Anda di halaman 1dari 5

Kolaborasi adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan

diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaannya. Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional. Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh pertukaran suatu negara dimana pelayanan diberikan. Bagi perawat, hubungan kerjasama dengan dokter sangat penting apabila ingn menunjukkan fungsinya secara independen. Tujuan kolaborasi perawat adalah untuk membahas masalah-masalah tentang klien dan untuk meningkatkan
Universitas Sumatera Utara

pamahaman tentang kontrbusi setiap anggota tim serta untuk mengidentifikasi cara-cara meningkatkan mutu asuhan klien. Agar hubungan kolaborasi dapat optimal, semua anggota profesi harus mempunyai keinginan untuk bekerjasama. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekkan sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagai nilainilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkonstribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat. Hubungan kolaborasi tim kerja di Rumah Sakit

Dokter Perawat Ahli Gizi

Tim satu disiplin ilmu meliputi : tim perawat, tim dokter, tim administrasi, dan lain-lain. Fokus Klien/ Pasien Laboratorium Dll Administrasi IPSRS Radiologi

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok professional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik, jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim
Universitas Sumatera Utara

dalam memberikan pelayanan kesehatan efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai sesama anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang unik dalam tim inter disiplin. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan. Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lain sebagai membuat relevan pemberian pengobatan. Tim multi disiplin meliputi: tim operasi, tim infeksi nasokomial, dan lainlain. Elemen kunci kolaborasi dalam kerjasama tim multidisiplin dapat digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi tim seperti : a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional. b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya. c. Meningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja. d. Meningkatnya kofensifitas antar professional. e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional. f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, menghargai dan memahami orang

lain.
Universitas Sumatera Utara

2.2. Dasar-dasar Komperensi Kolaborasi a. Komunikasi Komunikasi sangat dibutuhkan dalam berkolaborasi, karena kolaborasi membutuhkan pemecahan masalah yang lebih komplek, dibutuhkan komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. b. Respek dan kepercayaan Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupun non verbal serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari. c. Memberikan dan menerima feed back Feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri, emosi, lingkungan serta waktu, feed back juga dapat bersifat negative maupun positif. d. Pengambilan keputusan Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan komunikasi untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif guna menyatukan data kesehatan pasien secara komperensip sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tm. e. Manajemen konflik Untuk menurunkan komplik maka masing-masing anggota harus memahami

peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya. Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kriteria, yaitu: (1) adanya saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima
Universitas Sumatera Utara

keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan professional yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegoisasi. Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling ketergantungan (interdefensasi) untuk kerjasama dan bekerjasama. Bekerjasama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan atau target yang telah ditentukan dapat tercapai. Selain itu menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi antara profesi secara formal tentang asuhan klien. Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika : 1) semua profesi memiliki visi dan misi yang sama, 2) masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerkaannya, 3) anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik, 4) masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang bergabung dalam tim. 2.3 Faktor-faktor Sosial yang Mempengaruhi Komunikasi Adapun faktor-faktor sosial yang mempengaruhi komunikasi meliputi: usia, jenis kelamin, kelas sosial, etnik, status sosial, bahasa, kekuasaan, peraturan sosial, peran sosial.
Universitas Sumatera Utara

2.4. Faktor Penghambat Kolaborasi Perawat dengan Dokter Hubungan perawat-dokter adalah suatu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam memandang pasien, dalam praktiknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan tehnik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologi keilmuan dan individual, faktor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien. Hambatan kolaborasi perawat dengan dokter sering dijumpai pada tingkat professional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian professional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibandingkan perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih mendukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari komplik perawat dengan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap

pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya. Dari hasil observasi peneliti di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara peneliti dengan beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan swasta,
Universitas Sumatera Utara

mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung. Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi. Berkaitan dengan isu kolaborasi dan soal menjalin kerjasama kemitraan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vakosional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter yang sangat komplek. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yaitu : malpraktik medis dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak yang terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan. Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh saran komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komperensip sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tim dalam pengambilan keputusan. Menurut penelitian Charles Amaludin, pelaksanaan kolaborasi perawat dengan dokter di IRNA Non Bedah Dewasa Rumah Sakit Dr.Mohammad Husin
Universitas Sumatera Utara

Palembang tahun 2006 dengan jumlah populasi 90 orang perawat dengan menggunakan tehnik sample nonprobability sampling maka didapat jumlah sampel sebanyak 26 0rang perawat dengan hasil penelitian dikategorikan baik (51,3%) dan frekuensi 13,3.

Anda mungkin juga menyukai