Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia ada berbagai macam profesi dalam kesehatan. Profesi
tersebut juga mengakibatkan banyaknya institusi kesehatan, diantaranya dokter,
bidan, ahli gizi, kesehatan masyarakat, radiologi, teknobiomedik, farmasi, analis
kesehatan, dan perawat. Semua profesi tadi diwajibkan salaing bekerjasama dalam
menjalankan profesionalitas profesinya masing-masing. Perawat merupakan satu
dari banyaknya profesi kesehatan yang ada. Semua profesi kesehatan yang ada
tentu memiliki visi yang sama yakni terwujudnya pelayanan kesehatan yang
prima. Namun, dalam pelaksanaannya perawat tidak sendirian. Perawat ditemani
oleh dokter, analis kesehatan, tim kesehatan masyarakat, analis kesehatan, ahli
gizi, radiologi dan lainnya. Kolaborasi pendidikan dan praktik antar profesi
kesehatan tentunya sangat dibutuhkan. Semua jenis profesi harus mempunyai
keinginan untuk berkolaborasi. Perawat, bidan, dokter, dan semua profesi lain
merencanakan dan mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di bangku pelajar.
Ketergantungan antar profesi pun dapat tetap ada asalakan dalam batas-batas
lingkup praktek yang sesuai dengan aturan yang ada.
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional
yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan
berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan
pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat,
dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena
itu, tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung
jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Proses sinergi dan
pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak calon-calon tenga professional ini
duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas bersama untuk menyelesaikan suatu
masalah yang dapat dilihat dari berbagai macam perspektif profesi akan
meningkatkan kesadaran diri tentang keterbatasan profesi, meningkatkan
pemahaman arti pentingya kerja tim profesi dan pada akhirnya memunculkan
perasaan penghargaan antar anggota tim kesehatan. Saat ini peraturan yang jelas
tertulis hanyalah rumah sakit pendidikan untuk dokter dan dokter gigi, sementara

profesi lain tidak diatur. Pertanyaanya adalah, apakah akan tercipta generasi
dokter yang baik jika tenaga kesehatan lain di dalam rumah sakit tidak diatur
untuk menciptakan sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang lebih baik,
Siapakah yang bisa dijadikan contoh peran kolaborasi professional dalam
melayani pasien, Bila dokter memiliki keunggulan dalam menegakan diagnosa
penyakit, bukankah farmasi lebih tahu tentang pilihan obat yang paling tepat,
Bukankah perawat yang lebih tahu tentang respon akibat penyakit dan
pengobatanya.
1.2 Tujuan Penulisan
Setelah penulisan makalah ini mahasiswa memahami komunikasi perawat
profesi kesehatan lainnya.

BAB II

ISI
2.1 Kolaborasi Dalam Profesi Kesehatan
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun
didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi
tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian
kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang
menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak
ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya
kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja
bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa
kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang
aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan
tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.
Proses sinergi dan pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak caloncalon tenaga professional ini duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas bersama
untuk menyelesaikan suatu masalah yang dapat dilihat dari berbagai macam
perspektif profesi akan meningkatkan kesadaran diri tentang keterbatasan profesi,
meningkatkan pemahaman arti pentingya kerja tim profesi dan pada akhirnya
memunculkan perasaan penghargaan antar anggota tim kesehatan. Saat ini
peraturan yang jelas tertulis hanyalah rumah sakit pendidikan untuk dokter dan
dokter gigi, sementara profesi lain tidak diatur. Pertanyaanya adalah, apakah akan
tercipta generasi dokter yang baik jika tenaga kesehatan lain di dalam rumah sakit
tidak diatur untuk menciptakan sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang
lebih baik, siapakah yang bisa dijadikan contoh peran kolaborasi professional
dalam melayani pasien. Bila dokter memiliki keunggulan dalam menegakan
diagnosa penyakit, bukankah farmasi lebih tahu tentang pilihan obat yang paling

tepat, Bukankah perawat yang lebih tahu tentang respon akibat penyakit dan
pengobatanya.
Ronde bersama di rumah sakit, diskusi kasus dan pengelolaan kasus
bersama akan sangat bermanfaat bukan hanya untuk profesi atau mahasiswa
kesehatan namun juga untuk pasien. Dengan kerjasama, duplikasi pemeriksaan
dan wawancara serta duplikasi tindakan akan dapat dihindarkan. Melalui kerja
tim, pemeriksaan dan tindakan serta monitoring data penting tidak akan
terlewatkan. Dari kegiatan ini calon-calon profesioanal tahu bagaimana
menjadikan pelayanan yang efektif dan efisien yang berfokus pada kebutuhan
pasien. Kebutuhan pembelajaran dilakukan tetap dalam koridor beneficiency dan
non maleficiency.
Setiap profesi tenaga kesehatan memiliki keunggulan yang tidak bisa
digantikan oleh profesi lain. Namun dalam beberapa area, setiap profesi memiliki
kemiripan dan kedekatan hubungan yang luar biasa yang sering dikenal sebagai
area abu-abu atau gray area. Pada wilayah ini setiap profesi merasa memiliki
kemampuan dan hak untuk menjalankan praktek profesionalnya. Sehingga area
abu menjadi daerah yang diperebutkan. Paradigma perebutan wilayah seperti ini
harus dirubah menjadi paradigma baru yang lebih konstruktif, yaitu menjadikan
daerah abu-abu menjadi area of common interest. Area yang menjadi perhatian
bersama para profesi karena besarnya magnitude area itu dan resiko dampak yang
juga luar biasa sehingga harus ditangani bersama. Area ini bila tidak ditangani
dapat menimbulkan potensi bahaya penyakit dan bahaya social yang sangat besar
bagi masyarakat.
2.2 Komponen Dalam Kolaborasi Pelayanan Kesehatan
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional
yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan
berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan
pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat,
dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu
tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab
dan saling menghargai antar sesama anggota tim.

Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien
dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana
menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat
dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa
persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu
pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan
lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan
seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan
anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan
kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang
efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan
koordinasi seperti skema di bawah ini.
Communicatio
ns

Responsibility

Autonomy

Efective
collaboration

cooperation

Common
purpose
Assertiveness
Coordination
Mutuality

Gambar 1. Elemen kunci efektifitas kolaborasi


Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk
memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas
penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar
dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang
diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi
informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam
batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan
dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang
berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi
profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien.
Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional
untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau
menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti yang
sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang
memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan
maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah
konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya, kerjasama

tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,
terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan
terjadi.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :
-

Memberikan

pelayanan

kesehatan

yang

berkualitas

dengan

menggabungkan keahlian unik profesional.


-

Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya

Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas

Meningkatnya kohesifitas antar profesional

Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,

Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami


orang lain.
Dasar-dasar kompetensi kolaborasi :

a. Komunikasi
b. Respek dan kepercayaan
c. Memberikan dan menerima feed back
d. Pengambilan keputusan
e. Manajemen konflik
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal
tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi
semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi
dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Komunikasi sangat dibutuhkan dalam berkolaborasi karena kolaborasi
membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan komunikasi
efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar kompetensi
yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan harga diri,
sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek dan
kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat dilihat
dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari. Feed back dipengaruhi oleh

persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri, kepercayaan,


emosi, lingkungan serta waktu, feed back juga dapat bersifat negatif maupun
positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan melakukan manajemen konflik,
konflik peran umumnya akan muncul dalam proses. Untuk menurunkan konflik
maka masing-masing anggota harus memahami peran dan fungsinya, melakukan
klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi
tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.

2.3 Keberhasilan Kolaborasi Perawat Dalam Pelayanan Kesehatan


Menurut Hanson & Spross, 1996 terwujudnya suatu kolaborasi tergantung
pada beberapa kriteria yaitu:
1. Adanya rasa saling percaya dan menghormati.
2. Saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing.
3. Memiliki citra diri positif.
4. Memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari
pendidikan dan pengalaman.
5. Mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan.
6. Keinginan untuk bernegosiasi
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
a. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
b. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
c. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
d. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang
tergabung dalam tim.
Model Praktek Kolaborasi :
a. Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek.
b. Kolaborasi Perawat Dokter, dalam memberikan pelayanan.
c. Tim Interdisiplin atau komite.

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar


jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi
itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masingmasing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak
sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama. Penerapan hubungan antara perawat
dan profesi lain yang memiliki bidang kesehatan yang saling berketergantungan
satu sama lain misalnya seorang dokter pasti membutuhkan, perawat, apoteker
dan lain-lain , yang saling berkaitan satu sama lain. Selain penerapan-penerapan
dengan perawat dan profesi lain, perawat juga harus menerapkan hubungan antara
perawat dan masyarakat.
Perawat mengemban tugas tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan medukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan
kesehatan masyarakat.dan tetap menghargai privasi yang ada dalam masyarakat
berupa Privasi pasien. Menghargai harkat martabat pasien,Sopan santun dalam
pergaulan,saling menghormati, saling membantu, peduli terhadap lingkung.
2.4 Kolaborasi Antara Perawat dan Tenaga Kesehatan
1. Komunikasi antara Perawat dengan Dokter
Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang
telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perawat
bekerja sama dangan dokter dalam berbagai bentuk. Perawat mungkin bekerja di
lingkungan di mana kebanyakan asuhan keperawatan bergantung pada instruksi
medis. Perawat diruang perawatan intensif dapat mengikuti standar prosedur yang
telah ditetapkan yang mengizinkan perawat bertindak lebih mandiri. Perawat
dapat bekerja dalam bentuk kolaborasi dengan dokter. Contoh, ketika perawat
menyiapkan pasien yang baru saja didiagnosa diabetes pulang ke rumah, perawat
dan dokter bersama-sama mengajarkan klien dan keluarga begaimana perawatan
diabetes di rumah.
Selain itu komunikasi antara perawat dengan dokter dapat terbentuk saat
visit dokter terhadap pasien, disitu peran perawat adalah memberikan data pasien
meliputi TTV, anamnesa, serta keluhan-keluhan dari pasien,dan data penunjang
seperti hasil laboraturium sehingga dokter dapat mendiagnosa secara pasti

mengenai penyakit pasien. Pada saat perawat berkomunikasi dengan dokter


pastilah menggunakan istilah-istilah medis, disinilah perawat dituntut untuk
belajar

istilah-istilah

medis

sehingga

tidak

terjadi

kebingungan

saat

berkomunikasi dan komunikasi dapat berjalan dengan baik serta mencapai tujuan
yang diinginkan.
Komuniaksi antara perawat dengan dokter dapat berjalan dengan baik
apabila dari kedua pihak dapat saling berkolaborasi dan bukan hanya menjalankan
tugas secara individu, perawat dan dokter sendiri adalah kesatuan tenaga medis
yang tidak bisa dipisahkan. Dokter membutuhkan bantuan perawat dalam
memberikan data-data asuhan keperawatan, dan perawat sendiri membutuhkan
bantuan dokter untuk mendiagnosa secara pasti penyakit pasien serta memberikan
penanganan lebih lanjut kepada pasien. Semua itu dapat terwujud dwngan baik
berawal dari komunikasi yang baik pula antara perawat dengan dokter.
Pada saat ini berkembang paradigma baru dalam upaya pemberian
palayanan kesehatan yang bermutu dan konfrehensif, tentu hal ini dipicu ketika
WHO pada tahun 1984 mendefinisikan sehat yang meliputi sehat fisik,sehat
psikis,sehat sosial, dan sehat spiritual. Dulu orang memandang masing masing
berdiri sendiri, hanya sedikit keterkaitan antara satu sama lainnya. Oleh karena itu
penanganan kesehatan pada umumnya akan melibatkan berbagai elemen disiplin
ilmu yang saling menunjang. Hubungan dokter dan perawat dalam pemberian
asuhan kesehatan kepada pasien merupakan hubungan kemitraan ( partnership)
yang lebih mengikat dimana seharusnya terjadi harmonisasi tugas, peran dan
tanggung jawab dan sistem yang Terbuka.Sebagaimana American Medical
Assosiasi ( AMA ), 1994, menyebutkan kolaborasi yang terjadi antara dokter dan
perawat dimana mereka merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega,
bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka
dengan berbagai nilai nilai yang saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat. Apabila kolaborasi antara dokter dan perawat berjalan sebagaimana
dimaksudkan tentu berdampak langsung terhadap pasien, karena banyak aspek
positif yang dapat dihasilkan tetapi pada kenyataannya terutama dalam praktek

10

banyak hambatan kolaborasi antara dokter dan perawat sehingga kolaborasi sulit
tercipta.
Hambatan Kolaborasi Dokter dan Perawat:
a. Dominasi Kekuasan
Dari pengamatan penulis terutama dalam praktek Asuhan Keperawatan
perawat belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi dengan baik khususnya
dengan dokter walaupun banyak pekerjaan yang seharusnya dilakukan dokter
dikerjakan oleh perawat, walaupun kadang tidak ada pelimpahan tugasnya dan
wewenang. Hal ini karena masih banyaknya dokter yang memandang bahwa
perawat merupakan tenaga vokasional.
Degradasi keperawatan ke posisi bawahan dalam hubungan kolaborasi
perawat-dokter, secara empiris hal ini menunjukkan bahwa dokter berada di
tengah proses pengambilan keputusan dan perawat melaksanakan keputusan
tersebut. Pada tahun 1968, psikiater Leonard Stein menggambarkan hubungan
perawat-dokter pada kenyataanya perawat menjadi pasif.
b. Perbedaan Tingkat Pendidikan/Pengetahuan
Perbedaan tingkat pendidikan dan pengetahuan dokter dan perawat secara
umum masih jauh dari harapan hal ini dapat berdampak pada interprestasi
terhadap masalah kesehatan pasien yang berbeda, tentu juga akan berdampak pada
mutu asuhan yang diberikan.
c. Komunikasi
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar kolaborator, catatan kesehatan
pasien akan menjadi sumber utama komunikasi yang secara terbuka dapat
dipahami sebagai pemberi informasi dari disiplin profesi untuk pengambilan
keputusan. Kesenjangan tingkat pendidikan dan pengetahuan akan menghambat
proses komunikasi yang efektif.
d. Cara Pandang
Perbedaan antara dokter dan perawat dalam upaya kolaboratif terlihat
cukup mencolok. Dokter dapat menentukan atau memandang kolaborasi dalam
perspektif yang berbeda dari perawat. Mungkin dokter berpikir bahwa kerjasama
tersirat dalam tindak lanjut sehubungan dengan mengikuti perintah /instruksi dari

11

pada saling partisipasi dalam pengambilan keputusan. Meskipun komunikasi


merupakan komponen yang diperlukan, itu saja tidak cukup untuk memungkinkan
kolaborasi terjadi. Gaya maupun cara berkomunikasi juga berpengaruh terhadap
efektivitas komunikasi. Pelaksanaan instruksi dokter oleh perawat dipandang
sebagai kolaborasi oleh dokter sedangkan perawat merasa mereka sedang
diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Kemungkinan kedua adalah bahwa
perawat tidak merasa nyaman menantang dokter dengan memberikan sudut
pandang yang berbeda.. Atau, mungkin input yang perawat berikan tidak dihargai
atau ditindak lanjuti, sehingga interaksi tersebut tidak dirasakan oleh perawat
sebagai kolaborasi.

2. Komunikasi antara Perawat dengan Perawat


Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada klien komunikasi antar
tenaga kesehatan terutama sesama perawat sangatlah penting. Kesinambungan
informasi tentang klien dan rencana tindakan yang telah, sedang dan akan
dilakukan perawat dapat tersampaikan apabila hubungan atau komunikasi antar
perawat berjalan dengan baik. Hubungan perawat dengan perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan dapat diklasifikasikan menjadi hubungan
profesional, hubungan struktural dan hubungan intrapersonal. Hubungan
profesional antara perawat dengan perawat merupakan hubungan yang terjadi
karena adanya hubungan kerja dan tanggung jawab yang sama dalam memberikan
pelayanan keperawatan.
Hubungan sturktural merupakan hubungan yang terjadi berdasarkan
jabatan atau struktur masing- masing perawat dalam menjalankan tugas
berdasarkan wewenang dan tanggungjawabnya dalam memberikan pelayanan
keperawatan. Laporan perawat pelaksana tentang kondisi klien kepada perawat
primer, laporan perawat primer atau ketua tim kepada kepala ruang tentang
perkembangan kondisi klien, dan supervisi yang dilakukan kepala ruang kepada
perawat

pelaksana

merupakan

contoh

12

hubungan

struktural.

Hubungan interpersonal perawat dengan perawat merupakan hubungan yang


lazim dan terjadi secara alamiah. Umumnya, isi komunikasi dalam hubungan ini
adalah hal- hal yang tidak terkait dengan pekerjaan dan tidak membawa pengaruh
dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
3.Komunikasi antara perawat dengan Ahli terapi respiratorik
Ahli terapi respiratorik ditugaskan untuk memberikan pengobatan yang
dirancang

untuk

peningkatan

fungsi

ventilasi

atau

oksigenasi

klien.

Perawat bekerja dengan pemberi terapi respiratorik dalam bentuk kolaborasi.


Asuhan dimulai oleh ahli terapi (fisioterapis) lalu dilanjutrkan dengan dievaluasi
oleh perawat. Perawat dan fisioterapis menilai kemajuan klien secara bersamasama dan mengembangkan tujuan dan rencana pulang yang melibatkan klien dan
keluarga. Selain itu, perawat merujuk klien ke fisioterapis untuk perawatan lebih
jauh. Contoh, perawat merawat seseorang yang mengalamai penyakit paru berat
dan merujuk klien tersebut pada ahli terapis respiratorik untuk belajar latihan
untuk menguatkaan otot-otot lengan atas, untuk belajar bagaimana menghemat
energi dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan belajar teknik untuk
mempertahankan bersihan jalan nafas.
4.Komunikasi antara Perawat dengan Ahli Farmasi
Seorang ahli farmasi adalah seorang profesional yang mendapat izin untuk
merumuskan dan mendistribusikan obat-obatan. Ahli farmasi dapat bekerja hanya
di ruang farmasi atau mungkin juga terlibat dalam konferensi perawatan klien atau
dalam pengembangan sistem pemberian obat. Perawat memiliki peran yang utama
dalam meningkatkan dan mempertahankan dengan mendorong klien untuk
proaktif jika membutuhkan pengobatan. Dengan demikian, perawat membantu
klien membangun pengertian yang benar dan jelas tentang pengobatan,
mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan, dan turut bertanggung jawab
dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan bersama tenaga kesehatan
lainnya.

13

Perawat harus selalu mengetahui kerja, efek yang dituju, dosis yang tepat
dan efek smaping dari semua obat-obatan yang diberikan. Bila informasi ini tidak
tersedia dalam buku referensi standar seperti buku-teks atau formula rumah sakit,
maka perawat harus berkonsultasi pada ahli farmasi. Saat komunikasi terjadi maka
ahli farmasi memberikan informasi tentang obat-obatan mana yang sesuai dan
dapat dicampur atau yang dapat diberikan secara bersamaan. Kesalahan
pemberian dosis obat dapat dihindari bila baik perawat dan apoteker sama-sama
mengetahui dosis yang diberikan.
Perawat dapat melakukan pengecekkan ulang dengan tim medis bila
terdapat keraguan dengan kesesuaian dosis obat. Selain itu, ahli farmasi dapat
menyampaikan pada perawat tentang obat yang dijual bebas yang bila dicampur
dengan obat-obatan yang diresepkan dapat berinteraksi merugikan, sehingga
informasinini dapat dimasukkan dalam rencana persiapan pulang. Seorang ahli
farmasi adalah seorang profesional yang mendapat izin untuk merumuskan dan
mendistribusikan obat-obatan. Ahli farmasi dapat bekerja hanya di ruang farmasi
atau mungkin juga terlibat dalam konferensi perawatan klien atau dalam
pengembangan sistem pemberian obat.

5.Komunikasi antara Perawat dengan Ahli Gizi


Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting karena secara langsung
berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Pelayanan gizi di RS
merupakan hak setiap orang dan memerlukan pedoman agar tercapai pelayanan
yang bermutu. Agar pemenuhan gizi pasien dapat sesuai dengan yang diharapkan
maka perawat harus mengkonsultasikan kepada ahli gizi tentang obat yang
digunakan pasien, jika perawat tidak mengkomunikasikannya maka dapat terjadi
pemilihan makanan oleh ahli gizi yang bisa saja menghambat absorbsi dari obat
tersebut. Jadi diperlukanlah komunikasi dua arah yang baik antara perawat dan
ahli gizi.
2.5 Cara Komunikasi

14

Komunikasi dalam suatu organisasi kesehatan dapat berupa tulisan dan


atau komunikasi yang bersifat verbal serta non-verbal. Bentuk komunikasi tertulis
antara lain rekam medik, resep serta surat edaran. Pada rekam medik, riwayat
penyakit, diagnosis, rencana kerja dan instruksi pengobatan pasien dituliskan.
Rekam medik menjadi sumber informasi siapapun yang ikut merawat pasien
tersebut masa kini atau suatu saat nanti, bahkan pasien pun berhak membaca
rekam medik tersebut, karena itu kelengkapan dan kejelasan tulisannya menjadi
sangat penting. Penulisan resep pada dasarnya adalah memberikan instruksi
kepada petugas apotik untuk memberikan obat kepada pasien sesuai dengan
keinginan si penulis, sedangkan surat edaran biasanya dikeluarkan oleh direktur
utama rumah sakit, direktur medik, atau kepala divisi, bergantung isi dan kepada
siapa surat edaran tersebut ditujukan.
Cara komunikasi lainnya antar petugas kesehatan adalah komunikasi
verbal dan non-verbal. Cara ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk misalnya
komunikasi interpersonal yang melibatkan dua atau beberapa orang saja, atau
dalam bentuk pertemuan yang bisa melibatkan banyak orang. Pada komunikasi
interpersonal, komunikasi verbal dan non-verbal digunakan baik secara tersendiri,
atau sebagai pendukung dari komunikasi tulisan yang dilakukan. Sebagai contoh
seorang dokter yang telah menuliskan instruksi pengobatan, menjelaskan
instruksinya tersebut kepada perawat atau bidan. Pada pertemuan apapun akan
terjadi komunikasi verbal dan non-verbal antar peserta pertemuan. Sangat penting
bagi hadirin untuk menguasai keterampilan komunikasi interpersonal agar
pertemuan dapat membuahkan hasil yang optimal. Konferensi kasus merupakan
contoh pertemuan yang diharapkan dapat memberikan solusi yang terbaik bagi
pasien.
2.6 Masalah Komunikasi
Tulisan sering digunakan oleh dokter yang merawat pasien untuk
memberikan instruksi kepada petugas kesehatan lainnya misalnya dokter ruangan
atau perawat untuk melaksanakan pengobatan atau pemeriksaan penunjang. Pada
dasarnya penulisan rekam medik merupakan sumber informasi tentang pasien
yang dibuat bukan hanya untuk penulis tetapi juga bagi semua pihak yang terlibat
dalam penanganan pasien pada saat tersebut atau di masa mendatang. Masalah

15

yang sering timbul adalah tulisan yang sulit dibaca oleh petugas lainnya, bahkan
kadang-kadang penulis sendiri pada kesempatan berikutnya tidak dapat membaca
kembali tulisannya. Kerugian yang dapat ditimbulkan adalah, dokter lain tidak
dapat memahami situasi pasien dengan baik sehingga tidak dapat melanjutkan
perawatan dengan baik. Perawat atau bidan juga tidak dapat membaca instruksi
yang seharusnya dilakukan. Pada akhirnya pasien akan terlambat mendapatkan
penanganan. Instruksi yang baik selain dituliskan juga seharusnya dibicarakan
dengan petugas yang akan melakukan instruksi tersebut, baik dokter ruangan atau
perawat/bidan yang menangani pasien tersebut. Penulisan yang tidak jelas
membuat suasana kerja menjadi terganggu, dan perasaan kesal dapat timbul.
Tidak jarang klarifikasi melalui telepon perlu dilakukan, padahal
pembicaraan melalui telepon terkadang tidak mudah dilakukan karena koneksi
yang buruk atau dokter tidak mengaktifkan pesawat teleponnya. Bila tidak dapat
berkomunikasi dengan pemberi instruksi, sebagian petugas menunda pekerjaan
tersebut, atau menduga-duga instruksi apa yang harus dilaksanakan. Instruksi
yang kurang jelas dan tidak diklarifikasi dapat berakibat fatal bagi pasien. Resep
menjadi salah satu bentuk informasi dari dokter kepada petugas apotik untuk
memberikan obat kepada pasien. Mengingat obat selain dapat menyembuhkan
pasien tetapi juga bersifat racun, maka tulisan dokter harus dapat dibaca dengan
mudah, baik macam obat maupun angka yang menyatakan dosis obat. Kesalahan
pemberian obat bukan hanya milik penulis resep, tetapi bisa juga disebabkan oleh
si pemberi obat. Kesalahan bisa terjadi karena pemberi obat tidak dapat membaca
tulisan dengan baik, tetapi kemudian memberikan obat yang mirip tulisannya
tanpa melakukan konfirmasi kepada dokter. Konfirmasi tidak dilakukan karena
malas atau sulit menghubungi, atau dokter tidak mencantumkan nomor teleponnya
di kertas resep.
Kesalahan lain adalah mengganti obat dengan obat yang serupa tanpa
melakukan konfirmasi dengan dokter penulis resep. Kesalahan ini biasanya
dilakukan oleh petugas apotik yang bukan apoteker, misalnya asisten apoteker
atau petugas apotik yang sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk
melakukan hal tersebut. Tanggung jawab sepenuhnya tentunya berada pada
penanggung jawab apotik tersebut. Surat edaran biasanya dipakai oleh manajemen

16

rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya untuk menginformasikam suatu


kebijakan baru atau perubahan kebijakan. Informasi dengan cara ini kadangkadang tidak cukup, perlu ditunjang dengan cara komunikasi yang lain misalnya
pertemuan khusus atau pelatihan/workshop, bergantung kepada sifat informasi itu
sendiri.
Bila informasi bersifat sederhana, tidak diperlukan pertemuan khusus,
tetapi bila informasi tersebut menuntut perubahan perilaku petugas kesehatan,
diperlukan pertemuan khusus berbentuk ceramah tanya-jawab, atau bila lebih
kompleks diperlukan pelatihan atau lokakarya. Masalah komunikasi interpersonal
antar petugas kesehatan dapat terjadi pada proses pemberian layanan kesehatan
bagi pasien di bangsal rawat atau di klinik rawat jalan. Masalah di klinik rawat
jalan relatif lebih sedikit, karena petugas yang terlibat juga relatif sedikit. Jenis
petugas yang terlibat antara lain dokter, perawat atau bidan, ahli gizi atau
konselor, petugas pemeriksaan penunjang, serta petugas apotik dan administrasi.
Namun, bila pasien memerlukan penanganan oleh beberapa ahli, tentunya
diperlukan komunikasi antara dua atau lebih dokter. Selama ini komunikasi antar
dokter lebih banyak menggunakan tulisan, kecuali pada pasien yang dirawat
kadang-kadang dilakukan konferensi kasus yang tentunya melibatkan komunikasi
verbal dan nonverbal.

Masalah yang ada biasanya timbul berdasarkan persepsi masing-masing


petugas. Dokter menyatakan bahwa pada umumnya perawat tidak menjalankan
instruksi dengan benar tetapi tidak merasa bersalah, perawat sering salah
menginterpretasikan perintah atau tidak menjalankan perintah. Antar dokter sering
tidak ada negosiasi rencana terapi, juga sebagian dokter tidak mau tahu terapi
yang diberikan oleh sejawat lainnya, merasa tidak ada pembagian tugas yang jelas
sehingga terjadi saling lempar tanggungjawab.
Perawat mengeluh tulisan dokter sulit dibaca, dan mereka sering cepatcepat meninggalkan ruangan sehingga tidak terjadi klarifikasi instruksi, juga
terjadi hambatan psikologis yang mengakibatkan mereka enggan menyampaikan
kesulitan mereka. Ada beberapa hal yang patut dicermati antara lain:

17

1. Instruksi yang diberikan kurang jelas dan petugas yang diberikan instruksi tidak
minta klarifikasi,
2. Tidak terjadi interaksi verbal sama sekali, biasanya antar dokter ahli kecuali
bila ada konferensi kasus,
3. Pemberi instruksi tidak meyakinkan bahwa instruksinya dimengerti oleh
petugas,
4. Dokter ahli tidak menganggap dokter ruangan, perawat/ bidan sebagai mitra
kerja,
5. Masih lemahnya aturan mengenai hak dan tanggungjawab masing-masing
petugas kesehatan. Sebagai contoh setelah selesai operasi operator meninggalkan
tempat terburu-buru tanpa menemui keluarga pasien terlebih dahulu, sedangkan
dokter pendamping operasi tidak merasa berhak untuk menjelaskan hasil operasi
kepada keluarga pasien. Di mata keluarga pasien telah terjadi lempar
tanggungjawab antar petugas kesehatan, terlebih kalau operasi tidak berhasil. Hal
ini akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja rumah sakit.

2.7 Faktor Penyebab


Ada 3 penyebab yang dapat berdampak terhadap hubungan antar petugas
kesehatan, yakni:
1. role stress,
2. lack of interprofessional understanding,
3. autonomy struggles.
Konflik antar petugas kesehatan sangat penting karena pada gilirannya akan
mempengaruhi kualitas pelayanan kepada pasien.
Role Stress. Menghadapi pasien setiap hari bukanlah suatu hal yang
mudah. Petugas kesehatan hampir setiap hari harus menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan nyawa seseorang, misalnya menentukan diagnosis penyakit

18

fatal,

menjelaskan

pengobatan

yang

kadang-kadang

tidak

menjanjikan

kesembuhan, menginformasikan prognosis yang tidak baik atau harus


memberikan obat yang harganya sulit dijangkau oleh pasien. Hal-hal ini sedikit
banyak akan mempengaruhi suasana hati dokter dan dapat mempengaruhi
komunikasi verbal dan non-verbalnya dengan sesama petugas. Ada 2 hal yang
termasuk dalam role stress, yakni role conflict dan role overload. Role conflict
adalah perbedaan antara peran yang diharapkan dengan yang diperoleh. Seseorang
yang ketika menjalani pendidikan mempunyai impian atau bayangan perannya
nanti setelah menjadi dokter atau bidan/perawat akan mengalami konflik peran
bila ia mendapatkan pekerjaan yang berbeda dengan pekerjaan yang
diharapkannya. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu, dalam lubuk hati
setiap orang menginginkan penghargaan dari siapapun dalam melakukan
tugasnya. Bila ini tidak terpenuhi di lingkungan kerjanya, akan sangat
mempengaruhi kinerjanya. Sikap saling menhormati antar petugas akan
mengurangi role conflict. Role overload, terjadi karena jumlah pasien yang terlalu
banyak. Jumlah pasien yang terlalu banyak dengan derajat kesulitan yang tinggi
akan melelahkan petugas kesehatan. Jenis pekerjaan di ICU, ICCU dan IGD di
rumah sakit rujukan tentunya berbeda dengan pekerjaan di klinik rawat jalan.
Jumlah pasien yang lebih dari kapasitas petugas kesehatan akan sangat
mempengaruhi suasana hati petugas. Efek dari role conflict dan role overload
akan berdampak terhadap terhadap pasien juga. Petugas kesehatan yang secara
fisik dan mental menderita kelelahan akan kehabisan tenaga untuk memenuhi
kebutuhan pasien.
Lack of interprofessional understanding. Kita mengharapkan semua
petugas kesehatan memahami perannya masing-masing dalam lingkungan
kerjanya. Dalam praktiknya, ternyata tidak demikian. Walaupun telah ada
kemajuan

dalam memahami

peran

petugas

lainnya,

kebingungan atau

kesalahtafsiran tentang peran dari masingmasing petugas masih sering terjadi.


Autonomy Struggles. Faktor ketiga adalah masalah otonomi, yakni the
freedom to be self-governing or selfdirecting. Pentingnya otonomi digarisbawahi
oleh Conway, yang menyatakan bahwa kapasitas untuk melakukan otonomi
sangat penting agar petugas dapat memenuhi peran profesinya. Tingginya

19

professional autonomy berhubungan dengan membaiknya job morale dan job


performance. Perbedaan tingkat otonomi pada petugas kesehatan dapat memacu
ketegangan interpersonal. Perawat misalnya sering menyatakan kekesalannya
karena rendahnya otoritas mereka untuk pengambilan keputusan yang sederhana
tetapi penting bagi keamanan atau kenyamanan pasien. Di dalam menghadapi
tantangan globalisasi, setiap petugas kesehatan memerlukan otonomi sesuai
dengan tugas dan kewajibannya masing-masing.
2.7 Pemecahan Masalah
Beberapa usaha perlu dilakukan dengan cara menghilangkan atau
mengurangi role stress dengan cara membuka wawasan mahasiswa kedokteran,
perawat, bidan dan sebagainya, tentang perannya masing-masing dalam dunia
kerja nyata, serta khususnya dalam sistem pelayanan kesehatan. Untuk mengatasi
role overload, perlu dilakukan pengaturan jumlah pasien yang harus ditangani
oleh petugas kesehatan. Di dalam suatu institusi kesehatan, diperlukan beberapa
hal yang bersifat pembenahan manajerial yakni: (1) memperjelas uraian hak, tugas
dan koordinasi masing-masing petugas dalam suatu fasilitas kesehatan. Peran, hak
dan tugas petugas lain juga harus diketahui oleh masing-masing petugas, (2)
memberikan otonomi kepada petugas untuk mengambil keputusan sesuai dengan
kewajiban dan kemampuannya, dan (3) mereposisi kembali hubungan antar
petugas kesehatan sebagai hubungan yang saling melengkapi. Secara umum setiap
petugas

kesehatan

dituntut

untuk

mempraktikkan

cara-cara

komunikasi

interpersonal yang baik termasuk komunikasi verbal dan non-verbal. Tidak


berbeda dengan bila menghadapi pasien, setiap petugas kesehatan seyogyanya
menerapkan keterampilan komunikasi interpersonalnya bila berhadapan dengan
sesama petugas kesehatan. Komunikasi tertulis hendaknya ditunjang dengan
penulisan yang jelas, dan bila perlu didukung oleh komunikasi verbal dan non
verbal yang sesuai. Menciptakan situasi yang nyaman dalam lingkungan kerja
perlu dilakukan dansebenarnya sangat mudah dilakukan bila semua petugas
kesehatan menyadari bahwa hasilnya akan sangat bermanfaat bagi pasien yang
telah memberikan amanah kepada mereka, bukan kepada orang lain, untuk
merawat.

20

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam melaksanakan tugasnya, perawat tidak dapat bekerja tanpa
berkolaborasi dengan profesi lain. Profesi lain tersebut diantaranya adalah dokter,
ahli gizi, apoteker dsb. Setiap tenaga profesi tersebut mempunyai tanggung jawab
terhadap kesehatan pasien. Bila setiap profesi telah dapat saling menghargai,
maka hubungan kerja sama akan dapat terjalin dengan baik. Selain itu perawat
juga mempunyai tanggung jawab dan memiliki untuk:

21

1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan


dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara kerahasiaan suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh.
2.

Perawat

senantiasa

menyebarluaskan

pengetahuan,

keterampilan

dan

pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan


pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam
bidang keperawatan.
3. Perawat merupakan kesatuan integral dengan tenaga kesehatan lainya yang tak
bisa dipisah pisahkan dan disendirikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Potter & Perry. Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik


Volume I, Penerbit: EGC.
2. Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa
Indraty Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang
Dewasa dan Lansia, EGC. Jakarta.
3. Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating
for Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA.
22

4. Dochterman , Joanne McCloskey PhD, RN, FAAN. 2001 Current Issue in


Nursing. 6th Editian . Mosby Inc.USA.
5. Ismani, Nila.2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widia Medika.

23

Anda mungkin juga menyukai