Anda di halaman 1dari 5

Lembar Tugas Mahasiswa

“Komunikasi Interprofesional (Mitra Kerja) pada Pelayanan Kesehatan"

Komkes 17-FG 2
Fathimah Aqiyla
Komunikasi Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia 
Depok 
2021
A. Pendahuluan

Dalam komunikasi kesehatan, diperlukan kerja sama antar tenaga kesehatan untuk mencapai
tujuan utamanya, yakni mengubah perilaku masyarakat dalam menyikapi kesehatan yang
selanjutnya akan berpengaruh pula kepada peningkatan kualitas derajat kesehatan
masyarakat. Dalam UU No. 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, dalam pasal 1
didefinisikan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Dalam pasal 11 pula disebutkan bahwa tenaga kesehatan meliputi tenaga medis,
tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik,
tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga
kesehatan lain. Dalam melakukan pekerjaannya, Institute of Medicine (IOM) dan World
Health Organization (WHO) menyarankan bentuk kerja sama antar tenaga kesehatan
profesional melalui Interprofessional Collaboration (IPC) untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan. Kolaborasi Interprofesional atau Interprofessional Collaboration (IPC) adalah
kemitraan antara orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk
memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan
tidak mampu bekerja optimal tanpa adanya koordinasi antara tenaga kesehatan karena
masing-masing bidang saling berkesinambungan satu sama lain baik untuk upaya preventif
maupun rehabilitatif.

IPC ada untuk menegaskan pentingnya koordinasi antar tenaga kesehatan dalam menjalankan
program yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Apabila komunikasi
interprofesional berjalan efektif, kesalahpahaman yang mungkin terjadi atau medical error
dapat terhindarkan. Berdasarkan data dari Insiden Keselamatan Pasien Nasional (IKPN),
disebutkan bahwa permasalahan yang paling utama dan dominan dari insiden keselamatan
pasien adalah komunikasi. Oleh karena banyaknya kejadian tersebut, komunikasi efektif
dimasukkan dalam sasaran keselamatan pasien. Komunikasi efektif sendiri merupakan
komunikasi yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan dipahami oleh penerima sehingga
dapat mengurangi kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien.

Sebelum menjalankan komunikasi interprofesional, tenaga kesehatan harus terlebih dahulu


mengetahui manfaat apa saja yang berusaha dicapai dan akan diperoleh dari komunikasi antar
mitra kesehatan serta memerhatikan hal-hal yang menjadi fokus perhatian dalam komunikasi
peer/mitra kesehatan. Pembahasan topik selanjutnya akan berfokus pada dua hal tersebut
karena dipercaya akan meningkatkan kesadaran tenaga kesehatan akan pentingnya
komunikasi interprofesional dan melaksanakannya demi mencapai sebaik-baiknya manfaat.

B. Pembahasan Topik

A. Manfaat Komunikasi pada Peer/Mitra Kerja dalam Bidang Kesehatan


Menurut Sargeant (2008), manfaat yang diperoleh dari komunikasi interprofesional
tenaga kesehatan adalah:
1. Meningkatkan kualitas dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap
pasien
Melalui manajemen pelayanan kesehatan dengan melibatkan tenaga kesehatan
dari berbagai bidang, peningkatan kualitas kesehatan akan berjalan secara
optimal. Manajemen ini meliputi pembentukan tim, proses tim yang
difasilitasi, kolaborasi, konsultasi, delegasi, supervisi dan kepemimpinan.
Proses sinergis ini jika berjalan secara efektif akan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan.
2. Meminimalisir masalah-masalah yang berkenaan dengan kebutuhan kesehatan
pasien
Kebutuhan kesehatan pasien meliputi partisipasi berbagai bidang, seperti
monitoring dari dokter ataupun pelayanan pengobatan dari apoteker. Apabila
kebutuhan telah tersampaikan kepada tenaga kesehatan yang bersangkutan
secara menyeluruh, informasi yang terintegrasi dari masing-masing tenaga
kesehatan akan mampu meminimalisir masalah kebutuhan kesehatan pasien.
3. Meningkatkan pemahaman kontribusi setiap anggota tenaga kesehatan
sehingga dapat berkontribusi sesuai bidang masing-masing
Seringkali tenaga kesehatan tidak memahami posisi ataupun ranah
kontribusinya dalam suatu program kesehatan. Hal ini menjadi penghambat
tercapainya peningkatan derajat kualitas kesehatan karena pada kenyataannya,
setiap kontribusi yang diberikan dari berbagai bidang profesi adalah setara dan
sama pentingnya. Kehilangan satu komponen saja akan menghambat
penyelesaian masalah kesehatan hingga akarnya. Misalnya, dalam menyikapi
COVID-19, dibutuhkan pendekatan sosial, kultural, dan ekonomi yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan masyarakat untuk mengurangi peningkatan
kasus. Jika kehilangan tenaga kesehatan masyarakat, kenaikan kasus yang
terjadi secara berangsur akan memberikan dampak yang signifikan pada
ketersediaan fasilitas kesehatan dan juga tenaga kesehatan yang beroperasi
karena jumlah pasien yang tidak terkendali.
4. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, menghargai, dan memahami orang
lain khususnya antar anggota tim kesehatan
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, komunikasi berbasis
interaksi sosial dan terapeutik akan mampu membangun kepercayaan dan juga
memperkuat hubungan antar tenaga kesehatan. Selain itu, budaya saling
menghargai dan memahami juga akan menyokong kenyamanan
berkomunikasi ketika proses melaksanakan program kesehatan.

B. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Komunikasi Peer/Mitra Kesehatan


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jamiu O Busari, Franka M Moll, dan
Ashley J Duits pada tahun 2017 di rumah sakit St. Elisabeth Hospital Curaçao, pulau
Karibian, mereka mengelompokkan tiga domain yang menjadi perhatian dalam
komunikasi antar tenaga kesehatan, yaitu:
1. Standardisasi
Standardisasi yang dimaksud adalah keseragaman dalam menjalankan tugas
dan menegakkan prosedur. Contoh dari standardisasi adalah cara menyikapi
kritik dan budaya yang berbeda, persetujuan yang jelas terkait program, dan
melarang penggunaan istilah medis kepada pasien. Dalam kasus di mana
prosedur tidak ditegakkan, ada risiko serius yang akan terjadi. Dari sudut
pandang perawat, ketidakjelasan rencana perawatan pasien menjadi kendala
utama. Perjanjian yang ada dengan departemen lain (laboratorium, radiologi)
tidak dapat ditegakkan dan menghambat kerjasama. Efek yang selanjutnya
mungkin terjadi adalah kehilangan motivasi, perselisihan, dan isolasi yang
mengakibatkan perawatan pasien kurang optimal. Dari sudut pandang dokter,
hambatan utama terkait standardisasi adalah pencarian informasi yang
memakan waktu (yang seringkali tidak lengkap), kurangnya kebijakan
departemen yang jelas, dan kurangnya kedekatan dengan perawat.
2. Kesinambungan
Kesinambungan yang dimaksud adalah dalam proses memelihara dan berbagi
pengetahuan. Dari sudut pandang perawat, mereka mengalami kurangnya
pengetahuan yang dibagi antara mereka dengan dokter spesialis dan magang.
Mereka merasakan pendekatan yang tidak jelas dalam rencana perawatan
karena struktur hierarki hubungan profesional dokter, yang mendorong
hubungan sepihak. Akibatnya, pengetahuan dan pengalaman yang dirasakan
perawat tidak dibagikan secara efektif dengan dokter. Dokter cenderung
melakukan prosedur dan mencari solusi untuk masalah secara individu
daripada secara kolektif dalam tim. Kemungkinan efek terhadap perawatan
pasien yang kurang optimal sebagai akibat dari pengetahuan perawat yang
tidak tersedia untuk dokter adalah kurangnya motivasi pasien untuk sembuh.
3. Kolaborasi
Kolaborasi yang dimaksud adalah berdasarkan rasa hormat profesional.
Hambatan dalam kolaborasi muncul apabila ada kesenjangan pengetahuan
(berdasarkan disiplin ilmu yang berbeda) yang dibiarkan dan akan
menghambat kerjasama dan konsultasi yang optimal untuk program kesehatan
yang akan dijalankan. Sikap ini akan menciptakan ketidaknyamanan dalam
berkomunikasi dan rendahnya motivasi untuk melanjutkan program.
Menyikapi hambatan tersebut, diperlukan adanya komitmen untuk kolaborasi.
Sebab keberhasilan kelompok ditentukan oleh hubungan baik antar tim,
terutama pemimpin tim dengan anggota lain. Pemimpin tim harus selalu
memperhatikan prinsip komunikasi dari WHO :
- Seluruh anggota tim harus bebas mengemukakan dan menjelaskan
pandangan mereka dan harus didorong untuk bertindak seperti itu
- Sebuah pesan atau komunikasi, baik lisan atau tertulis, harus dinyatakan
dengan jelas menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
- Dua unsur komunikasi yaitu pengirim dan penerima pesan harus
dipastikan berkomunikasi secara timbal balik
- Perselisihan atau pertentangan adalah normal dan hal ini telah diatur
sedemikian sehingga dapat mencapai hasil yang konstruktif
Kolaborasi juga harus melibatkan keterampilan komunikasi dasar seperti
kemampuan mendengarkan dan menyampaikan pesan pada saat yang tepat.
Selain itu juga harus melibatkan umpan balik positif seperti komunikasi yang
hangat, saling menghormati, dan saling menghargai satu sama lain.

C. Penutup

Dengan penelaahan yang menyeluruh mengenai manfaat yang akan diperoleh dan hal-hal
yang menjadi perhatian dari komunikasi interprofesional, diharapkan ke depannya sebagai
tenaga kesehatan yang akan berkontribusi dalam derajat kualitas kesehatan masyarakat akan
mampu mengaplikasikan pendekatan yang sesuai dan berfokus kepada hal-hal yang harus
diperhatikan. Selain itu, penjelasan mengenai manfaat diharapkan menumbuhkan kesadaran
akan pentingnya komunikasi interprofesional antar tenaga kesehatan. Pemahaman atas
penjabaran resiko dari luputnya perhatian tenaga kesehatan terhadap hal-hal yang harus
diperhatikan dalam komunikasi interprofesional juga diharapkan dapat menimbulkan
kesadaran untuk menghindar dari resiko tersebut.
Referensi :

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga


Kesehatan
- Nur, H. dan Santoso, A., 2018. Komunikasi Interprofesional Dalam Peningkatan
Keselamatan Pasien: Systematic Review. Jurnal Kepemimpinan dan Manajemen
Keperawatan, 1(1), p.28.
- Purba, Y. dan Anggorowati, A., 2018. Komunikasi Interprofesional Sebagai Upaya
Pengembangan Kolaborasi Interprofesi Di Rumah Sakit: Systematic Review. Jurnal
Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, 1(1), p.35.
- Busari, J., Moll, F. dan Duits, A., 2017. Understanding the impact of interprofessional
collaboration on the quality of care: a case report from a small-scale resource limited
health care environment. Journal of Multidisciplinary Healthcare, vol.10, pp.227-234.

Anda mungkin juga menyukai