Anda di halaman 1dari 4

Esai Opini

Pemahaman Dasar Gender, Maskulinitas, dan Equality


Fathimah Aqiyla/FKM/2106635606

“Tubuh saya adalah milik saya sendiri, tetapi tanpa negara kita dapat mereka (laki-
laki) miliki. Pada suatu peristiwa mereka memasukkan saya ke dalam penjara
karena saya menampik salah seorang dari tokoh-tokoh penting itu. Lalu saya
menyewa seorang pengacara yang ternama dengan biaya yang amat besar. Tak lama
kemudian saya dibebaskan dari segala tuduhan tanpa tuntutan. Pengadilan telah
memutuskan bahwa saya adalah seorang wanita yang terhormat. Kini, saya telah
belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk
membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa
kehilangan kehormatan seseorang. Sebuah lingkaran setan yang berputar-putar,
menyeret saya naik dan turun bersamanya.” Kutipan yang saya baca dari buku
Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi tersebut telah memberikan
gambaran awal pada saya mengenai pahitnya budaya patriarki di Timur Tengah.
Berawal dari buku tersebut pula, saya mengawali perjalanan dalam mempelajari
dan memahami kedudukan perempuan pada sistem sosial dan hubungannya dengan
hierarki kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Sehari-hari, orang tua khususnya para Ibu terbiasa menanamkan pada anak
perempuannya untuk menjaga diri, tidak keluar dari rumah pada malam hari,
mengenakan pakaian yang tertutup, belajar memasak dan melakukan pekerjaan
rumah tangga lainnya karena suatu saat perempuan akan sampai pada fase hidup
yang begitu “berbeda” sebagai seorang isteri. Pada awalnya, saya merasa budaya
tersebut telah membentuk dan menuntut perempuan atas kewajiban-kewajibannya
yang telah dijadikan wahana kaum laki-laki untuk memperbudak dan melakukan
hal-hal yang di luar hak mereka. Kenyataan seringkali menyatakan demikian
terlebih dalam budaya patriarki. Kenyataan ini juga melahirkan pandangan dalam
diri saya akan ketidakpantasan diadakannya selebrasi pernikahan apabila akan
membebani perempuan akan ketundukan pada suami yang hanya berdasarkan pada
perbedaan kelamin biologis.
Kemudian, saya membaca buku Hak-Hak Wanita dalam Islam karya Murtadha
Muthahhari guna meluruskan pandangan saya berdasarkan agama, di mana saya
merasa agama saya berperan besar dalam membentuk pandangan saya akan
kedudukan wanita terlebih setelah Muhammad melahirkan Fathimah di saat kaum
Arab mengubur perempuan karena malu dan juga menikahi Khadijah yang
merupakan perempuan pengusaha. Sesungguhnya Muhammad telah memecahkan
stigamatisasi pada zaman itu dan juga perkataan bahwa Islam tidak
memperbolehkan perempuan untuk bekerja. Dalam buku tersebut, disebutkan
bahwa gerakan modernisasi telah menuntut “persamaan” kedudukan wanita dan
laki-laki dalam berbagai sisi yang justru gerakan tersebut menjadi bumerang karena
kegagalan dalam memahami adanya perbedaan pembawaan dan fitrah antar
keduanya. Perbedaan, bukan pembedaan. Sikap tak acuh terhadap pembawaan dan
fitrah wanita justru telah mendorong pemerkosaan terhadap hak-haknya. Contoh
terdekat ketidakacuhan ini adalah memberikan kapasitas waktu dan beban
pekerjaan yang sama untuk perempuan dan laki-laki ketika perempuan secara
biologis memiliki kondisi khusus seperti menstruasi bulanan dan kesusahan ketika
hamil yang menempatkan perempuan dalam situasi di mana ia selayaknya
memperoleh perlindungan. Sebagian menganggap itu sebagai kekurangan
perempuan dan kelebihan laki-laki. Anggapan inilah yang menjadi akibat
menyesalkan dari kesetaraan atau equality yang diperjuangkan perempuan selama
ini. Sehingga bagi saya, kesetaraan gender yang mesti diperjuangkan saat ini adalah
mengembalikan wanita kepada fitrahnya dan juga memberikan perlindungan yang
pantas untuk wanita, salah satunya dengan mengesahkan RUU PKS.

Di Indonesia sendiri, status pernikahan telah lama menjadi tantangan untuk


mengangkat kasus KDRT sebagai kasus kekerasan seksual. Dari sejumlah 8.234
kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis
kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di Ranah Personal
(RP) atau disebut KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/ Ranah Personal)
sebanyak 79% (6.480 kasus). Diantaranya terdapat Kekerasan Terhadap Istri (KTI)
menempati peringkat pertama 3.221 kasus (50%), disusul kekerasan dalam pacaran
1.309 kasus (20%) yang menempati posisi kedua. Posisi ketiga adalah kekerasan
terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (15%), sisanya adalah kekerasan
oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga
(Komnas Perempuan, 2021).

Praktik kekerasan seksual seperti kontrol seksual, intimidasi seksual, penghukuman


bernuansa seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan penghamilan dan/atau
kontrasepsi, bahkan perkosaan sangatlah mungkin terjadi dalam rumah tangga.
Anak yang melihat dan mengamati saat kekerasan terjadi, dapat memiliki
pandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan biasa terjadi dan mereka
diperbolehkan untuk melakukan hal sedemikian pula. Peristiwa yang berasal dari
lingkungan keluarga saja ini dapat berakibat besar pada praktik kekerasan seksual
pada skala besar di lingkungan sosial dari generasi ke generasi. Lebih miris lagi
apabila kekerasan seksual diteruskan hingga seseorang mencapai kedudukan
tertentu dalam pemerintahan. Hal ini juga akan berakibat besar terhadap bias gender
dan bagaimana anak-anak Indonesia menyikapi kesetaraan gender. Peran
pendidikan selanjutnya sangatlah dibutuhkan untuk menghentikan hal ini terjadi.
Walaupun dimensi kesetaraan ini berada diluar sistem pendidikan, pencapaian
kesetaraan akan memberikan kontribusi terhadap sektor lainnya dengan adanya
pemahaman dasar mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di setiap
aktivitas kehidupan.

Problematika kekerasan seksual pada hukum Indonesia menuntut adanya instrumen


hukum kasus pencegahan kekerasan seksual. Payung hukum untuk kekerasan
seksual yang ada dalam KUHP memposisikan kekerasan seksual sebagai kejahatan
kesusilaan dan bukan hukum tersendiri. Urgensi hukum tersendiri ini dipicu oleh
kesulitan prosedur pembuktian penyelidikan, salah satunya keharusan pemenuhan
alat bukti yang sah pada pasal 184 KUHAP. Padahal, kasus kekerasan seksual
umumnya terjadi di ruang privat, tertutup, dan tidak ada saksi kecuali saksi korban.
Sehingga adanya RUU PKS sebagai hukum tersendiri akan memberikan
penyelesaian dengan menyediakan payung hukum bagi pemulihan dan restitusi
korban, rehabilitas pelaku, dan acara pidana yang khusus serta disesuaikan dengan
berkembangnya modus kekerasan seksual pada zaman ini.

Perjuangan menuju kesetaraan gender memerlukan partisipasi setiap manusia


Indonesia. Sesungguhnya kesetaraan gender adalah bagian dari hak asasi manusia.
Mustahil mempraktikkan hak asasi apabila mengabaikan kesetaraan gender.
Gerakan sosial dalam memperjuangkan kesetaraan gender ini perlu dilakukan
secara bersama-sama dan senantiasa bersama-sama. Gerakan ini mencakup
perubahan konstruktif terhadap tata sosial, budaya (bahasa, sistem
kepercayaan/sistem religi), dan politik (sistem representasi) yang diskriminatif.
Apabila dilakukan berkelanjutan seperti itu, gerakan sosial ini dapat menghantarkan
terbentuknya masyarakat baru yang adil dan setara dalam berbagai aspek
kehidupan.

Referensi :

Sa'adāwī, N., 2006. Perempuan Di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
pp.132-133.

Muthahhari, M. 2000. Hak-Hak Wanita Dalam Islam. Jakarta: Redaksi Lentera, pp.
xi-xiv

L. G. Saraswati Putri Dewi. 2021. Mengkaji Gender dan Problem Ketidaksetaraan.


PPT Kelas Brigade II 2021.

Komnas Perempuan. 2021. Siaran Pers: CATAHU 2020 Komnas Perempuan:


Lembar Fakta dan Poin Kunci (5 Maret 2021). Perempuan dalam Himpitan
Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, dan
Keterbatasan Penanganan di Tengah Covid-19. [online] Tersedia di:
<https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-
perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021> [Diakses 11 Oktober
2021].

Kementerian Hukum dan HAM. 2015. Rancangan Undang-Undang Pencegahan


Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Anda mungkin juga menyukai