“Tubuh saya adalah milik saya sendiri, tetapi tanpa negara kita dapat mereka (laki-
laki) miliki. Pada suatu peristiwa mereka memasukkan saya ke dalam penjara
karena saya menampik salah seorang dari tokoh-tokoh penting itu. Lalu saya
menyewa seorang pengacara yang ternama dengan biaya yang amat besar. Tak lama
kemudian saya dibebaskan dari segala tuduhan tanpa tuntutan. Pengadilan telah
memutuskan bahwa saya adalah seorang wanita yang terhormat. Kini, saya telah
belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk
membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa
kehilangan kehormatan seseorang. Sebuah lingkaran setan yang berputar-putar,
menyeret saya naik dan turun bersamanya.” Kutipan yang saya baca dari buku
Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi tersebut telah memberikan
gambaran awal pada saya mengenai pahitnya budaya patriarki di Timur Tengah.
Berawal dari buku tersebut pula, saya mengawali perjalanan dalam mempelajari
dan memahami kedudukan perempuan pada sistem sosial dan hubungannya dengan
hierarki kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehari-hari, orang tua khususnya para Ibu terbiasa menanamkan pada anak
perempuannya untuk menjaga diri, tidak keluar dari rumah pada malam hari,
mengenakan pakaian yang tertutup, belajar memasak dan melakukan pekerjaan
rumah tangga lainnya karena suatu saat perempuan akan sampai pada fase hidup
yang begitu “berbeda” sebagai seorang isteri. Pada awalnya, saya merasa budaya
tersebut telah membentuk dan menuntut perempuan atas kewajiban-kewajibannya
yang telah dijadikan wahana kaum laki-laki untuk memperbudak dan melakukan
hal-hal yang di luar hak mereka. Kenyataan seringkali menyatakan demikian
terlebih dalam budaya patriarki. Kenyataan ini juga melahirkan pandangan dalam
diri saya akan ketidakpantasan diadakannya selebrasi pernikahan apabila akan
membebani perempuan akan ketundukan pada suami yang hanya berdasarkan pada
perbedaan kelamin biologis.
Kemudian, saya membaca buku Hak-Hak Wanita dalam Islam karya Murtadha
Muthahhari guna meluruskan pandangan saya berdasarkan agama, di mana saya
merasa agama saya berperan besar dalam membentuk pandangan saya akan
kedudukan wanita terlebih setelah Muhammad melahirkan Fathimah di saat kaum
Arab mengubur perempuan karena malu dan juga menikahi Khadijah yang
merupakan perempuan pengusaha. Sesungguhnya Muhammad telah memecahkan
stigamatisasi pada zaman itu dan juga perkataan bahwa Islam tidak
memperbolehkan perempuan untuk bekerja. Dalam buku tersebut, disebutkan
bahwa gerakan modernisasi telah menuntut “persamaan” kedudukan wanita dan
laki-laki dalam berbagai sisi yang justru gerakan tersebut menjadi bumerang karena
kegagalan dalam memahami adanya perbedaan pembawaan dan fitrah antar
keduanya. Perbedaan, bukan pembedaan. Sikap tak acuh terhadap pembawaan dan
fitrah wanita justru telah mendorong pemerkosaan terhadap hak-haknya. Contoh
terdekat ketidakacuhan ini adalah memberikan kapasitas waktu dan beban
pekerjaan yang sama untuk perempuan dan laki-laki ketika perempuan secara
biologis memiliki kondisi khusus seperti menstruasi bulanan dan kesusahan ketika
hamil yang menempatkan perempuan dalam situasi di mana ia selayaknya
memperoleh perlindungan. Sebagian menganggap itu sebagai kekurangan
perempuan dan kelebihan laki-laki. Anggapan inilah yang menjadi akibat
menyesalkan dari kesetaraan atau equality yang diperjuangkan perempuan selama
ini. Sehingga bagi saya, kesetaraan gender yang mesti diperjuangkan saat ini adalah
mengembalikan wanita kepada fitrahnya dan juga memberikan perlindungan yang
pantas untuk wanita, salah satunya dengan mengesahkan RUU PKS.
Referensi :
Sa'adāwī, N., 2006. Perempuan Di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
pp.132-133.
Muthahhari, M. 2000. Hak-Hak Wanita Dalam Islam. Jakarta: Redaksi Lentera, pp.
xi-xiv