Anda di halaman 1dari 7

Nama : Laura Septifanny Putrianasari

Kelas : 5A SAA
Nim : 11190321000048
1. Teori – teori masuknya Hindu – Budhha ke Nusantara
 Teori Ksatria
Teori ini dikemukakan oleh C.C. Berg dan Mookerji. Para pendukung
teori ksatria beranggapan bahwa agama Hindu dibawa ke Indonesia oleh para
ksatria, yakni golongan bangsawan dan prajurit perang.
Saat itu persoalan politik terus berlangsung di India sehingga
mengakibatkan beberapa pihak yang kalah dalam peperangan terdesak. Para
ksatria yang kalah akhirnya mencari tempat lain sebagai pelarian, salah
satunya ke wilayah nusantara.
Di Indonesia mereka kemudian mendirikan koloni dan kerajaan-
kerajaan barunya yang bercorak Hindu dan Buddha. Mereka-lah yang
kemudian menjadi nenek moyang dinasti-dinasti Hindu-Buddha di Indonesia.
 Teori Waisya
Teori ini dicetuskan oleh N.J. Krom. Menurutnya kebudayaan India
masuk ke Indonesia dibawa oleh kasta Waisya, terutama para pedagang.
Kaum Waisya yang berdagang ke Nusantara berlayar mengikuti angin. Jika
angin tidak memungkinkan untuk kembali, mereka akan menetap sementara
waktu.
Para pedagang juga menjalin hubungan baik dengan para penguasa
pribumi agar perdagangan berjalan lancar. Dalam proses itulah terjadi
komunikasi dan secara perlahan para pedagang turut menyebarkan budaya
dan agama Hindu ke tengah-tengah masyarakat.
 Teori Brahmana
Menurut teori ini para brahmana seperti ahli ulama, ahli hukum, ahli
kitab suci, serta sarjana sastra dan filsafat berperan membawa kebudayaan
India ke Indonesia.
Menurut Van Leur, para penguasa mengundang para brahmana dari
India untuk dapat bertemu dengan orang-orang India yang memiliki taraf
yang sama dan untuk meningkatkan kondisi negerinya. Dalam proses
interaksi tersebut, para brahmana memperkenalkan kebudayaan yang berasal
dari golongan mereka (brahmana).
Ini didasarkan pada peninggalan kerajaan bercorak Hindu-Buddha,
terutama prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf
Palawa. Di India, bahasa Sansakerta hanya digunakan dalam kitab suci dan
upacara keagamaan. Hanya golongan Brahmana yang menguasai penggunaan
bahasa tersebut.
 Teori Sudra
Teori ini dikemukakan oleh van Faber. Teori Sudra beranggapan
bahwa agama dan kebudayaan Hindu dibawa oleh golongan Sudra atau budak
yang datang ke Indonesia untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Mereka menetap dan terjadilah asimilasi dan akulturasi dengan
penduduk sekitar. Lambat laun masyarakat yang pada awalnya memeluk
Animisme dan Dinamisme berganti memeluk agama Hindu atau Buddha.
 Teori Arus Balik
Menurut F.D.K. Bosch, masyarakat Indonesia tidak hanya menerima
pengetahuan agama dari orang asing yang datang. Kebudayaan Hindu yang masuk
ke Indonesia itu adalah atas inisiatif dari bangsa Indonesia sendiri.
Sebab banyak orang dari Nusantara yang sengaja datang ke India untuk
berziarah dan belajar agama Hindu-Buddha. Setelah kembali ke Nusantara mereka
lalu menyebarkan ajaran yang mereka dapatkan. Prof. Dr. Sutjipto Wiljo Suparto
mengemukakan bahwa raja-raja yang tercantum dalam prasasti bukanlah orang
India, melainkan orang Indonesia sendiri.

2. Peta Penyebaran dan Persebaran Hindu dan Budha di Wilayah - Wilayah 


Indonesia (Nusantara)
Proses penyebaran agama Buddha dilakukan oleh para Dharmaduta yang
bertugas untuk menyebarkan Dharma atau ajaran Buddha ke seluruh dunia.
Penyebaran agama Buddha di Indonesia dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri
yang belajar di India dan menjadi Bhiksu kemudian menyebarkan ajarannya di
Nusantara.
Untuk di daerah pulau Jawa, agama Buddha datang pada Abad ke-5 yang
disebarkan oleh pangeran Khasmir (bernama Gunadharma). Pada abad ke-9,
penyebaran Agama Buddha dilakukan oleh pendeta-pendeta dari wilayah India
yaitu Gaudidwipa (benggala) dan Gujaradesa (Gujarat).
Bukti tertua adanya pengaruh Buddha India di Indonesia adalah dengan
ditemukannya Arca Buddha dari perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan. Antara
abad ke 4 hingga abad ke 16 di berbagai wilayah nusantara berdiri berbagai
kerajaan yang bercorak agama Hindu dan Buddha.
3. Masa Kejayaan dan Keruntuhan  Kerajaan-kerajaan Hindu Budha Di Nusantara
 Kerajaan Mataram

 Masa Kebesaran Mataram

Bagaimana kelanjutan Kerajaan Mataram setelah Rakai Pikatan? Pada


tahun 856 M Kayuwangi atau Dyah Lokapala menggantikan Pikatan. Salah
satu raja terkenal dan terbesar Mataram adalah Raja Balitung(898 - 911 M )
dengan gelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmadya
Mahasambu. Salah satu kebesarannya dibuktikan dengan bangunan candi
yang sangat besar dan indah. Candi tersebut tidak asing bagi kalian, yakni
Candi Prambanan
 Keruntuhan Mataram
Dengan semakin berkembangnya kerajaan Sriwijaya Mataram
mengalami penurunan. Keruntuhan Mataram juga dihubungkan dengan faktor
alam. Pada awal abad XI, gunung Merapi meletus dengan dahsyat. Letusan
Gunung Merapi diperkirakan banyak mengubur berbagai bangunan penting
kerajaan Mataram. Selain itu berbagai penyakit dan kegagalan pertanian
mendorong para tokoh Kerajaan Mataram untuk memindahkan kerajaan.
Karena itulah akhirnya dinasti Mataram melakukan perpindahan tempat ke
Jawa Timur. Di Jawa Timur keluarga ini membentuk keluarga Isyana
(Wangsa Isyana). Bagaimana perkembangan Wangsa Isyana, akan kita
pelajari pada bagian selanjutnya.
 Kerajaan Sriwijaya

Perkembangan Kerajaan Sriwijaya


 Sebagai Negara Maritim
Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo pada abad ke-7, menyebut Dapunta
Hyang melakukan usaha perluasan daerah. Bebrapa daerah seperti Tulang-
Bawang (Lampung), Kedah (Semenanjung Melayu), Pulau Bangka, Daerah
Jambi, bahkan sampai Tanah Genting Kra. Dengan demikian Sriwijaya
mempunyai kekuasaan sampai di negeri Malaysia pada saat ini. Tetapi usaha
Sriwijaya menaklukkan Jawa tidak berhasil.
Balaputradewa adalah putra dari Raja Samarotungga dengan Dewi Tara. Ia
memerintah sekitar abad ke-9 M. Wilayah kekuasaan Sriwijaya antara lain
Sumatra dan pulau-pulau sekitar Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, sebagian
Kalimantan, Semenanjung Melayu, dan hampir seluruh perairan Nusantara.
Itulah sebabnya, Sriwijaya kemudian dikenal sebagai negara nasional yang
pertama. Sriwijaya adalah negara Maritim, sehingga daerah kekuasaannya
sebagian besar adalah wilayah pantai. Sebagai kerajaan Maritim, Sriwijaya
membentuk armada angkatan laut yang kuat.

 Sriwijaya sebagai Pusat Studi Agama Buddha


Sriwijaya menjadi pusat studi agama Budha Mahayana di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat dengan
Kerajaan Benggala dari India Raja Dewapala Dewa. Raja ini menghadiahkan
sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi
para pelajar dan mahasiswa yang sedang belajar di Nalanda.
Sriwijaya menjadi salah satu pusat pendidikan di Asia Tenggara. Hal
ini dibuktikan bahwa banyak mahasiswa asing yang juga belajar di Sriwijaya.
Mahasiswa yang ingin belajar ke India, biasanya mampir ke Sriwijaya
terlebih dahulu untuk belajar Bahasa Sanskerta. Para mahasiswa tersebut
umumnya berasal dari Asia Timur.
Bukti tentang cerita di atas adalah berita I-tsing, yang menyebutkan
bahwa di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar (mahasiswa) agama
Budha. Salah seorang pendeta Budha yang terkenal adalah Sakyakirti.

Keruntuhan Sriwijaya

Terdapat beberapa penyebab kemunduran Kerajaan Sriwijaya, di


antaranya:
a. Perubahan kondisi alam. Pusat kerajaan Sriwijaya semakin jauh dari
pantai akibat pengendapan lumpur. Pendangkalan Sungai Musi yang terus
menyebabkan air laut semakin jauh karena terbentuknya daratan-daratan baru.
b. Mundurnya angkatan laut, sehingga banyak daerah kekuasaan
melepaskan diri.
c. Beberapa kali Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan lain. Tahun
1017 M Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala.
Tahun 1025 serangan itu diulangi, sehingga Raja Sriwijaya Sri
Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun
1275, Raja Kertanegara dari Singasari melakukan ekspedisi Pamalayu. Hal itu
menyebabkan daerah Melayu lepas dari kekuasaan Sriwijaya. Tahun 1377 armada
angkatan laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat
Kerajaan Sriwijaya.

4. Masa Penjajahan , Kemerdekaan sampai Sekarang (Abad 21)

Menjelang akhir abad ke-19, kehidupan rakyat Indonesia tidak membaik,


meskipun terlihat ada upaya dari pemerintah kolonial Belanda untuk memperbaiki
keadaan tersebut sejak era Tanam Paksa dihapus pada tahun 1870. Melihat
kenyataan ini, beberapa tokoh Belanda mulai menyuarakan agar pemerintah
Kerajaan Belanda lebih serius memperhatikan nasib rakyat di tanah jajahan.
Diantara tokoh yang terpenting adalah C.Th. Van Deventer. Dalam majalah De
Gids pada tahun 1899, ia menulis tulisan berjudul “Een Eereschlud’ (Satu Hutang
Kehormatan). Menurutnya, pemerintah Belanda telah begitu lama mengambil
untung besar dari wilayah jajahan, sementara rakyat pribumi tetap menderita.
Karenanya, pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral untuk melakukan
balas budi melalui perbaikan kesejahteraan penduduk.
Kritik Van Deventer ternyata disambut oleh banyak kalangan. Ratu
Belanda, Wilhelmina, bahkan akhirnya mengeluarkan kebijakan baru sebagai
“balas budi” bagi masyarakat Hindia Belanda, yang dinamakan Politik Etis.
Politik Etis yang dicanangkan pemerintah Belanda pada awal abad ke-20,
membuka babak baru di Hindia Belanda. Melalui tiga program utamanya, yaitu
irigasi, edukasi, dan emigrasi (transmigrasi), Politik Etis diharapkan dapat
membawa perubahan besar berupa “kemajuan” di Hindia Belanda. Akan tetapi,
meskipun program ini terlihat bagus, dalam praktiknya tetap disalahgunakan bagi
kepentingan dan keuntungan pemerintah kolonial Belanda. Dampak berbeda lebih
terlihat di bidang pendidikan. Di bidang ini memang tetap berlangsung
penyimpangan dari tujuan semula. Ketimbang “membalas budi”, pendidikan
misalnya, justru lebih ditujukan untuk mendapatkan tenaga cakap administrasi
yang murah. Selain itu, pendidikan tetap terdiskriminasi dengan utamanya hanya
diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri dan penduduk yang mampu. Di luar
penyimpangan tersebut, pembangunan sekolah-sekolah dengan pendidikan gaya
Barat yang dilakukan Belanda selama masa politik etis, ternyata berhasil
membuka peluang bagi mobilitas sosial masyarakat di Hindia/Indonesia serta
memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memiliki kesadaran,
bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk
mencapai kemajuan.

Hingga akhir Perang Dunia I, kebijakan baru dalam bidang pendidikan


tersebut menghasilkan lulusan dengan jumlah yang semakin meningkat. Dalam
beberapa tahun setelah perang, mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri
Belanda semakin banyak dibanding jumlah sebelumnya. Banyak diantara mereka
yang lebih memiliki kesadaran politik dari pada angkatan sebelumnya (Ingleson,
1988 : 1). Golongan intelektual bumiputra “baru” ini tidak memandang suku, ras,
agama sebagai perbedaan. Mereka lebih merasa bersama sebagai kaum bumiputra
yang tertindas. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan dalam kehidupan
setelah lulus sangat berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para kaum muda
terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai
bumiputra di Hindia. Merekalah kaum penggerak dari zaman baru Indonesia,
zaman Pergerakan Nasional.

Perjuangan di masa Pergerakan Nasional yang digerakkan oleh kalangan


terdidik ini dilakukan melalui pembentukan organisasi-organisasi modern yang,
tentu saja, berbeda dengan bentuk perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia
sebelumnya. Perjuangan bersenjata bersifat kedaerahan yang dipimpin oleh ulama
atau bangsawan mulai ditinggalkan. Organisasi yang dibentukpun tidak hanya
terbatas bergerak dalam bidang politik melainkan juga pendidikan dan sosial.
Maka berdirilah berbagai organisasi modern sejak awal abad ke-20 di Indonesia.

Setidaknya terdapat dua hal penting dalam kebangkitan dan pergerakan


nasional bangsa Indonesia pada awal abad ke-20, yang berujung pada
kemerdekaan bangsa ini pada setengah abad setelahnya. Pertama, adanya peran
penting pendidikan. Kedua, tumbuhnya organisasi-organisasi di berbagai bidang
seperti politik, sosial dan agama, yang memiliki semangat sama, yaitu
mengedepankan kemajuan, persatuan dan kebangsaan Indonesia.
Kedua hal ini menjadi semakin penting, terutama ketika kita berbicara
tentang konteks kebangsaan Indonesia pada masa sekarang. Kini, kita berada pada
dasawarsa kedua abad ke-21. Satu abad yang lalu, gemuruh kebangkitan nasional
tengah ditabuh, yang akarnya berada pada perubahan di pergantian abad. Ada
banyak harapan di sana, sama halnya dengan pergantian abad pada masa sekarang
yang juga ditandai dengan harapan-harapan baru seiring tumbangnya
pemerintahan Orde Baru yang diagantikan Orde Reformasi. Terkandung di
dalamnya, keinginan besar untuk menjadikan bangsa dan negara Indonesia
menjadi semakin baik.

Sayangnya, hingga hampir 20 tahun sejak Gerakan Reformasi


berlangsung, berbagai persoalan bangsa masih mendera. Pendidikan, yang
memiliki peran penting bagi kebangkitan nasional pada satu abad yang lalu, di
masa kini masih memiliki banyak hambatan dan kendala. Sementara semangat
persatuan dalam keberagaman yang digerakkan oleh beragam organisasi pada satu
abad yang lalu juga, di masa kini masih sempat tercabik oleh konflik. Globalisasi
dan pengaruh ideologi asing bila tidak disikapi hati-hati berpotensi menggerus
kesadaran kebangsaan. Maka menjadi penting di sini merefleksikan kembali
bagaimana hal-hal tersebut : pendidikan, semangat persatuan dan kesadaran
kebangsaan dari berbagai organisasi pergerakan nasional di masa lalu, menjadi
penggerak serta nilai penting bagi kemajuan Indonesia kini dan untuk masa depan.

Sejarah, bagaimanapun, memberikan pada kita refleksi kritis yang melintas


waktu : masa lalu hingga masa kini dan demi masa depan. Memahami bagaimana
kemungkinan Indonesia di masa depan, tidak bisa tidak, kita harus
memandangnya dengan pemahaman yang dalam tentang bagaimana Indonesia di
masa lalu (Kuntjoro-Jakti, 2012 : hlm. 3-12).

Abad Baru yang Berubah


Pada permulaan abad ke-20, kebijakan penjajahan Belanda mengalami
perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Kekuasaannya
memperoleh definisi kewilayahan baru dengan selesainya upaya-upaya
penaklukan yang dilakukan Belanda sebelumnya. Kebijakan kolonial Belanda
tersebut kini juga memiliki tujuan baru. Eksploitasi terhadap Indonesia mulai
kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda, dan digantikan dengan
pernyataan-pernyataan keperihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia.
Kebijakan ini dinamakan “Politik Etis”. Masa di mana kebijakan ini muncul
melahirkan perubahan-perubahan yang begitu mendasarnya di lingkungan
penjajahan sehingga orang tidak akan dapat memahami sejarah Indonesia pada
awal abad ke-20 tanpa mengacu pada kebijakan etis. Sebenarnya, dalam
kebijakan-kebijakan politik etis terdapat lebih banyak janji daripada pelaksanaan.
Fakta-fakta penting tentang eksploitasi dan penaklukan sesungguhnya tidak
berubah, tetapi ini tidak mengurangi arti penting zaman penjajahan baru ini.
(Ricklefs, 2010 : 327).

Salah satu yang berubah adalah dalam bidang pendidikan. Politik Etis
bagaimanapun telah menumbuhkan banyak sekolah dan lembaga pendidikan pada
awal abad ke-20 di Hindia Belanda.

Sampai pertengahan abad ke-19 saja, pendidikan milik pemerintah hanya


diperuntukkan bagi anak-anak Eropa, yang sebagian besar, sekitar 80% adalah
orang Indo. Hanya beberapa anak laki laki dari elit pribumi diperkenankan masuk
Sekolah Dasar Eropa (Europese Lagere School, ELS). Pada tahun 1850 hanya ada
50 anak pribumi dari 3.500 murid. (Groeneboer, 1999 : 33).
Akan tetapi penerapan Politik Etis di Hindia Belanda pada awal abad ke-
20 telah memberi dampak penting pada lahirnya banyak sekolah dengan sistem
pendidikan Eropa di Indonesia. Hal ini mengubah sistem pendidikan yang telah
berlangsung selama berabad-abad di wilayah kepulauan nusantara. Maka
pendidikan di Hindia Belandapun mengalami kemajuan dengan diperbanyaknya
sekolah-sekolah sesuai dengan jenjang tingkatan pendidikan.

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://staffnew.uny.ac.id/upload/132319840/pendidikan/sejara
h-indonesia-hindu-
budha.pdf&ved=2ahUKEwivia6dnPPyAhWXXCsKHQV9AUYQFnoECEYQAQ&usg=AOv
Vaw3wpSrUcdtYyh2l8tL6fVvX

Anda mungkin juga menyukai