Jurnal Kardiovaskular
Jurnal Kardiovaskular
TINJAUAN PUSTAKA
jantung tanpa gesekan antara kedua lapisan viseral dan parietal ketika jantung
berdenyut (Standring,2008). Ruang ini disebut kavitas perikardial.
Dinding tiap ruang jantung terdiri dari 3 lapisan utama, yaitu lapisan yang
paling luar adalah epikardium yang merupakan perikardium serosa bagian viseral
yang berdinding tipis, lapisan di tengahnya adalah miokardium yang berdinding
tebal yang berisi otot-otot jantung yang berguna untuk memompa jantung, dan
lapisan paling dalam adalah endokardium yang merupakan lapisan yang tipis
mirip jaringan ikat endotel dan subendotel (Moore, et al.,2010). Kebanyakan
lapisan dinding jantung terdiri oleh miokardium, khususnya di ventrikel. Ketika
jantung berkontraksi, khususnya ventrikel, miokardium akan memproduksi
gerakan seperti memeras karena serat otot jantungnya yang berbentuk double
helix (Torrent-Guasp, et al.,2001 dalam Moore, et al.,2010). Gerakan ini
menyebabkan volume ruang ventrikel mengecil sehingga darah terpompa masuk
ke aorta atau arteri pulmonaris (Moore, et al.,2010).
Jantung memiliki empat buah ruang, yaitu 2 buah atrium dan 2 buah
ventrikel. Antar atrium dipisahkan oleh septum interatrial, sedangkan antar
Pembuluh darah jantung terdiri dari arteri koroner dan vena kardial,
dimana menyuplai sebagian besar darah ke dan dari miokardium. Endokardium
dan jaringan subendokardial mendapat oksigen dan nutrisi dengan cara difusi atau
mikrovaskuler dari ruang di jantung. Pembuluh darah jantung normalnya tertanam
dalam jaringan lemak dan melalui permukaan jantung di dalam epikardium.
Adakalanya, bagian dari pembuluh darah ini menjadi tertanam dalam miokardium.
Pembuluh darah di jantung mendapat pengaruh inervasi dari sistem saraf simpatis
dan parasimpatis (Moore, et al.,2010).
Suplai darah jantung berasal dari arteri koroner yang merupakan cabang
pertama aorta yang menyuplai darah ke miokardium dan epikardium baik atrium
maupun ventrikel, yang memiliki 2 cabang, yaitu arteri koroner kanan dan kiri
yang cabang utamanya terletak di sulkus interventrikuler dan atrioventrikuler.
Arteri koroner kanan muncul dari sinus aorta anterior dan berjalan ke depan
melalui trunkus pulmonaris dan atrium kanan, serta menyelusuri sulkus
atrioventrikuler bagian kanan (Ellis,2006). Dekat dengan asalnya, arteri koroner
kanan selalu memberikan percabangan ke nodus sinoatrial (SA node) yang
memberikan percabangan ke nodus tersebut. Arteri koroner kanan kemudian
berjalan turun melalui sulkus koroner dan bercabang menjadi arteri marginalis
kanan, yang menyuplai darah ke bagian pinggir kanan jantung, dan berjalan ke
apeks jantung, tetapi tidak mencapainya. Setelah memberikan percabangan ini,
arteri koroner kanan berbelok ke kiri dan terus menyelusuri sulkus koroner ke
arah posterior jantung. Pada bagian posterior, dimana pertemuan antara septum
interatrial dan septum interventrikuler di antara 4 ruang jantung, arteri koroner
kanan memberikan percabangan ke nodus atrioventrikuler (AV node) untuk
menyuplai darah ke sana. Nodus sinoatrial dan atrioventrikuler merupakan bagian
dari sistem konduksi listrik di jantung.
Dominasi dari sistem arteri koroner berasal dari arteri koroner mana yang
memberikan cabang ke arteri posterior yang berjalan menurun (posterior
decending artery). Biasanya sistem arteri koroner ini didominasi arteri koroner
kanan sekitar 67%, arteri koroner kiri sekitar 15%, dan kombinasinya sekitar 18%.
Arteri koroner kanan memberikan cabang interventrikuler posterior yang besar,
yang berjalan turun di sulkus interventrikuler posterior. Cabang ini memberi
suplai darah ke kedua ventrikel dan mengirim percabangan utuk menyuplai darah
ke septum interventrikuler. Kadang-kadang cabang ini juga menyuplai darah ke
jantung bagian diafragmatika (Moore, et al.,2010).
Diameter arteri koroner kiri lebih besar dari diameter arteri koroner yang
kanan dan menyuplai darah lebih banyak ke miokardium termasuk seluruh ruang
jantung dan septum interventrikuler, kecuali yang right dominance (dominan
kanan) dimana arteri koroner kanan yang menyuplai bagian posterior jantung
memiliki 2 percabangan utama, yaitu arteri sirkumfleksi dan arteri interventrikuler
anterior. Arteri koroner kiri yang keluar dar aorta jarang memberikan percabangan
ke SA node dan ketika mencapai sulkus atrioventrikuler, bercabang menjadi 2 atau
3 cabang utama. Arteri interventrikuler anterior merupakan cabang pertamanya
yang sering digambarkan sebagai kelanjutan dari arteri koroner kiri. Arteri ini
berjalan ke bawah, oblik, depan, dan ke kiri di sulkus interventrikuler dan
mencapai apeks jantung. Adakalanya, terdapat variasi dari pembuluh darah ini,
yaitu arteri ini berjalan terus ke apeks dan bertemu dengan cabang arteri
interventrikuler posterior. Arteri ini juga bercabang menjadi cabang ventrikuler
anterior kanan-kiri dan cabang septum anterior. Sedangkan arteri sirkumfleksi
berjalan melalui sulkus atrioventrikuler, terus berjalan mengitari sampai ke bagian
posterior jantung, dan berakhir di sebelah kiri dari pertemuan 4 ruang jantung.
Arteri sirkumfleksi juga memiliki cabang, yaitu arteri marginalis kiri yang
menyuplai darah ke batas kiri ventrikel kiri sampai ke apeks (Standring,2008).
Sumber: Moore, K. L., Dalley, A. F., and Agur, A. M. R.. 2010. Clinically
Oriented Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
130 ml pada akhir periode relaksasi dan volume darah tersebut disebut volume
akhir diastolik atau end-diastolic volume (EDV). Kompleks QRS pada EKG
menandakan awal dari depolarisasi ventrikel.
pada ventrikel kanan. Periode ketika katup semilunar terbuka disebut ejeksi
ventrikuler dan berlangsung selama 0,25 detik. Darah yang dipompakan baik ke
aorta maupun ke arteri pulmonaris sebanyak 70 ml. Volume ini disebut volume
sekuncup (stroke volume) dan sisanya sebanyak 60 ml disebut volume akhir sistol
(end-systolic volume). Gelombang T dalam EKG menandakan awal dari
repolarisasi ventrikel (Tortora,2009).
b. Aliran Darah Koroner (Coronary Blood Flow)
Aliran darah koroner yang normal pada manumur rata-rata sekitar 225
mililiter/menit, dimana jumlah ini sekitar 4-5% dari jumlah curah jantung total.
Selama aktivitas berat, jantung orang dewasa muda meningkat curah jantungnya
menjadi 4-7 kali lipat dan memompa darah melawan tekanan arteri yang lebih
tinggi dari normalnya. Akibatnya, kerja jantung dalam kondisi yang berat
meningkat 6-9 kali lipat. Pada waktu yang sama, aliran darah koroner meningkat
3-4 kali lipat untuk menyuplai nutrisi lebih banyak yang dibutuhkan jantung,
tetapi ini tidak sebanding dengan kerja jantung yang meningkat dimana berarti
rasio energi yang dikeluarkan jantung dengan aliran darah koroner meningkat.
Jadi, efisiensi energi oleh digunakan jantung meningkat dan tidak sebanding
dengan suplai darah yang relatif kurang (Guyton & Hall,2006)
Nutrisi tidak dapat berdifusi cukup cepat dari darah di ruang jantung untuk
menyuplai seluruh lapisan sel yang menyusun dinding jantung. Alasan inilah yang
membuat miokardium memunyai jaringan pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi
aliran darah koroner (Tortora,2009). Aliran darah koroner yang melewati ventrikel
kiri menurun sampai jumlah yang minimal ketika otot jantung berkontraksi karena
pembuluh darah kecil, terutama di daerah miokardium terkompresi oleh kontraksi
otot jantung. Aliran darah pada arteri koroner kiri selama fase sistol hanya 10-30
% dari jumlah darah ketika fase diastol dimana otot jantung mengalami relaksasi
dan banyak aliran darah terjadi. Efek kompresi dari sistol pada aliran darah
koroner sangat kecil pada atrium kanan sebagai akibat dari tekanan ventrikel yang
lebih rendah sehingga kompresi pada arteri koronernya sangat sedikit.
Perubahan aliran darah koroner selama siklus jantung pada orang yang
sehat tidak terlalu berdampak walaupun sewaktu aktivitas berat. Berbeda dengan
orang yang memiliki gangguan pada arteri koroner, sedikit peningkatan denyut
jantung yang mengurangi waktu diastol, akan mengganggu aliran darah koroner.
Otot jantung mendapat perfusi nutrisi dari permukaan epikardial (luar) ke
permukaan endokardial (dalam). Selama sistol, gaya kompresi lebih berefek pada
aliran darah koroner pada lapisan miokardium dimana gaya kompresi lebih tinggi
dan tekanan pembuluh darah jantung lebih rendah sehingga aliran darah koroner
bagian miokardium menurun (Williams & Wilkins,2013). Tetapi pembuluh darah
besar pada pleksus subendokardial yang normal dapat mengompensasi hal
tersebut (Guyton & Hall,2006).
Menurut Guyton & Hall (2006), ada beberapa hal yang mempengaruhi
aliran darah koroner, yaitu:
1. Hasil metabolisme dari otot lokal
Aliran darah yang melalui sistem koroner diregulasi oleh vasodilatasi
arteriol lokal sebagai respon dari kebutuhan otot jantung akan nutrisi.
Ketika kebutuhan akan nutrisi meningkat, maka akan terjadi
vasodilatasi arteri koroner untuk mencukupi kebutuhan itu.
Gambar 2.7. Aliran Darah Koroner Kiri dan Kanan selama Siklus Jantung
Sumber: Guyton, A. C., Hall, J. E.. 2006. Textbook of Medical Physiology. 11th
ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.
2.2.2. Etiologi
Penyebab tersering dari penyakit jantung koroner adalah deposit ateroma
di jaringan subintima pada arteri koroner besar dan sedang (aterosklerosis).
Penyakit jantung koroner juga dapat disebabkan spasme dari arteri koroner,
vaskulitis (bisa karena systemic lupus erythematosus (SLE) atau sifilis), dan
penyakit-penyakit yang mengenai arteri koroner, seperti emboli, diseksi, dan
aneurisma, tetapi jarang menyebabkan penyakit jantung koroner (Porter &
Kaplan,2011).
Aterosklerosis adalah suatu proses kronis yang progresif dan tiba-tiba
muncul dengan karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan
molekul inflamasi pada dinding arteri koroner. Aterosklerosis merupakan proses
etiopatogenesis utama penyebab penyakit jantung koroner dan progresivitasnya
2.2.3. Epidemiologi
a. Prevalensi
Menurut Roger, et al. (2012) dalam Garko (2012), diperkirakan sekitar
16,3 juta orang (7% populasi orang Amerika dewasa di atas 20 tahun) menderita
penyakit jantung koroner. Dari total populasi yang terdiagnosis penyakit jantung
koroner, sekitar 8,3% adalah laki-laki dan 6,1% adalah perempuan. Diprediksi
pada tahun 2030, sekitar 8 juta populasi Amerika dewasa yang lain akan
terdiagnosis penyakit jantung koroner. Jumlah ini mencerminkan peningkatan
prevalensi sebesar 16,6% dari prevalensi pada tahun 2010.
Prevalensi penyakit jantung di Indonesia adalah 0,5% yang terdiagnosis
oleh dokter dan sekitar 1,5% bila jumlah yang terdiagnosis ditambah dengan
pasien yang memiliki gejala yang mirip dengan penyakit jantung koroner. Di
Sumatera Utara, prevalensi penyakit jantung koroner yang terdiagnosis dokter
adalah 0,5%, sedangkan yang terdiagnosis dokter pasien dengan gejala mirip
penyakit jantung koroner adalah 1,1% (Riskesdas,2013).
b. Insidensi
Pada tahun 2011, 785.000 populasi Amerika dewasa akan mendapat
serangan penyakit jantung koroner yang baru, dimana 470.000 populasi Amerika
dewasa akan mendapat pengalaman sebuah serangan jantung berulang.
Diperkirakan insidensi tiap tahun dari kasus baru serangan jantung adalah 610.000
dengan 325.000 serangan berulang. Rata-rata umur pertama kali mengalami
serangan jantung adalah sekitar umur 64,5 tahun untuk laki-laki dan 70,3 tahun
untuk perempuan (Roger, et al.,2012). Menurut Biro Sensus Amerika Serikat
(2004), perkiraan insidensi penyakit jantung koroner di Indonesia adalah 1,05 juta
kasus baru pada tahun 2004.
c. Mortalitas
Setiap 25 detik, seorang di Amerika akan mengalami pengalaman kejadian
yang berhubungan dengan koroner dan setiap menitnya, ada satu orang yang akan
mendapat pengalaman ke,jadian jantung yang fatal, biasanya serangan jantung
(Roger, et al.,2012).
Berdasarkan data WHO (2011), kematian akibat penyakit jantung koroner
di Indonesia mencapai 234 ribu atau 17,05% total kematian di Indonesia. Angka
kematian yang sesuai umur (age adjusted death rate) adalah 150,77 per 100.000
populasi yang menempatkan Indonesia sebagai peringkat 51 di dunia.
2.2.4. Klasifikasi
Penyakit jantung koroner termasuk dalam penyakit jantung iskemik kronis
(ICD-10CM I25) memiliki kode I25.1 dengan nama atherosclerotic heart disease
of native coronary artery (penyakit jantung aterosklerosis dari arteri koroner itu
sendiri), memiliki klasifikasi, yaitu:
1. Atherosclerotic heart disease of native coronary artery without angina
pectoris (ICD-10CM I25.10)
2. Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with angina pectoris
(ICD-10CM I25.11) dibagi 4, terdiri dari :
a) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with unstable
angina pectoris (ICD-10CM I25.110)
b) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with angina
pectoris with documented spasm (ICD-10CM I25.111)
c) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with other forms of
angina pectoris (ICD-10CM I25.118)
d) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with unspecified
angina pectoris (ICD-10CM I25.119) (CDC,2014).
6) Diabetes melitus
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
pembentukan plak ateromatous pada arteri (NHLBI,2011).
Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan banyak perubahan
pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide
adenine dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti
sebagai stressor oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine
diphosphate (UDP) N-acetyl glucosamine yang diperkirakan
mengubah fungsi enzimatik seluler, dan pembentukan advanced
glycation end product (AGE) yang secara langsung menganggu
fungsi sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta
peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang menganggu
produksi nitrit oksida endotel dan menipiskan plak aterosklerosis
sehingga mudah ruptur (Chiha, et al.,2012). Itu menyebabkan
kematian pasien dengan diabetes melitus sering disebabkan
serangan sindrom koroner akut dibandingkan yang tidak memiliki
diabetes melitus (Unachukwu & Ofori,2012). Yang lebih penting
lagi, glikolisasi dari protein pada dinding arteri yang diperkirakan
berkonstribusi dalam pembentukan aterosklerosis diabetik (Chiha,
et al.,2012). Pada tikus pada uji eksperimental memperlihatkan
hiperinsulinemia menstimulasi sintesis asam lemak dengan
meningkatkan transkripsi gen enzim lipogenik di hati. Asam lemak
tersebut memacu produksi dari very low density lipoprotein
(VLDL) sehingga dikenal resistensi insulin (diabetes melitus tipe
2) menginduksi dislipidemia (Steinberger, et al., 2009). Diabetes
melitus meningkatkan resiko morbilitas dan mortalitas berbagai
penyakit kardiovaskuler. Diabetes dengan sindrom metabolik
secara signifikan meningkatkan level trigliserida, rasio level
trigliserida dibandingkan HDL, atherogenic index of plasma (AIP),
tekanan darah, dan IMT (Kalidhas, et al.,2011). Diabetes secara
serius meningkatkan resiko menjadi penyakit jantung sebesar 2 kali
2.2.6. Patogenesis
Penyebab utama penyakit jantung koroner adalah aterosklerosis (Porter &
Kaplan,2011). Aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi kronis yang
kompleks yang ditandai dengan remodeling dan penyempitan arteri koroner yang
menyuplai oksigen ke jantung (Sayols-Baixeras, et al.,2014). Aterosklerosis
melibatkan pembentukan plak yang terdiri dari sejumlah lipoprotein, matriks
ekstraseluler (kolagen, proteoglikan, glikosaminoglikan), kalsium, sel otot polos
pembuluh darah, sel inflamasi (monosit yang berubah menjadi makrofag, limfosit
T, sel mast, sel dendrit), dan pembuluh darah yang baru (angiogenesis) (Porter &
Kaplan,2011).
Proses aterosklerosis ini ditandai dengan efluks LDL ke ruang
subendotelial dimana kemudian LDL tersebut dapat dimodifikasi dengan cara
dioksidasi dan diglikasi oleh berbagai jenis agen di sekitar arteri pembuluh darah
((1) pada gambar 2.8.). Partikel LDL yang telah termodifikasi atau teroksidasi
adalah molekul kemotaksis poten yang menginduksi aktivasi dari molekul
perlengketan sel vaskuler (vascular cell adhesion molecule) dan molekul
perlengketan intraseluler (intracellular adhesion molecule) di lapisan endotel ((2)
pada gambar 2.8.) dan memicu perlengketan monosit dan chemoattractant
molecule merangsang migrasi monosit ke ruang subendotel ((3) pada gambar
2.8.). Monosit yang memasuki dinding arteri sebagai respon kepada
chemoattractant molecule, seperti monocyte chemmoattractant protein 1 (MCP-
1), merangsang diferensiasi monosit menjadi makrofag di lapisan intima media.
Makrofag berikatan dengan LDL yang teroksidasi melalui reseptor pembersih
(scavenger receptors) ((4) pada gambar 2.8.) untuk menjadi sel busa (foam cells)
Tipe leukosit yang lain, seperti limfosit dan sel mast, juga terakumulasi di
ruang subedotel. Efek gabungan monosit, makrofag, sel busa, dan sel T
menghasilkan respon imun seluler dan humoral dan berujung pada masa inflamasi
kronis dengan produksi dari beberapa molekul proinflamasi ((5) pada gambar
2.8.). Proses ini dilanjutkan dengan migrasi dari sel otot polos yang membelah diri
dari lapisan tengah arteri ke lapisan intima ((6) pada gambar 2.8.), hasilnya
perubahan bentuk dari fatty streak menjadi lesi yang lebih kompleks. Saat sel otot
polos berada di lapisan intima media, mereka memproduksi molekul matriks
ekstraseluler, membentuk tutup fibrosus (fibrous cap) yang menutupi fatty streak
sebelumnya ((7) pada gambar 2.8.). Sel busa di dalam fibrous cap mati dan
melepaskan lemak yang tersimpan ke ruang ekstraseluler dan membentuk kolam
kaya lemak yang dikenal sebagai inti nekrotik (necrotic core) yang penuh lemak
dan sel yang mati ((8) pada gambar 2.8.). Hasil dari proses ini membentuk lesi
ateroslerotik yang kedua, yaitu plak fibrosus (Sayols-Baixeras, et al.,2014 dan
Libby, et al.,2007).