Anda di halaman 1dari 5

Perjuangan Kuliah Putra Nias saat dikatakan Stres

Oleh: Try Gunawan Zebua

Gunungsitoli, 31 Januari 2020

Di sebuah kota besar, hiduplah seorang


Putra Nias. Dia merupakan kelahiran Nias, bahkan
Ayah dan Ibunya pun orang Nias. Dia lahir di Nias,
cuma saat kuliah saja di luar Nias. Dia merupakan
anak yang baik, pendiam dan bahkan pemalu.
Memulai pembicaraan pada orang baru pun dia
tidak mampu. Setelah lulus dari salah satu
perguruan tinggi negeri, dia pun melanjut ke
tingkat yang lebih tinggi lagi di salah satu
perguruan tinggi negeri juga.

Saat melanjutkan studi di tempat yang


baru, dia dikatakan stres oleh orangtua, keluarga
bahkan psikolog serta psikiater. Dia sangat sakit
hati saat dikatakan stres, karena bagi dia stres itu
adalah gila (pada saat itu).
Dia ternyata stres karena perubahan di
daerah tempat dia kuliah sangat tinggi. Mulai dari
tempat yang ramai, buku murah, sampai pada
transportasi yang ada saja hingga larut malam.
Sedangkan tempat barunya tidak ramai, buku
bekas pun seperti harga asli dan jika di atas jam 6
sore sudah tidak ada lagi angkutan umum.

Dia frustrasi dan sungguh sangat frustrasi,


apalagi kegiatan belajar di tempat baru sangat
padat. Saat kuliah itu, dia sampai melemparkan air
seninya yang ada di dalam botol pada orang-orang
yang dia anggap menghina.

Tutup botol di buka, kemudian di


lemparkan pada orang lain. Booommmmm……..
sampai terkena membasahi orang lain.

Pemiliki kos marah dan memanggil


orangtuanya. Orangtuanya pun datang tanpa dia
duga-duga. “Haloo nak”, begitu kata orang tuanya
yang didampingi oleh salah satu keluarga.

Di satu sisi dia merasa senang karena bisa


bertemu dengan orangtua, di sisi yang lain dia
benci karena bisa mengganggu kegiatan
perkuliahannya. Dia pun menunjukkan ekspresi
kesal dan marahnya. “Hemmmm…..”, katanya
dalam hati.
Peristiwa disana pun diceritakan kepada
orang tuanya, sehingga orangtuanya pun
mengambil kesimpulan agar dia tidak lagi kuliah
disana. Si anak tersebut tidak mau, dia sangat suka
dengan kampusnya. Entah karena akreditasi atau
karena ada Menteri disana.

Waktu pun berlalu beberapa saat, dia pun


diajak berobat ke Jakarta. “Nak, kita ke Jakarta
yuk, berobat dan jalan-jalan”, kata si ibu. Dia pun
mau dan ikut, apalagi jika dikatakan jalan-jalan.
Kebetulan si anak suka sekali dengan yang
namanya jalan-jalan. Disatu sisi juga si anak
menyadari dia telah berubah dan mau segera
pulih. Ajakan pun diterima dan mereka pun
berangkat ke Jakarta tanpa menunggu waktu yang
lama.

“Jugujuk, gujuk…..” suara kereta api


terdengar dan seketika menghantarkan mereka ke
Jakarta. Keesokan hari, si anak beserta orang tua
dan keluarga pergi berobat di salah satu rumah
sakit jiwa. Si anak berontak dan marah, “saya tidak
gila dan saya waras…..”, kata si anak. Dia tidak mau
diajak kesana. Untung saja rumah sakit
mengatakan bahwa mereka baru menerima pasien
jika tidak dapat diatasi oleh rumah sakit tertentu.
Mungkin karena tingkatan atau entah
apalah itu. Si anak bernapas dengan lega untuk
sementar. Dia merasa tenang dan damai.
Keesokan harinya mereka pun pergi ke rumah sakit
yang baru yang katanya waras. Makin menjadi-
jadilah si anak, dia makin emosi dan marah. “Saya
tidak gila, buat apa diajak kemari”, kata si anak.

Setelah beberapa saat mereka pun


berobat. Sebelumnya mereka berobat ke salah
satu psikolog di Bekasi. Namun si anak marah
karena si psikolog cuma mengajak dia untuk
bernapas dan berkata-kata positif. Bagi si anak, itu
merupakan suatu hal yang biasa dan tidak berarti.
Malah tidak sepadan dengan biaya yang
dikeluarkan dan waktu menunggu yang lama.

Saat berobat di Jakarta, si anak di ajak ke


salah satu psikiater. Psikiater malah
menertawakan dia sehingga dia menjadi marah.
Singkat cerita si anak minum obat dan pulang ke
kampung halaman nya di nias. Di nias, dia bertemu
atau berobat lagi kepada konselor atau bimbingan
konseling.

Si anak adalah tipe orang yang memiliki


rasa ingin tahu yang tinggi. Dia penasaran dan
bertanya-tanya kenapa dia bisa dikatakan stres,
dia pun membeli berbagai buku dan jurnal lalu
mempelajarinya. Setelah itu di kampus barunya di
nias, mereka di suruh untuk membuat proposal
tentang masalah-masalah dalam belajar
matematika. Dulu dia pernah mendengar bahwa
ada yang mengatakan, “aku stres belajar
matematika”, “matematika membuat kita stres”.

Dia pun mempelajarinya dan lalu


mengangkat judul tentang stres. Untuk membagi
ilmunya pun, dia menulis sebuah buku tentang
stres dalam belajar matematika.

Intinya adalah dia sudah paham apa itu


stres dan dia sudah menyadari bahwa dia memang
stres saat itu. Malah dia mengatakan bahwa stres
itu kita perlukan dan tidak dapat dihindari.

Karena takut di drop out (DO), dia pun


berupaya untuk kembali kuliah dan mencari
berbagai cara untuk bisa menyelesaikan kuliahnya.
Dia pun menghubungi beberapa guru besar untuk
meminta dana dan bahkan menghubungi pihak
kampus untuk menurunkan uang kuliah.

Semoga dia sukses dan berhasil. Salam


sukses untuk kita semua.

Anda mungkin juga menyukai