. Beberapa
pengajar dan mahasiswa berbakat dikirim ke RRC untuk memperdalam
pengetahuan bahasa mereka. Ada juga yang dikirim ke Amerika untuk
mengikuti pengajaran bahasa, linguistik, dan ilmu-ilmu sosial.
20

Pendidikan kemahiran berbahasa secara aktif dengan metode


baru dimulai pada tahun 1960 ketika pengajar-pengajar yang dikirim ke
Cina itu kembali ke Indonesia. Studi Cina modern makin berkembang
dengan kembalinya serombongan mahasiswa tugas belajar pemerintah
non-U.I. yang dikirim ke RRC. Mereka diberi tugas untuk memberikan
kuliah-kuliah kesusastraan, sejarah modern dan sosiologi Cina.

Pasca Gerakan 30 September yang melibatkan Partai Komunis


Indonesia (PKI), Prof. Dr. Tjan Tjoe Som (Pak Som) dipecat dari
jabatannya sebagai akademisi Universitas Indonesia secara mendadak.
Beliau dicurigai sebagai salah satu simpatisan Partai Komunis Indonesia
(PKI mengingat beliau terdaftar sebagai anggota Himpunan Sarjana
Indonesia (HSI), organisasi sarjana yang beraviliasi dengan PKI.
Sepeninggal Pak Som, para murid yang telah beliau bimbinglah yang
melanjutkan tradisi Sinologi di Indonesia. Mereka terdiri dari orang-orang
yang tidak saja berkecimpung dalam pengembangan Sinologi sebagai
pengajar, khususnya di Jurusan Sastra Tionghoa, Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, tetapi juga yang mempraktekkan Sinologi dalam
bidang pekerjaan mereka.
Dra. Oei Soan Nio (almarhumah), Dra. Oei Ertie (sekarang tinggal
di Amerika), dan Dra. Lie Swan Nio (almarhumah) adalah tiga di antara
para murid Prof Tjan Tjoe Som yang melanjutkan estafet pengajaran
Sinologi setelah kepergian Pak Som. Bahkan sesungguhnya mereka
bertiga telah memulai kiprahnya sejak akhir tahun 1950an. Ketiga orang
itu memperkenalkan pengajaran bahasa Tionghoa dengan
menggunakan sistem pinyin, yang mulai diperkenalkan pada 1957. Pada
masa itu Perang Dingin masih berlangsung dan segala hal yang berbau
komunis—baik dari Cina maupun Rusia—selalu dianggap sebagai
barang “haram”, termasuk sistem pengajaran bahasa dengan sistem
21

Romanisasi yang lebih efektif dan sederhana itu. Pada 1960 Ibu Soan,
Ibu Ertie, dan Ibu Swan—demikianlah para mahasiswa memanggil
mereka—baru saja kembali dari Beijing setelah satu atau dua tahun
mempelajari metode pengajaran Bahasa Mandarin di Universitas
Beijing. Dengan demikian mahasiswa Jurusan Sastra Tionghoa FSUI
Angkatan 1960 adalah salah satu kelompok dari angkatan pertama
orang-orang di luar Cina yang belajar Bahasa Mandarin dengan sistem
pinyin.
Baik Ibu Soan maupun Ibu Ertie adalah pengajar bahasa yang
handal. Di samping itu mereka juga memiliki pengetahuan yang luas
tentang Sinologi. Pada tahun 1970an, Ibu Soan pernah melanjutkan
studinya di University of California at Berkeley. Di samping mengajar
Bahasa Cina Modern, beliau juga mengajarkan Bahasa Cina Klasik.
Para mahasiswa yang belajar di jurusan Sinologi antara tahun 1960an
hingga 1990an mengenal dasar-dasar Bahasa Cina Klasik setelah
mengikuti kuliah beliau. Selain itu, Ibu Soan juga mengajar sejarah Kuno
Cina, serta memberi kuliah dalam bidang Capita Selecta Studi Cina.
Ibu Ertie juga pernah studi di Harvard University untuk
memperdalam Ilmu Linguistik di bawah bimbingan ahli pengajaran
bahasa Mandarin terkenal, Prof. Chao Yuan Ren. Di samping ketiga
wanita itu ada juga Drs. Sie Ing Djiang, seorang linguis yang handal dan
pengajar teori dan praktek terjemahan Bahasa Tionghoa yang serius
dan memperkenalkan sistem terjemahan Bahasa Tionghoa-Bahasa
Indonesia yang sangat menarik. Ia bukan saja merupakan lulusan awal
Institut Sinologi Universitas Indonesia, namun juga pernah melanjutkan
studi di Amerika. Setelah 1966 beliau mengajar di Singapura dan
meninggal di sana.
Dra. Siek Bing Yam memperkenalkan pengajaran Sejarah
Tiongkok. Ia seorang pengajar yang menyampaikan informasi mengenai
22

Sejarah Tiongkok dengan sangat menarik. Menjelang pertengahan


1960an, Ibu Siek (begitulah biasanya para mahasiswa memanggil
beliau) menikah dengan seorang profesor tamu yang mengajar di
Jurusan Perancis FSUI. Setelah menikah, konon Ibu Siek bersama
suami dan keluarga tinggal di Australia. Beliau masih menulis, tapi
setelah tahun 1980 nama beliau tak terdengar lagi di kalangan Sinologi.
Nama-nama para murid Pak Som yang telah disebutkan di
terdahulu memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik para ahli
sinologi generasi pos-Tjan Tjoe Som. Mereka dapat dikatakan
menjalankan fungsi sebagai guru dan pembimbing bagi para sinolog
Indonesia selanjutnya. Namun tak sedikit pula murid Prof Tjan Tjoe Som
yang juga berkiprah sebagai peneliti yang handal. Di antaranya, salah
satu dari yang paling menonjol adalah Prof. (Riset) Dr. Melly Tan,
mantan peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Beliau pernah melanjutkan studi di Cornell University dan University of
California, Berkeley, dalam bidang Sosiologi. Karya beliau yang
menumental dan kini dianggap sebagai studi klasik adalah bukunya,
yang berjudul The Chinese in Sukabumi. Setelah pensiun dari LIPI Ibu
Melly pernah menjadi periset senior di Universitas Atmajaya, dan kini
tengah menikmati masa-masa pensiunnya.
Studi tentang Etnis Tionghoa di LIPI yang dipelopori oleh Ibu Melly
kini dilanjutkan oleh salah satu lulusan Program Studi Cina U.I., yaitu Dr.
Thung Ju Lan. Sama seperti Prof Melly Tan, Ju Lan, demikianlah ia
sering disapa, juga menempuh studi lanjut di Amerika Serikat, di bidang
Sosiologi. Sekembalinya dari Amerika Serikat, Ia kemudian meneruskan
studinya ke Australia dan memperoleh gelar PhD dalam Sosiologi dari
Universitas La Trobe, Melbourne, pada tahun 1998. Itulah tahun ketika
pemahaman lebih mendalam mengenai masyarakat Tionghoa Indonesia
di zaman ini sedang begitu dibutuhkan.
23

Seorang penerus Pak Som lainnya, meski tidak memiliki


kesempatan untuk memperoleh bimbingan secara langsung dari beliau,
adalah Almarhum Dr. Ignatius Wibowo, S.J. Beliau belajar pada jurusan
Sinologi di Universitas Indonesia pada akhir tahun 1970an. Meski
berlatar belakang budaya Tionghoa, sepanjang pengetahuan penulis,
beliau sangat jarang (bila tidak tak pernah sama sekali)
merepresentasikan identitas etniknya. Hal ini barangkali ada
hubungannya dengan latar belakang kehidupan beliau, yang selain
berkiprah sebagai seorang ilmuwan sosial, juga mengabdi sebagai
seorang rohaniawan Katolik. Dengan demikian, wajar bila beliau lebih
memandang diri beliau sebagai seorang abdi Tuhan, ketimbang sebagai
anggota dari sebuah kelompok budaya tertentu. Sebagai salah seorang
pemimpin umat, Dr Ignatius Wibowo dikenal dengan sebutan ‘Romo
Bowo’. Setelah menamatkan program master pada bidang Ilmu Politik di
Amerika Serikat, Romo Bowo pergi ke Inggris untuk menempuh program
doktoral Ilmu Politik di School of Oriental and African Studies (SOAS),
Universitas London dengan disertasinya mengenai peran Sekretaris
Partai di desa setelah reformasi. Sekembalinya dari London, Romo
Bowo sangat aktif membagikan pengetahuannya mengenai sistem
sosial politik di Cina, termasuk perkembangan terakhir di negeri raksasa
Asia itu. Buku berjudul Negara dan Masyarakat Cina serta Belajar dari
Cina adalah dua contoh dari berbagai karya yang ia terbitkan. Sangat
disayangkan bahwa perannya sebagai salah seorang Sinolog kenamaan
Indonesia masa kini harus terhenti kerena ia meninggalkan kita semua
untuk selama-lamanya dalam usia yang tergolong muda.
Sama seperti Dr. Ignatius Wibowo, Prof. Dr. Hermina Sutami juga
merupakan seorang penerus jurusan Sinologi yang baru berkenalan
dengan disiplin ini setelah Pak Som tiada. Bila Romo Bowo memusatkan
perhatiannya pada perkembangan sosial dan politik Cina, maka ilmuwan
24

yang bernama lengkap Agnetia Maria Cecilia Hermina Sutami ini


menjadikan aspek-aspek kebahasaan sebagai minat penelitiannya.
Beliau memperoleh gelar doktor dalam bidang linguistik dari Universitas
Indonesia pada tahun 1999, dengan disertasi berjudul Ikonisitas dalam
Sintaksis Bahasa Mandarin. Sembilan tahun kemudian, Dr Hermina
Sutami pun dikukuhkan sebagai profesor di bidang Linguistik di
Universitas Indonesia.
Selain para pengajar dan peneliti di atas, ada pula tamatan
jurusan Sinologi yang “berbelok” dari Sinologi ke cabang ilmu lainnya.
Dua di antara mereka berkecimpung dalam Ilmu Perpustakaan. Yang
pertama adalah Oey Giok Po yang selama bertahun-tahun menjabat
sebagai kurator Asia Collection dan juga Direktur Library System di
Cornell University, Ithaca, New York. Yang lainnya adalah Tan Lan
Hiang (atau Mrs. Lan Hiang Char) yang juga selama bertahun-tahun
mengelola Asia Collection pada University of Hawaii at Manoa,
Honolulu, Hawaii. Kini, baik Oey Giok Po dan Tan Lan Hiang sudah
meninggal dunia. Li Chuan Siu adalah Sinolog Tionghoa lainnya yang
juga berbelok ke disiplin terkait. Setelah mengabdi di almamater nya
hingga akhir tahun 1950an, Pak Li memutuskan untuk mengajar Bahasa
dan Kesusasteraan Melayu di Universitas Nanyang, Singapore.
Belakangan, beliau melanjutkan karirnya di Australia, dan tinggal di sana
hingga masa tuanya.

Pengaruh Pada Sinolog Non-Tionghoa


Hasil kerja keras dari para Sinolog Tionghoa, khususnya yang
membangun disiplin ini pada era 1950 an dan 1960 an membuahkan
hasil yang tidak sedikit. Salah satu dari hasil tersebut adalah munculnya
para Sinolog ‘Pribumi’ yang pada era 1970 hingga saat ini menempuh
karir baik sebagai akademisi maupun abdi negara. Brig. Jen. (P) W. D.
25

Sukisman dan Kol. T. W Slamet (alm.) adalah dua di antara para


Sinolog tersebut. Mereka adalah dua murid Pak Som yang berlatar
belakang militer. Keduanya menulis skripsi tentang sejarah militer Cina
modern. Bahkan dapatlah dikakatakan bahwa kedua orang ini turut
berpartisipasi dalam memelopori Studi Cina modern di Jurusan
Tionghoa FSUI. Studi Cina modern di UI makin dibuat “meriah” dengan
kehadiran para pejabat/diplomat Departemen Luar Negeri yang
mendapat tugas belajar dari negara. Pada waktu itu hubungan
diplomatik antara Indonesia dengan RRC baru saja dibuka, dan
departemen itu memerlukan para diplomat yang mengerti Bahasa
Mandarin dan tahu akan keadaan politik di RRC dan politik luar negeri
negara tersebut. Mereka kemudian ditempatkan di Beijing dan di desk
Asia, Departemen Luar Negeri, RI. Pak Kisman dan Pak Slamet pernah
ditempatkan sebagai atase militer di Bejing pada akhir tahun 1950an.
Prof. Dr. Gondomono adalah salah satu murid awal Pak Som yang
juga menonjol. Pada awalnya ia adalah seorang ahli linguistik, namun di
belakang hari, minat utama beliau beralih pada masyarakat etnis
Tionghoa di Indonesia. Untuk mendalami minat penelitian itulah beliau
lalu belajar Antropologi di Amerika Serikat, tepatnya di University of
California at Berkeley. Hingga masa tuanya, Pak Gondo masih saja
menelurkan karya-karya yang berkaitan dengan masyarakat Etnis
Tionghoa di tanah air. Beberapa tahun lalu, beliau menerbitkan buku
berjudul “Manusia dan Kebudayaan Han”. Sebagai penghormatan atas
kerja keras itulah beliau dipilih sebagai penerima Hadiah Nabil tahun
2013 ini.
Selain nama-nama di atas, banyak pula murid Pak Som yang pada
dasarnya mempraktekkan Sinologi seperti yang diajarkan Pak Som,
walaupun mereka tidak berkecimpung di dalam dunia pendidikan. Di
antara mereka itu dapat disebut, misalnya, Drs Abdurrahman
26

Gunadirdja. Ia adalah orang yang diangkat sebagai Duta Besar pertama


RI untuk RRC pasca normalisasi hubungan kedua negara. Selain itu,
ada Drs. Djoko Sukarsono (Kejaksaan Agung), Drs. Buchari Ruskan
(Imigrasi), dan Drs. Abdul Salam (Badan Koordinasi Intelijen Negara).
Patut disebut juga Dra. Inny Chikmatin (Inny Haryono) yang pada
mulanya berkecimpung di dunia pers dengan berdinas di Yindunixiya
Ribao (Harian Indonesia) yang kemudian menjadi Xingzhou Ribao.
Tetapi Ibu Inny, begitulah ia sering dipanggil, kemudian berkecimpung
juga dalam kegiatan pendidikan Bahasa Mandarin, selain juga turut
mengembangkan program studi Cina di Universitas Dharma Persada.
Itulah sebuah universitas swasta yang sejak tahun 1980an memiliki
program studi tersebut di dalam lingkungannya. Nama-nama lain yang
tak kurang pentingnya adalah Zakaria Sumintaatmadja, diplomat karir
yang pernah ditempatkan di Tokyo, Hong Kong dan Beijing. Puncak
karirnya sebelum beliau pensiun menduduki jabatan duta besar di India.
Untuk generasi yang relatif lebih muda dapat disebut René
Pattiradjawane, pengamat Cina yang jeli dan aktif di Harian Kompas.
Kolomnya tentang perkembangan mutakhir di daratan Cina paling tidak
setiap minggu sekali tampil di harian itu. Natalia Soebagio yang lebih
dikenal dengan nama Ai adalah analis Cina yang jeli pula, di samping
mengajar politik global Cina di FISIP UI. Di samping penulis ilmiah,
tulisan-tulisan populernya sering tampil di berbagai media, khususnya di
The Jakarta Post.

Penutup

Seperti yang telah dituturkan di atas, telah dibeberkan bagaimana


para ilmuwan Tionghoa di Indonesia telah berperan dalam
mengembangkan studi mengenai Cina di negeri kita. Sinologi, sebuah
27

disiplin yang pada awalnya tumbuh dalam tangan para rohaniawan


Kristen dan ilmuwan Barat, justru dikembangkan di Indonesia oleh para
Sinolog berlatar belakang Etnik Tionghoa. Mereka bukan hanya
mempertahankan tradisi Sinologi, yang keberadaannya di Indonesia
digagas oleh beberapa Sinolog Belanda, tetapi juga memodifikasinya
menjadi sebuah disiplin yang senantiasa berdialog dengan
perkembangan zaman. Bersama-sama dengan kolega dan murid
mereka yang berasal dari berbagai latar belakang kelompok budaya,
para cendekia Tionghoa itu telah turut serta memperkenalkan studi Cina
modern di negeri ini. Hasil dari kerja keras mereka sangat nyata:
tersedianya ahli Cina, meski dalam jumlah sangat terbatas, yang siap
mengabdi bagi negara Republik Indonesia.

Bagaimanakah kelanjutan kerja keras mereka di era ini? Tentu kita


semua mengharapkan jerih payah mereka, serta kerja keras penerus
mereka, dapat terus berjalan langgeng. Namun demikian,
perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Sinologi tengah
menghadapi semacam ancaman yang datang justru dari dirinya sendiri.
Kini, sebagian besar institusi pendidikan yang menghasilkan para ahli
Cina malahan memusatkan perhatian mereka pada pengajaran Bahasa
Mandarin semata. Itu diakibatkan oleh makin populernya Bahasa
Mandarin sejalan dengan makin populernya pula Cina sebagai kekuatan
global baru, terutama setelah diperkenalkannya Reformasi oleh Deng
Xiaoping. Padahal, sebagai salah satu negara besar Asia, Indonesia
perlu tahu tentang segala hal mengenai negara-negara yang ada di
sekeliling kita—terutama negara yang demikian besar dan kuat seperti
Republik Rakyat Cina.

Dengan demikian, para siswa yang menghabiskan waktu terbesar


untuk penguasaan Bahasa, mengalami kesulitan untuk memperdalam
28

pengetahuan mereka pada berbagai bidang dan perkembangan mutahir


baik yang terjadi di Cina, maupun mengenai hubungan antara Cina
dengan berbagai negara lain, termasuk Indonesia. Bila kecenderungan
ini dibiarkan terus berlangsung, bukan mustahil gaung dari tradisi
Sinologi dan Studi Cina yang dibangun dengan susah payah oleh Prof
Tjan Tjoe Som dan para penerusnya pada suatu waktu akan berkurang.
Padahal, pada saat posisi Cina membumbung tinggi dalam pergaulan
global seperti yang terjadi dewasa ini, kehadiran Studi Cina untuk
mengenal dan mengetahui segala hal mengenai negeri itu, tentunya
sangat diperlukan.

Tentu saja hal di atas, kalau itu terjadi, sangat tidak kita harapkan.

Referensi:

Coppel, Charles A
1983 Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.

Dahana A
2012 Tjan Tjoe Som. Dalam Leo Suryadinata (ed.): Southeast
Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical
Dictionary. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Singapore.

Kwartanada Didi
2013 The Tiong Hoa Hwee Kuan School, A Transborder Project of
Modernity in Batavia, C 1900s. Dalam Chinese Indonesians
Reassessed, History, Religion, and Belonging. Siew-min Sai
and Chang Yao Hoon, eds, Oxon: Routledge.

Li Chuan Siu
1994 Dari Sinologi ke Indologi. Jakarta: Pustaka Antara

Liu Yu
29

2008 The Intricacies of Accommodation: The Proselytizing


Strategy of Matteo Ricci. Journal of World History. Vol. 19.
No 4.

Lohanda, Mona
202 Growing Pains, the Chinese and the Dutch in Colonial Java,
1890-1942. Jakarta: Cipta Loka

Mungello, D. E
2013 The Great Encounter of Cina and the West, 1500-1800.
Lanham: Rowman and Littlefield. 4th ed.

Reid, Anthony
2010 Imperial Alchemy, Nationalis and Political Identity in Southeast
Asia. Cambridge: Cambridge University Press.

Ross, Denison. E
1994 (1931) Introduction. Dalam The Travels of Marco Polo. L. F.
Benedetto. Terj, Aldo Ricci. New Deli: AES. Pp. vii-xvii.

Williams, Lea
1960 Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-
Cina Movement in Batavia, C. 1900. Free Press.

Penulis:

A. Dahana, PhD:
Kini menjabat sebagai Guru Besar Studi Cina, Universitas Bina
Nusantara, dan Peneliti pada Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial dan
Budaya Indonesia-Cina (LIC); mantan Guru Besar Sinologi, Universitas
Indonesia. Gelar Sarjana dalam Sinologi didapatnya dari Universitas
Indonesia (1970), MA dalam Kesusastraan Cina dari Cornell University
(1979), sedangkan gelar PhD dalam Chinese Contemporary History
diperoleh dari University of Hawaii at Manoa (1986).

Johanes Herlijanto, PhD:


Gelar Sarjana Sinologi diperolehnya dari UI (1996), Magister dalam
Sosiologi dari FISIP UI (2002), mendapat gelar doctor (PhD) di bidang
Anthropologi dari Macquarie University (Australia) dan Vrije Universiteit,
Amsterdam, Belanda. Kini staf pengajar pada Jurusan Hubungan
30

Internasional, Universitas Bina Nusantara, dan juga anggota tim


Penelitian LIC.

Anda mungkin juga menyukai