PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia ada berbagai macam profesi dalam kesehatan. Profesi
tersebut juga mengakibatkan banyaknya institusi kesehatan, diantaranya dokter,
bidan, ahli gizi, kesehatan masyarakat, radiologi, teknobiomedik, farmasi, analis
kesehatan, dan perawat. Semua profesi tadi diwajibkan salaing bekerjasama dalam
menjalankan profesionalitas profesinya masing-masing. Perawat merupakan satu
dari banyaknya profesi kesehatan yang ada. Semua profesi kesehatan yang ada
tentu memiliki visi yang sama yakni terwujudnya pelayanan kesehatan yang
prima. Namun, dalam pelaksanaannya perawat tidak sendirian. Perawat ditemani
oleh dokter, analis kesehatan, tim kesehatan masyarakat, analis kesehatan, ahli
gizi, radiologi dan lainnya. Kolaborasi pendidikan dan praktik antar profesi
kesehatan tentunya sangat dibutuhkan. Semua jenis profesi harus mempunyai
keinginan untuk berkolaborasi. Perawat, bidan, dokter, dan semua profesi lain
merencanakan dan mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di bangku pelajar.
Ketergantungan antar profesi pun dapat tetap ada asalakan dalam batas-batas
lingkup praktek yang sesuai dengan aturan yang ada.
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional
yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan
berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan
pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat,
dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena
itu, tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung
jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. Proses sinergi dan
pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak calon-calon tenga professional ini
duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas bersama untuk menyelesaikan suatu
masalah yang dapat dilihat dari berbagai macam perspektif profesi akan
meningkatkan kesadaran diri tentang keterbatasan profesi, meningkatkan
pemahaman arti pentingya kerja tim profesi dan pada akhirnya memunculkan
perasaan penghargaan antar anggota tim kesehatan. Saat ini peraturan yang jelas
tertulis hanyalah rumah sakit pendidikan untuk dokter dan dokter gigi, sementara
profesi lain tidak diatur. Pertanyaanya adalah, apakah akan tercipta generasi
dokter yang baik jika tenaga kesehatan lain di dalam rumah sakit tidak diatur
untuk menciptakan sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang lebih baik,
Siapakah yang bisa dijadikan contoh peran kolaborasi professional dalam
melayani pasien, Bila dokter memiliki keunggulan dalam menegakan diagnosa
penyakit, bukankah farmasi lebih tahu tentang pilihan obat yang paling tepat,
Bukankah perawat yang lebih tahu tentang respon akibat penyakit dan
pengobatanya.
1.2 Tujuan Penulisan
Setelah penulisan makalah ini mahasiswa memahami komunikasi perawat
profesi kesehatan lainnya.
BAB II
ISI
2.1 Kolaborasi Dalam Profesi Kesehatan
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk
menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun
didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi
tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian
kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang
menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak
ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya
kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja
bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa
kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang
aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan
tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.
Proses sinergi dan pemahaman antar profesi dapat dibangun sejak caloncalon tenaga professional ini duduk dibangku kuliah. Melakukan aktifitas bersama
untuk menyelesaikan suatu masalah yang dapat dilihat dari berbagai macam
perspektif profesi akan meningkatkan kesadaran diri tentang keterbatasan profesi,
meningkatkan pemahaman arti pentingya kerja tim profesi dan pada akhirnya
memunculkan perasaan penghargaan antar anggota tim kesehatan. Saat ini
peraturan yang jelas tertulis hanyalah rumah sakit pendidikan untuk dokter dan
dokter gigi, sementara profesi lain tidak diatur. Pertanyaanya adalah, apakah akan
tercipta generasi dokter yang baik jika tenaga kesehatan lain di dalam rumah sakit
tidak diatur untuk menciptakan sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang
lebih baik, siapakah yang bisa dijadikan contoh peran kolaborasi professional
dalam melayani pasien. Bila dokter memiliki keunggulan dalam menegakan
diagnosa penyakit, bukankah farmasi lebih tahu tentang pilihan obat yang paling
tepat, Bukankah perawat yang lebih tahu tentang respon akibat penyakit dan
pengobatanya.
Ronde bersama di rumah sakit, diskusi kasus dan pengelolaan kasus
bersama akan sangat bermanfaat bukan hanya untuk profesi atau mahasiswa
kesehatan namun juga untuk pasien. Dengan kerjasama, duplikasi pemeriksaan
dan wawancara serta duplikasi tindakan akan dapat dihindarkan. Melalui kerja
tim, pemeriksaan dan tindakan serta monitoring data penting tidak akan
terlewatkan. Dari kegiatan ini calon-calon profesioanal tahu bagaimana
menjadikan pelayanan yang efektif dan efisien yang berfokus pada kebutuhan
pasien. Kebutuhan pembelajaran dilakukan tetap dalam koridor beneficiency dan
non maleficiency.
Setiap profesi tenaga kesehatan memiliki keunggulan yang tidak bisa
digantikan oleh profesi lain. Namun dalam beberapa area, setiap profesi memiliki
kemiripan dan kedekatan hubungan yang luar biasa yang sering dikenal sebagai
area abu-abu atau gray area. Pada wilayah ini setiap profesi merasa memiliki
kemampuan dan hak untuk menjalankan praktek profesionalnya. Sehingga area
abu menjadi daerah yang diperebutkan. Paradigma perebutan wilayah seperti ini
harus dirubah menjadi paradigma baru yang lebih konstruktif, yaitu menjadikan
daerah abu-abu menjadi area of common interest. Area yang menjadi perhatian
bersama para profesi karena besarnya magnitude area itu dan resiko dampak yang
juga luar biasa sehingga harus ditangani bersama. Area ini bila tidak ditangani
dapat menimbulkan potensi bahaya penyakit dan bahaya social yang sangat besar
bagi masyarakat.
2.2 Komponen Dalam Kolaborasi Pelayanan Kesehatan
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional
yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan
berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan
pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat,
dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu
tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab
dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien
dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana
menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat
dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim. Perawat sebagai anggota membawa
persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu
pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan
lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi
pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan
mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan
seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan
anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan
kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang
efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan
koordinasi seperti skema di bawah ini.
Communicatio
ns
Responsibility
Autonomy
Efective
collaboration
cooperation
Common
purpose
Assertiveness
Coordination
Mutuality
tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,
terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan
terjadi.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat
digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :
-
Memberikan
pelayanan
kesehatan
yang
berkualitas
dengan
a. Komunikasi
b. Respek dan kepercayaan
c. Memberikan dan menerima feed back
d. Pengambilan keputusan
e. Manajemen konflik
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal
tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data
kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi
semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi
dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Komunikasi sangat dibutuhkan dalam berkolaborasi karena kolaborasi
membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan komunikasi
efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar kompetensi
yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan harga diri,
sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek dan
kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat dilihat
dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari. Feed back dipengaruhi oleh
istilah-istilah
medis
sehingga
tidak
terjadi
kebingungan
saat
berkomunikasi dan komunikasi dapat berjalan dengan baik serta mencapai tujuan
yang diinginkan.
Komuniaksi antara perawat dengan dokter dapat berjalan dengan baik
apabila dari kedua pihak dapat saling berkolaborasi dan bukan hanya menjalankan
tugas secara individu, perawat dan dokter sendiri adalah kesatuan tenaga medis
yang tidak bisa dipisahkan. Dokter membutuhkan bantuan perawat dalam
memberikan data-data asuhan keperawatan, dan perawat sendiri membutuhkan
bantuan dokter untuk mendiagnosa secara pasti penyakit pasien serta memberikan
penanganan lebih lanjut kepada pasien. Semua itu dapat terwujud dwngan baik
berawal dari komunikasi yang baik pula antara perawat dengan dokter.
Pada saat ini berkembang paradigma baru dalam upaya pemberian
palayanan kesehatan yang bermutu dan konfrehensif, tentu hal ini dipicu ketika
WHO pada tahun 1984 mendefinisikan sehat yang meliputi sehat fisik,sehat
psikis,sehat sosial, dan sehat spiritual. Dulu orang memandang masing masing
berdiri sendiri, hanya sedikit keterkaitan antara satu sama lainnya. Oleh karena itu
penanganan kesehatan pada umumnya akan melibatkan berbagai elemen disiplin
ilmu yang saling menunjang. Hubungan dokter dan perawat dalam pemberian
asuhan kesehatan kepada pasien merupakan hubungan kemitraan ( partnership)
yang lebih mengikat dimana seharusnya terjadi harmonisasi tugas, peran dan
tanggung jawab dan sistem yang Terbuka.Sebagaimana American Medical
Assosiasi ( AMA ), 1994, menyebutkan kolaborasi yang terjadi antara dokter dan
perawat dimana mereka merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega,
bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka
dengan berbagai nilai nilai yang saling mengakui dan menghargai terhadap
setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan
masyarakat. Apabila kolaborasi antara dokter dan perawat berjalan sebagaimana
dimaksudkan tentu berdampak langsung terhadap pasien, karena banyak aspek
positif yang dapat dihasilkan tetapi pada kenyataannya terutama dalam praktek
10
banyak hambatan kolaborasi antara dokter dan perawat sehingga kolaborasi sulit
tercipta.
Hambatan Kolaborasi Dokter dan Perawat:
a. Dominasi Kekuasan
Dari pengamatan penulis terutama dalam praktek Asuhan Keperawatan
perawat belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi dengan baik khususnya
dengan dokter walaupun banyak pekerjaan yang seharusnya dilakukan dokter
dikerjakan oleh perawat, walaupun kadang tidak ada pelimpahan tugasnya dan
wewenang. Hal ini karena masih banyaknya dokter yang memandang bahwa
perawat merupakan tenaga vokasional.
Degradasi keperawatan ke posisi bawahan dalam hubungan kolaborasi
perawat-dokter, secara empiris hal ini menunjukkan bahwa dokter berada di
tengah proses pengambilan keputusan dan perawat melaksanakan keputusan
tersebut. Pada tahun 1968, psikiater Leonard Stein menggambarkan hubungan
perawat-dokter pada kenyataanya perawat menjadi pasif.
b. Perbedaan Tingkat Pendidikan/Pengetahuan
Perbedaan tingkat pendidikan dan pengetahuan dokter dan perawat secara
umum masih jauh dari harapan hal ini dapat berdampak pada interprestasi
terhadap masalah kesehatan pasien yang berbeda, tentu juga akan berdampak pada
mutu asuhan yang diberikan.
c. Komunikasi
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif,
bertanggung jawab dan saling menghargai antar kolaborator, catatan kesehatan
pasien akan menjadi sumber utama komunikasi yang secara terbuka dapat
dipahami sebagai pemberi informasi dari disiplin profesi untuk pengambilan
keputusan. Kesenjangan tingkat pendidikan dan pengetahuan akan menghambat
proses komunikasi yang efektif.
d. Cara Pandang
Perbedaan antara dokter dan perawat dalam upaya kolaboratif terlihat
cukup mencolok. Dokter dapat menentukan atau memandang kolaborasi dalam
perspektif yang berbeda dari perawat. Mungkin dokter berpikir bahwa kerjasama
tersirat dalam tindak lanjut sehubungan dengan mengikuti perintah /instruksi dari
11
pelaksana
merupakan
contoh
12
hubungan
struktural.
untuk
peningkatan
fungsi
ventilasi
atau
oksigenasi
klien.
13
Perawat harus selalu mengetahui kerja, efek yang dituju, dosis yang tepat
dan efek smaping dari semua obat-obatan yang diberikan. Bila informasi ini tidak
tersedia dalam buku referensi standar seperti buku-teks atau formula rumah sakit,
maka perawat harus berkonsultasi pada ahli farmasi. Saat komunikasi terjadi maka
ahli farmasi memberikan informasi tentang obat-obatan mana yang sesuai dan
dapat dicampur atau yang dapat diberikan secara bersamaan. Kesalahan
pemberian dosis obat dapat dihindari bila baik perawat dan apoteker sama-sama
mengetahui dosis yang diberikan.
Perawat dapat melakukan pengecekkan ulang dengan tim medis bila
terdapat keraguan dengan kesesuaian dosis obat. Selain itu, ahli farmasi dapat
menyampaikan pada perawat tentang obat yang dijual bebas yang bila dicampur
dengan obat-obatan yang diresepkan dapat berinteraksi merugikan, sehingga
informasinini dapat dimasukkan dalam rencana persiapan pulang. Seorang ahli
farmasi adalah seorang profesional yang mendapat izin untuk merumuskan dan
mendistribusikan obat-obatan. Ahli farmasi dapat bekerja hanya di ruang farmasi
atau mungkin juga terlibat dalam konferensi perawatan klien atau dalam
pengembangan sistem pemberian obat.
14
15
yang sering timbul adalah tulisan yang sulit dibaca oleh petugas lainnya, bahkan
kadang-kadang penulis sendiri pada kesempatan berikutnya tidak dapat membaca
kembali tulisannya. Kerugian yang dapat ditimbulkan adalah, dokter lain tidak
dapat memahami situasi pasien dengan baik sehingga tidak dapat melanjutkan
perawatan dengan baik. Perawat atau bidan juga tidak dapat membaca instruksi
yang seharusnya dilakukan. Pada akhirnya pasien akan terlambat mendapatkan
penanganan. Instruksi yang baik selain dituliskan juga seharusnya dibicarakan
dengan petugas yang akan melakukan instruksi tersebut, baik dokter ruangan atau
perawat/bidan yang menangani pasien tersebut. Penulisan yang tidak jelas
membuat suasana kerja menjadi terganggu, dan perasaan kesal dapat timbul.
Tidak jarang klarifikasi melalui telepon perlu dilakukan, padahal
pembicaraan melalui telepon terkadang tidak mudah dilakukan karena koneksi
yang buruk atau dokter tidak mengaktifkan pesawat teleponnya. Bila tidak dapat
berkomunikasi dengan pemberi instruksi, sebagian petugas menunda pekerjaan
tersebut, atau menduga-duga instruksi apa yang harus dilaksanakan. Instruksi
yang kurang jelas dan tidak diklarifikasi dapat berakibat fatal bagi pasien. Resep
menjadi salah satu bentuk informasi dari dokter kepada petugas apotik untuk
memberikan obat kepada pasien. Mengingat obat selain dapat menyembuhkan
pasien tetapi juga bersifat racun, maka tulisan dokter harus dapat dibaca dengan
mudah, baik macam obat maupun angka yang menyatakan dosis obat. Kesalahan
pemberian obat bukan hanya milik penulis resep, tetapi bisa juga disebabkan oleh
si pemberi obat. Kesalahan bisa terjadi karena pemberi obat tidak dapat membaca
tulisan dengan baik, tetapi kemudian memberikan obat yang mirip tulisannya
tanpa melakukan konfirmasi kepada dokter. Konfirmasi tidak dilakukan karena
malas atau sulit menghubungi, atau dokter tidak mencantumkan nomor teleponnya
di kertas resep.
Kesalahan lain adalah mengganti obat dengan obat yang serupa tanpa
melakukan konfirmasi dengan dokter penulis resep. Kesalahan ini biasanya
dilakukan oleh petugas apotik yang bukan apoteker, misalnya asisten apoteker
atau petugas apotik yang sebenarnya tidak mempunyai wewenang untuk
melakukan hal tersebut. Tanggung jawab sepenuhnya tentunya berada pada
penanggung jawab apotik tersebut. Surat edaran biasanya dipakai oleh manajemen
16
17
1. Instruksi yang diberikan kurang jelas dan petugas yang diberikan instruksi tidak
minta klarifikasi,
2. Tidak terjadi interaksi verbal sama sekali, biasanya antar dokter ahli kecuali
bila ada konferensi kasus,
3. Pemberi instruksi tidak meyakinkan bahwa instruksinya dimengerti oleh
petugas,
4. Dokter ahli tidak menganggap dokter ruangan, perawat/ bidan sebagai mitra
kerja,
5. Masih lemahnya aturan mengenai hak dan tanggungjawab masing-masing
petugas kesehatan. Sebagai contoh setelah selesai operasi operator meninggalkan
tempat terburu-buru tanpa menemui keluarga pasien terlebih dahulu, sedangkan
dokter pendamping operasi tidak merasa berhak untuk menjelaskan hasil operasi
kepada keluarga pasien. Di mata keluarga pasien telah terjadi lempar
tanggungjawab antar petugas kesehatan, terlebih kalau operasi tidak berhasil. Hal
ini akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja rumah sakit.
18
fatal,
menjelaskan
pengobatan
yang
kadang-kadang
tidak
menjanjikan
dalam memahami
peran
petugas
lainnya,
kebingungan atau
19
kesehatan
dituntut
untuk
mempraktikkan
cara-cara
komunikasi
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam melaksanakan tugasnya, perawat tidak dapat bekerja tanpa
berkolaborasi dengan profesi lain. Profesi lain tersebut diantaranya adalah dokter,
ahli gizi, apoteker dsb. Setiap tenaga profesi tersebut mempunyai tanggung jawab
terhadap kesehatan pasien. Bila setiap profesi telah dapat saling menghargai,
maka hubungan kerja sama akan dapat terjalin dengan baik. Selain itu perawat
juga mempunyai tanggung jawab dan memiliki untuk:
21
Perawat
senantiasa
menyebarluaskan
pengetahuan,
keterampilan
dan
DAFTAR PUSTAKA
23