Anda di halaman 1dari 6

Nama : Achmad Mansyur

Fakultas : FHISIP
Mata Kuliah : Hukum Pidana
Jawaban:
1. Kriminalisasi atau criminalization sebenarnya merupakan domain legislatif untuk
menentukan, apakah suatu perbuatan yang sebelumnya dinyatakan bukan sebagai
tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Apabila suatu perbuatan telah dinyatakan
menjadi suatu tindak pidana, maka konsekuensi logis tentunya oleh undang-undang
dapat dikenakan sanksi pidana. Setelah dianalisis, dilihat dari sudut pandang penegakan
hukum pidana di Indonesia terkait kasus kriminalisasi ulama pada kasus yang dialami
Habib Rizieq pada soal, menurut saya semua proses hukum yang telah dijalani oleh
tersangka sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, yaitu berdasarkan pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Dimulai
dari tahap penyelidikan dan ditingkatkan ke tahap penyidikan, hingga kasus tersebut
resmi dihentikan setelah adanya SP3 dari pihak kepolisian, telah sesuai dengan
mekanisme hukum yang berlaku. Maka kasus tersebut bukanlah tergolong kasus
kriminalisasi, khususnya kasus kriminalisasi ulama, dikarenakan tidak memenuhi unsur
atau karakteristik dari kriminalisasi. Perlu diketahui penetapan sebagai tersangka pada
seorang ulama yang melakukan tindak pidana (kriminal) bukan karena ia sebagai seorang
ulama. Melainkan sebagai seorang warga negara Indonesia yang kedudukannya sama di
hadapan hukum.
- Contoh kriminalisasi yaitu Kasus pelecehan seksual yang menimpa Baiq Nuril.
Baiq Nuril merupakan seorang mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 di Mataram
yang menjadi korban pelecehan seksual oleh M yang merupakan kepala sekolah
tempat dirinya bekerja. Baiq dinyatakan bersalah dalam putusan kasasi Nomor
574K/Pid.Sus/2018 yang dibacakan pada 26 September 2018 atas tindak pidana
"mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan" sebagaimana tertera
dalam Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) dan divonis pidana penjara selama enam bulan dan denda sebesar 500 juta.
Putusan kasasi tersebut mengundang gejolak di masyarakat, Pasalnya, Baiq Nuril
dinyatakan bersalah dalam putusan kasasi setelah sebelumnya pada 2017 dirinya
dinyatakan tidak bersalah dalam putusan PN Pengadilan Negeri Mataram No.
265/Pid.Sus/2017/ PN. Mtr. Pascaputusan itu, MaPPI FHUI menilai, sedikitnya
terdapat dua permasalahan utama dalam kasus itu. Pertama, hakim tidak memahami
unsur-unsur Pasal 27 Ayat 1 UU ITE dan tidak mengimplementasikan Perma Nomor
3 Tahun 2017. Pada dasarnya, apa yang dialami oleh Baiq Nuril adalah merupakan
sebuah bentuk kriminalisasi. Sejak awal ia tidak merekam percakapan tersebut
dengan niat untuk mencemarkan nama baik M, melainkan sebagai bukti bahwa
dirinya telah dilecehkan oleh M dan untuk berjaga-jaga jika terjadi hal-hal buruk di
kemudian hari, Sayangnya, majelis hakim tingkat kasasi justru memandang hal
tersebut sebagai suatu tindakan pencemaran nama baik yang dilakukan dengan cara
menyebarluaskan suatu konten asusila melalui elektronik yang sengaja dilakukan oleh
Baiq Nuril. Padahal, putusan PN Mataram sebelumnya telah menyatakan bahwa Baiq
Nuril tidak bersalah atas tuduhan pasal tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
hakim kurang cermat dalam membuktikan unsur dalam Pasal 27 Ayat 1 UU ITE.
"Hakim tidak mencermati secara jelas unsur-unsur tindak pidana dalam pasal
tersebut, di mana dalam pasal tersebut yang seharusnya dinyatakan bersalah adalah
orang yang menyebarluaskan. Putusan MA dalam kasus tersebut juga tidak sesuai
dengan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan dengan Hukum. Dalam mengadili perempuan yang berhadapan dengan
hukum, hakim diharapkan dapat mengidentifikasi dan mempertimbangkan fakta
persidangan terkait adanya ketidaksetaraan status sosial di masyarakat yang
mengakibatkan adanya ketimpangan gender antara perempuan dan laki-laki. Dalam
kasus Baiq Nuril, seharusnya hakim mampu mengindentifikasikan ketidaksetaraan
status sosial atau adanya relasi kuasa antara M dan Baiq Nuril. Posisi Baiq Nuril
sebagai guru honorer sedangkan M merupakan kepala sekolah yang secara struktural
merupakan atasan Baiq. Kondisi itu membuat yang bersangkutan menjadi tidak
berdaya melawan karena posisi strukturalnya yang lebih rendah. Peristiwa serupa
sudah ke sekian kali semenjak 2012, adanya riwayat atau sejarah pelecehan yang
dialami korban ini seharusnya menjadi hal yang juga ditelaah lebih dalam dan
dipertimbangkan oleh Hakim, tidak hanya terbatas pada kejadian yang dilaporkan.
Dampak psikis korban yang mengalami pelecehan verbal berulang kali maupun
tuduhan lingkungan bahwa ia memiliki hubungan gelap dengan M juga seharusnya
digali hakim. Menurut MaPPI FHUI, pelanggaran terhadap norma-norma PERMA
No. 3 Tahun 2017, artinya juga melanggar apa yang telah ditetapkan dalam kode etik
hakim. Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Baiq Nuril memperlihatkan bahwa
aparat penegak hukum di negeri ini masih belum berperspektif gender dan HAM.
Kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan harus dihentikan karena akan
melanggengkan praktik kekerasan dan membuat perempuan yang menjadi korban
semakin enggan melaporkan kasusnya. Alih-alih mendapatkan keadilan, perempuan
korban kekerasan dalam proses peradilan selama ini justru menjadi korban untuk
kedua kalinya. Oleh karena itu, MaPPI FHUI mendesak agar MA menjadikan
PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan
Berhadapan dengan hukum sebagai rujukan dalam memeriksa dan mengadili perkara
perempuan yg menjadi pelaku, korban, maupun saksi.
2. Jawaban Pemberian derita terhadap pelaku kejahatan harus tetap dilaksnakan oleh
penguasa dalam kerangka mencapai tujuan dari hukum pidana.
a. Teori pembenaran pemidanaan (Integrated Theory of Kriminal Punisment), menurut
Herbert L Packer ada 5 (lima) macam pendekatan untuk melihat alasan pembenaran
dalam menjatuhkan pidana. Namun, jika diklasifikasikan lebih lanjut, kelima macam
pendekatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Retribution, yang meliputi:
- Revenge Theory yaitu pemidanaan merupakan balas dendam atas perbuatan
yang dilakukan; dan
- Expiation Theory yaitu teori tobat untuk membuat pelaku tindak pidana
menjadi insyaf dan sekaligus merupakan penebusan dosa atas kesalahan yang
dilakukannya.
2) Utilitarian Prevention:
- Detterence yaitu pemidanaan sebagai tindakan pencegahan yang bersifat
umum bagi masyrakat agar tidak melakukan kejahatan; dan
- Special Detterence or Intimidation yaitu pencegah kejahatan yang bersifat
khusus bagi pelaku agar tidak berbuat jahat kembali, dalam hal ini erat
kaitannya dengan residivis.
3) Behavioral Prevention:
- Incapacitation yaitu pelaku kejahatan dibuat untuk tidak mampu melakukan
kejahatan lagi untuk sementara waktu atau selamanya; dan
- Behavioral Prevention: Rehabilitation yaitu dalam rangka untuk memperbaiki
mental dan kepribadian si pelaku.
b. Tokoh Pemikir dari dasar pembenar penjatuhan pidana (Integrated Theory of
Kriminal Punisment) pada jawaban poin a adalah Herbert L Packer.
c. Dasar pembenar yang saya setuju adalah Behavioral Prevention, teori ini memiliki
dua macam yaitu Inkapasitas (Incapacitation) dan Rehabilitasi (Rehabilitation).
Menurut saya dasar pembenar penjatuhan pidana menurut teori Inkapasitas yaitu
para pelaku kejahatan dibuat untuk tidak mampu melakukan kejahatan lagi baik
untuk sementara waktu atau selamanya sangatlah tepat. Alasannya adalah,
misalnya, seorang pelaku kejahatan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh
tahun) maka, selama waktu ia menjalani pidana tersebut ia pasti tidak dapat
melakukan kejahatan di masyarakat, bahkan jenis pidana mati atau penjara seumur
hidup jika diterapkan kepada pelaku, maka akan mendekati suatu Inkapasitas yang
sempurna. Karena si pelaku jelas tidak mungkin lagi untuk melakukan kejahatan
sesudah pidana tersebut benar-benar dilaksanakan. Teori pencegahan perilaku
yang kedua adalah rehabilitas. Menurut teori rehabilitas tujuan pemidanaan adalah
untuk merubah kepribadian atau mental si pelanggar hukum, sehingga
kepriadiannya sesuai dengan hukum. Pembenaran pemidanaannya bersifat social,
yaitu agar si pelaku kejahatan mempunyai keinginan sendiri untuk behenti
melakukan kejahatan.
3. Berdasarkan analisis saya, PSK dalam kasus tersebut tidak dapat di pidana. Hukum
pidana tidak dapat menjerat pelaku PSK karena ketentuan di KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) hanya mengatur tentang perantara atau penyedia jasa PSK yang
biasa disebut Mucikari atau Germo untuk mendapat keuntungan. Hal tersebut tertuang
pada Pasal 296 jo. 506 KUHP. Pasal 296 berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan
menggunakan pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Dan Pasal
506 KUHP menyebutkn “Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang
wanita dan digunakan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu
tahun”. Selain itu, jerat pidana untuk pengguna PSK bisa dikaitkan denga pasal
Perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Namun penerapan pasal itu jadi
perdebatan karena sejumlah pihak menganggap jerat pasal gugur jika hubungan
bersetebuh dilakukan atas dasar suka sama suka dan tanpa ada paksaan. Pelaku PSK yang
melanggar ketertiban atau tindak pidana pelanggaran dapat diamankan dan didata, lalu
diserahkan ke Dinas Sosial (Dinsos) dan selanjutnya di bawa ke panti rehabilitas oleh
pihak Dinsos. Pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai/pengguna PSK diatur
dalam peraturan daerah masing-masing. Sehingga penanganan kasus prostitusi sangat
bergantung dengan lokasi daerah yang menjadi tempat kejadian perkara. Berdasarkan
kasus pada soal, tempat kejadian berada di Jakarta, Pemerintah Daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah mengatur mengenai larangan prostitusi dalam
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda
DKI 8/2007”). Pasal 42 ayat (2) Perda DKI 8/2007 berbunyi “Setiap orang dilarang:
- Menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks
komersial;
- Menjadi penjaja seks komersial;
- Memakai jasa penjaja seks komersial.
Orang atau badan yang menjadi PSK atau memakai jasa PSK diancam pidana kurungan
paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit 500 ribu rupiah
dan paling banyak 30 juta rupiah. Kemudian orang atau badan yang menyediakan
dan/atau menggunakan bangunan atau rumah sebagai tempat untuk berbuat asusila
dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 30 hari dan paling lama 180 hari atau
denda paling sedikit 5 juta rupiah dan paling banyak 50 juta rupiah. Bentuk tindak pidana
pada soal adalah tindak pidana pelanggaran. Sedangkan bagi orang atau badan yang
menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi PSK dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan termasuk tindak pidana
kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai