Anda di halaman 1dari 16

51

IMPLEMENTASI MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA


PENDIDIKAN DI PESANTREN

Kemas Abdurrahman
Dosen Universitas Jambi
E-mail: kemas.rahman@gmail.com

Abstrak
Kondisi mengenai sarana dan prasarana pendidikan di pesantren umumnya dibangun amat
sederhana. Sarana dan prasarana kadangkala cukup, namun tidak ditunjang pendayagunaan
dan pengorganisasian yang memadai. Adapula yang tidak begitu peduli dengan urusan sarana
dan prasarana, yang penting proses pembelajaran dapat dilangsungkan, dan para santri
dapat berinteraksi dengan para guru, meskipun dalam situasi yang sederhana. Sarana
pendidikan di pesantren semestinya lebih banyak mendapatkan perhatian. Pesantren tidak
hanya memerlukan atau menggunakan ruang-ruang belajar saja, tapi juga sarana pendukung
lain yang diperlukan oleh peserta didik, seperti asrama, perpustakaan, ruang pertemuan,
ruang shalat, dan sarana prasarana lainnya. Manajemen sarana dan prasarana ini termasuk
masalah yang urgen karena terkait langsung dengan kegiatan belajar mengajar serta menjadi
ruang interaksi antara murid dengan para guru mereka.

Abstract
Condition of educational facilities and infrastructure in Islamic boarding schools (pesantren)
is generally built in very simple way. Facilities and infrastructure are sometimes enough, but
not supported by adequate utilization and organization. There is also Islamic boarding school
that does not care with the affairs of facilities and infrastructure. The important thing is
process of learning can take place, and the students (santri) can interact with teachers, even
in simple situation. Educational facilities in Islamic boarding schools should get more attention.
Islamic boarding school (Pesantren) requires or uses not only learning rooms, but also other
supporting facilities required by santri, such as dormitories, library, meeting room, praying
room, and other infrastructures. The facility and infrastructure management includes urgent
problem because it relates directly to the teaching and learning activities and is to be an interacting
room between students (santri) and teachers.
Kata Kunci: manajemen, pesantren, sarana dan prasarana
52 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

A. Pendahuluan
Sistem pendidikan tidak akan menunjukkan kekuatannya bila tidak ada
kerjasama antara pemerintah sebagai penentu kebijakan, dengan masyarakat,
atau dalam lingkup yang lebih sederhana, para orang tua murid.1 Oleh karena
itu banyak pendidikan juga dikelola oleh pihak swasta, yang terdiri dari
elemen masyarakat, yang bekerjasama dengan pemerintah untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Para orang tua murid juga akhirnya
memiliki banyak pilihan dalam menentukan model pendidikan bagi anak-
anak mereka.
Usaha peningkatan dan pengembangan pendidikan yang dilakukan oleh pihak
swasta, diwakili oleh suatu yayasan atau lembaga penyelenggara pendidikan. Lembaga
pendidikan tersebut sebagian menyelenggarakan pendidikan secara umum dengan
menerapkan kurikulum nasional, seperti pada SD, SMP, atau SMU, dan ada pula
lembaga pendidikan lainnya yang menambahkan kurikulum nasional itu dengan
kurikulum berciri khas keislaman, seperti pada sebuah madrasah atau pesantren.
Lembaga pendidikan dengan corak pesantren, mempunyai kelebihan
tertentu tapi juga memiliki kelemahan tersendiri. Kondisi tersebut diungkapkan
oleh Yusuf Amir Faisal, yang mengatakan bahwa lembaga pesantren itu masing-
masing memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Kekuatan yang dimiliki
pesantren menurutnya ada tiga, yaitu: masih diterima sebagai lembaga pendidikan
alternatif; kaitan psikologis antara orang tua muslim dengan kelembagaan ini
masih kuat, dan; adanya tradisi keagamaan di pesantren yang dipercaya dapat
membina keimanan dan ketakwaan peserta didiknya.
Di samping nilai kekuatan tersebut, ia juga memandang bahwa pesantren
masih memiliki beberapa kelemahan, di antaranya: pesantren belum mencapai
tujuan untuk menyiapkan kader ulama sebagai pemimpin umat; umumnya
pesantren tidak memiliki sarana yang memadai; pesantren juga sering dicap sebagai
lembaga tradisional yang menghindar dari dunia modern; serta pesantren sering
terlihat eksklusif, dan manajemen pesantren sering terlihat kurang profesional.2

__________________________________
1
James Owain Jones dalam Philip James Hill, Editor, A Dictionary of Education (London :
Routledge & Kegan Paul, 1982), hlm. 12.
2
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta : GIP, 1995).
Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana........ 53

B. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

1. Manajemen
Secara etimologis, istilah “manajemen” berasal dari bahasa latin manus
yang berarti tangan, sedangkan dari bahasa Inggris terdapat kata manage
yang berarti memerintah, mengendalikan kuda. Pada bahasa Italia maneggiare
berarti melatih kuda dalam menindakkan langkah-langkah (kaki)nya. Pada
bahasa Indonesia, istilah manajemen sering diterjemahkan dengan
kepemimpinan, ketatalaksanaan, pembinaan, penguasaan, dan pengurusan.3
Secara umum, rumusan yang sering dikemukakan mengenai manajemen
menyebutkan bahwa manajemen adalah suatu pencapaian tujuan organisasi
lewat usaha orang-orang lain.4 Dari rumusan ini, manajemen berarti dapat
diterapkan pada setiap bentuk organisasi, seperti perusahaan, pendidikan, rumah
sakit, organisasi politik, dan bahkan sebuah keluarga. Supaya organisasi tersebut
dapat mencapai tujuannya, maka diperlukan manajemen, atau dengan kata lain
harus melewati suatu proses kegiatan kepemimpinan. Kegiatan untuk mencapai
tujuan organisasi lewat kepemimpinan itulah yang dapat dinamakan manajemen.
Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Miftah Thoha,
bahwa manajemen adalah sebuah tindakan proses yang khas, yang terdiri dari
tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggiatan, dan pengawasan, yang
dilaksanakan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan
melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber lainnya. 5
Satu hal lagi yang sangat prinsipil dalam manajemen adalah kepemimpinan,
tidak terkecuali dalam tataran dunia pendidikan. Proses administrasi dalam
pendidikan menuntut adanya kegiatan pengambilan keputusan, perencanaan,
__________________________________
3
Soekarto Indrafachrudi, Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang Baik (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1993), hlm. 53.
4
Sondang P. Siagian, Fungsi-fungsi Manajerial (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), hal. 2. Lebih
jauh ia mengemukakan bahwa ada empat unsur yang dominan dalam manajemen, yaitu; adanya
seni, pelaksana, keterampilan, dan tindakan nyata. Unsur-unsur itu kemudian diejawantahkan
dalam fungsi-fungsi organik manajemen yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, pengawasan, dan penilaian.
5
Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen; Suatu Pendekatan Perilaku (Jakarta :
Rajawali Pers, cet. 6, 1995), hal. 8. Lihat juga Sukarna, Kepemimpinan dalam Administrasi (Bandung
: Mandar Maju, 1990), hal. 67. Ia berpendapat bahwa kepemimpinan itu memiliki keterkaitan
yang erat dengan manajemen, meski ia mengakui kepemimpinan itu lebih luas daripada
manajemen, bahkan merupakan jiwa atau penggerak dari fungsi-fungsi manajemen.
54 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

organisasi, komunikasi, koordinasi, pengawasan dan penilaian. 6 Kegiatan-


kegiatan dalam manajemen tersebut tidak terlepas dari kendali suatu
kepemimpinan.
Menurut istilah, yang dimaksud dengan pemimpin adalah seseorang yang
memimpin dan menggerakkan orang lain sehingga orang yang dipimpinnya itu
mematuhinya dengan sukarela.7 Setiap bentuk organisasi ataupun lembaga, baik
formal maupun non-formal, biasanya memiliki pimpinan.
Contoh dari lembaga tersebut antara lain adalah dunia pesantren. Sudah
menjadi pola umum bahwa proses berdirinya sebuah pesantren itu berpangkal
semata-mata pada kiyai yang menjadi pengasuh dan pemimpinnya. Pondok
pesantren biasanya dibangun dengan kekayaan pemimpinnya sendiri. Sarana
fisik dengan segala isinya, tak lain adalah milik sang kiyai sendiri. Ketika kiyai
meninggal, milik dan kepemimpinan pesantren pun diturunkan kepada anaknya.
Dari tradisi tersebut timbul anggapan bahwa pesantren tak ubahnya seperti
kerajaan kecil yang berbentuk dinasti.8
Studi yang dilakukan Fiedler, dalam Thaha, menyatakan bahwa terdapat
tiga dimensi utama yang digunakan untuk efektifitas gaya kepemimpinan, yaitu:
(1). Hubungan pemimpin dengan anggota, merupakan variabel paling penting
dalam menentukan situasi yang menyenangkan ; (2). Derajat dari struktur tugas,
dimensi ini merupakan masukan yang amat penting kedua setelah butir satu di
atas. (3). Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal.9
Dewasa ini muncul dan berkembang organisasi pesantren yang di-”yayasan”-
kan. Tanpa mengurangi peranan kiyai sebagai pemimpin tertingginya,
kepemimpinan mengarah pada pola kolektif, sesuai hirarki kepemimpinan sebuah
yayasan. Bila sang kiyai pemimpin tertinggi meninggal, kesinambungan
kepemimpinan ada pada pemimpin lainnya. Dengan demikian pesantren menjadi
salah satu lembaga modern, yakni lembaga legal yang berbadan hukum.
Kalangan pesantren yang telah mengembangkan pola kepemimpinan kolektif,
__________________________________
6
Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional (Bandung,
Angkasa, 1993).
7
Muchtar Effendi, Manajemen ; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam (Jakarta: Bharata,
1996), hlm. 206.
8
E.Shobirin Nadj dalam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah
(Jakarta: P3M, 1985), hlm.138.
9
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Aplikasinya (Jakarta: Rajawali Pers,
1992), hlm. 285.
Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana........ 55

selanjutnya mengambil penyesuaian pada tata administrasi atau manajemen


yang berlaku di pesantren. Demi menjaga kesinambungan pesantren, lembaga
ini perlu menerapkan pengelolaan yang rapi dan terencana. Pesantren
selanjutnya harus bisa membaca situasi zaman. Kalau misalnya masyarakat
cenderung untuk memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan umum atau
kombinasi antara agama dan umum, maka pesantren dituntut untuk
menyesuaikan kurikulumnya.
Dengan demikian ada dua fungsi yang dimiliki oleh seorang pimpinan.
Pertama, pemimpin administratif, yakni golongan pemimpin yang menentukan
kebijakan umum, yang biasa disebut sebagai manajer puncak pada eselon
tertinggi. Kedua, pemimpin pelaksana, yakni kategori pemimpin yang langsung
berhadapan dengan kegiatan organisasi, sekaligus juga menjadi pelaksana dari
kebijakan yang dibuat oleh pemimpin administratif.10
Pada tahap berikutnya, pemimpin melakukan perencanaan menyangkut
pengelolaan orang, pembiayaan, dan sarana fisik yang diperlukan. Cara
mengelola, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil semua
kegiatan itu, menentukan pembinaan kelangsungan pesantren. Tanpa
manajemen, mungkin pesantren akan tersisih dari persaingan dengan lembaga
pendidikan lainnya. Pemimpin yang mengasuh pesantren idealnya adalah
kiyai yang tahu tugas-tugas manajerial, tahu banyak mengenai ilmu-ilmu
keislaman, dan tahu banyak hal ihwal keduniawian sesuai dengan
perkembangan zaman.11
Pesantren termasuk lahan garapan ulama dalam masyarakat. Menurut
Hiroko Horikoshi, ada empat lahan pengabdian ulama, yaitu : di masjid,
madrasah, pesantren, dan sekolah dengan sistem kelas. 12 Di lingkungan
pesantren, ulama menunjukkan peran sebagai pendidik. Pesantren memberikan
pendidikan agama yang sistematis untuk kader ulama untuk mengemban
kepemimpinan sosial keagamaan di tengah masyarakat Islam. Seorang figure
ulama yang menekuni dunia pendidikan, berarti harus pula memiliki profil sebagai
seorang manajer pendidikan Islam.
Senada dengan pendapat di atas, HAR Tilaar menambahkan bahwa profil
seorang manajer pendidikan Islam itu antara lain :
__________________________________
10
Muchtar Effendi, Manajemen ; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam,… hlm. 207.
11
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi;… hlm. 285.
12
Hiroko Horikoshi, Kiyai dan Perubahan Sosial (Jakarta : P3M, 1987), hlm. 114.
56 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

a. Kemampuan sebagai pemimpin, yang meliputi :


1) Mampu mengejawantahkan nilai Islam dalam sistem pendidikan.
2) Mampu pula menguasai nilai ilmu pengetahuan dan teknologi serta
penerapannya sesuai dengan perkembangan zaman.
b. Kemampuan sebagai pengelola, yang menguasai prinsip -prinsip
manajemen.13
2. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana pendidikan adalah segala sesuatu yang meliputi peralatan serta
perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah.
Contoh dari sarana tersebut seperti gedung, ruangan, meja, kursi, alat peraga
dan lain-lain. Sedangkan prasarana adalah semua komponen yang secara tidak
langsung menunjang jalannya proses belajar-mengajar di suatu lembaga
pendidikan. Contoh dari prasarana pendidikan adalah jalan menuju sekolah,
halaman sekolah, dan tata tertib sekolah.14
Hadari Nawawi membagi sarana dan prasarana pendidikan menjadi dua
jenis, yaitu :
a. Sarana dan prasarana edukatif, yaitu segala sesuatu yang bersifat fisik,
yang diperlukan untuk penyelenggaraan proses belajar mengajar secara
berdaya guna. Misalnya gedung/lokal, ruang perpustakaan, ruang
bimbingan dan penyuluhan, papan tulis, dan alat peraga.
b. Sarana dan prasarana non-edukatif, yakni segala sesuatu yang bersifat fisik,
yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan program sekolah, baik yang
berhubungan langsung dengan proses belajar-mengajar, maupun tidak.
Misalnya kantin sekolah, koperasi, ruang UKS, mesin tik, dan kertas.15
Pada awalnya pesantren adalah lembaga pendidikan yang populer di tanah
jawa. Kata pesantren berasal dari kata santri yang kemudian mendapat imbuhan
diawalnya. Istilah santri dapat juga berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru
mengaji. Lembaga pesantren dengan demikian mempunyai arti sebagai tempat
pendidikan Islam yang unik, yakni tempat untuk memahami, menghayati,
__________________________________
13
HAL.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2000),
hlm. 158-160.
14
Soerjani, dalam Hendyat Soetopo, Administrasi Pendidikan (Malang : IKIP, 1998), hlm.
134-135. Lihat juga Daryanto, Administrasi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 51.
15
Hadari Nawawi, Administrasi Sekolah (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 69.
Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana........ 57

dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.16 Pada bahasa


Arab, pesantren disebut dengan ma’had, yang juga dapat diartikan sebagai
tempat menempuh pendidikan.
Masyarakat pesantren hidup di bawah asuhan, didikan, dan bimbingan
seorang kiyai, dengan dibantu oleh beberapa orang guru lainnya. Ada lima elemen
dasar yang umum ditemukan dalam dunia pesantren, yaitu ; masjid, santri, kitab
kuning, kiyai, dan asrama. Elemen tersebut bisa bertambah sesuai dengan
tuntutan zaman, misalnya ada perguruan tinggi atau terdapat program
keterampilan. Pesantren juga kadang disebut dengan “pondok” yang berasal dari
bahasa Arab : funduuq, yang berarti asrama.17 Pesantren selain terdapat di
Indonesia, juga banyak dijumpai di negara lain, seperti di timur tengah.
Sarana dan prasarana pendidikan perlu mendapatkan penataan yang baik
agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengguna pendidikan
itu. Penataan sarana dan prasarana yang baik itu menjadi tanggung jawab para
pengelola lembaga pendidikan, terutama pihak pimpinan atau kepala sekolah.
Para pengelola harus mengupayakan agar sarana dan prasarana yang ada di
sekolah, sebagai lingkungan pendidikan, dapat dinikmati sepenuhnya oleh
segenap peserta pendidikan, terutama bagi para pelajar.
Lingkungan yang tertata baik memiliki nilai dalam membangun sikap positif,
dan menjadi aset berharga untuk proses pembelajaran. DePorter, menawarkan daftar
lingkungan fisik dan mental yang harus dikondisikan secara optimal itu antara lain
seperti : perabotan kelas, pencahayaan, visual (gambar, poster, papan pengumuman),
temperatur, tanaman, kenyamanan, dan suasana hati secara umum.18
Proses pengelolaan sarana dan prasarana itu akan menyentuh fungsi
manajemen administratif dan manajemen kooperatif. Fungsi administratif
mengandung makna bahwa pengadaan, pemeliharaan, penggunaan, dan
penghapusan tersebut harus direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan,
diarahkan dan dikontrol. Sedangkan fungsi kooperatifnya memerlukan kegiatan
penatausahaan, penyediaan dana/keuangan, dan ditetapkan pelaksananya
__________________________________
16
Soekarno Karya, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta : Logos, 1998),
hlm.109.
17
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Alternatif Masa Depan (Jakarta : GIP, 1997), hlm.
70, Lihat juga Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta : LP3ES, 1994), dan baca juga
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES, 1994).
18
Bobby DePoter dan Mike Hernacki, Quantum Learning; Membiasakan Belajar nyaman dan
Menyenangkan, terjemah (Bandung : Kaifa, 1999), hlm.66-67.
58 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

serta dikomunikasikan.19
Ada beberapa prinsip yang patut diperhatikan dalam mengelola sarana
dan prasarana pendidikan, yaitu : 1).Lembaga tersebut memiliki gedung sendiri
atau tidak, 2).Penggunaan gedung tersebut bersama-sama dengan lembaga
lain atau tidak, 3).Ruangan-ruangan yang diperlukan cukupkah, sedang,
atau kurang, 4). Pendidikan berlangsung pagikah, siang, atau malam, 5). Air
dan penerangan yang tersedia cukup atau tidak, f). Halaman cukup luas,
sempit, atau tidak ada.20
Selanjutnya agar dapat melaksanakan kegiatan belajar dan proses pendidikan
yang baik, lembaga pendidikan diharapkan memiliki sarana dan prasarana yang
memadai, seperti : ruang belajar, perpustakaan, laboratorium, ruang keterampilan,
ruang kesenian, ruang UKS, ruang bimbingan dan penyuluhan, ruang
administrasi, ruang kepala sekolah, ruang guru, serta ruang-ruang lain sesuai
kebutuhan, termasuk fasilitas olah raga.
Semua sarana dan prasarana tersebut mempunyai peranan dalam
menentukan keberhasilan studi anak didik. Hendyat Soetopo mengemukakan
contoh keadaan sekolah yang baik sebagai tempat belajar yang menyenangkan,
menarik, nyaman dan aman.21 Ia menyebutkan syarat-syarat untuk sekolah
tersebut meliputi keadaan tanah dan letak sekolah, kemudian keadaan gedung
dan ruangan-ruangan sekolah. Berikutnya menyangkut cara-cara pemeliharaan
sarana dan prasarana pendidikan tersebut.
Keadaan tanah sekolah hendaknya menyesuaikan dengan jumlah murid
yang ditampung, serta jenis atau program yang dilaksanakan di sekolah tersebut.
Mengenai gedung, konstruksi bangunan hendaknya dapat dipertangung-
jawabkan, dalam arti harus kuat, tahan lama, memenuhi standar kesehatan dan
menjamin keselamatan dan keamanan bagi penghuninya. Keadaan tersebut harus
diiringi pemeliharaan dengan memperhatikan kebersihan dan keutuhannya.
Begitu pula terhadap ruangan-ruangan yang ada di gedung tersebut.
Kenyamanan ruangan tersebut dapat dipelihara antara lain dengan cara:
1) Dinding ruangan hendaknya berwarna terang.
2) Lantai ruangan hendaknya selalu bersih
__________________________________
19
Hadari Nawawi, Administrasi Sekolah,..hlm. 69.
20
Soerjani, dalam Hendyat Soetopo, Administrasi Pendidikan…, hlm. 134-135
21
Hendyat Soetopo dan Wasty Seomanto, Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan
(Surabaya: Usaha Nasional, tt), hlm. 203.
Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana........ 59

3) Perlengkapan-perlengkapan dalam ruangan hendaknya selalu ditata


agar nampak teratur dan enak dipandang mata.
4) Ruangan kelas hendaknya tidak berdekatan dengan ruangan kantor
atau tata usaha yang dapat menimbulkan suasana berisik.
5) Ruangan kantor atau tata usaha hendaknya mudah dijangkau oleh
setiap warga belajar yang ada di lingkungan sekolah tersebut.22

C. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Pesantren


Sejarah perkembangan Islam telah meninggalkan jejak yang
menggambarkan perlu tersedianya sarana dan prasarana pendidikan. Seperti
madrasah An-Nuriyah Al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zinki
pada tahun 563 H/1167 M di Damaskus, Syiria.
Gedung madrasah tersebut terdiri dari beberapa bagian. Ruangan-ruangannya
antara lain seperti iwan, yaitu aula tempat kuliah serupa tempat yang biasa
digunakan dewasa ini. Kemudian masjid yang berseberangan dengan iwan, yang
dibatasi oleh sebuah lapangan. Ada juga tempat istirahat guru yang terletak di
sebelah timur masjid, terdiri dari dua bilik kecil yang mempunyai pintu untuk
langsung masuk ke masjid. Ada pula tempat tinggal pelajar dan pesuruh madrasah,
di sebelah bilik guru. Bangunan itu dilengkapi pula dengan dapur dan kamar kecil.23
Untuk kondisi pesantren dewasa ini, sarana fisiknya meliputi masjid, yang
biasanya terletak di tengah-tengah lingkungan pesantren. Kemudian masjid itu
dikelilingi oleh bangunan-bangunan seperti rumah kiyai atau pimpinan pesantren,
perumahan guru, asrama para santri, dan ruang-ruang atau gedung belajar.24
Manfred Ziemek mengutip Geertz, seorang antropolog Amerika, yang
menggambarkan suasana di pesantren sebagai suatu kompleks yang dikelilingi
tembok. Pusatnya adalah sebuah masjid yang biasanya terletak di lapangan pada
ujung suatu desa. Ada Kiyai yang menjadi guru mereka serta sejumlah santri
yang mengaji al-Quran dan Bahasa Arab.
Ziemek membagi organisasi pesantren dalam beberapa tipe:
1. Jenis A, yang hanya memiliki masjid sebagai tempat belajar utama.
2. Jenis B, yang ditambah asrama sebagai ruangan tempat tinggal.
__________________________________
22
Hendyat Soetopo dan Wasty Seomanto, Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan,
…hlm. 203.
23
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Hidakarya Agung, 1986), hlm. 76-77.
24
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemah (Jakarta : P3M, 1986), hlm. 101.
60 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

3. Jenis C, yang menambah sarananya dengan komponen menyerupai


madrasah disertai kurikulum yang ditambah pengetahuan umum dan
sejalan dengan program pendidikan pemerintah. (lihat gambar).
4. Jenis D, melengkapi komponennya dengan kurikulum muatan lokal
berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat, misalnya pelajaran
pertanian berikut lahannya, atau keterampilan lainnya.
5. Jenis E, dengan komponen lebih lengkap lagi hingga tersedia beberapa
jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga universitas. Ziemek
menyebut jenis ini sebagai pondok pesantren “modern” karena turut
mengelola lembaga pendidikan sekolah formal.
Sarana dan kelengkapan pesantren tersebut oleh Mastuhu disebut sebagai
perangkat keras, yang meliputi : masjid, pondokan, rumah kiyai, rumah ustaz,
kantor, gedung sekolah, ruang belajar, perpustakaan, ruang keterampilan, tanah,
fasilitas olah raga, transformasi komunikasi, kesenian, dan laboratorium.25
Misalnya komponen asrama di pondok pesantren. Asrama yang dimaksud
adalah pondokan tempat tinggal bagi para santri. Dalam tataran sejarah, asrama
merupakan sarana yang amat penting untuk melaksanakan program pendidikan
secara totalitas. A.A. Navis mengemukakan contoh pada bangsa Sparta. Bangsa
ini pada mulanya bangsa kecil, namun akhirnya berhasil membangun kekuatan
besar dengan cara pendekatan pendidikan yang berasrama. Anak-anak yang
mulai akil baligh dimasukkan ke asrama agar memperoleh pendidikan militer
secara intensif. Dengan waktu singkat, bangsa Sparta kemudian memiliki watak
yang keras dan berubah menjadi bangsa yang perkasa. 26
Pendidikan di asrama bukanlah dimaksudkan untuk meningkatkan
kemahiran dalam teknik dan ilmu perang, melainkan untuk membentuk sikap
mental seorang militer yang tangguh dengan disiplin baja, serta setia kawan dan
gemar bekerja tanpa pamrih. Hasil pendidikan yang berasrama dengan yang
tidak berasrama berbeda hasilnya dalam hal sikap mental. Sebagaimana contoh
dapat dilihat pada madrasah yang berasrama dengan yang tidak. Santri yang
tinggal di asrama rata-rata jauh lebih berhasil menjadi panutan dan teladan
dalam lingkungan hidupnya setelah selesai menjalani pendidikan.
__________________________________
25
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hal. 51. Sementara
yang dimaksudkan Mastuhu dengan perangkat lunak dari lembaga pendidikan pesantren antara lain
seperti kurikulum, kepustakaan, tujuan, serta administrasi dan keuangan.
26
A.A. Navis, Filsafat Dan Strategi Pendidikan M.Syafei (Jakarta : Grasindo, 1996), hlm.
109-110.
Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana........ 61

Lembaga pendidikan yang telah dikenal luas menggunakan sistem


berasrama adalah pondok pesantren. Hampir tidak dapat disebut sebuah
pesantren bila tidak memiliki asrama. Kata asrama dalam bahasa Arabnya
adalah funduuq, yang kemudian disebut pondok. Kata itu kemudian menjadi
serangkai dengan sebutan pondok pesantren.
Latar belakang kebutuhan sebuah pondok atau asrama adalah karena
terdapat para santri yang berasal dari tempat jauh hingga menyulitkan mereka
untuk datang-pergi dari rumah ke lokasi pesantren. Sebagai santri mereka
harus berada dalam lingkungan pesantren karena tanggung jawab untuk
pendidikan para santri hanya dapat dilakukan apabila kegiatan yang menjadi
aktifitas santri sehari-hari diorganisasikan di bawah pengendalian kiyai atau
pengasuh pondok pesantren.
Keadaan asrama ada yang berbentuk sangat sederhana. Satu ruangan dapat
menampung hingga delapan santri yang tidur di atas tikar. Pada pesantren yang
lebih besar, tersedia banyak ruangan dalam suatu kompleks. Masing masing
dengan sarana sanitasi, kebersihan, tempat mencuci, sumur, tempat makan dan
dapur bersama. Adapula kios yang menjual berbagai kebutuhan santri yang lazim
disebut koperasi. Tersedia pula perpustakaan dan sarana permainan atau olah
raga, serta adapula kompleks lain dengan kegunaan tertentu yang terpisah
dari asrama.27
Asrama yang terpisah-pisah itu masing-masing mempunyai tugas atau
jabatan sebagai ketua asrama atau wakil ketua asrama. Petugas yang ditunjuk
untuk jabatan ini bisa saja dari pihak santri yang senior atau dari pihak guru/
ustaz yang ditunjuk oleh kiyai28
Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiyai dengan para
santri, dipergunakan dalam rangka bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Hal ini merupakan aspek yang membedakan pesantren dari
lembaga pendidikan lainnya. Pondok juga menjadi penampung bagi santri yang
berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada mulanya pondok berdiri
bukan semata-mata dimaksudkan untuk tempat tinggal atau asrama santri yang
dapat mengikuti pelajaran dari kiyai, tapi juga sebagai tempat latihan bagi santri
agar kelak dapat hidup mandiri di tengah masyarakat.
Para santri di bawah bimbingan kiyai bekerja untuk memenuhi kebutuhan
__________________________________
27
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, … hlm. 115-118.
28
Sindu Galba, Pesantren sebagai Wadah Komunikasi (Jakarta: Depdikbud, 1991), hlm. 25.
62 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan gotong-royong sesama warga


pesantren. Pada tahap perkembangan selanjutnya, pondok di masa sekarang
lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap
santri dikenakan sewa atau semacam iuran untuk pemeliharaan pondok
tersebut.29

D. Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan di Pesantren


Pada ruangan kelas, suasana nyaman di pesantren dapat diwujudkan
dengan menata perabotan kelas seperti meja-kursi, papan tulis, tempat sampah,
dan alat-alat pelajaran lainnya hingga nampak teratur dan enak dipandang.
Juga menata hiasan-hiasan dinding dari hasil karya para siswa, atau gambar
pahlawan dan lukisan kaligrafi, hingga menambah keindahan. Penerapan
manajemen sarana itu juga membawa dampak positif pada ruangan asrama.
Ruangan demi ruangan yang teratur, serta jumlah santri yang sesuai dengan
ukuran kamar-kamar itu, dapat menghindari suasana berdesak-desakan dan
bahkan pula menambah kenyamanan.
Manajemen penataan dan pemeliharaan itu hanya salah satu saja dari
berbagai aspek kegiatan dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan.
Setiap langkah manajemen itu hendaknya tidak saja diterapkan untuk ruangan
kelas, akan tetapi juga terhadap sarana dan prasarana pendidikan yang ada.
Penerapan manajemen yang menimbulkan kenyamanan itu akan membawa
dampak positif bagi siswa, terutama mampu menumbuhkan gelora dan semangat
belajar pada santri. Manajemen pemeliharaan, ataupun kegiatan manajemen
lainnya terhadap sarana dan prasarana pendidikan akan berdampak pula pada
kenyamanan proses pembelajaran di lingkungan pesantren.
Di antara program itu ada beberapa program yang disusun untuk
pemberdayaan sarana dan prasarana pendidikan di pesantren, namun kemudian
program itu jalan di tempat sehingga turut mempengaruhi jalannya manajemen.
Seperti program untuk memberdayakan sarana asrama. Menurut Wahyoetomo,
agar asrama dapat menemukan bentuknya yang ideal, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan;
1. Asrama tersebut semestinya diasuh oleh seorang ustaz atau kiyai
__________________________________
29
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996), hlm. 47.
Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana........ 63

yang berwawasan keagamaan dan memiliki kesadaran religius


sebagaimana mestinya. Ia tidak hanya sebagai pemimpin, tapi juga
sebagai teladan, pembimbing dan pengarah para santri.
2. Model kegiatan yang dilaksanakan harus mampu menumbuhkan dan
menguatkan rasa keagamaan pada diri santri, sehingga mampu
menciptakan pribadi-pribadi muslim yang tangguh. Misalnya dengan
kegiatan salat berjamaah dan salat-salat sunnah.
3. Kajian keagamaan di samping membahas masalah syariat, hendaknya
juga mengkaji tentang bahasan yang bersifat filosofis atau tasauf.
Maksudnya agar tumbuh dalam kepribadian mereka kesadaran sebagai
khalifah dan hamba ilahi yang membaktikan semua amalnya hanya
untuk Allah semata.30
Semua kegiatan itu sepenuhnya dapat dilaksanakan di pesantren. Hanya
saja, tidak semua santri dapat menerima program tersebut karena tidak semuanya
tinggal menetap di asrama. Sebagian santri yang tidak kebagian tempat di asrama,
lantas mencari tempat tinggal berupa rumah kos di sekitar pesantren. Sayangnya
santri yang kos di luar tidak mengikuti program kurikulum pondok yang belajar
hingga malam hari, melainkan hanya mengikuti program madrasah yang
berlangsung hanya dari pagi hingga tengah hari.
Kondisi tersebut tentu membuat program di asrama belum berlaku
menyeluruh untuk segenap santri. Padahal banyak manfaat yang bisa dicapai
apabila santri dapat tinggal bersama dalam satu lingkungan pesdantren,
berkumpul bersama antara santri dan ustaz pengasuhnya dalam proses
pembelajaran yang terus-menerus. Sebagaimana yang diungkap oleh A.A. Navis
bahwa Pendidikan di asrama dimaksudkan untuk membentuk sikap mental yang
tangguh dengan disiplin baja, serta setia kawan dan gemar bekerja tanpa pamrih.31
Hasil pendidikan yang berasrama dengan yang tidak berasrama berbeda
hasilnya dalam hal sikap mental. Sebagaimana contoh dapat dilihat pada
madrasah yang berasrama dengan yang tidak. Santri yang tinggal di asrama
rata-rata jauh lebih berhasil menjadi panutan dan teladan dalam lingkungan
hidupnya setelah selesai menjalani pendidikan.
Dengan demikian, program unggulan yang diterapkan pihak pesantren
__________________________________
30
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: GIP, 1997), hlm. 108-109.
31
A. A. Navis, Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Syafei (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm.
109-110.
64 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

hanya dapat diterima oleh para santri yang mukim di asrama, sedangkan
mereka yang tidak tinggal di asrama, tidak ubahnya seperti siswa pada sekolah
lain pada umumnya. Asrama yang belum dipergunakan secara maksimal dapat
turut mempengaruhi optimalitas manajemen sarana dan prasarana pendidikan.
Sementara itu, sebagai figur pimpinan sebuah pondok pesantren, ada
tiga syarat yang harus dipenuhi, yakni tahu tugas-tugas manajerial, tahu
banyak mengenai ilmu-ilmu keislaman, dan tahu banyak hal ihwal
keduniawian sesuai dengan perkembangan zaman.32 Sebagai pemimpin, ada
dua fungsi kepemimpinan yang seharusnya diperlihatkan, yakni fungsi
administratif dan fungsi pelaksanana. Fungsi administratif, yakni golongan
pemimpin yang menentukan kebijakan umum, yang biasa disebut sebagai
manajer puncak pada eselon tertinggi. Sedangkan fungsi pelaksana, yakni
kategori pemimpin yang langsung berhadapan dengan kegiatan organisasi,
sekaligus juga menjadi pelaksana dari kebijakan yang dibuat dalam fungsi
administratif.33

E. Simpulan
Proses manajemen sarana dan prasarana pendidikan yang berjalan baik
akan menjadi salah satu upaya mengatasi kelemahan yang umumnya melanda
dunia pesantren. Di antara kelemahan yang masih terlihat di pesantren seperti
: pesantren belum mencapai tujuan untuk menyiapkan kader ulama sebagai
pemimpin umat ; umumnya pesantren tidak memiliki sarana yang memadai ;
pesantren juga sering dicap sebagai lembaga pendidikan tradisional yang
menghindar dari dunia modern ; serta pesantren sering terlihat eksklusif, dan
manajemen pesantren sering terlihat kurang profesional.34
Kelemahan yang lain adalah administrasinya, kemudian tenaga pimpinan
yang memiliki kecakapan menyeluruh masih langka, tenaga pengajar yang
berkualitas tinggi masih sedikit, kurangnya sumber-sumber keuangan, dan tidak
menentunya pola hubungan kerjasama terhadap dunia luar. Perkembangan
pesantren di masa depan mungkin akan ditentukan oleh kemampuan untuk
__________________________________
32
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi ; Konsep Dasar dan Aplikasinya (Jakarta: Rajawali Pers,
1992), hlm. 285.
33
Muchtar Effendi, Manajemen ; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam (Jakarta: Bharata,
1996), hlm. 207.
34
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta : GIP, 1995).
Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana........ 65

menghalau kelemahan-kelemahan tersebut.35 Bertolak pada kelemahan-


kelemahan tersebut, maka dunia pesantren harus mulai berbenah. Di antara
kelemahan itu adalah sarana dan prasarana pendidikan yang dianggap kurang
memadai, tenaga pimpinan yang memiliki kecakapan menyeluruh masih
langka, dan manajemen pesantren sering terlihat kurang profesional.
Untuk mencoba mengatasinya, upaya yang dapat ditempuh antara lain
dengan mengelola sarana dan prasarana pendidikan yang ada secara manajerial.
Sarana dan prasarana yang telah ada dikelola secara efektif, sementara yang
belum ada diupayakan dengan menggalang bantuan, baik dari pemerintah
maupun dari kalangan dermawan. Langkah lainnya dengan mengaktifkan fungsi-
fungsi kepemimpinan hingga dapat berjalan efektif. Selanjutnya, meningkatkan
kinerja manajemen profesional pada semua pihak di pesantren, baik mudir, kepala
madrasah, guru, karyawan, maupun santri.
Upaya untuk mulai memperbaiki kinerja, terutama dalam mengelola sarana
dan prasarana pendidikan, diharapkan dapat membenahi pondok pesantren dan
memberikan kontribusi bagi proses pembelajaran yang optimal. Pesantren yang
diharapkan dewasa ini adalah pesantren yang diarahkan untuk mencetak tenaga-
tenaga yang terampil dan religius, yang mempersiapkan santri menjadi calon
community leader dan calon religious intellectual.

Daftar Pustaka
Anonim. (1971). Al-Quran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI.
DePorter, Bobby, dan Mike Hernacki. (1999). Quantum Learning; Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan. (Terjemah). Bandung: Kaifa.
Effendi, Muchtar. (1996). Manajemen; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam.
Jakarta : Bharata.
Faisal, Yusuf Amir. (1995). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: GIP
Gazalba, Sindi. (1991). Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi. Jakarta: Depdikbud.
Hasbullah. (1996). Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Hasbullah. (1999). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Horikoshi, Hiroko.(1987). Kyai Dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.

__________________________________
35
Sudirman Tebba mengutip Abdurrahman Wahid dalam Dawam Rahardjo (Editor),
Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah (Jakarta : P3M, 1985), hlm. 275.
66 Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012

Hills, Philip James. (1982). A Dictionary of Education (Ed.). London: Routledge


& Kegan Paul.
Indrafachrudi, Soekarto. (1993). Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang
Baik. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Karya, Soekarno. (1998). Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: Logos
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Navis, A.A.(1996). Filsafat Dan Strategi Pendidikan M.Syafei. Jakarta: Grasindo.
Nawawi,Hadari,dkk.(1986). Administrasi Sekolah. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nawawi, Hadari, dan Martini Hadari. (2000). Kepemimpinan yang Efektif.
Yogyakarta: Gajah Mada University.
Rahardjo, M. Dawam (ed).(1985). Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari
Bawah. Jakarta: P3M.
Siagian,Sondang P. (1989). Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: Bina Aksara.
Soetopo, Hendyat. (1998). Administrasi Pendidikan. Malang: IKIP.
Soetopo, Hendyat, dan Wasty Soemanto.(tt). Pengantar Operasional Administrasi
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Sukarna. (1990). Kepemimpinan dalam Administrasi. Bandung: Mandar Maju.
Sutisna, Oteng. (1993). Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis untuk Praktek
Profesional. Bandung; Angkasa.
Thoha, Miftah. (1995). Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan
Perilaku. Jakarta: Rajawali Pers.
Thoha, Miftah. (1992). Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta
: Rajawali Pers.
Tilaar, H.A.R. (1998). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Wahjoetomo. (1997). Perguruan Tinggi Pesantren Alternatif Masa Depan. Jakarta:
GIP.
Yunus, Mahmud. (1986). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung.
Ziemek, Manfred. (1986). Pesantren dalam Perubahan Sosial (Terjemah). Jakarta:
P3M.

Anda mungkin juga menyukai