Putra Nias. Dia merupakan kelahiran Nias, bahkan Ayah dan Ibunya pun orang Nias. Dia lahir di Nias, cuma saat kuliah saja di luar Nias. Dia merupakan anak yang baik, pendiam dan bahkan pemalu. Memulai pembicaraan pada orang baru pun dia tidak mampu. Setelah lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri, dia pun melanjut ke tingkat yang lebih tinggi lagi di salah satu perguruan tinggi negeri juga.
Saat melanjutkan studi di tempat yang
baru, dia dikatakan stres oleh orangtua, keluarga bahkan psikolog serta psikiater. Dia sangat sakit hati saat dikatakan stres, karena bagi dia stres itu adalah gila (pada saat itu). Dia ternyata stres karena perubahan di daerah tempat dia kuliah sangat tinggi. Mulai dari tempat yang ramai, buku murah, sampai pada transportasi yang ada saja hingga larut malam. Sedangkan tempat barunya tidak ramai, buku bekas pun seperti harga asli dan jika di atas jam 6 sore sudah tidak ada lagi angkutan umum.
Dia frustrasi dan sungguh sangat frustrasi,
apalagi kegiatan belajar di tempat baru sangat padat. Saat kuliah itu, dia sampai melemparkan air seninya yang ada di dalam botol pada orang-orang yang dia anggap menghina.
Tutup botol di buka, kemudian di
lemparkan pada orang lain. Booommmmm…….. sampai terkena membasahi orang lain.
Pemiliki kos marah dan memanggil
orangtuanya. Orangtuanya pun datang tanpa dia duga-duga. “Haloo nak”, begitu kata orang tuanya yang didampingi oleh salah satu keluarga.
Di satu sisi dia merasa senang karena bisa
bertemu dengan orangtua, di sisi yang lain dia benci karena bisa mengganggu kegiatan perkuliahannya. Dia pun menunjukkan ekspresi kesal dan marahnya. “Hemmmm…..”, katanya dalam hati. Peristiwa disana pun diceritakan kepada orang tuanya, sehingga orangtuanya pun mengambil kesimpulan agar dia tidak lagi kuliah disana. Si anak tersebut tidak mau, dia sangat suka dengan kampusnya. Entah karena akreditasi atau karena ada Menteri disana.
Waktu pun berlalu beberapa saat, dia pun
diajak berobat ke Jakarta. “Nak, kita ke Jakarta yuk, berobat dan jalan-jalan”, kata si ibu. Dia pun mau dan ikut, apalagi jika dikatakan jalan-jalan. Kebetulan si anak suka sekali dengan yang namanya jalan-jalan. Disatu sisi juga si anak menyadari dia telah berubah dan mau segera pulih. Ajakan pun diterima dan mereka pun berangkat ke Jakarta tanpa menunggu waktu yang lama.
“Jugujuk, gujuk…..” suara kereta api
terdengar dan seketika menghantarkan mereka ke Jakarta. Keesokan hari, si anak beserta orang tua dan keluarga pergi berobat di salah satu rumah sakit jiwa. Si anak berontak dan marah, “saya tidak gila dan saya waras…..”, kata si anak. Dia tidak mau diajak kesana. Untung saja rumah sakit mengatakan bahwa mereka baru menerima pasien jika tidak dapat diatasi oleh rumah sakit tertentu. Mungkin karena tingkatan atau entah apalah itu. Si anak bernapas dengan lega untuk sementar. Dia merasa tenang dan damai. Keesokan harinya mereka pun pergi ke rumah sakit yang baru yang katanya waras. Makin menjadi- jadilah si anak, dia makin emosi dan marah. “Saya tidak gila, buat apa diajak kemari”, kata si anak.
Setelah beberapa saat mereka pun
berobat. Sebelumnya mereka berobat ke salah satu psikolog di Bekasi. Namun si anak marah karena si psikolog cuma mengajak dia untuk bernapas dan berkata-kata positif. Bagi si anak, itu merupakan suatu hal yang biasa dan tidak berarti. Malah tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan dan waktu menunggu yang lama.
Saat berobat di Jakarta, si anak di ajak ke
salah satu psikiater. Psikiater malah menertawakan dia sehingga dia menjadi marah. Singkat cerita si anak minum obat dan pulang ke kampung halaman nya di nias. Di nias, dia bertemu atau berobat lagi kepada konselor atau bimbingan konseling.
Si anak adalah tipe orang yang memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi. Dia penasaran dan bertanya-tanya kenapa dia bisa dikatakan stres, dia pun membeli berbagai buku dan jurnal lalu mempelajarinya. Setelah itu di kampus barunya di nias, mereka di suruh untuk membuat proposal tentang masalah-masalah dalam belajar matematika. Dulu dia pernah mendengar bahwa ada yang mengatakan, “aku stres belajar matematika”, “matematika membuat kita stres”.
Dia pun mempelajarinya dan lalu
mengangkat judul tentang stres. Untuk membagi ilmunya pun, dia menulis sebuah buku tentang stres dalam belajar matematika.
Intinya adalah dia sudah paham apa itu
stres dan dia sudah menyadari bahwa dia memang stres saat itu. Malah dia mengatakan bahwa stres itu kita perlukan dan tidak dapat dihindari.
Karena takut di drop out (DO), dia pun
berupaya untuk kembali kuliah dan mencari berbagai cara untuk bisa menyelesaikan kuliahnya. Dia pun menghubungi beberapa guru besar untuk meminta dana dan bahkan menghubungi pihak kampus untuk menurunkan uang kuliah.