NAMA KELOMPOK 3 :
FAKULTAS FARMASI
PRODI FARMASI
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI 2017-2018
KEDIRI
1.1 PENGERTIAN GOLPUT
Ada perbedaan fenomena golput pada masa politik di orde baru dan masa politik di era
reformasi. Di masa orde baru, ajakan golput dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan
politik terhadap arogansi pemerintah/ABRI yang dianggap tidak menjunjung asas
demokrasi. Pada era reformasi yang lebih demokratis, pengertian golput merupakan bentuk
dari fenomena dalam demokrasi.
Dalam perkembangannya, keputusan untuk tidak memilih (golput) ternyata semakin rumit.
Seorang pemilih bersikap tidak memilih dengan cara tidak menghadiri bilik suara atau TPS
pada waktu yang telah ditentukan (jadwal pencoblosan). Pemilih (voter) tadi sudah terdaftar
sebagai pemilih, akan tetapi dengan sengaja tidak hadir ke lokasi pemungutan suara ketika
hari pelaksanaan pemilihan. Tentu saja kertas suara yang tidak digunakan tadi dianggap tidak
sah. Sikap untuk tidak memilih (no vote) semakin rumit untuk dijelaskan. Mereka (calon
pemilih) akan menolak untuk dicatatkan atau didaftarkan namanya sebagai calon pemilih.
Caranya bisa dengan menolak untuk dilakukan pendataan ulang atau tidak mengisi formulir
calon pemilih. Status sikap mereka yang tidak memilih dengan cara seperti ini tentunya tidak
berbeda dengan mereka calon pemilih yang tidak mengetahui proses pendataan ulang
sehingga namanya menjadi tidak tercantum dalam daftar pemilih resmi.
Pada prinsipnya, bukan hanya Indonesia saja yang memiliki masalah dengan pembinaan
demokrasi. Negara-negara yang sudah lebih dulu maju demokrasinya yang disertai dengan
pendewasaan politik yang tinggi pun sering bermasalah dengan sikap golput. Kaukus-kaukus
politik terus diupayakan oleh partai politik dengan menghabiskan dana yang cukup besar
hanya untuk menekan tingginya angka golput. Kita bisa melihat negara seperti Amerika yang
sudah sangat maju itu saja bersusah payah menggalang koalisi partai-partai politik (25
parpol) untuk meminimalisasikan resiko menculnya golput. Selain disebut sebagai fenomena
dalam demokrasi, sikap golput juga merupakan resiko politik. Jika di Indonesia persentase
golput mencapai 45% sudah mulai dijadikan masalah nasional, maka parpol-parpol di
Amerika sudah mulai panik jika angka golput mencapai di atas 10%, termasuk juga parpol
besar seperti Demokrat dan Republik.
1. Merupakan tindakan sadar untuk tidak memilih (golput) karena golput sebagai pilihan
politiknya karena kurangnya kepercayaan terhadap calon kandidat.
2. Sebagai bentuk protes masyarakat dan keputus asaan masyarakat dengan janji
pemerintah yang tidak pernah direalisasi. Sehingga rakyat terlanjur pesimis.
3. Kurangnya informasi tentang pemilu, yang disebabkan kurangnya sosialisasi tentang
pemilu.
4. Adanya upaya dari pihak tertentu, yang sengaja atau tidak sengaja, yang sifatnya
menghalangi atau membuat seseorang sulit/tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Pendidikan Politik, Partisipasi Golput Dan Dilema Demokrasi Proses demokrasi
dalam klimaksnya dirayakan dengan pemilihan melalui pemungutan suara yang juga sering
disebut PEMILU. Hari ini kita dihadapkan pada realitas fakta persoalan subtansial dari
demokrasi sendiri, yaitu berupa pendidikan politik dan kemauan untuk meng-engaged dalam
arena publik. Pemilu sendiri tampak menyisakan berjuta harapan bagi kontruksi demokrasi
sendiri dimasa yang akan datang. Apakah kita akan mengikuti bisikan hati atau bisikan lain
(transaksi politik) yang menjadikan banyak warga bersikap apatis terhadap prosesnya,
karena demokrasi sendiri terlihat cenderung kuantutatif procedural. Bisa dikatakan persoalan
kebangsaan, seperti kemiskinan, kemelaratan, keterbelakangan, kebodohan dan kepandiran
kita sebagai bangsa bisa diselesaikan dengan angka-angka.
Demokrasi dan Sikap Golput Demokrasi dalam praktiknya memunculkan spekulasi,
banyak faktor yang mempengaruhi sikap dalam menentukan pilihan, bahkan realitas hari
ini masih banyak yang belum mengerti diakibatkan minimnya pendidikan politik yang
mencerdaskan masyarakat awam. Masyarakat awam memahami politik cenderung
“perdebatan yang tiada berujung” seperti yang disajikan dalam arena media, jelas ini menjadi
tantangan bagi lembaga politik untuk menyusuri dan melakukan pendidikan politik sampai
akar rumput. Yang menarik untuk diketengahkan bahwa, tingkat angka golongan putih
(golput) dalam 10 tahun terakhir semakin naik.
Jelas menjadi kekhawatiran tersendiri bagi penyelenggara Negara dan lembaga politik
itu sendiri. Jelas ini mengindikasikan partisipasi public dalam pemilu kurang bisa
mempercayai pesta demokrasi diakibatkan belum mengakarnya calon pemimpin yang ada.
Golput sendiri diakibatkan dalam kategori motif internal dan ekseternal (Lingkaran Survei
Indonesia, 2007). Motif internal terjelaskan oleh pengertian-pengertian mengenai perilaku
memilih (voter behaviour). Besar-kecilnya partisipasi pemilih (voting turnout) dilacak pada
sebab-sebab dari individu pemilih. Dari sudut pandang ini, keputusan seseorang untuk
golput dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, faktor sosiologis yang mengidentifikasi
pada variabel seperti agama, pendidikan, pekerjaan dan ras. Kedua, faktor psikologis yang
menginisiasi seseorang dengan partai atau kandidat tertentu. Makin dekat seseorang dengan
partai atau kandidat, makin besar kemungkinan untuk tidak golput. Ketiga, faktor ekonomi-
politik yang melandaskan pilihan seseorang pada pertimbangan rasional (rational choice)
untung-rugi. Selama dianggap dapat memberikan keuntungan bagi pemilih, peluang untuk
tidak golput lebih besar.
Adapun motif eksternal pemilih menjadikan struktur penyelenggaraaan pemilu
sebagai fokus perhatian utama. Pertama sistem pendaftaran (registrasi) pemilih. Kacaunya
pendaftaran pemilih tentu berefek negatif pada minat seseorang untuk memilih. Kedua,
sistem kepartaian dan pemilihan umum suatu negara. Data penelitian menunjukkan sistem
dua partai relatif bisa mengurangi tingkat partisipasi pemilih. Sebaliknya, sistem Pemilu
proporsional membuat partisipasi pemilih lebih tinggi (Russel J. Dalton dan Martin P.
Watternberg, 1993). Ketiga, sifat pemilihan. Negara yang menganut asaz wajib pilih
(compulsary election) memiliki potensi golput yang lebih rendah dibandingkan negara yang
berasaz hak pilih (voluntary election). Peran Parpol dan Lembaga Penyelenggara
Berkurangnya jumlah partai yang berkompetisi dalam pemilu mendatang diharapkan mampu
meningkatkan kepercayaan publik pada partai politik. Disisi lain, tidak ada yang mampu
menjamin itu bisa terjadi, dikarenakan selera masyarakat kepada partai dan calonnya semakin
tinggi dari waktu ke waktu.
Untuk itu diperlukan antisipasi aktif supaya angka golput bisa ditekan, termasuk
dalam hal ini adalah tanggung jawab partai sebgai lembaga politik, KPU Komisi Pemilihan
Umum), Caleg dan masyarakat yang peduli dengan demokrasi. Sebenarnya realitas pilihan
untuk golput sudah ada sejak pemilu diselenggarakan di republic ini pada tahun 1955. Dalam
diskursus golput ini menarik untuk dikaji bahkan menjadi fenomena yang sangat seksi. Boleh
dikatakan dari pesta demokrasi sekaliber PILPRES hingga PILKADA (PILBUB) Golput
tidak pernah absen.
Mungkin kita akan bertanya, kenapa bisa terjadi?. Bahkan bisa dikatakan dalam
sistem pemilihan langsung diakui atau tidak, dalam prakteknya belum bisa menghasilkan
outcome pemimpin yang terbaik. Tapi perlu disambut positif karena sudah ada
partisipasi warga walaupun masih banyak yang tidak peduli terhadap “pesta demokrasi”
hari ini.
Sehingga kita yang mengerti proses pelaksanaan demokrasi bisa berperan aktif untuk terlibata
dalam pendidikan politik. Mungkin bisa melakukan pendidikan politik secara kultural dari
kelompok lingkup kecil yaitu keluarga atau dalam konteks luas dengan pendidikan politik
melalui lembaga formal yang bisa dilakukan oleh banyak lembaga-lembaga yang lebih
professional.
Partisipasi Publik Golput atau tidak memilih merupakan sebuah pilihan, kita tidak
bisa menghakimi benar apa salah pilahan tersebut, yang pasti hari ini golput menjadi
kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam sejarah demokrasi dari sejak berlangsungnya
pemilu tahun 1955. Turunnya tingkat partisipasi publik dalam pemilihan umum adalah ujian
bagi partai-partai politik dan calon-calon yang diusungnya. Padahal, dalam sistem demokrasi,
tingkat partisipasi publik sangat penting untuk melegitimasi peran pemerintah. Silahkan
bagaimana baiknya anda sebagai warga Negara yang memahami proses demokrasi, untuk
bisa berperan aktif dan turut berpartisipasi mensukseskannya. Relevansi golput hari ini
adalah untuk dikonversi menjadi kekuatan suara sah penguat demokrasi, bagaimana
mengawal pesta demokrasi agar bisa menghasilkan pemimpin yang mendedikasikan
kepemimpinannya untuk melayani rakyat. Bukan sekedar menyalahkan dan menghakimi
“GOLPUT” yang endingnya malah menimpulkan perpecahan. Mari bersama kita mengawal
demokrasi untuk menjadikan rakyat mengerti bagaimana pilihan atas pilahan sikap
politiknya.
Menjadi ‘bumerang’
Esensi inilah menjadi momok tersendiri karena pemimpin terpilih, bukan mutlak pilihan
rakyat sebenarnya. Kekuasaan pemimpin terpilih bahkan menjadi “bumerang” untuk rakyat,
ketika kebijakan yang diambil tidak berpihak pada rakyat. Rakyat kembali menjadi korban
dalam waktu lima tahun ke depan dan ini alasan utama mengapa golput adalah bencana.
Namun dalam praktiknya sosialisasi tentang pentingnya memilih harus dibantu oleh pemilih
dalam katagori cerdas, di mana pemilih bukan hanya tahu memilih pemimpin yang terbaik
dan pantas, namun juga menjadi agen yang ikut menyosialisasikan betapa pentingnya
memberi suara pada hari H termasuk tata cara pencoblosan, dan bagaimana kertas suara itu
sah dan tidak sah.
Akhirnya ketika golput berhasil diminimalisir, dampak secara politik adalah kembalinya
kepercayaan rakyat sehingga perlawanan diam tak perlu muncul dan menjadi bencana sampai
lima tahun ke depan.
Saat Indonesia masih berada di bawah sistem Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno dan
di bawah rezim Soeharto, partisipasi masyarakat dalam Pemilu tergolong sangat tinggi.
Namun hal tersebut tidak berarti bahwa masyarakat benar-benar telah melakukan proses
demokrasi dengan baik. Pasalnya, pemilu yang terselenggara pada saat itu dianggap tidak
demokratis karena tidak mengusung asas langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan
adil.
Meningkatnya golput secara signifikan baru terjadi pada sistem pemilihan langsung yang
dimulai lewat Pemilu Legislatif dan Presiden pada tahun 2004.
Dari 7,3% golput pada Pemilu tahun 1999, masyarakat yang memutuskan untuk tidak
memberikan suaranya meningkat menjadi 15,9% di Pemilu Legislatif 2004. Bahkan
terdapat 21,18% dan 23,4% Golput dalam Pemilu Presiden tahap I dan II di tahun tersebut.
Pilkada 2015 berlangsung relatif lancar tanpa gejolak yang berarti. Namun isu partisipasi
masyarakat menjadi masalah tersendiri dalam Pilkada kali ini.
Sebelum hari H, KPU menargetkan tingkat partisipasi nasional di Pilkada 2015 mencapai
77,5%. Namun pada akhirnya, secara nasional hanya 70% pemilih yang memberikan suara
mereka. Artinya, tingkat Golput dalam Pilkada serentak 2015 mencapai 30%.
Salah satu daerah yang tingkat partisipasinya terendah adalah kota Medan, Sumatera Utara.
Di Medan, tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilkada hanya mencapai 26,88%. Hampir 3/4
warga Medan memutuskan untuk Golput dengan tidak memberikan suaranya.
Menurut Pimpinan Bawaslu DKI Jakarta Achmad Fachrudin, tingginya tingkat Golput
disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk regulasi, konflik dalam partai politik, serta para
kandidat kepala daerah yang tidak memiliki nilai jual di mata masyarakat.
Bolehkah Golput?
Memilih dalam Pemilu adalah hak bagi seluruh Warga Negara Indonesia yang telah memiliki
KTP. Namun bagi mereka yang memutuskan untuk tidak memilih apapun alasannya alias
menjadi Golput, sebenarnya tidak menyalahi aturan perundang-undangan apapun, sehingga
tidak dapat dipidana.
Meskipun begitu, Pasal 308 UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu memberikan ruang
bagi penegak hukum untuk menjerat orang siapapun yang mengajak orang lain untuk
golput.
Pasal tersebut menunjukan bahwa jika ada seseorang yang menghalangi siapapun
untuk memilih, orang tersebut dapat dikenakan sanksi hukum.
Tetapi jika seseorang memutuskan untuk Golput karena pilihannya sendiri, yang
bersangkutan tidak melanggar aturan hukum apapun.