KOLABORASI INTERPROFESIONAL
DALAM PRAKTEK HOME CARE
NURSING
OLEH :
DASWITI
IVONI ASTRIA GUSLINA
LOLA GUSENDANG
DOSEN PEMBIMBING :
Ns. MAIDALIZA, M.KEP
Abstrak
Kolaborasi kesehatan merupakan aktivitas yang bertujuan untuk memperkuat hubungan diantara
profesi kesehatan yang berbeda. Kolaborasi tim kesehatan terdiri dari berbagai profesi
kesehatan seperti dokter, perawat, psikiater, ahli gizi, farmasi, pendidik di bidang kesehatan,
dan pekerja sosial. Tujuan utama dari kolaborasi tim kesehatan adalah memberikan pelayanan
yang tepat, oleh tim kesehatan yang tepat, di waktu yang tepat, serta di tempat yang tepat.
Membangun dan mempertahankan kolaborasi tim kesehatan sangat diperlukan agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan optimal. Konsep kolaborasi tim
kesehatan itu sendiri merupakan konsep hubungan kerjasama yang kompleks dan membutuhkan
pertukaran pengetahuan yang berorientasi pada pelayanan kesehatan untuk pasien di Rumah
Sakit.
1. Latar Belakang
Tim pelayanan kesehatan merupakan sekelompok profesional yang mempunyai aturan
yang jelas, tujuan umum dan keahlian berbeda. Tim akan berjalan dengan baik bila
setiap anggota tim memberikan kontribusi yang baik. Anggota tim kesehatan antara lain
dokter, perawat, fisioterapist, radiolog, laboran, ahli gizi, dan juga apoteker.
WHO mengakui kolaborasi antar profesi dalam pendidikan dan praktek sebagai suatu
strategi inovatif yang akan memainkan peran penting dalam mengurangi krisis tenaga
kerja kesehatan global. Praktek kolaborasi memperkuat sistem kesehatan dan
memperbaiki hasil kesehatan (WHO, 2010). Kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi
dipengaruhi oleh latar belakang kesehatan dan sistem interprofessional education di
dunia.
Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktik
bersama sebagai kolega. Bekerja saling kertergantungan dalam batasan-batasan lingkup
kerja mereka dengan berbagai nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkonstribusi untuk merawat individu keluarga dan masyarakat.
Tujuan
Tujuan dari kajian ini untuk tercapainya pelayanan berfokus pasien, asuhan yang
diberikan kepada pasien haruslah asuhan yang terintegrasi, dimana semua profesional
pemberi asuhan berkolaborasi dalam menjalankan asuhan.
Metode
Metode yang digunakan pada kajian ini adalah metode kualitatif yang memberikan
penjelasan dengan menggunakan analisis pada referensi-refensi yang digunakan.
Hasil
Hasil dari kajian ini adalah adalah agar tercapainya asuhan teritegrasi dapat secara
efektif dengan kolaborasi yang intens diantara professional pemberi asuhan kepada
pasien.
2. Pembahasan
a. pengertian
Kolaborasi tim kesehatan adalah hubungan kerja yang memiliki tanggung jawab
bersama dengan penyedia layanan kesehatan lain dalam pemberian (penyediaan) asuhan
pasien (ANA, 1992 dalam Kozier, Fundamental Keperawatan). Kolaborasi kesehatan
merupakan aktivitas yang bertujuan untuk memperkuat hubungan diantara profesi
kesehatan yang berbeda. Kolaborasi tim kesehatan terdiri dari berbagai profesi
kesehatan seperti dokter, perawat, psikiater, ahli gizi, farmasi, pendidik di bidang
kesehatan, dan pekerja sosial. Tujuan utama dari kolaborasi tim kesehatan adalah
memberikan pelayanan yang tepat, oleh tim kesehatan yang tepat, di waktu yang tepat,
serta di tempat yang tepat.
Elemen penting dalam kolaborasi tim kesehatan yaitu keterampilan komunikasi yang
efektif, saling menghargai, rasa percaya, dan proses pembuatan keputusan (Kozier,
2010). Konsep kolaborasi tim kesehatan itu sendiri merupakan konsep hubungan
kerjasama yang kompleks dan membutuhkan pertukaran pengetahuan yang berorientasi
pada pelayanan kesehatan untuk pasien.
Bentuk kolaborasi yang setiap bagian dari tim memiliki tanggung jawab dan kontribusi
yang sama untuk tujuan yang sama.
Bentuk kolaborasi yang setiap anggota dari tim memiliki tanggung jawab yang berbeda
tetapi tetap memiliki tujuan bersama
Bentuk kolaborasi yang tidak memiliki tujuan bersama tetapi memiliki hubungan
pekerjaan yang menguntungkan bila dikerjakan bersama.
Kerja sama untuk memberikan jasa dan umumnya tidak mencari keuntungan antara satu
dan lainnya.
Bentuk kolaborasi yang memiliki misi jangka panjang tapi dengan tujuan jangka
pendek, namun tidak harus membentuk tim yang baru.
Menurut Family Health Teams (2005), terdapat 12 jenis kolaborasi tim, yaitu perawatan
reproduktif primer (misalnya, pre-natal, kebidanan, pasca persalinan, dan perawatan
bayi baru lahir); perawatan kesehatan mental primer, perawatan paliatif primer; in-
home/fasilitas penggunaan yang mendukung pelayanan; pelayanan koordinasi/care
navigation; pendidikan pasien dan pencegahan; pre-natal, kebidanan, pasca melahirkan,
dan perawatan bayi baru lahir; program penanganan penyakit kronis – diabetes,
penyakit jantung, obesitas, arthritis, asma, dan depresi; promosi kesehatan dan
pencegahan penyakit; kesehatan ibu/anak; kesehatan kerja; kesehatan lansia;
pengobatan kecanduan; pelayanan rehabilitas; dan pengasuhan.
1. Patient-centered Care
Prinsip ini lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan pasien. Pasien dan keluarga
merupakan pemberi keputusan dalam masalah kesehatannya.
Kepercayaan dan berperilaku sesuai dengan kode etik dan menghargai satu sama lain.
Pemimpin yang baik dalam pengambilan keputusan terutama dalam kasus yang bersifat
darurat.
5. Pasien akan Dapat Berdiskusi dan Berkomunikasi dengan Baik untuk Dapat
Menyampaikan Keinginannya
Kesehatan
yaitu
3. Bagi tim medis dapat saling berbagi pengetahuan dari profesi kesehatan lainnya
dan menciptakan kerjasama tim yang kompak
1. Pastikan semua anggota tim dapat bertemu secara berkala untuk mendiskusikan
agenda kedepan.
3. Saling mengenal antar anggota tim agar dapat berkontribusi dengan baik.
6. Melakukan evaluasi secara berkala untuk memperbaiki keadaan dimasa yang akan
datang.
1) Pengertian kolaborasi
Model praktek kolaborasi menurut Burchell, R.C., Thomas D.A., dan Smith H.I.,(dalam
Siegler & Whitney, 1994) ada 3 yaitu Model Praktek Hirarkis tipe I, tipe II, tipe III.
1) Model praktik Hirarkis tipe I menekankan komunikasi satu arah, kontak terbatas
antara pasien dan dokter. Dokter merupakan tokoh yang dominan.
2) Model Praktik Hirarkis tipe II menekankan komunikasi dua arah, tapi tetap
menempatkan dokter pada posisi utama dan membatasi hubungan antara dokter dan
pasien
3) Model Praktik Hirarkis tipe III lebih berpusat pada pasien, dan semua pemberi
pelayanan harus saling bekerja sama dengan pasien. Model ini tetap melingkar,
menekankan kontinuitas, kondisi timbal balik satu dengan yang lain dan tidak ada satu
pemberi pelayanan yang mendominasi secara terus menerus. Kolaborasi yang dilakukan
dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya semuanya berorientasi kepada pasien.
Dalam situasi apapun, praktik kolaborasi yang baik harus dapat menyesuaikan diri
secara sdekuat pada setiap lingkungan yang dihadapi sehingga anggota kelompok dapat
mengenal masalah yang dihadapi pasien, sampai terbentuknya diskusi dan pengambilan
keputusan.
Kolaborasi menurut Hoffart dan Wood (1996), Will Jhonson dan Sailer (1998) (dalam
Paryanto, 2006) menekankan sikap saling menghargai antar tenaga kesehatan dan saling
memberikan informasi tentang kondisi klien demi mencapai tujuan bersama.
Sifat interaksi antara perawat – dokter menentukan kualitas praktik kolaborasi ANA
(1980) menjabarkan kolaborasi sebagai “hubungan rekanan sejati, dimana masing-
masing pihak menghargai kekuasaan pihak lain, dengan mengenal dan menerima
lingkup kegiatan dan tanggung jawab masing-masing yang terpisah maupun bersama,
saling melindungi kepentingan masing-masing dan adanya tujuan bersama yang
diketahui kedua pihak”.
d. Indikator praktek kolaborasi
Thrilling & Fadel (2015) juga menyederhanakan indikator kolaborasi menjadi: respect
(menghargai), willingness (kerelaan), dan compromise (kompromi). Sementara itu
menurut Greenstein (dalam Sunbanu & Mawardi, hlm. 2039) 15 indikator dari kolaborasi
adalah sebagai berikut.
1. Komunikasi
2. Respek dan kepercayaan Kualitas respek dapat dilihat lebih ke arah harga
diri ,sedangkan kepercayaan dapa dilihat dari mutu proses dan hasil. Respek dan
kepercayaan dapat disampaikan secara verbal dan nonverbal, serta dapat dilihat
dan dirasakan dalam penerapan kehidupan sehari-hari.
Umpan balik (feed back) dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan,
harga diri, kepercayaan diri, emosi, lingkungan, serta waktu. Feed back juga dapat
bersifat positif dan negative.
4. Pengambilan keputusan
Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan komunikasi untuk mewujudkan
kolaborasi yang efektif. Hal ini untuk menyatukan data kesehatan pasien secara
komperhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tim
profesional.
1. Aktif mendengar.
Kebersamaan
Kerja sama
Berbagi Tugas
Kesetaraan
Tanggung Jawab
Tanggung Gugat
Dalam dunia bisnis pasti dibutuhkan suatu perjanjian atau kontrak yang berisi sebuah
kesepakatan para pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan
kerjasama. Perjanjian sendiri diatur pada Buku III, Bab II, Bagian Kesatu Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun syarat-syarat yang diperlukan
agar suatu perjanjian itu sah, diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
perumusan suatu perjanjian atau kontrak sendiri biasanya diawali dengan negosiasi
dari para pihak. Bagi pelaku bisnis modern, negosiasi merupakan bagian yang inheren
dengan ritme dan kinerja mereka.
Setelah ada kesepakatan dan kesepahaman dalam negosiasi, kemudian para pihak
akan mengadakan proses prakontraktual sebelum kontrak, salah satunya dengan
pembuatan nota kesepahaman atau sering disebut dengan istilah “Memorandum of
Understanding”
4. Penutup
Kolaborasi adalah hubungan saling berbagi tanggung jawab (kerjasama) dengan rekan
sejawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam memberi asuhan pada pasien. Dalam
praktiknya, kolaborasi dilakukan dengan mendiskusikan diagnosis pasien serta
bekerjasama dalam penatalaksanaan dan pemberian asuhan. Masing-masing tenaga
kesehatan dapat saling berkonsultasi dengan tatap muka langsung atau melalui alat
komunikasi lainnya dan tidak perlu hadir ketika tindakan dilakukan. Petugas kesehatan
yang ditugaskan menangani pasien bertanggung jawab terhadap keseluruhan
penatalaksanaan asuhan.
Referensi
Cahyono, A. (2015). Hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan Perawat terhadap
pengelolaan keselamatan Pasien di rumah sakit. Jurnal Ilmiah WIDYA, 1(1), 97-99.
Pagala, I., Shaluhiyah, Z., & Widjasena, B. (2017). Perilaku Kepatuhan Perawat
Melaksanakan SOP Terhadap Kejadian Keselamatan Pasien di Rumah Sakit X Kendari.
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 12(1), 138-141.
Peraturan Menteri Kesehatan RI. (2011). Keselamatan pasien Rumah Sakit. Jakarta:
Menteri Kesehatan.
Sakinah, S., dkk. (2017). Analisis Sasaran Keselamatan Pasien Dilihat dari Aspek
Pelaksanaan Identifikasi Pasien dan Keamanan Obat di RS Kepresidenan RSPAD
GatotSubroto Jakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-journal), Vol 5, No4. Hal.145
Yulia, S., Hamid, A. Y. S., & Mustikasari, M. (2012). Peningkatan pemahaman perawat
pelaksana dalam penerapan keselamatan pasien melalui pelatihan keselamatan pasien.
Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(3), 185-189.