Anda di halaman 1dari 2

Upacara Menolak Bala Masyarakat Pesisir Pangkep

Nur Annisa Rahman

Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman suku, bangsa, dan agama.


Keanekaragaman itulah yang menjadikan Indonesia kaya akan budaya. Tak terkecuali di
daerah pesisir. Tak perlu membahas terlalu jauh, di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan ada begitu banyak aktivitas budaya khususnya masyarakat pesisir
yang kurang diketahui oleh masyarakat umum. Pangkajene dan Kepulauan dikenal sebagai
daerah maritim yang terdiri dari empat kecamatan kepulauan yaitu Liukang Kalmas, Liukang
Tangayya, Liukang Tupabbiring Utara, dan Liukang Tupabbiring. Secara kasat mata hal ini
terpampang jelas dari nama daerahnya yang diikuti oleh kata “Kepulauan.” Pangkajene dan
Kepulauan atau biasa disingkat Pangkep juga dijuluki sebagai kota 3 dimensi karena
wilayahnya meliputi daerah daratan, pengunungan, dan kepulauan. Di sisi jembatan Kota
Pangkajene Kabupaten Pangkep terpajang patung replika kapal bersejarah “Kapten Pahlawan
Laut” yang merupakan kapal pertama yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 23 April
1931 di Pulau Kalukalukuang, Kecamatan Kalmas. Kapal tersebut menjadi bukti konkret
aktivitas masyarakat pesisir Kabupaten Pangkep yang sebagian besar berprofesi sebagai
nelayan. Hal ini juga sesuai dengan semboyan Kabupaten Pangkep, “Kualleangi Tallanga Na
Toalia” yang berarti “Lebih Memilih Tenggelam Daripada Surut Kembali.” Seperti itulah
gambaran masyarakat Pangkep yang bermukim di daerah pesisir khususnya di kepulauan yang
dihuni etnis Bugis, Makassar, dan Mandar yang dikenal sebagai pelaut tangguh (passompe).
Di daerah pesisir Kabupaten Pangkep, seluruh kapal sebelum berangkat berlayar akan
diadakan upacara peluncuran perahu atau mappakawang lopi didahului dengan upacara
appasili dan ammosi. Appasili adalah upacara ritual yang dilaksanakan untuk menolak bala
(musibah). Saat ini, upacara appasili sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam diantaranya
dengan adanya pembacaan Barasanji1. Dalam upacara ini, disediakan berbagai hidangan
tradisional sebagai kelengkapan upacara diantaranya ada gogoso dan songkolo, kaddo
massingkulu, onde-onde, kue lapis, cucuru te’ne, dan baje. Seluruh kelengkapan upacara
tersebut akan dinaikkan ke atas perahu lalu dibacakan barasanji. Selanjutnya disiapkan wajan
yang berisi air dan sejumlah dedaunan, tetuah atau biasa dipanggil guru kemudian membaca
mantra sambil memercikkan air songka bala (penolak bala) di sekeliling perahu dengan
menggunakan dedaunan tadi. Berakhirlah rangkaian upacara appasili dan para hadirin
dipersilahkan untuk menikmati hidangan kue tradisional yang telah disediakan.

1. Barasanji adalah sebutan orang Sulawesi Selatan terhadap barzanji


Selanjutnya adalah upacara ammosi, yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan
perahu (kale biseang). Ibarat upacara pemotongan tali pusar pada bayi yang baru lahir, seperti
itulah hakikat upacara ini. Masyarakat pesisir menganggap bahwa perahu adalah “anak”
punggawa/panrita2. Setelah seluruh rangkaian upacara appasili dan ammosi yang dilaksanakan
malam hari selesai, barulah diadakan upacara mappakawang lopi pada pagi hari. Upacara ini
didahului dengan beberapa persiapan yaitu meletakkan balok di bawah lunas3 yang akan
berfungsi sebagai titian perahu pada saat didorong. Dalam upacara ini, hidangan yang tidak
boleh ketinggalan adalah roti kering dan susu. Roti kering dan susu menjadi simbol semoga
perahu tetap terapung bagai roti kering.
Aktivitas budaya seperti itu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pesisir Kabupaten
Pangkep karena sudah dianggap ritual yang tidak boleh dilewatkan dan dipercaya akan
menimbulkan celaka bila tidak dilaksanakan. Adat istiadat itu pula yang menjadikan kita
sebagai negara yang kaya. Kaya akan budaya dan tradisi. Maka penting bagi kita untuk
melestarikan budaya tersebut.

2. Punggawa/panrita adalah orang-orang yang ahli di bidangnya melalui kecerdasan dan


kebijaksanaan yang dimilikinya
3. Lunas adalah bagian terbawah dari perahu

Anda mungkin juga menyukai