Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh tenaga kesehatan memiliki peran dan tugas masing-masing dalam memberikan

pelayanan kepada pasien sesuai dengan bidang dan disiplin keilmuan. Tentunya hal ini

memiliki kepuasan dan kebanggaan tersendiri dalam berkarya bagi setiap tenaga kesehatan

dari berbagai profesi. Tetapi mereka sering dihadapkan pada masalah yang sama yaitu

mereka tidak dapat berkolaborasi dengan baik sehingga menghambat usaha mereka untuk

membantu pasien.

Salah satu tujuan kolaborasi adalah memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas

dengan menggabungkan keahlian unik dari masing-masing profesi, untuk menggabungkan

keahlian unik ini dibutuhkan kesadaran dan kemampuan dari masing-masing profesi,

kurangnya kesadaran dan kemampuan dalam berkolaborasi dapat menimbulkan dampak yang

buruk terhadap kualitas layanan yang diberikan. Banyak faktor yang memengaruhi atau

menghambat pelaksanaan kolaborasi diantaranya adalah faktor sosial, institusional, faktor

ekonomi, kemampuan klinik dan kemampuan menjalin hubungan interpersonal (Siegler,

2000).

Dalam memahami konsep kolaborasi para ahli teori organisasi menurut Sullivan (1998)

bahwa perilaku dalam penanganan konflik dapat digunakan untuk menilai praktik kolaborasi

yang dapat dilihat dari 2 dimensi yaitu tingkat ketegasan atau asertif dan kerja sama atau

kooperatif. Ketegasan berarti bahwa sampai tingkat mana satu pihak berupaya untuk

memenuhi kepentingannya sendiri, dan kerja sama yang berarti suatu tingkat tertentu di mana
salah satu pihak berupaya untuk memuaskan kepentingan pihak lain. Kolaborasi akan terjalin

dengan baik apabila komponen ketegasan dan kerja sama yang dimiliki perawat dan dokter

adalah baik, sehingga masing-masing berkeinginan untuk memuaskan sepenuhnya

kepentingan dari semua pihak (saling menguntungkan). Apabila ketegasan lebih dominan

dari unsur kerja sama yang muncul hanyalah sebuah persaingan, sedangkan apabila kerja

sama lebih dominan dari ketegasan, seseorang akan tampak takut dan cenderung pada

akomodasi atau menerima instruksi begitu saja.

Keperawatan sebagai salah satu profesi mempunyai kewenangan yang jelas, disiplin ilmu

yang berbeda dengan profesi lain, kedudukan perawat sejajar dengan profesi kesehatan lain.

Sebagai mitra masing-masing profesi harus menghargai profesi lain, konsep ini harus

ditanamkan dalam masing-masing profesi kesehatan, sejak dibangku pendidikan sampai

dengan di lingkungan profesional. Diharapkan dengan meningkatnya pendidikan akan diikuti

dengan peningkatan kompetensi klinis dan kemampuan berkolaborasi. Berdasarkan informasi

diatas, maka penyusun tertarik untuk mempelajari bagaimana pelayanan interdisiplin atau

kolaboratif interprofesionalisme dirumah sakit dalam keperawatan dewasa.

B. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memahami bagaimana pelayanan kesehatan

interdisiplin atau kolaborasi interprofesionalisme dirumah sakit dalam keperawatan dewasa.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian

Interprofessional collaborative practice (IPCP) didefinisikan sebagai suatu kemitraan

antara tim profesional kesehatan dan klien secara partisipatif, pendekatan kolaboratif dan

terkoordinasi untuk berbagi tujuan kesehatan dan sosial serta pengambilan keputusan

masalah (Orchard C, Curran V, & Kabene S., 2005).

Praktik interdisiplin atau kolaborasi interprofesional adalah kerjasama kemitraan dalam

tim kesehatan yang melibatkan antar profesi kesehatan dan pasien, melalui koordinasi dan

kolaborasi untuk pengambilan keputusan bersama seputar masalah kesehatan. Pendekatan

interdisiplin sangat bermanfaat untuk menjembatani tumpang tindihnya peran para praktisi

kesehatan dalam menyelesaikan masalah pasien (Bigley, 2006; Blais et al, 2007).

Tim pelayanan interdisiplin diperlukan untuk menyelesaikan masalah pasien yang

kompleks, meningkatkan efisiensi dan juga kontinuitas asuhan pasien. Proses kerja sama

interdisiplin dapat mengurangi duplikasi dan meningkatkan kualitas asuhan pasien, melalui

tugas dan tanggung jawab serta keterampilan secara komprehensif (WHO, 2009).

Model praktik kolaborasi interprofesional pelayanan kesehatan merupakan tatanan

pelayanan yang dirancang untuk menyelaraskan berbagai profesi kesehatan yang terlibat

(antara lain dokter, perawat, farmasi, dan gizi) dalam memberikan pelayanan kepada pasien

yang menjalani hospitalisasi (Susilaningsih, 2011).

Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa perawatan interdisiplin atau

kolaborasi adalah hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dari berbagai disiplin keilmuan
dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Diantaranya yakni melakukan diskusi tentang

diagnosa, melakukan kerja sama dalam asuhan kesehatan, saling berkonsultasi dengan

masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaannya.

B. Tujuan & Manfaat Praktik Kolaboratif

Menurut Blais, K.K., Hayes S.J., Kozier B., Erb G. (2007) tujuan dari praktik

kolaboratif adalah perawatan klien yang berkualitas tinggi dan kepuasan klien. Selain itu

banyak profesional keperawatan kesehatan meyakini bahwa kerangka kerja kolaboratif

multidisiplin dapat membatasi biaya serta meningkatkan kualitas. Model pkraktik kolaboratif

diinisiasikan untuk mencapai beberapa tujuan:

1. Memberikan perawatan yang berpusat pada klien dengan menggunakan kerangka

kerja multidisipliner yang terintegrasi dan partisipatif

2. Meningkatkan kontinuitas selama perawatan, sejak prehospitalisasi, kondisi akut,

sampai pemulangan dan pemulihan.

3. Meningkatkan kepuasan klien dan keluarga terhadap perwatan

4. Memberikan perawatan yang berkualitas, hemat biaya dan berbasis pada

penelitian yang diarahkan pada hasil.

5. Meningkatkan rasa saling menghargai, komunikasi, dan pemahaman antara klien

dan anggota tim perawat kesehatan

6. Menciptakan sinergi antar klien dan pemberi perawatan

7. Memberikan kesempatan untuk membahas dan memecahkan isu dan masalah yang

berhubungan dengan sistem

8. Membina hubungan interdependen dan pemahaman dikalangan pemberi


perawatan dan klien.

9. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian

unik profesional.

10. Memaksimalkan produktivitas serta efektifitas dan efisiensi sumber daya.

11. Meningkatkan profesionalisme, loyalitas, dan kepuasan kerja.

12. Memberikan kejelasan peran dalam berinteraksi antar tenaga kesehatan profesional.

C. Karakteristik Praktik Kolaborasi

Landasan kegiatan praktik kolaboratif adalah prinsip-prinsip yang bermanfat bagi klien.

Adapaun karakteristik dan keyakinan yang merupakan dasar perawatan kesehatan kolaboratif

meliputi:

1. Klien memiliki hak untuk menentukan sendiri

2. Klien dan profesional kesehatan berinteraksi dalam hubungan yang timbal balik.

Ketergantungan klien dan dominasi profesional diminimalkan, partisipasi klien dalam

proses perawatan kesehatan dimaksimalkan.

3. Kesetaraan antara manusia diharapkan dalam hubungan perawatan kesehatan

4. Tanggung jawab terhadap kesehatan ada pada klien, bukan profesional kesehatan

5. Konsep kesehatan individu penting dan logis untuk individu tersebut

6. Kolaborasi melibatkan negosiasi dan pencapaian konsensus bukan mengajukan

pertanyaan dan memberi perintah.


D. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kolaborasi

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekelompok profesional yang

mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum, dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik

jika terjadi adanya kontribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan

terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi pasien, perawat, dokter, fisioterapis, pekerja sosial,

ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu, tim kolaborasi hendaknya memiliki

komunikasi yang efektif, bertanggung jawab, dan saling menghargai antar sesama anggota

tim.

Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam

pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif.

Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai

pusat anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa perspektif yang unik dalam

interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan dari praktik profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting

antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis dan mengobati. Pada situasi ini dokter

menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering

berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian

pengobatan. Perawat mempunyai peran dalam memberikan asuhan keperawatan secara

komprehensif dari segi fisik, psikologis, sosial dan spiritual.

Selain itu, keluarga serta orang-orang lain yang berpengaruh bagi pasien juga termasuk

pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi. Karena keluarga merupakan orang terdekat dari

pasien atau individu yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap individu. Melalui
keluarga tenaga kesehatan bisa mendapatkan data-data mengenai pasien yang dapat

mempermudah dalam mendiagnosis penyakit dan proses penyembuhan pasien.

E. Peran Perawat sebagai Kolaborator

Peran perawat sebagai kolaborator terdiri dari :

1. Dengan klien

a. Mengakui, medukung dan mendorong keterlibatan aktif pasien dalam

pengambilan keputusan kesehatan.

b. Mendorong rasa otonomi klien dan kesetaraan posisi dengan anggota tim

kesehatan lain

c. Membantu klien menetapkan tujuan dan sasaran yang disepakati untuk

perawatan kesehatan

d. Memberikan konsultasi pada pasien dengan cara kolaboratif

2. Dengan rekan kerja

a. Membagi keahlian personal dengan perawatan lain dan mendapatkan

keterampilan orang lain untuk meningkatkan kualitas pelayanan

b. Membina hubungan rasa saling percaya

3. Dengan profesional Perawat Kesehatan lain

a. Mengakui kontribusi yang diberikan oleh tiap anggota tim antardisiplin karena

keahlian mereka dan gambaran situasi

b. Mendengarkan pandangan tiap individu

c. Membagi tanggung jawab perawatan kesehatan

d. Berpartisipasi dalam penelitian antardisiplin kolaboratif untuk meningkatkan


pengetahuan tentang maslah atau situasi klinik.

F. Standar Praktik Kolaborasi Keperawatan

Merujuk pada standar praktik kolaborasi keperawatan, standar praktik keperawatan

kolaboratif didasarkan pada Standar Praktik Keperawatan Klinis ANA tentang Kolaborasi.

Dalam Standar VI yaitu standar kolaborasi: Perawat berkolaborasi dengan pasien, keluarga

dan pemberi perawatan kesehatan lain dalam memberikan perwatan pasien dengan kriteria

penilaian:

1. Perawat berkomunikasi dengan pasien, keluarga dan pemberi perawatan kesehatan

lain terkait dengan perwatan pasien dan peran keperwatan dalam pemberian

perawatan.

2. Perawat berkolaborasi dengan pasien, keluarga dan pemberi kesehatan lain dalam

merumuskan keseluruhan tujuan dan rencana perawatan dan dalam keputusan yang

terkait dengan perwatan dan pemberi layanan.

3. Perawat berkonsultasi dengan pemberi perawatan lesehatan lain tentang pearwatan

pasien, jika diperlukan.

4. Perawat melakukan rujukan termasuk pemberi kontinuitas pearwatan jika

diperlukan.
G. Model Interdiciplinarry / Collaborative Care

1. Conceptual Model

Pada gambar 1 dijelaskan konsep model pasien center colaborative

care. Berdasarkan gambar tersebut beberapa faktor yang berkaitan dengan konsep

model.

Gambar 1. Conceptual Model

(dikutip dari: Orchard C, Curran V, & Kabene S., 2005)

Faktor Pendukung pelaksanaan Interdisciplinarry/Collaborative Care

a. Klarifikasi peran

Fase ini disebut kejelasan peran yang didasarkan pada pemahaman bahwa semua

anggota kelompok disiplin berperan melalui pengetahuan mereka dalam

menjalankan peran tersebut. Setiap disiplin profesional kesehatan perlu

membahas dan mendapatkan:

1) Pemahaman yang jelas tentang peran mereka sendiri dan keahlian


2) keyakinan pada kemampuan mereka sendiri,

3) pengakuan batas-batas disiplin mereka sendiri,

4) komitmen terhadap nilai dan etika profesi mereka sendiri

5) Pengetahuan tentang standar praktek disiplin mereka sendiri.

Kegiatan untuk membuat kejelasan memerlukan diskusi tentang bentuk peran

dalam keyakinan tertentu dan nilai-nilai yang mendasari batas-batas disiplin

masing- masing disiplin. Klarifikasi peran juga memerlukan pembahasan seputar

partisipasi pasien dalam perawatan kesehatan. Profesional kesehatan dan pasien

awalnya perlu mengeksplorasi pandangan mereka terhadap partisipasi penuh

pasien sebagai anggotatim interdisipliner. Inti untuk kejelasan peran adalah

penerimaan batas-batas peran pada masing-masing peran angota tim kolaboratif.

Oleh karena itu, selama proses sensitisasi penting semua peserta menerima

bahwa setiap anggota profesi memiliki hak dan tanggung jawab utama untuk

menyampaikan ide-ide dalam domain profesional nya. Hal ini memungkinkan

anggota kelompok untuk berbagi dan bersama-sama sepakat untuk perubahan

dalam praktek profesional kolaboratif dengan mendorong dialog terbuka yang

menghormati, jujur dan terbuka.

b. Menghargai peran

Menghargai peran didasarkan pada rasa hormat satu sama lain berdasarkan

pengetahuan dan kontribusi masing-masing anggota dalam tim. Menghargai peran

diantara anggota profesional kesehatan akan memfasilitasi berbagi ide, tanggung

jawab, aspirasi, dan ketidaksepakatan. Menilai kontribusi masing-masing

profesional kesehatan akan menciptakan iklim keterbukaan dan rasa hormat


dengan rasa aman tanpa ada kecurigaan atar kelompok tim.

c. Pengembangan hubungan saling percaya

Kepercayaan berkembang ketika ada rasa saling menghormati nilai-nilai masing-

masing anggota tim. Nilai yang diyakini penting untuk kolaborasi kerja tim

adalah - saling menghormati, kepercayaan, dan sinergi. Saling menghormati

berarti anggota tim memiliki "komitmen terhadap nilai-nilai dan etika mereka,

profesi sendiri, mengakui keahlian rekan-rekan dan saling ketergantungan dalam

praktek”. Membina hubungan saling percaya antara kelompok-kelompok

kolaboratif menciptakan sinergi dan toleransi, komunikasi dapat ditingkatkan,

kerjasama , dan berbagi pengambilan keputusan sekitar koordinasi perawatan

pasien. Hubungan saling percaya akan jelas apabila:

1) Bila ada tanggung jawab bersama untuk perawatan pasien,

2) Perawatan adalah usaha bersama semua angota tim,

3) Pendekatan tim diadopsi dengan partisipasi bersedia , perencanaan bersama

dan pengambilan keputusan,

4) Kontribusi keahlian dan tanggung jawab bersama dialokasikan melalui

hubungan non-hirarkis, dan

5) Kekuasaan dibagi berdasarkan pengetahuan dan keahlian dibandingkan peran.

d. Pembagian kekuasaan

Proses pengembangan dan perubahan kearah perawatan pasien dengan tim

kolaborative interdisplin dapat dicapai melalui pembagian kekuasaan. Hal ini

menunjukkan bahwa kekuatan pengambilan keputusan perlu dibagi dengan

anggota lain dari tim.


Selanjutnya pada gambar 2 dijelaskan beberapa proses kolaboratif yang terjadi

dalam sebuah siklus/proses.

Gambar 2. Change Process during team development

(dikutip dari: Orchard C, Curran V, & Kabene S., 2005)

Tahapan pelaksanaan Interdisciplinarry/Collaborative Care

Pembentukan model praktik kolaboratif interdisiplin akan membutuhkan

perubahan yang signifikan dari berbagai hal yang meliputi bagaimana cara

pendidikan pada profesionl kesehatan, bagaimana sistem kesehatan dilaksanakan, dan

bagaimana pasien berpartisipasi dalam perawatan mereka. Perubahan ini akan

membutuhkan partispasi profesional kesehatan dan pasien dalam mengatasi faktor-

faktor penghambat dan mengadopsi faktor – faktor pendukug yag telah ada.
Sebuah proses sensitisasi profesional kesehatan dengan mengeksplorasi

makna peran-peran mereka dan mengeksplorasi proses pengambilan keputusan

sehingga menciptakan kesadaran praktek kolaboratif yang sedang dibangun.

Proses perubahan ini berlanjut keeksplorasi yang menyediakan sarana untuk

membangun model untuk hubungan kerja kolaboratif diseluruh disiplin ilmu dan

dengan pasien, kemudian intervensi mana disepakati model praktek kolaboratif

interdisplin diuji dengan kelompok pasien, dan akhirnya evaluasi ketika hasil dari

model yang ditentukan dalam praktek kolaboratif interdisiplin. Berikut tahapan

dalam pelaksanaan praktek kolaboratif

a. Sensitisasi

Fokusnya adalah pada menciptakan kesadaran untuk kebutuhan untuk

mengubah dari model praktek saat ini. Selama proses sensitisasi tiga

hambatan untuk membangun IDCP, strukturalisme organisasi,

ketidakseimbangan kekuatan, dan sosialisasi profesional didiskusikan

sebelumnya yang diajukan oleh anggota kelompok. Partisipan mensharingkan

berbagi masalah yang mereka miliki tentang satu sama lain dan mitos yang

berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan disiplin

ilmu lainnya. Anggota kemudian saling membantu dalam menjelaskan

kesalahan persepsi tentang pengetahuan dan praktik masing- masing.Sebuah

proses dalam tahap ini juga dilakukan yaitu memilih group pasien tertentu

untuk kemudian pasien ini juga berbagi keinginan mereka dalam berinteraksi

dengan berbagai profesional kesehatan dan menjelaskan peran mereka yang

ingin dimiliki dalam proses perawatan kolaboratif .


b. Eksplorasi

Eksplorasi berfokus pada klarifikasi peran dan menilai kontribusi masing-

masing anggota tim menuju terwujudnya proses kolaboratif interdisipliner.

Anggota kemudian mempertimbangkan keterampilan-ketrampilan yang

tumpang tindih di antara kelompok. Pasien kemudian berbagi peran mereka

dalam proses perawatan kolaboratif interdisipliner. Masing-masing anggota

akhirnya sepakat kontribusi unik dari masing-masing angota tim kolaboratif

sehingga terjadi kejelasan peran dari masing-masing anggot tim. Langkah

selanjutnya adalah mengeksplorasi berbagi visi dan norma-norma praktik

dalam tim. Setelah tim profesional kesehatan membahas nilai-nilai dan

keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana mereka ingin bekerja sama,

mereka dapat mulai mengembangkan visi bersama mereka untuk praktek

kolaboratif.

c. Intervensi

Pada saat praktik kloaboratif interdisplin ini diuji obakan maka disarankan

pengujian model harus berfokus pada struktur, proses dan outcomes. Oleh

karena itu, pelaksanaan tim kolaboratif secara khusus berfokus pada

menilai pola kerja tim. Pola kerja tim tampaknya dibagi menjadi dua aspek

yaitu tugas (bagaimana tugas dicapai) dan pemeliharaan (berhubungan dengan

tim komunikasi antar kelompok ) .

d. Evaluasi

Evaluasi model praktek kolaboratif interdisiplin berfokus pada menilai

efektivitas tim. Empat fokus tersebut meliputi: proses tim, kepuasan anggota
tim dengan proses, hasil pasien, dan kepusan pasien. Oleh karena itu, baik

proses evaluasi formatif dan sumatif harus diadopsi untuk mengukur seberapa

baik tim kesehatan interdisipliner bekerja. Variabel untuk mengukur

efektivitas tim yang disarankan meliputi: perencanaan bersama , tujuan

bersama , komunikasi terbuka , manajemen hambtan yang kreatif, strategi,

pendelegasian tugas dan evaluasi outcomes, kontribusi unik masing-masing

anggota, latar belakang pendidikan, bidang prestasi dan keterbatasan , bukti

penyelesaian tugas, kecukupan sumber daya.

2. Konsep model Cohesiveness in Interdiciplinary Model of patient care

Kekompakan praktek kolaboratif antara perawat-dokter tercermin dari sikap dan

kecenderungan mereka untuk berperilaku pada setiap komponen model. Kohesivitas ada

ketika mereka yang bekerja sama memiliki kecenderungan untuk mampu menggunakan

lebih dari berbagi keahlian dari otonomi profesi mereka (Sullivan E.J. 1999). Konsep ini

menjelaskan bahwa ketika melibatkan dokter dan perawat, praktek kolaboratif dapat

memberikan lebih besar kesempatan untuk mendidik dan pasien berkonsultasi dengan

tujuan mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan, dan meningkatkan kepatuhan

terhadap pengobatan. Upaya kolaboratif berhasil bila ada pemahaman yang jelas tentang

hubungan dan tujuan, dengan memperhatikan co-wilayah / tanggung jawab tumpang

tindih atau bidang yang menjadi perhatian, saling percaya dan rasa kesetaraan yang

berkembang; dikembangkan bersama struktur dan tanggung jawab bersama menciptakan

kesadaran, wewenang dan akuntabilitas diterima; dan saling memajukan visi di mana

setiap anggota melihat atau kepentingan dirinya.


Hal ini tercermin dalam konsep model penelitian yang dilakukan oleh

Susilaningsih S.F., Mukhlas M., Sunartini, Utarini A, (2011), disebutkan dalam

penelitian ini, budaya kolaboratif dibuat melalui empat komponen model, yang terdiri

dari Care path, kerja sama tim pada perawatan pasien, terpadu dokumentasi perawatan

pasien dan interdisipliner konferensi kasus.

Untuk setiap komponen, kemampuan kontrol, berbagi informasi, perhatian bersama

pada wilayah agar tidak terjadi tumpang tindih tanggung jawab atau bidang yang menjadi

perhatian, dan penataan intervensi adalah bahan utama. Komponen tersebut dapat dilihat

pada gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. The conceptual framework the essence of colaborative practice on

interdiciplinary model of patient care (dikutip dari: Susilaningsih S.F., Mukhlas M.,

Sunartini, Utarini A, 2011)


H. Faktor Penghambat pelaksanaan Interdisciplinarry/Collaborative Care

Sumber konflik dalam tim praktik kolaboratif interdisiplin didapatkan dari hasil

ketidaktahuan dasar konseptual untuk praktik disiplin lain, komunikasi yang buruk di antara

anggota berbagai disiplin ilmu, sikap chauvinistic, ketidakpercayaan, dan kurangnya

kepercayaan terhadap disiplin lainnya. Hanya sedikit profesional kesehatan yang memiliki

pengetahuan tentang lingkup praktek, keahlian, tanggung jawab, dan kompetensi dari disiplin

ilmu lainnya.Pada saat yang sama praktik kolaboratif interdisiplin membutuhkan pengakuan

terhadap kemampuan peran dari disiplin lainnya serta menghormati lingkup masing-masing

disiplin ilmu dan keunikan fungsi.

Tim kolaboratif akan bekerja dalam sebuah organisasi yang memiliki aturan sendiri,

prosedur dan harapan, oleh karena itu budaya sebuah organisasi dapat menciptakan hambatan

bagi praktek kolaboratif interdisplin. Sistem dalam sebuah organisasi mungkin kurang

toleran terhadap pengaturan praktek inovatif sehingga menghambat pembentukan tim

interdisipliner.

Secara umum hambatan praktik kolaboratif interdisplin dapat dibagi menjadi tematik yaitu

ketidakseimbangan kekuasaan, struktur organisasi, dan sosialisasi peran.

1. Struktur Organisasi

Strukturalisme Organisasi didefinisikan sebagai organisasi secara administratif


dan proses pengambilan keputusan yang diadopsi dalam suatu lembaga untuk mencapai

mandat yang diberikan oleh tingkatan otoritas. Otoritas ini meliputi: tindakan dan

ketetapan yang dibuat oleh tingkat pusat dan propinsi, regulator provinsi dan nasional

tentang praktek profesional, lembaga akreditasi kesehatan nasional, sistem peradilan, dan

operator asuransi. Semua otoritas ini menempatkan persyaratan tentang bagaimana

lembaga kesehatan mengelola kegiatan dan mengontrol profesional kesehatan yang

berfungsi dalamnya.

Organisasi perlu melakukan pergeseran dari struktur birokrasi yang kaku untuk

memfasilitasi para profesional kesehatan yang menyediakan perawatan pasien berpusat

melalui tim kolaboratif interdisiplin. Pergeseran ini akan sampai pada pengambilan

keputusan ke tingkat praktik dimana pasien datang untuk mencari pemecahan masalah

kesehatan mereka. Pergeseran ini diperlukan untuk membuat perubahan pada cara

memimpin dan mengendalikan praktek profesional kesehatan 'untuk menyediakan

lingkungan yang mendukung dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk

memberikanperawatan disetujui oleh tim kolaboratif dalam berkonsultasi dengan pasien.

2. Ketidakseimbangan kekuasaan

Kekuasaan menurut Forbes & Fitzsimons (1993) adalah sebuah konsep demokrasi

dengan partisipasi sebagai hak dasar". Ketidakseimbangan kekuasaan dibagi menjadi dua

kategori: konflik peran dan konflik tujuan. Konflik peran adalah hasil dari "tumpang

tindih kompetensi dan tanggung jawab, prasangka yang profesional keehatan terhadap

peran mereka sendiri, dan persepsi stereotype yang profesional kesehatan pegang

terhadapanggota disiplin lain". Adapun konflik tujuan berkaitan dengan perbedaan nilai

yang timbul dari "filosofi yang berbeda, keyakinan agama, atau sosialisasi professional.
Praktik kolaborasi antar displin di tatanan pelayanan kesehatan didasarkan pada

hubungan saling ketergantungan, dibangun di atas rasa hormat, kepercayaan dan

pemahaman tentang perspektif yang unik dan saling melengkapi setiap profesi. Hal

tersebut tidak dapat terjadi tanpa resolusi dari ketidakseimbangan kekuasaan ini. Selain

itu, penerimaan pandangan oleh pasien harus dihormati dalam praktik kolaboratif ini.

3. Sosialisasi peran

Menurut Clark (1997) pengembangan identitas dan pola praktek dalam profesi

kesehatan didasarkan pada proses sosialisasi dimana pengetahuan, keterampilan, nilai,

peran dan sikap terkait dengan praktek profesional tertentu dibutuhkan. Setiap disiplin

profeional memiliki cara unik berpikir dan bertindak, dan dengan budayanya sendiri.

Budaya disiplin yang didirikan pada asumsi yang berlaku tentang dasar epistemologis,

perilaku dan normatif yang tepat pada tindakan. Dengan demikian, setiap anggota dari

disiplin kesehatan membawa satu set budaya yang berbeda dari nilai-nilai tentang kerja

tim berdasarkan sosialisasi profesional, pengalaman pribadi dan keyakinan.

Setelah memasuki praktek kolaboratif, profesional kesehatan harus belajar untuk

menerima belum dipahaminya praktek dan kepercayaan anggota disiplin lainnya dalam

berbagi proses perawatan pasien. Akibatnya, sosialisasi peran harus diperluas untuk

mencakup kolaborasi dengan rekan-rekan profesional kesehatan lainnya.

I. Sikap Perawatan Interdisiplin atau Kolaboratif

Sikap tenaga kesehatan tentang praktik kolaborasi terbanyak adalah berunding atau

kompromi. Kompromi atau berunding merupakan suatu situasi di mana tiap-tiap pihak pada

suatu konflik bersedia untuk melepaskan sesuatu. Kedua unsur yang terlibat menyerah dan
menyepakati hal yang telah dibuat. Menurut Sullivan, kompromi atau berunding menjadi

pilihan ketika tujuan yang akan diselesaikan benar-benar merupakan perselisihan tidak

berguna, lawan dalam konflik memiliki komitmen untuk mencapai hasil akhir yang berbeda,

dan dilakukan ketika penyelesaian diperlukan secara cepat. Melihat konsep diatas sikap

berunding ini bagi antar tenaga kesehatan merupakan tindakan yang paling tepat dilakukan

saat ini, karena perawat dan dokter mengerti bahwa keterbatasan-keterbatasan yang mereka

miliki baik dalam hal waktu, tenaga dan kemampuan (terutama perawat) masih merupakan

permasalahan yang patut diselesaikan secara bertahap (Martiningsih, 2011)..

Sikap yang sering ditunjukkan perawat adalah meminta masukan sejawat untuk

memperkuat sistem pendukung, menceritakan kesulitan pasien, sedangkan pada dokter

adalah menyampaikan apabila tindakan perawat kurang tepat dan memberi saran cara

pendekatan yang bermanfaat, sedangkan sikap perawat dan dokter yang paling jarang

dilakukan adalah menjelaskan lingkup keahlian masing-masing dan diskusi bidang mana

termasuk keperawatan dan mana termasuk medis, karena dianggap masing-masing profesi

sudah jelas tentang peran dan fungsinya masing-masing, keberanian mengambil sikap pada

dokter dalam hal ini masih dominan karena dokter kebanyakan berani mengingatkan jika

tindakan kurang tepat, dan memberi saran cara pendekatan yang bermanfaat. Perawat

seharusnya juga bersikap demikian, tidak hanya kompromi yang dilakukan tetapi juga harus

berani mengatakan tidak apabila tidak sesuai dengan standar yang ada (Martiningsih, 2011).

J. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perawatan Interdisiplin atau Kolaboratif

1. Usia
Sesuai dengan teori perkembangan Erik Erikson, tahap perkembangan dewasa,

merupakan waktu ketika manusia mulai mengambil tempat di masyarakat dan

mengasumsikan sebuah tanggung jawab bagi apapun yang dihasilkan masyarakat. Usia

dewasa menengah adalah mencapai generativitas yaitu pembangkitan ide-ide baru,

memberikan instruksi-instruksi ke orang lain dengan cara yang sesuai dengan budaya.

Untuk orang dewasa yang matang motivasi ini bukan sekadar kebutuhan tapi juga

merupakan dorongan untuk memberikan kontribusi untuk menjamin kontinuitas di

masyarakat. Seluruh tenaga kesehatan harus bisa menentukan tugas mana yang dapat

dilakukan secara individual, yang harus dilakukan bersama-sama, dan apa yang

diharapkan dalam interaksi. Mereka juga mengerti bahwa kolaborasi merupakan suatu

pengakuan keahlian seseorang oleh orang lain di dalam maupun di luar profesi orang

tersebut. Pada usia ini masing-masing pasangan kolaborasi membuat suatu komitmen

untuk berinteraksi secara konstruktif untuk menyelesaikan masalah klien dan mencapai

tujuan, target atau hasil yang ditetapkan (Martiningsih, 2011).

2. Pendidikan

Dalam teori, edukasi sebagai institusi sosial tertua, merupakan pengarahan formal dari

pengalaman belajar. Fungsi edukasi adalah sosialisasi, transmisi pengetahuan kultural

seperti nilai (value) dan kepercayaan (belief). Membantu individu memilih dan belajar

peran sosial serta mempertemukan antara bakat (talent) dan kemampuannya (ability)

dengan kebutuhan spesialisasi pekerjaan. Selain itu edukasi juga berhubungan dengan

stratifikasi sosial yaitu membantu menentukan posisi di masa depan dalam struktur sosial.

Peningkatan tingkat pendidikan cenderung membuat individu lebih toleran dan lebih

demokratik, karena orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih
mudah mengenali dan menganalisis bermacam kenyataan atau implikasi tindakan yang

tidak benar. Kurikulum pendidikan keperawatan menunjukkan bahwa adanya

pembelajaran tentang konsep-konsep kepemimpinan, kerja sama, manajemen konflik,

komunikasi interpersonal mendukung kemampuan perawat dalam berkolaborasi

(Martiningsih, 2011).

3. Jabatan Fungsional

Jabatan dipandang sebagai komponen demografi yang penting, peningkatan jabatan akan

menyebabkan peningkatan komitmen terhadap organisasi yang salah satunya adalah

komitmen untuk mau berkolaborasi, namun faktor situasi juga perlu diperhatikan, walau

jabatan tinggi, tetapi pasangan dalam kolaborasi tidak punya komitmen yang sama, akan

mengakibatkan menurunnya minat untuk berkolaborasi. Pendapat lain, bahwa

sikap/kepuasan dalam bekerja dipengaruhi oleh kedudukan/jabatan, bahwa umumnya

manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada jabatan yang lebih tinggi akan

merasa lebih puas daripada yang jabatannya lebih rendah, sesungguhnya hal tersebut

tidaklah selalu benar. Melihat fakta ini, pembagian tugas sesuai dengan wewenang dan

jabatan harus dilakukan, tidak harus melihat sisi senioritas tetapi dipertimbangkan

tentang kemampuan yang dimiliki (Martiningsih, 2011).

4. Lama Kerja

Pertumbuhan pekerjaan dapat dialami oleh seseorang hanya apabila menjalani proses

belajar sehingga berpengalaman, diharapkan orang yang bersangkutan memiliki sikap

kerja yang bertambah maju ke arah positif, memiliki kecakapan (pengetahuan) kerja dan

keterampilan kerja yang bertambah dalam kualitas dan kuantitas, dan dengan tingginya
frekuensi dua orang berjumpa dan bekerja sama, kemungkinan akan tumbuh rasa suka

antara satu dengan lainnya. Namun demikian tidak semua individu akan bersikap

demikian tergantung banyak faktor, adanya kejadian yang tidak diinginkan akan

meninggalkan kesan mendalam dalam diri individu atau peristiwa yang memberikan

kesan kuat pada individu yaitu peristiwa traumatik. Seperti terungkap dalam jawaban

perawat "akan mengingatkan dokter apabila tindakan kurang tepat dan hanya pada dokter

yang mau menerima pendapat kita", atau jawaban perawat berikut "takut dikatakan

menggurui". Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kriteria yaitu

adanya rasa saling percaya dan menghormati, saling memahami dan menerima keilmuan

masingmasing, memiliki citra diri positif, memiliki kematangan profesional yang setara

(yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), mengakui sebagai mitra kerja bukan

bawahan, dan keinginan untuk bernegosiasi. Bila kedua profesi memahami hal ini,

hambatan-hambatan dalam kolaborasi dapat diminimalisir. Melihat fakta ini kewajiban

pengambil kebijakan adalah memotivasi dan memberikan reward bagi mereka yang

sudah lama bekerja agar mereka tetap punya motivasi dalam bekerja, dan tidak

mengalami titik kejenuhan dalam bekerja (Martiningsih, 2011).

K. Penerapan Perawatan Interdisiplin atau Kolaboratif

Beberapa kebijakan diambil oleh rumah sakit agar terjadi harmonisasi antar tim pemberi

layanan kesehatan seperti ronde bersama, pertemuan bersama pada hari-hari yang telah

disepakati atau bentuk kegiatan lain yang tujuannya adalah menyamakan persepsi atau

bekerja sama untuk menyelesaikan masalah. Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang
kolaborasi tim kesehatan nampaknya dapat terlihat saat pelaksanaan ronde keperawatan, atau

kegiatan lain yang melibatkan tim kesehatan lain (Martiningsih, 2011).

Dalam isu perawatan interdisiplin atau kolaboratif sesuai bidang keilmuan setiap tenaga

kesehatan memiliki perannya masing-masing, seperti yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ”apa diagnosa pasien ini dan

perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal

proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir

seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan

dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan

fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat

langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti

gabungan bimbingan-pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan

para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang

mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk

menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega.

Di lain pihak seorang perawat akan berfikir: apa masalah pasien ini?, bagaimana pasien

menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya?, dan apa yang dapat diberikan kepada

pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan

intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan.

Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar

argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu

sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan

sehingga pasien bisa mandiri.


Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek

keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakit dan

pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf

perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Interkolaborasi professional dirumah sakit seringkali belum berjalan maksimal. Hal tersebut

dapat ditingkatkan melalui penuangan ide dalam setiap pemecahan masalah pasien sesuai

dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Sangat disarankan untuk meningkatkan pengetahuan

terkini perawat untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan yang akan diberikan kepada

pasien lewat pelatihan, seminar, atau penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Blais,K.K., Hayes S.J., Kozier B., Erb G. (2007). Praktik Keperawatan Profesional: Konsep dan

Perspektif, edisi 4. EGC

Brehm, B., Breen, P., Brown B., et al (2006). Instructional design and assessment An

interdisciplinary approach to introducing professionalism. American Journal of

Pharmaceutical Education 2006; 70 (4) Article 81.

Martiningsih, W. (2011). Collaboration Practice Between Nurses and Physician and the

Affecting Factors. Jurnal Ners Vol 6 No 2 Oktober 2011: 147-155

Orchard C, Curran V, & Kabene S., (2005). Creating a Culture for Interdisciplinary

Collaborative Professional Practice. Med Educ Online [serial online] 2005;10:11.

Sullivan E. J. (1999). Creating Nursing’s Futures: Issues,Opportunities and challenges.

Mosby, Inc., St Louis.

Susilaningsih S.F., Mukhlas M., Sunartini, Utarini A (2011). Kolaborasi dokter-perawat dalam

asuhan pasien pada model pelayanan rawat inap terpadu. Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan, Vol. 14, No. 2 Juni 2011.

Anda mungkin juga menyukai