Anda di halaman 1dari 10

FISIKA LINGKUNGAN

NUKLIR DI BIDANG KESEHATAN

DISUSUN OLEH:

Elsa Meilani (06111181621060)


Dwi Nastiti Lukita Ningsih ()
Kiki Wulandari (06111181621012)
Dini()
Eka ()

DOSEN PENGAMPU:
Dra.Murniati, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asal-mula fisika nuklir terikat pada fisika atom, teori relativitas, dan teori
kuantum dalam permulaan abad kedua-puluh. Kemajuan awal utama meliputi
penemuan radioaktivitas (1898), penemuan inti atom dengan menginterpretasikan
hasil hamburan partikel alfa (1911), identifikasi isotop dan isobar (1911),
pemantapan hukum-hukum pergeseran yang mengendalikan perubahan-perubahan
dalam nomor atom yang menyertai peluruhan radioaktivitas (1913), produksi
transmutasi nuklir karena penembakan dengan partikel alfa (1919) dan oleh
partikel-partikel yang dipercepat secara artifisial (1932), formulasi teori peluruhan
beta (1933), produksi inti-inti radioaktif  oleh partikel-partikel yang dipercepat
(1934), dan penemuan fissi nuklir (1938).
Fisika nuklir ialah unik pada tingkat dimana ia menghadirkan banyak topik
terapan dan paling fundamental. Instrumentasi-intrumentasinya telah memiliki
kegunaan yang banyak di seluruh sains, teknologi, dan kedokteran; rekayasa
nuklir dan kedokteran nuklir adalah dua bidang spesialisasi terapan yang sangat
penting.
Aplikasi teknik nuklir, baik aplikasi radiasi maupun radioisotop, sangat
dirasakan manfaatnya sejak program penggunaan tenaga atom untuk maksud
damai dilancarkan pada tahun 1953. Dewasa ini penggunaannya di bidang
kedokteran sangat luas, sejalan dengan pesatnya perkembangan bioteknologi,
serta didukung pula oleh perkembangan instrumentasi nuklir dan produksi
radioisotop umur pendek yang lebih menguntungkan ditinjau dari segi medik.
Energi radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber radiasi, dapat
menyebabkan perubahan fisis, kimia dan biologi pada materi yang dilaluinya.
Perubahan yang terjadi dapat dikendalikan dengan jalan memilih jenis radiasi (α,
β, γ atau neutron) serta mengatur dosis terserap, sesuai dengan efek yang ingin
dicapai. Berdasarkan sifat tersebut, radiasi dapat digunakan untuk penyinaran
langsung seperti antara lain pada radioterapi, dan sterilisasi.
Selain itu, radiasi yang dipancarkan oleh suatu radioisotop, lokasi dan
distribusinya dapat dideteksi dari luar tubuh secara tepat, serta aktivitasnya dapat
diukur secara akurat; sehingga penggunaan radioisotop sebagai tracer atau
perunut, sangat bermanfaat dalam studi metabolisme, serta teknik pelacakan dan
penatahan berbagai organ tubuh, tanpa harus melakukan pembedahan.
B. Tujuan

1. Mengetahui energi nuklir dalam bidang kedokteran.


2. Mengetahui cara pengaktivan nuklir
3. Mengetahui cara penentuan kerapatan tulang dengan bone densitometer
4. Mengetahui Three dimensional conformal radiotheraaphy (3d-crt)
5. Mengetahui cara strelisasi alat kedokteran
BAB II

PEMBAHASAN

.   

A. Kedokteran Nuklir

Ilmu Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang


menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida
buatan, untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga
dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran. Pada
kedokteran Nuklir, radioisotop dapat dimasukkan ke dalam tubuh pasien (studi
invivo) maupun hanya direaksikan saja dengan bahan biologis antara lain darah,
cairan lambung, urine da sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien yang lebih
dikenal sebagai studi in-vitro (dalam gelas percobaan).

Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang


diagnosis berbagai penyakitseperti penyakit jantung koroner, penyakit kelenjar
gondok, gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan penyakit kanker dengan
mendeteksi penyebarannya pada tulang, mendeteksi pendarahan pada saluran
pencernaan makanan dan menentukan lokasinya, serta masih banyak lagi yang
dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir yang pada saat
ini berkembang pesat.

Disamping membantu penetapan diagnosis, kedokteran nuklir juga berperanan


dalam terapi-terapi penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok, hiperfungsi
kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian obat-obatan non radiasi, keganasan
sel darah merah, inflamasi (peradangan)sendi yang sulit dikendalikan dengan
menggunakan terapi obat-obatan biasa. Bila untuk keperluan diagnosis, radioisotop
diberikan dalam dosis yang sangat kecil, maka dalam terapi radioisotop sengaja diberikan
dalam dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap jaringan kanker dengan
tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun jaringan kanker itu.
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun 1960an, yaitu
setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai dioperasikan di Bandung. Beberapa
tenaga ahli Indonesia dibantu oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu
unit kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di Bandung.
Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta
(RSCM, RSPP, RS Gatot Subroto) dan di Surabaya (RS Sutomo). Pada tahun 1980-an
didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS sardjito (Yogyakarta) RS Kariadi
(Semarang), RS Jantung harapan Kita (Jakarta) dan RS Fatmawati (Jakarta). Dewasa ini
di Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir
dengan menggunakan kamera gamma, di samping masih terdapat 2 buah rumah sakit lagi
yang hanya mengoperasikan alat penatah ginjal yang lebih dikenal dengan nama
Renograf.

Radioisotop dan Teleterapi Henry Bacquerel penemu radioaktivitas telah


membuka cakrawala nuklir untuk kesehatan. Kalau Wilhelm Rontgen,
menemukan sinar-x ketika gambar jari dan cincin istrinya ada pada film. Maka
Marie Currie mendapatkan hadiah Nobel atas penemuannya Radium dan
Polonium dan dengan itu pulalah sampai dengan 1960-an Radium telah digunakan
untuk kesehatan hampir mencapai 1000 Ci. Tentunya ini sebuah jumlah yang
cukup besar untuk kondisi saat itu. Masyarakat kedokteran menggunakan
radioisotop Radium ini untuk pengobatan kanker, dan dikenal dengan Brakiterapi.

Meskipun kemudian banyak ditemukan radiosiotop yang lebih


menjanjikan untuk brakiterapi, sehingga Radium sudah tidak direkomendasikan
lagi. Selain untuk Brakiterapi, radisotop Cs-137 dan Co-60 juga dimanfaatkan
untuk Teleterapi, meskipun belakangan ini teleterapi dengan menggunakan
radioisotop Cs-137 sudah tidak direkomendasikan lagi untuk digunakan.
Meskipun pada dekade belakangan ini jumlah pesawat teleterapi Co-60 mulai
menurun digantikan dengan akselerator medik .

Radioisotop tersebut selain digunakan untuk brakiterapi dan teleterapi,


saat ini juga telah banyak digunakan untuk keperluan Gamma Knife, sebagai
suatu cara lain pengobatan kanker yang berlokasi di kepala.Teleterapi adalah
perlakuan radiasi dengan sumber radiasi tidak secara langsung berhubungan dengan
tumor. Sumber radiasi pemancar gamma seperti Co-60 pemakaiannya cukup luas, karena
tidak memerlukan pengamatan yang rumit dan hampir merupakan pemancar gamma yang
ideal. Sumber ini banyak digunakan dalam pengobatan kanker/tumor, dengan jalan
penyinaran tumor secara langsung dengan dosis yang dapat mematikan sel tumor, yang
disebut dosis letal. Kerusakan terjadi karena proses eksitasi dan ionisasi atom atau
molekul.

Pada teleterapi, penetapan dosis radiasi sangat penting, dapat berarti antara
hidup dan mati. Masalah dosimetri ini ditangani secara sangat ketat di bawah
pengawasan Badan Internasional WHO dan IAEA bekerjasama dengan
laboratorium-laboratorium standar nasional. Orang pertama yang menggunakan
radioisotop nuklir sebagai tracer (perunut) pada 1913-an adalah GC Havesy, dan
dengan tulisannya dalam Journal of Nuclear Medicine, Havesy menerima hadiah
Nobel Kimia 1943.

Prinsip yang ditemukan Havesy inilah yang kemudian dimanfaatkan dalam


Kedokteran Nuklir, baik untuk diagnosa maupun terapi. Radioisotop untuk diagnosa
penyakit memanfaatkan instrumen yang disebut dengan Pesawat Gamma Kamera atau
SPECT (Single Photon Emission Computed Thomography). Sedangkan aplikasi untuk
terapi sumber radioisotop terbuka ini seringkali para pakar menyebutnya sebagai
Endoradioterapi.

Penemuan Rutherford memberikan jalan pada munculnya teknologi pemercepat


radioisotop, sehingga J Lawrence dapat menggunakan Siklotron Berkeley dapat
memproduksi P-32, yang merupakan radioisotop artifisial pertama yang
digunakan untuk pengobatan leukimia. Sekitar 1939, I-128 diproduksi pertama
kalinya dengan menggunakan Siklotron, namun dengan keterbatasan pendeknya
waktu paro, maka I-131 dengan waktu paro 8 hari diproduksi. Iodium-131 (I-131)
digunakan untuk mendekati kerusakan pada kelenjar gondok dan untuk
mendeteksi jaringan kanker pada otak. Perkembangan teknologi Siklotron untuk
kesehatan menjadi penting setelah beberapa produksi radioisotop dengan waktu paro
pendek mulai dimanfaatkan dan sebagai dasar utama PET (Positron Emission
Tomography). Radioisotop selain diproduksi dengan pemercepat, juga dapat diproduksi
dengan reaktor nuklir.

Majalah Science telah mengumumkan bahwa reaktor nuklir penghasil


radioisotop pada 1946, dan menurut Baker  sampai sekitar 1966 ada 11 reaktor
nuklir di Amerika Serikat memproduksi radiosisotop untuk melayani kesehatan.
Perkembangan teknologi reaktor juga saat ini dimanfaatkan untuk produksi secara
in-situ aktivasi Boron untuk pengobatan penyakit maligna dan biasanya dikenal
dengan BNCT (Boron Netron Capture Therapy ). Meskipun saat ini banyak juga
berkembang BNCT dengan metode akselerator. Generator radioisotop-pun saat ini
juga berperan besar dalam memproduksi radioisotop untuk kesehatan, terutama
kedokteran nuklir. Produksi, pengembangan dan pemanfaatan generator Mo-
99/Tc-99m yang digunakan untuk membunuh sel-sel kanker. merupakan dampak
positif dalam aplikasi nuklir untuk kesehatan dan farmasi. Dengan generator ini masalah-
masalah faktor produksi ulang, waktu, dan jarak terhadap tempat yang memproduksi
radioisotop, selain juga mengurangi dosis yang diterima oleh pasien.

B. Teknik Pengaktivan Neutron


Teknik nuklir ini dapat digunakan untuk menentukan kandungan mineral tubuh
terutama untuk unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang sangat kecil
(Co,Cr,F,Fe,Mn,Se,Si,V,Zn dsb) sehingga sulit ditentukan dengan metoda konvensional.
Kelebihan teknik ini terletak pada sifatnya yang tidak merusak dan kepekaannya sangat
tinggi. Di sini contoh bahan biologik yang akan idperiksa ditembaki dengan neutron.

C. Penentuan Kerapatan Tulang Dengan Bone Densitometer


Pengukuran kerapatan tulang dilakukan dengan cara menyinari tulang
dengan radiasi gamma atau sinar-x. Berdasarkan banyaknya radiasi gamma atau
sinar-x yang diserap oleh tulang yang diperiksa maka dapat ditentukan konsentrasi
mineral kalsium dalam tulang. Perhitungan dilakukan oleh komputer yang
dipasang pada alat bone densitometer tersebut. Teknik ini bermanfaat untuk
membantu mendiagnosiskekeroposan tulang (osteoporosis) yang sering
menyerang wanita pada usia menopause (matihaid) sehingga menyebabkan tulang
muda patah.

D. Three Dimensional Conformal Radiotheraphy (3d-Crt)


Terapi Radiasi dengan menggunakan sumber radiasi tertutup atau pesawat
pembangkit radiasi telah lama dikenal untuk pengobatan penyakit kanker.
Perkembangan teknik elektronika maju dan peralatan komputer canggih dalam
dua dekade ini telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi radioterapi.
Dengan menggunakan pesawat pemercepat partikel generasi terakhir telah
dimungkinkan untuk melakukan radioterapi kanker dengan sangat presisi dan
tingkat keselamatan yang tinggi melalui kemampuannya yang sangat selektif
untuk membatasi bentuk jaringan tumor yang akan dikenai radiasi,
memformulasikan serta memberikan paparan radiasi dengan dosis yang tepat pada
target.
Dengan memanfaatkan teknologi 3D-CRT ini sejak tahun 1985 telah
berkembang metoda pembedahan dengan menggunakan radiasi pengion sebagai
pisau bedahnya (gamma knife). Dengan teknik ini kasus-kasus tumor ganas yang
sulit dijangkau dengan pisau bedah konvensional menjadi dapat diatasi dengan
baik oleh pisau gamma ini, bahkan tanpa perlu membuka kulit pasien dan yang
terpenting tanpa merusak jaringan di luar target.

E. Sterilisasi Alat Kedokteran


Alat/bahan yang digunakan di bidang kedokteran pada umumnya harus
steril. Banyak di antaranya yang tidak tahan terhadap panas, sehingga tidak bisa
disterilkan dengan uap air panas atau dipanaskan. Demikian pula sterilisasi
dengan gas etilen oksida atau bahan kimia lain dapat menimbulkan residu yang
membahayakan kesehatan. Satu-satunya jalan adalah sterilisasi dengan radiasi,
dengan sinar gamma dan Co-60 yang dapat memberikan hasil yang memuaskan.
Sterilisasi dengan cara tersebut sangat efektif, bersih dan praktis, serta biayanya
sangat murah. Untuk transpiantasi jaringan biologi seperti tulang dan urat, serta
amnion chorion untuk luka bakar, juga disterilkan dengan radiasi.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dapat dikemukakan bahwa teknik nuklir sangat berperan dalam
penanggulangan berbagai masalah kesehatan manusia. Banyak masalah yang
sebelumnya dengan metode konvensional tidak terpecahkan, dengan teknik nuklir
dapat terpecahkan. Yang terpenting adalah kemajuan-kemajuan baik di bidang
diagnosis maupun terapi haruslah ditujukan untuk keselamatan, kemudahan,
kesembuhan dan kenyamanan pasien. Dengan kemajuan iptek di bidang
instrumentasi nuklir, bioteknologi dan produksi isotop umur pendek yang
menguntungkan ditinjau dan segi medik dan pendeteksian/pengukuran;
diharapkan bahwa harapan hidup yang lebih nyaman dan panjang bagi mereka
yang terkena penyakit dapat tercapai.
Daftar Pustaka

WS, Sriwidodo., Cermin Dunia Kedokteran, Grup PT Kalbe Farma, Jakarta ; 1995
www. Infonuklir.com ( diakses 6 November 2019 )
www. Fisikanet.com ( diakses 6 November 2019)

Anda mungkin juga menyukai